• (GFD-2024-15424) Keliru, Klaim Mahfud MD bahwa Indonesia adalah Negara dengan Laju Deforestasi Tertinggi di Dunia

    Sumber:
    Tanggal publish: 22/01/2024

    Berita

    Calon Wakil Presiden nomor urut 3, Mahfud MD, menyatakan bahwa laju deforestasi atau penggundulan hutan Indonesia saat ini merupakan yang tertinggi di dunia. Menurutnya kondisinya sama dengan situasi tahun 2014.

    “Pada tahun 2014 kita berada di posisi yang berbeda. Saya di tim Pak Prabowo dan Pak Muhaimin di tim Pak Jokowi. Ada pertanyaan dari Pak Jokowi pada 2014 ke Prabowo, saat ini kita dihadapkan pada bencana ekologis dan laju penggundulan hutan di negara kita tertinggi di dunia, saat ini situasinya sama dengan tahun 2014,” kata Mahfud dalam Debat Cawapres Pilpres 2024 yang digelar KPU, Minggu, 21 Januari 2024.

    Namun, benarkah klaim Mahfud bahwa saat ini laju deforestasi Indonesia tertinggi di dunia?

    Hasil Cek Fakta

    Tiga orang pakar menanggapi berdasarkan beberapa sumber data, dan menyatakan bahwa pernyataan Mahfud tersebut keliru. Pertama Dosen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia, Masitoh Nur Rohma.

    Dia mengatakan terdapat beberapa versi yang membahas posisi Indonesia dalam laju deforestasi di antara negara-negara lain. Namun mayoritas sumber data itu menyebutkan Indonesia bukan negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia saat ini.

    “Meskipun ada variasi, mayoritas data menunjukkan laju deforestasi Indonesia tidak menempati posisi tertinggi di dunia. Misal data dari WRI, deforestasi tahun 2001-2022 tertinggi diperoleh Rusia dan Indonesia menempati posisi kelima,” kata Masitoh, mengutip data di situs World Research Institute (WRI), Minggu, 21 Januari 2024.

    Berdasarkan sumber data yang sama, yakni WRI, peneliti Queensland University, Udiana Puspa Dewi, S.S., M.A.,Ph.D, juga menyatakan klaim Mahfud tersebut salah. “Indonesia berada di peringkat lima, di bawah Rusia, Kanada, Brazil, dan US,” kata Udiana, Minggu, 21 Januari 2024.

    Sementara Peneliti Sajogyo Institute, Kiagus M. Iqbal, mengutip data dari Katadata, yang menyebutkan bahwa pada tahun 202 laju deforestasi Indonesia berada di urutan keempat. “Laju penggundulan hutan primer Indonesia, pada tahun 2020 peringkat 4 tertinggi di dunia, mencapai 270.000 hektare per tahun,” kata dia.

    Kesimpulan

    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Mahfud MD yang menyatakan laju atau kecepatan deforestasi Indonesia saat ini tertinggi di dunia adalah keliru.

    Terdapat beberapa versi sumber data terkait tingkat laju deforestasi negara-negara di dunia. Mayoritas tidak menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kecepatan tertinggi dalam urusan deforestasi.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15423) CEK FAKTA: Gibran Sebut 1,5 Juta Hektare Hutan Adat Sudah Diakui

    Sumber:
    Tanggal publish: 22/01/2024

    Berita

    Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka mengatakan bahwa sudah ada 1,5 juta hektare hutan adat yang sudah diakui.

    Hal itu disampaikan oleh Gibran pada Debat Keempat atau Debat Cawapres Kedua di Jakarta Convention Center (JCC), Minggu (21/1/2024).

    Pada sesi tanya jawab Debat Cawapres, Gibran sebelumnya menyinggung bahwa ada Peraturan Presiden (Perpres) No.28/2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, serta mengenai RUU Masyarakat Adat.

    "Ini sudah ada 1,5 juta hektare hutan adat yang sudah diakui. Kuncinya ke depan memang perbanyak dialog dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat," katanya, Minggu (21/1/2024).

    Hasil Cek Fakta

    Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa sampai dengan 1 Oktober 2022, hutan adat mencapai 1.196.725,01 hektare. Luas itu mencakup penetapan Hutan Adat 108.576 ha dan Indikatif Hutan Adat 1.088.149 ha.

    Sementara itu, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat bahwa telah melakukan registrasi terhadap 1.336 peta wilayah adat dengan luas sekitar 26,9 juta hektare.

    Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota. Dari 1.336, total wilayah adat teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar atau sekitar 13,9%.

    Kemudian, masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah saat ini yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15421) CEK FAKTA: Uji Klaim Mahfud MD Sebut Proyek Food Estate Gagal

    Sumber:
    Tanggal publish: 22/01/2024

    Berita

    Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 03 Mahfud MD mengatakan bahwa program food estate merupakan proyek yang gagal.

    Hal itu disampaikan oleh Mahfud pada Debat Keempat atau Debat Cawapres Kedua di Jakarta Convention Center (JCC), Minggu (21/1/2024). "Jangan seperti food estate, yang gagal dan merusak lingkungan. Yang benar aja, rugi dong," ujar Mahfud, Minggu (21/1/2024).

    Adapun program food estate dilaksanakan sejak pertengahan 2020 pada area lahan sekitar 30.000 hektare. Namun demikian, pada saat yang sama, impor beras mencapai level tertinggi dalam lima tahun terakhir.

    Hasil Cek Fakta

    Dalam hitungan ribu ton, impor beras pada 2019 tercatat sebesar 444,51 ton; 356,29 ton (2020); 407,74 ton (2021); 429,21 ton (2022); dan melonjak pada 2023 menjadi 3.062,86 ton atau sekitar 3,06 juta ton.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2024 yang sama, impor komoditas beras pada 2023 tertinggi dalam lima tahun terakhir. Impor itu berasal dari Thailand dengan volume 1,38 juta ton atau mencakup 45,12% dari total impor beras.

    Sementara itu, dari Vietnam 1,14 juta ton, Pakistan 309.000 ton, Myanmar 141.000 ton dan lainnya 83.000 ton.

    Akademisi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Masitoh Nur Rohma menyampaikan bahwa program food estate yang dilaksanakan mulai 2020 di Kalimantan Tengah dengan luas 30.000 hektare dari bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi dinyatakan gagal karena sejumlah faktor.

    Berdasarkan jurnal penelitian Institute for Advanced Science, Social and Sustainable Future pada 2023, yang dilakukan oleh Alsafana Rasman dkk dari Universitas Indonesia (UI), terdapat lima faktor di belakang kegagalan proyek tersebut.

    Pertama, terjadi pemaksaan perubahan pola tanam yang mengakibatkan gagal panen serta hasil produksi yang tidak maksimal untuk periode selanjutnya.

    Kedua, masih gagalnya implementasi kegiatan skema ekstensifikasi di kawasan pertanian yang tidak berjalan maksimal.

    Ketiga, pembukaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum siap untuk ditanam karena masih banyak kayu dan akar yang tidak dibersihkan.

    Keempat, masih banyak saluran air tidak dibuat untuk jalur irigasi pertanian.

    Kelima, tidak melibatkan masyarakat terkait pembangunan food estate sehingga masih banyak informasi yang terlewat dan kurangnya partisipasi dari masyarakat.

    Rujukan

  • (GFD-2024-15420) CEK FAKTA: Cak Imin Singgung Anggaran Krisis Iklim Sedikit, Benarkah?

    Sumber:
    Tanggal publish: 22/01/2024

    Berita

    Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengatakan bahwa anggaran untuk mengatasi krisis iklim di Indonesia jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya.

    Hal itu disampaikan oleh Cak Imin pada Debat Keempat atau Debat Cawapres Kedua di Jakarta Convention Center (JCC), Minggu (21/1/2024).

    Cak Imin mengatakan, krisis iklim dan bencana ekologis terjadi di mana-mana sehingga negara harus serius mengatasinya.

    "Kita melihat ada yang namanya krisis iklim tidak diatasi dengan serius. Bahkan, kita ditunjukkan anggaran mengatasi krisis iklim jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya," kata Cak Imin, Minggu (21/1/2024).

    Hasil Cek Fakta

    Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa hasil penandaan alokasi anggaran perubahan iklim pada APBN 2018-2020 mencapai Rp307,48 triliun. Dengan alokasi tersebut, dinilai masih ada gap yang sangat besar dengan kebutuhan pendanaan perubahan iklim untuk mencapai NDCs pada 2030.

    Adapun, Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Setjen DPR RI pernah merilis perhitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai kebutuhan pendanaan perubahan iklim. Kebutuhan dimaksud mencapai Rp3.779 triliun jika mengikuti peta jalan Dokumen Kontribusi Nasional (NDC).

    Artinya, setiap tahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp200 triliun-Rp300 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 7-11% anggaran belanja negara 2022.

    Dosen Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor Afni Regita Cahyani Muis menyebut, pernyataan Cak Imin sebagian benar. Menurutnya, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim masih sebatas proyeksi dan belum maksimal.

    Selama 5 tahun terakhir, dia mencatat rata-rata sembilan belanja iklim hanya 3,9% dari alokasi APBN pertahun dari 2022.

    "Data ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat terbilang serius melakukan aksi penanggulangan perubahan iklim dari anggaran negara. Padahal, isu lingkungan hidup tengah menjadi isu krusial di Indonesia," ujarnya.

    Kesimpulan

    Berdasarkan penjelasan di atas, klaim Anggaran Krisis Iklim Sedikit adalah benar.

    Rujukan