• (GFD-2024-19718) Menyesatkan, Konten yang Menghubungkan Pandemic Treaty untuk Mendukung Vaksin yang Berisiko pada Kesehatan

    Sumber:
    Tanggal publish: 10/05/2024

    Berita



    Sebuah akun Facebook [ arsip ] mengunggah konten yang mengaitkan bahwa pandemic treaty mendukung vaksin Covid-19 yang berisiko pada kesehatan. Konten tersebut memuat beberapa tangkapan layar pemberitaan yang salah satunya berjudul “Menlu RI Dukung Pandemic Treaty untuk pemerataan vaksin”. 

    Beberapa cuplikan pemberitaan online lainnya mengenai efek samping vaksin yang dapat menyebabkan pembekuan darah dan menyebabkan kematian.



    Benarkah pandemic treaty mendukung vaksin yang berisiko pada kesehatan? Berikut pemeriksaan faktanya.

    Hasil Cek Fakta



    Pandemic treaty merupakan istilah lain dari WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) atau konvensi WHO, terkait perjanjian internasional tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi.

    Dilansir WHO dalam Zero Draft 21 Februari 2023, WHO CA+ on PPPR merupakan evaluasi dan pengakuan atas kegagalan komunitas internasional menunjukkan solidaritas dan kesetaraan untuk menangani pandemi penyakit virus corona (COVID-19). 

    Dalam draft tersebut, WHO CA+ on PPPR bertujuan melindungi generasi sekarang dan yang akan datang dari pandemi dan konsekuensinya yang menghancurkan, serta meningkatkan standar kesehatan semua orang atas dasar kesetaraan, hak asasi manusia serta solidaritas. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan kerjasama nasional dan internasional untuk mencegah, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi. 

    Draf tersebut juga mengatur tentang akses ke teknologi produksi dan distribusi berkelanjutan serta transfer teknologi, peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan, pembagian manfaat, memperkuat dan mempertahankan tenaga kesehatan yang terampil dan kompeten, jaringan pasokan dan logistik global, serta pembiayaan.

    Dilansir laman WHO, negara-negara anggota WHO sepakat untuk melanjutkan negosiasi yang bertujuan untuk merampungkan perjanjian tersebut dalam masa sidang 29 April hingga 10 Mei 2024.

    "Negara-negara Anggota kami sepenuhnya menyadari betapa pentingnya perjanjian pandemi ini untuk melindungi generasi mendatang dari penderitaan yang kita alami selama pandemi COVID-19," kata Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.

    Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dan menyepakati perjanjian tersebut. Dilansir Kementerian Luar Negeri RI, Indonesia merupakan negara yang ikut mempelopori penyelenggaraan High Level Meeting (HLM) on Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (PPPR) tahun 2023 di Markas Besar PBB New York.

    Dilansir Antara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia mendukung pembentukan perjanjian internasional baru tentang pandemi (Pandemic Treaty) yang saat ini sedang dinegosiasikan di bawah kerangka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).



    Retno Marsudi, yang juga Ketua Bersama COVAX AMC Engagement Group, mengatakan bahwa peran CORVAX adalah memastikan persebaran vaksin secara merata di seluruh dunia cukup berhasil dengan lebih dari 7 miliar dosis vaksin telah diberikan di seluruh dunia.

    Namun menurut Indonesia for Global Justice,  perjanjian pandemi ini tidak memberikan kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakan apa yang tertulis di dalam WHO CA+ on PPPR. Juga tidak memberikan solusi nyata pada persoalan kekayaan intelektual  terkait riset vaksin.

    Selain itu, perjanjian ini dianggap masih belum adil. Dalam editorial The Lancet berjudul “ The Pandemic Treaty: shameful and unjust ”, menyoroti Pasal 12 yang menetapkan bahwa WHO hanya memiliki akses terhadap 20% produk terkait pandemi untuk didistribusikan berdasarkan risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat. Sementara 80% sisanya tidak diatur dengan jelas, sehingga akan menimbulkan pergolakan, dan menguntungan penawar tertinggi. 

    Dengan demikian, pandemic treaty bukan bertujuan mendukung vaksin yang dapat membahayakan bagi kesehatan. Namun secara umum untuk merespon pandemi dan akses yang lebih adil bagi vaksin.

    Vaksin yang disebut memiliki efek samping menyebabkan pembekuan darah dan kematian adalah astrazeneca, setelah mereka mengakui dalam dokumen di Pengadilan Tinggi Inggris tentang temuan kasus itu, meski digolongkan jarang terjadi. Astrazeneca telah mengumumkan untuk menarik vaksinnya setelah lebih dari tiga miliar dosis didistribusikan.

    Kesimpulan



    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim Pandemic Treaty mendukung vaksin yang berisiko pada kesehatan adalah menyesatkan.

    Pandemic treaty atau WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) justru  bertujuan memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Serta upaya kolektif untuk keadilan akses dalam penyelesaian masalah kesehatan dan teknolog khsusnya vaksini untuk negara berkembang.

    Rujukan

  • (GFD-2024-19717) Sebagian Benar, Vaksin AstraZeneca Berkaitan dengan Sindrom Thrombosis

    Sumber:
    Tanggal publish: 10/05/2024

    Berita



    Sebuah akun di Facebook [ arsip ] mengunggah video dengan klaim bahwa vaksin AstraZeneca atau yang kini dikenal dengan vaksin Vaxzevria dapat memicu sindrom thrombosis. Di dalam narasi juga disebut bahwa Australia telah melarang vaksin untuk Covid-19 itu digunakan oleh warganya.

    Narasi yang beredar selengkapnya yakni: “Tahu nggak, baru terungkap, vaksin Covid AstraZeneca punya efek samping yang berbahaya loh. Siapa yang pas Covid kemarin dapet vaksinnya merek AstraZeneca? Bahkan vaksin ini sudah di-banned di Australia, soalnya ada efek samping yang berbahaya. Efek sampingnya disebut "syndrome thrombosis dengan trombositopenia" atau disingkat TTS. Nah, TTS ini apa sih? Jadi, "syndrome thrombosis dengan trombositopenia melibatkan pembekuan darah yang dikombinasikan dengan jumlah trombosit yang rendah. Dan parahnya, TTS ini bisa menyebabkan cacat jangka panjang bahkan sampai kematian……." ujar narator dalam video ini.



    Benarkah vaksin Covid-19 AstraZeneca memicu sindrom trombosis dan telah dilarang di Australia? Berikut pemeriksaan faktanya.

    Hasil Cek Fakta



    Menurut media Inggris, Telegraph, Perusahaan AstraZeneca sebenarnya telah mengakui untuk pertama kalinya dalam dokumen pengadilan bahwa vaksin Covid-nya dapat menyebabkan efek samping yang jarang terjadi yakni menyebabkan Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS), sindrom dimana seseorang dapat mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah yang rendah. Kasus itu bermula setelah raksasa farmasi tersebut digugat dalam gugatan class action atas klaim bahwa vaksinnya, yang dikembangkan bersama Universitas Oxford, menyebabkan kematian dan cedera serius dalam puluhan kasus. 

    Lima puluh satu kasus telah diajukan ke Pengadilan Tinggi Inggris, dengan korban dan keluarga yang berduka meminta ganti rugi yang diperkirakan bernilai hingga £100 juta. Kasus pertama diajukan tahun lalu oleh Jamie Scott, ayah dua anak, yang mengalami cedera otak permanen setelah mengalami pembekuan darah dan pendarahan di otak yang menghalanginya bekerja setelah menerima vaksin pada April 2021. 

    AstraZeneca, menurut media Inggris Independent, telah mengumumkan pihaknya memulai penarikan vaksin Covid-19 di seluruh dunia, beberapa bulan setelah raksasa farmasi itu mengakui bahwa obat tersebut dapat menyebabkan  cedera yang jarang terjadi namun mengancam jiwa. Badan Obat Eropa mengeluarkan pemberitahuan bahwa vaksin tersebut tidak lagi diizinkan untuk digunakan.

    Meski begitu, Beberapa penelitian yang dilakukan selama pandemi menemukan bahwa vaksin tersebut  60 hingga 80 persen  efektif dalam melindungi terhadap Covid. Menurut Dewan Organisasi Ilmu Kedokteran Internasional, efek samping yang “sangat jarang” dilaporkan terjadi pada kurang dari 1 dalam 10.000 kasus. Sementara Sindrom langka terjadi pada sekitar dua hingga tiga orang per 100.000 orang yang menerima vaksinasi vaksin Vaxzevria.

    “Di negara-negara dengan penularan SARS-CoV-2 yang sedang berlangsung, manfaat vaksinasi dalam melindungi Covid-19  jauh lebih besar daripada risikonya,” kata WHO.

    AstraZeneca di Australia

    Pemerintah Australia mengumumkan bahwa Vaksin AstraZeneca tidak lagi tersedia di Australia sejak 21 Maret 2023. Hal ini dikaitkan dengan efek samping yang jarang namun serius, trombosis dengan sindrom trombositopenia (TSS). Sejak saat itu tidak ada lagi kasus TTS terkait AstraZeneca yang dapat terjadi di Australia.

    Keputusan itu setelah pada tanggal 8 April 2021, Pemerintah Australia menerima saran dan rekomendasi dari Australian Technical Advisory Group on Immunization  (ATAGI) mengenai  vaksin Vaxzevria (AstraZeneca) dan sindrom yang disebut Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS).

    Pada 17 Juni 2021, ATAGI mengeluarkan pernyataan yang merekomendasikan alternatif pengganti AstraZeneca bagi mereka yang berusia di bawah 60 tahun.

    Menurut ABC Australia, Departemen Kesehatan Australia memperkirakan tingkat TSS dari Vaxzevria adalah sekitar dua dari setiap 100.000 orang di atas 60 tahun, dan sekitar dua hingga tiga dari 100.000 orang di bawah 60 tahun. Kasus-kasus dilaporkan terjadi pada semua umur, ada yang ringan dan ada yang fatal.

    Sekitar 13 juta dosis AstraZeneca diberikan di Australia, dengan 173 kasus TSS yang “mungkin” atau “dikonfirmasi” dilaporkan ke Therapeutic Goods Administration (TGA), kata juru bicara Departemen Kesehatan. TGA melaporkan 14 kematian terkait dengan vaksinasi Covid-19, delapan di antaranya terkait dengan kasus TSS, kata juru bicara tersebut. Tidak ada kematian baru yang teridentifikasi sejak tahun 2022.

    AstraZeneca di Inggris dan Indonesia

    Sekitar 50 juta dosis Oxford-AstraZeneca diberikan di Inggris pada musim gugur 2021. Namun, pemerintah sebagian besar telah menghentikan penggunaan vaksin tersebut dan di Inggris digantikan dengan vaksin Pfizer dan Moderna pada saat kampanye booster musim dingin dilakukan pada akhir tahun 2021.

    Sementara Badan POM RI telah mengeluarkan Penjelasan Publik Nomor Hm.01.1.2.05.24.35, tanggal 5 Mei 2024 Tentang Pemantauan Jangka Panjang Keamanan Vaksin Covid-19 Astrazeneca.

    Hasil kajian BPOM, Kementerian Kesehatan, dan KOMNAS PP KIPI terhadap surveilans aktif dan rutin terkait keamanan vaksin COVID-19 Astrazeneca menunjukkan bahwa manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan.

    Hingga April 2024, tidak terdapat laporan kejadian TTS di Indonesia yang berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kajian WHO juga menunjukkan bahwa kejadian TTS terkait  vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang/very rare, kurang dari 1 kasus dalam 10.000 kejadian.

    Dilansir BPOM,saat ini, vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak digunakan lagi dalam program vaksinasi/imunisasi di Indonesia. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dilansir Rumah Sakit Pusat Pertamina, mengatakan efek samping langka tersebut telah diketahui sejak lama, tapi sangat minimal dan langka.

    "Itu sudah lama teridentifikasi dan sudah dilakukan penelitian juga oleh AstraZeneca, ada memang dampak-dampaknya soal vaksin tersebut, tapi minimal sekali." katanya

    Menkes juga menegaskan penelitian tersebut telah berlangsung sejak lama dan saat ini hanya menunggu hasil untuk diambil tindakan. Namun, sampai saat ini, laporan dari Indonesia Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI) belum menunjukkan dampak tersebut.

    Kesimpulan



    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Astrazeneca memicu Sindrom Thrombosis adalah sebagian benar.

    AstraZeneca telah mengakui bahwa vaksin mereka dapat menyebabkan pembekuan darah, akan tetapi kasus tersebut jarang terjadi. Manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan. Indonesia, Australia, dan Inggris sudah tidak menggunakan lagi vaksin tersebut.

    Hingga April 2024, tidak terdapat laporan kejadian TTS di Indonesia yang berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kajian WHO juga menunjukkan bahwa kejadian TTS terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang atau very rare.

    Rujukan

  • (GFD-2024-19716) [SALAH] SPBU Pertamina Tidak Lagi Menjual Pertalite

    Sumber: Facebook.com
    Tanggal publish: 10/05/2024

    Berita

    KLO cinta sudah melekat…

    Melihat kecoa disangka coklat

    Selamat menikmati Kemenangan

    Selamat tinggal Pertalite, Selamat datang Pertamax Green…

    Selamat menikmati !

    Dan selamat menyaksikan!

    #Pingin rasanya ada yang nangis tersedu-sedu seperti dulu sa’at BBM naik Rp 500 😅😅😅

    Hasil Cek Fakta

    Artikel disadur dari Kompas.

    Muncul sebuah klaim di Facebook pada 5 Mei 2024 mengenai klaim yang mengatakan jika stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang dikelola oleh Pertamina telah menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.

    Penjelasan yang tertera pada narasi foto menjelaskan bahwa Pertalite yang sebelumnya ditawarkan dengan harga Rp. 10.000 per liter telah dihentikan penjualannya dan diganti dengan Pertamax Green 95 yang dipatok dengan harga Rp. 13.900 per liter.

    Melansir dari artikel Cek Fakta Kompas.com, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengkonfirmasi bahwa SPBU tersebut masih menjual Pertalite. SPBU tersebut juga merupakan salah satu outlet Pertamina yang menyediakan Pertamax Green 95, sebagai bagian dari usaha Pertamina dalam mendukung pengurangan emisi karbon di Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE). Irto menjelaskan bahwa meskipun Permintaan Pertamax Green 95 terus tumbuh, Pertamina masih tetap menyalurkan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.

    Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim mengenai SPBU Pertamina tidak lagi menjual pertalite adalah salah. Faktanya SPBU dalam foto tersebut masih menyediakan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.

    Kesimpulan

    Klaim mengenai SPBU Pertamina tidak lagi menjual pertalite adalah salah. Faktanya SPBU dalam foto tersebut masih menyediakan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.

    Rujukan

  • (GFD-2024-19715) [SALAH] PRABOWO DAN PDIP BERSATU TINGGALKAN JOKOWI

    Sumber: youtube.com
    Tanggal publish: 10/05/2024

    Berita

    J0K0WI TAMAT!!PRABOWO & PDIP BERSATU, SEPAKAT TINGGALKAN J0K0WI SENDIRIAN

    KABAR MENGGEMPARKAN
    TANDA2 JKW DIBUANG PDIP
    PRABOWO PILIH GABUNG PDIP DARIPADA JKW

    Hasil Cek Fakta

    Sebuah video bernarasikan Prabowo dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) bersatu dan sepakat untuk tinggalkan Jokowi beredar dari channel youtube bernama ONE NATION pada 7 Mei 2024.

    Setelah dilakukan penelusuran, thumbnail yang ditampilkan dalam video tersebut merupakan hasil manipulasi dari beberapa gambar yang digabung menjadi satu. Video yang ditampilkan hanya menyajikan beberapa cuplikan video berbeda yang tidak mendukung klaim narasi.

    Narator dalam video tersebut hanya membacakan artikel dari detik.com berjudul “Ide Prabowo Bentuk ‘Presidential Club’ Dijawab Demokrat dan PDIP” yang dimuat pada 4 Mei 2024.

    Artikel tersebut membahas tentang presiden terpilih Prabowo Subianto yang menginginkan adanya perkumpulan presiden terdahulu atau yang disebutnya ‘presidential club’ dan ide tersebut didukung oleh Partai Demokrat dan PDIP.

    Dengan demikian, narasi dengan klaim Prabowo dan PDIP bersatu dan sepakat untuk tinggalkan Jokowi tidak terbukti dan termasuk ke dalam konten yang dimanipulasi.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Pekik Jalu Utomo.
    Tidak ditemukan pemberitaan terkait Prabowo dan PDIP bersatu tinggalkan Jokowi. Selain thumbnail merupakan hasil manipulasi, video tersebut hanya berisi gabungan dari beberapa cuplikan video berbeda yang tidak berkaitan.

    Rujukan