• (GFD-2023-14463) Cek Fakta: Anies Baswedan Sebut Fenomena Orang Dalam (Ordal) Buat Meritokratik Tidak Berjalan, Ini Faktanya

    Sumber:
    Tanggal publish: 13/12/2023

    Berita

    Jakarta: Calon presiden (capres) nomor urut 1Anies Baswedandalam debat Pilpres mengatakan bahwa fenomena orang dalam (ordal) yang kerap terjadi di Indonesia saat ini buat meritokratik tidak berjalan.

    Hal itu disampaikannya dalam segmen keempatDebat Capresbertema 'pemerintahan, hukum, HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga' di Gedung KPU Pusat Jakarta, Selasa, 12 Desember 2023.

    “Fenomena ordal (orang dalam) ini menyebalkan,” kata Anies Baswedan. Anies mengatakan fenomena itu marak di mana-mana. Mulai dari ikut kesebelasan tim butuh ordal, menjadi guru harus ada ordal, masuk sekolah ada ordal, hingga konser ada ordal. “Ada ordal di mana-mana yang membuat meritokratik tidak berjalan,” lanjutnya.

    Hasil Cek Fakta

    Setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, pernyataan capres nomor urut 1 tentang fenomena orang dalam yang membuat meritokratik tidak berjalan adalah benar.

    Istilah meritokrasi menurut Young (1958) merupakan suatu sistem sosial di mana hasil seperti kekayaan, pekerjaan, dan kekuasaan diperoleh berdasarkan prestasi, yaitu kecerdasan dan usaha.

    Sementara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yaitu kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi.

    Oleh karena itu, fenomena orang dalam (ordal) jelas bertentangan dengan konsep dan sistem meritokrasi (merit system).

    Hasil penilaian merit system yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada tahun 2022 terhadap 460 instansi pemerintah tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 172 instansi pemerintah memperoleh predikat “Buruk”, 71 berpredikat “Kurang”, 157 instansi berpredikat “Baik”, dan 60 instansi termasuk dalam kategori “Sangat Baik”.

    Meskipun telah ada tren peningkatan, hasil tersebut menandakan bahwa pelaksanaan sistem merit di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

    Kesimpulan

    Pernyataan yang disebutkan oleh Anies Baswedan tentang Fenomena Orang Dalam (Ordal) Buat Meritokratik Tidak Berjalan adalah benar. Dimana penilaian ini diberikan saat berbagai sumber terpercaya menginformasi klaim/informasi yang valid.
  • (GFD-2023-14462) Cek Fakta: Anies Baswedan Sebut Indeks Demokrasi Indonesia Menurun

    Sumber:
    Tanggal publish: 13/12/2023

    Berita

    TIMESINDONESIA, JAKARTA – Debat Capres dan Cawapres Pemilu 2024 berlangsung Selasa (12/11/2023) malam, di kantor KPU RI, Jakarta. Saat menyampaikan visi misi dalam Debat Pilpres 2024, Anies Baswedan menyebutkan Indeks Indonesia menurun.

    Inilah pernyataan lengkap yang disampaikan Anies Baswedan:
    Kita menyaksikan bagaimana kebebasan berbicara menurun termasuk mengkritik partai politik dan angka demokrasi kita menurun, indeks demokrasi kita. Bahkan pasal-pasal yang memberikan kewenangan untuk digunakan secara karet kepada pengkritik, UU ITE, atau pasal 14, 15, UU No.1 tahun 1946 itu membuat semua kebebasan bicara menjadi terganggu.

    Hasil Cek Fakta

    Hasil penelusuran tim Cek Fakta TIMES Indonesia bersama koalisi Cek Fakta, menemukan bahwa pernyataan yang disampaikan Anies Baswedan tidak semuanya benar.

    Analisis dari Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar menyampaikan Indeks Demokrasi Indonesia pada Februari 2023 sama dengan pada tahun 2021 berada pada peringkat 54 dari 167 dengan skor 6,71. Data ini turun dari tahun sebelumnya 52 ke 54. Dio merujuk pada laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan 2021 Democracy Report yang menunjukkan pengurangan signifikan kebebasan sipil, pluralisme, dan fungsi pemerintahan.

    “Pada Februari 2023 berada pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demokrasi di tahun 2021," kata Dio.

    Hasil penelusuran tim Cek Fakta TIMES Indonesia melansir laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) menunjukkan, skor indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir.

    Padahal, skor indeks demokrasi Indonesia sempat mencapai puncaknya sebesar 7,03 pada 2015. Namun, skor tersebut harus turun menjadi 6,97 pada 2016. Skor indeks demokrasi tanah air pun kembali turun menjadi 6,39 pada 2017 dan 2018. Skor indeks demokrasi Indonesia sempat meningkat menjadi 6,48 pada 2019, namun anjlok lagi pada tahun lalu.

    Di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat empat di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Malaysia tercatat memiliki skor indeks demokrasi sebesar 7,19 pada tahun lalu, menjadi yang tertinggi di kawasan.

    Setelahnya ada Timor Leste dengan skor indeks demokrasi sebesar 7,06. Posisinya disusul oleh Filipina dengan skor indeks demokrasi mencapai 6,56.
    Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/15/indeks-demokrasi-indonesia-di-era-jokowi-cenderung-menurun

    Sementara itu, berdasarkan data dari V Dem, yang disampaikan SMRC, skala demokrasi Indonesia pada 2022 tercatat berada di angka 0,42. Dalam skala V-Dem, 0 menunjukkan praktik demokrasi sangat buruk, dan 1 menunjukkan praktik demokrasi sangat baik.

    Skala demokrasi Indonesia pada 2022 mundur dibanding dengan 2004 yang mencapai 0,53. Diukur sejak penerapan sistem pemilihan presiden secara langsung 2004. Bahkan skala demokrasi Indonesia menurut V-Dem pada periode awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mencapai 0,52. Hal itu memperlihatkan skor praktik demokrasi Indonesia jika dibandingkan dengan periode pertama dan kedua pemerintahan Presiden Jokowi mengalami penurunan 0,10.
    Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2023/05/26/11381821/skala-demokrasi-indonesia-menurun-dinilai-dampak-oposisi-melemah

    Kesimpulan

    Pernyataan Anies Baswedan tentang Indeks Demokrasi Indonesia menurun adalah tidak semuanya benar. Ini karena Indek Demokrasi Indonesia selama 2019- 2023 mengalami fluktuatif.

    Cek Fakta TIMES Indonesia mengimbau masyarakat untuk lebih selektif menerima informasi atau menyebarkan informasi yang benar.
  • (GFD-2023-14461) (CEK FAKTA Debat) Ganjar Klaim Perlu Tiga Langkah untuk Berantas Korupsi

    Sumber:
    Tanggal publish: 12/12/2023

    Berita

    KBR, Jakarta - Calon Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo berpendapat pemberantasan korupsi membutuhkan sejumlah langkah agar efektif. Di antaranya perlu ada pemiskinan koruptor, UU Perampasan Aset dan memenjara koruptor ke Nusakambangan.

    "Yang pertama, dari sisi pendekatan hukum, maka kalau mulai dari sini adalah pemiskinan. dan kedua perampasan aset, maka segera kita bereskan UU Perampasan Aset. Dan untuk pejabat dibawa ke Nusakambangan, agar memberi efek jera," kata Ganjar saat debat Presiden di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (12/12/23).

    Hasil Cek Fakta

    Dikutip dari situs Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Choky R Ramadhan, Ketua Harian/Executive Director Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) menyebut pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tidak berhasil jika menggunakan indikator pengembalian kerugian negara dan efek jera.

    Sementara itu, ahli hukum Todung Mulya Lubis berpendapat kerugian finansial dari kasus korupsi bukanlah sesuatu yang dapat (atau penting) dihitung. Akan tetapi, perhitungan biaya korupsi sangat mungkin dan telah banyak dilakukan. Uni Eropa menghitung biaya korupsi untuk berbisnis mencapai 120 miliar euro. Di Indonesia, studi Fakultas Ekonomi UGM telah menghitung kerugian negara yang diakibatkan korupsi sejak 2001 hingga 2015 sebesar Rp203,9 triliun.

    Berdasarkan catatan ICW, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010.

    Pada periode Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, RUU Perampasan Aset termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU.

    Pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, namun usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023.

    Analisis:

    Menurut Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar penegakan hukum korupsi tidak hanya sekadar menghukum pelaku ke penjara saja, tetapi perlu ada alternatif pemidanaan lainnya.

    "Gary Becker (1968) kemudian mengusulkan untuk mengutamakan hukuman denda karena dapat pula menanggung biaya sosial seperti biaya penegakan hukum, biaya penghukuman (penjara), dan biaya yang dialami korban. Menurut Choky Ramadhan (2017) Pembaruan UU Tipikor dengan menaikkan ancaman denda dimaksudkan agar pelaku jera dan menopang kebutuhan penegakan hukum korupsi menjadi suatu hal yang penting," kata Dio Ashar kepada Tim Cek Fakta, Selasa (12/12/2023).

    Selain itu menurut Dio, permasalahan penegakan hukum korupsi juga disebabkan beberapa kelemahan rumusan pasal UU Tipikor. Misalnya korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang merugikan keuangan negara diancam hukuman lebih rendah dibandingkan dilakukan oleh orang biasa.

    "Penyesuaian UU Tipikor juga dibutuhkan agar sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Selepas pengesahan pada 2006, terdapat kesenjangan antara UU Tipikor dan UNCAC. Penyempurnaan UU Tipikor dibutuhkan terutama agar dapat menghukum pembelian pengaruh (trading influence), penambahan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment), dan korupsi antarsektor swasta. Dengan demikian, penegakan hukum atas korupsi dapat dilakukan semakin menyeluruh," tambahnya.

    Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Asmin Fransiska menilai efek jera membutuhkan syarat lain seperti kepastian hukum (hukum yang tidak ambigu baik dalam teks maupun konteks). Penghukuman terutama dalam waktu panjang menurutnya justru tidak memiliki relevansi dengan efek jera.

    "Temuan dari National institute of Justice menyatakan bahwa penjara yang lama akan membuat individu memiliki kemampuan dalam strategi kriminalitas dari rekannya di dalam penjara. Pendekatan hukum pidana dan sistem peradiulan pidana kini berubah ke aras rehabilitasi, bukan retribusi (pembalasan) apalagi deterrence (kejeraan)," kata Asmin, kepada Tim Cek Fakta, Selasa (12/12/2023).
  • (GFD-2023-14460) CEK FAKTA: Anies Klaim Lemahnya Oposisi dan Indeks Kebebasan Berbicara

    Sumber:
    Tanggal publish: 12/12/2023

    Berita

    Bisnis.com, JAKARTA - Calon Presiden (Capres) nomor urut 1, Anies Baswedan mengatakan bahwa saat ini oposisi tidak bebas memberikan kritik kepada pemerintah, serta kebebasan berbicara menurun. Hal itu disampaikan Anies saat Debat Perdana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (12/12/2023). Anies bahkan menyinggung bahwa rivalnya yakni Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto yang dinilai tidak tahan untuk menjadi oposisi usai kalah dalam Pilpres 2019. "Pak Prabowo tidak tahan untuk menjadi oposisi. Apa yang terjadi? Beliau sendiri menyampaikan bahwa tidak berada dalam kekuasaan, membuat tidak bisa berbisnis dan tidak bisa berusaha. Karena itu harus berada dalam kekuasaan. Kekuasaan lebih dari soal bisnis, kekuasaan lebih dari soal uang. Kekuasaan adalah soal kehormatan untuk menjalankan kedaulatan rakyat," ujarnya kepada Prabowo.

    Hasil Cek Fakta

    Di sisi lain, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menyoroti bahwa terdapat penurunan indeks demokrasi dan kebebasan berbicara turun. Salah satu indikasinya, kata Anies, yakni adanya pasal karet Undang-undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Kita menyaksikan bagaimana kebebasan berbicara menurun termasuk mengkritik partai politik dan angka demokrasi kita menurun, indeks demokrasi kita. Bahkan pasal-pasal yang memberikan kewenangan untuk digunakan secara karet kepada pengkritik, UU ITE, atau pasal 14, 15, UU No.1 tahun 1946 itu membuat semua kebebasan bicara menjadi terganggu," ujarnya.

    Adapun, Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar menukil pernyataan Dosen Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Dr. Caroline Paskarina, M.Si., bahwa demokrasi Indonesia dihadapkan pada dua isu pembatasan kebebasan sipil dan pelemahan oposisi. Hal itu, terangnya, ditunjukkan dengan bergabungnya sejumlah partai oposisi ke dalam kabinet pemerintahan menyebabkan check and balances serta fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah semakin lemah. "Oleh karenanya, menjadi penting korelasi demokrasi dengan kebebasan oposisi untuk mengkritik pemerintah," ujarnya. Kondisi yang digambarkan Anies juga tergambarkan dalam laporan rutin The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan 2021 Democracy Report yang menunjukkan pengurangan signifikan kebebasan sipil, pluralisme, dan fungsi pemerintahan. "Pada Februari 2023 berada pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demorkasi di tahun 2021. Namun peringkat indonesia turun dari 52 ke 54," demikian bunyi laporan EIU soal skor indeks demokrasi Indonesia yang dirilis pada 2023.