• (GFD-2024-17531) Cek Fakta: Hoaks Bank Kalsel Buka Pendaftaran Gebyar Undian di Facebook

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita


    Liputan6.com, Jakarta - Beredar kembali postingan yang mengklaim pendaftaran gebyar undian dari Bank Kalsel. Postingan itu beredar sejak pekan lalu.
    Salah satu akun ada yang mengunggahnya di Facebook. Akun itu mempostingnya pada 27 Maret 2024.
    Berikut isi postingannya:
    "𝐊𝐡𝐮𝐬𝐮𝐬 𝐍𝐚𝐬𝐚𝐛𝐚𝐡 (𝐁𝐚𝐧𝐤-𝐊𝐚𝐥𝐬𝐞𝐥) 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐭𝐢𝐟 (𝐀𝐤𝐬𝐞𝐥-𝐌𝐨𝐛𝐢𝐥𝐞) 𝐚𝐲𝐨 𝐛𝐮𝐫𝐮𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐚𝐠𝐚𝐫 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐞𝐬𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 (𝐏𝐞𝐬𝐭𝐚-𝐇𝐚𝐝𝐢𝐚𝐡) (𝐁𝐏𝐃-𝐊𝐚𝐥𝐬𝐞𝐥)
    * 𝟐 𝐏𝐚𝐤𝐞𝐭 𝐔𝐦𝐫𝐨𝐡
    𝟏 𝐔𝐧𝐢𝐭 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
    𝟏𝟎 𝐌𝐨𝐛𝐢𝐥
    𝟏𝟓 𝐌𝐨𝐭𝐨𝐫
    𝟐𝟎 𝐄𝐦𝐚𝐬 𝐌𝐮𝐫𝐧𝐢
    𝟐𝟓 𝐋𝐞𝐦𝐚𝐫𝐢 𝐄𝐬
    𝟓𝟎 𝐒𝐦𝐚𝐫𝐭𝐩𝐡𝐨𝐧𝐞
    𝟏𝟎𝟎 𝐓𝐕
    𝟐𝟓 𝐒𝐞𝐩𝐞𝐝𝐚 𝐠𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠
    𝟓𝟎 𝐑𝐢𝐜𝐞 𝐜𝐨𝐨𝐤𝐞𝐫
    𝐈𝐧𝐟𝐨 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫𝐚𝐧 (𝐏𝐞𝐬𝐭𝐚-𝐇𝐚𝐝𝐢𝐚𝐡) 𝐬𝐢𝐥𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐥𝐢𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐧 (𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫-𝐒𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠) 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐚𝐦𝐢 𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚𝐡 𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐝𝐢 𝐮𝐧𝐝𝐢 𝐜𝐮𝐤𝐮𝐩 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐞𝐬𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐝𝐢𝐚𝐡 𝐧𝐲𝐚𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐠𝐞𝐫𝐚𝐭𝐢𝐬..."
    Lalu benarkah postingan yang mengklaim pendaftaran gebyar undian dari Bank Kalsel?

    Hasil Cek Fakta


    Cek Fakta Liputan6.com menelusuri dengan mengunjungi akun resmi Bank Kalsel di Instagram, @bankkalsel yang sudah bercentang biru atau terverifikasi. Di sana terdapat bantahan terkait postingan pendaftaran gebyar undian.
    "Waspada, modus penipuan undian berhadiah mengatasnamakan Bank Kalsel. Jangan pernah beritahukan PIN, Password, dan kode OTP Anda kepada siapapun, termasuk yang mengaku sebagai petugas Bank Kalsel," bunyi pernyataan Bank Kalsel pada unggahan stories 31 Maret 2024.
    "Akun resmi Instagram Bank Kalsel hanyalah @bankkalsel dan @bankkalselsyariah. Apabila ditemukan akun lain selain yang tertera di atas maka itu bukan merupakan akun resmi Bank Kalsel atau kami nyatakan palsu.
    Segala macam informasi terkait undian berhadiah serta promosi lainnya hanya akan disampaikan melalui akun resmi Bank Kalsel."

    Kesimpulan


    Postingan yang mengklaim pendaftaran gebyar undian dari Bank Kalsel adalah hoaks.

    Rujukan

  • (GFD-2024-17530) Keliru, Video Berisi Narasi ChatGPT Versi 1.0 Tahun 2006 Mampu Prediksi Pandemi Covid

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah video beredar di Facebook dan YouTube [ arsip ] berisi klaim bahwa aplikasi kecerdasan buatan berbasis teks generatif, ChatGPT yang diluncurkan sejak 2006, telah meramalkan akan terjadi pandemi Covid pada 2020. Konten itu disertai video yang memperlihatkan tampilan layar komputer dengan sistem Windows XP versi lawas. 

    Komputer itu menayangkan ChatGPT versi 1.0 Pengguna dalam video itu pun mencoba mengajukan beberapa pertanyaan pada kolom yang tersedia salah satunya tentang pandemi yang akan terjadi pada 2020.



    Namun, benarkah OpenAI dan ChatGPT telah ada pada tahun 2006 dan meramalkan akan ada pandemi Covid pada tahun 2022?

    Hasil Cek Fakta



    Tempo mencermati keterangan yang disertakan dalam unggahan di YouTube yang menjadi sumber video tersebut. Dalam keterangannya, dikatakan bahwa sesungguhnya video tersebut bersifat imajiner, alias tidak nyata.

    Berikut bagian awal keterangan yang disertakan dalam unggahan di YouTube:

    Dengan senang hati mempersembahkan perjalanan imajinatif terbaru kami, kali ini membayangkan dunia di mana versi beta ChatGPT 1.0 diluncurkan pada tahun 2006! Bayangkan saja kemungkinan jika ChatGPT sudah ada pada saat itu – hal ini akan sangat transformatif. Dan untuk menambahkan sentuhan lucu, kami memberikan ChatGPT kemampuan untuk memprediksi masa depan.

    Dalam halaman profil saluran bernama Faded Vault tersebut, dijelaskan video-video yang dibuat dan diunggah di sana, merupakan hasil ilusi visual alias bukan kenyataan. Karya-karya mereka bertema klasik agar penonton bisa bernostalgia dan terhibur.

    Berikut bagian awal keterangan profil saluran YouTube tersebut:

    Selamat datang di Faded Vault, tempat kami menghidupkan gema masa lalu melalui seni ilusi visual. Saluran kami adalah tempat perlindungan bagi mereka yang ingin menghidupkan kembali pesona masa lalu. Menggunakan camcorder Sony asli dari tahun 90an, setiap frame menangkap getaran otentik, merangkai permadani yang melampaui waktu.

    Dilansir NPR, OpenAI merupakan laboratorium penelitian non komersial yang dibangun Sam Altman, Elon Musk, dan beberapa orang lainnya, pada tahun 2015. Tidak seperti perusahaan raksasa teknologi, mereka lebih mengutamakan prinsip-prinsip yang dijunjung daripada keuntungan.

    Musk kemudian keluar dari dewan direksi tahun 2018, setelah mengatakan sumbangan darinya untuk laboratorium penelitian itu mencapai 50 juta USD. Di sisi lain, OpenAI merasa membutuhkan lebih banyak biaya dan perangkat komputer dengan spesifikasi lebih tinggi.

    Kemudian mereka membentuk cabang nirlaba yang secara umum disebut capped profit. Bagian ini bertugas mengatur pendanaan dari investor dan membatasi keuntungan investor agar sebagian penghasilan kembali ke perusahaan. 

    Terjadi perdebatan di internal perusahaan, antara pihak yang ingin OpenAI tetap menahan diri dari komersialisasi dan lebih menekankan melayani kemanusiaan, dengan pihak lain yang menginginkan pelepasan produk ke pasar untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. 

    Altman yang saat itu berusia 38 tahun mengambil jalan tengah membuat sebuah aplikasi yang awalnya pemakaiannya dibatasi pada grup kecil, dan terus diperluas sambil disempurnakan sebelum diluncurkan ke publik.

    Aplikasi tersebut adalah ChatGPT yang diluncurkan tahun 2022. Aplikasi bisa berinteraksi dengan pengguna melalui teks, yang telah dilatih memberikan respons yang tepat berdasarkan berbagai pengetahuan yang tersimpan di database.

    Aplikasi bisa digunakan masyarakat secara daring, gratis, dan tanpa batasan waktu maupun kuota. Juga disediakan versi berbayar secara berlangganan yang memberikan layanan lebih, misalnya fitur Advanced Data Analysis.

    Tempo mencoba bertanya pada ChatGPT, apakah dia bisa memprediksi kejadian tahun depan? ChatGPT menjawab dia tidak bisa memprediksi masa depan secara pasti, namun bisa memberikan wawasan berdasarkan tren data.

    Berikut jawaban ChatGPT selengkapnya:

    Sebagai sebuah aplikasi AI, saya tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan dengan pasti. Meskipun saya dapat memberikan wawasan berdasarkan pola, tren, dan data yang ada, masa depan pada dasarnya tidak pasti dan dipengaruhi oleh banyak variabel. Penting untuk melakukan pendekatan terhadap prediksi dengan hati-hati dan mengandalkan analisis serta perkiraan para ahli saat merencanakan masa depan. Jika Anda memiliki pertanyaan spesifik tentang tren atau potensi hasil, jangan ragu untuk bertanya, dan saya akan berusaha sebaik mungkin memberikan informasi berdasarkan pengetahuan dan data yang ada hingga pembaruan terakhir saya pada Januari 2022.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan ChatGPT 1.0 telah ada tahun 2006 dan bisa memprediksi adanya pandemi Covid pada 2022, adalah klaim keliru.

    Video yang beredar sesungguhnya telah diberi keterangan sebagai film fiksi yang menggambarkan kehidupan tahun 2006 dengan tampilan klasik, dengan tujuan hiburan. Sementara, OpenAI awalnya merupakan laboratorium penelitian yang dibuat tahun 2015, dan kemudian meluncurkan ChatGPT tahun 2022.

    Rujukan

  • (GFD-2024-17529) Belum Ada Bukti, Klaim bahwa Pandemic Treaty Ancam Keselamatan Rakyat

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah potongan video wawancara Dharma Pongrekun yang menyebut tentang Pandemic Treaty akan mengancam keselamatan rakyat dan jiwa keluarga. Video itu merupakan potongan dari siniar (podcast) Cerita Untungs diunggah di Facebook pada 25 Maret 2024 yang menghadirkan bakal Calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen tersebut.

    “Kita akan kehilangan semuanya. Catat ini. Dan undang-undang yang akan dipraktekan nanti, melanjutkan perjanjian WHO tersebut sudah siap,” kata Dharma sambil memperlihatkan dokumen ke kamera.

     

    Benarkah klaim bahwa Pandemic Treaty WHO yang akan disahkan pada Mei 2024 akan mengancam keselamatan rakyat?

    Hasil Cek Fakta



    Podcast yang menghadirkan Dharma Pongrekeun selengkapnya ditayangkan di podcast Cerita Untungs edisi 14 Februari 2024, berjudul Berani Bongkar!! Misi Dari Who Untuk Indonesia Part 3. 

    Pandemic treaty adalah istilah untuk menyebut tentang perjanjian untuk mengatasi masalah-masalah dalam penanganan pandemi seperti ketimpangan akses pada kebutuhan pandemi serta minimnya inisiatif kerja sama antar negara. Perjanjian atau instrumen tersebut diinisiasi pada World Health Assembly (WHA) November 2021 lalu yang disepakati oleh negara-negara anggota WHO. Instrumen tersebut akan disusun melalui perundingan formal melalui Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan diharapkan dapat selesai dan diadopsi pada tahun 2024.

    Siradj Okta (2021) dalam artikelnya di The Conversation berjudul “Indonesia dan Thailand perlu yakinkan negara ASEAN lain dukung perjanjian pandemi global”, mengatakan dampak pandemi Covid-19 yang meluas, tidak terbatas pada negara tertentu saja, dunia membutuhkan solidaritas global, strategi global, dan juga kehadiran suatu otoritas agar perjanjian pandemi internasional dapat dipatuhi setiap anggota.

    Pengalaman dari pandemi Covid-19, setiap negara merespons pandemi ini dengan cara yang berbeda-beda, sesuai kapasitas, pengetahuan, dana, dan kemauan politik pemimpinnya, walau ada panduan umum dari Organisasi Kesehatan Dunia.

    Tujuan awal dari Pandemic Treaty tersebut ini adalah membahas masalah bagaimana memastikan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi dan perusahaan swasta berperilaku adil, tidak menimbun jutaan dosis vaksin berlebih atau menolak untuk berbagi pengetahuan dan produk yang dapat menyelamatkan jiwa, dan bahwa terdapat mekanisme untuk melakukan hal tersebut. 

    Masalah lainnya adalah memastikan bahwa negara-negara bekerja sama dan bukan saling bertentangan. Isu-isu ini masih menjadi permasalahan utama dalam perundingan saat ini: akses dan pembagian manfaat (siapa mendapat apa, berapa banyak, dan kapan) serta tata kelola dan akuntabilitas (sejauh mana suatu negara diharuskan melakukan sesuatu).

    Namun kritik terhadap draft terakhir, menunjukkan tujuan dari perjanjian tersebut belum sepenuhnya terlihat, bahkan jauh dari kata adil. Editorial dari jurnal The Lancet berjudul “ The Pandemic Treaty: shameful and unjust ”, menyoroti Pasal 12 yang menetapkan bahwa WHO hanya memiliki akses terhadap 20% produk terkait pandemi untuk didistribusikan berdasarkan risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat. 

    Sementara 80% lainnya—baik vaksin, pengobatan, atau diagnostik—akan menjadi korban pergolakan internasional seperti yang terjadi pada COVID-19, yang menyebabkan teknologi kesehatan penting, dijual kepada penawar tertinggi. Sebagian besar masyarakat dunia tinggal di negara-negara yang mungkin tidak mampu membeli produk-produk ini, namun tampaknya hanya 20% saja yang bersedia disetujui oleh negara-negara berpendapatan tinggi.

    Sorotan lainnya adalah terkait peran pemantauan independen terhadap apakah negara-negara mematuhi komitmen mereka, sangat penting untuk efektivitas perjanjian ini. Namun semua indikasi menunjukkan bahwa mekanisme tata kelola dan akuntabilitas perjanjian tersebut semakin dirusak. Hanya ada sedikit kewajiban yang jelas untuk mencegah wabah penyakit zoonosis, menerapkan prinsip-prinsip One Health, memperkuat sistem kesehatan, atau melawan disinformasi.  

    Indonesia sendiri, seperti dikutip dari laman resmi Kemenlu RI, menyatakan dukungan atas Pandemic Treaty yang dinilai dapat memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Selain itu Pandemic Treaty juga dimaksudkan sebagai upaya kolektif untuk memastikan akses yang adil ke penyelesaian masalah kesehatan dan teknologi untuk negara berkembang.

    Dilansir Indonesia for Global Justice, terdapat beberapa pembahasan yang perlu menjadi perhatian masyarakat sipil:

    1. Akses ke teknologi: Produksi dan Distribusi Berkelanjutan dan transfer teknologi. Ketimpangan akses pada produk-produk pandemi harus diatasi dengan peningkatan produksi yang didistribusikan secara lebih adil. Mendorong mekanisme multilateral yang inovatif dan insentif transfer teknologi. Diatur juga di luar masa pandemi, pihak-pihak harus memperkuat koordinasi dan kolaborasi. Serta pada masa pandemi untuk mempercepat atau meningkatkan produksi dengan fleksibilitas TRIPS, mengesampingkan paten, dan penelitian dengan pendanaan publik agar dapat digunakan oleh publik.

    2. Peningkatan kapasitas Research and Development. Peningkatan kapasitas R&D difokuskan pada sharing of knowledge atau pertukaran pengetahuan yang lebih luas. Terutama ketika R&D disokong oleh pendanaan publik, maka hasil penelitian harus didiseminasikan secara luas serta persyaratan penetapan harga, pembagian data dan transfer teknologi, hingga publikasi kontrak.

    3. Pathogen Access and Benefit-Sharing. Mekanisme pembagian data dan informasi patogen harus disertai dengan mekanisme akses dan pembagian manfaat yang memadai. Sehingga dapat mendorong kesetaraan akses pada produk yang dibutuhkan dan dihasilkan dari mekanisme pembagian informasi dan data patogen.

    4. Strengthening and Sustaining a Skilled and Competent Health Workers. Diperlukannya pengakuan terhadap peran penting pekerja kesehatan dengan peralatan alat pelindung diri yang memadai. Tenaga kesehatan harus dilindungi dengan jaminan pekerjaan dan kondisi kerja yang layak terutama bagi tenaga kesehatan migran dari negara berkembang.

    5. Global Supply and Logistics Network

    6. Pembiayaan. Mekanisme pembiayaan didorong melalui Global Public Investment.

    Kesimpulan



    Hasil verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Pandemic Treaty berbahaya bagi rakyat adalah Belum Ada Bukti.

    WHO telah menetapkan batas waktu pada Mei 2024 untuk negosiasi Perjanjian Pandemi atau Pandemic Treaty. Perjanjian tersebut ditujukan untuk memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Meski begitu masih banyak kritik atas substansi terkait akses terhadap kebutuhan selama pandemi dan tanggung negara untuk mencegah pandemi berulang. Karena perjanjian ini belum dilaksanakan, belum ada bukti yang bisa dirujuk bahwa Pandemic Treaty membahayakan keselamatan rakyat Indonesia.

    Rujukan

  • (GFD-2024-17528) Keliru, Video yang Diklaim Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah video beredar di Facebook akun ini [ arsip ], ini, dan ini, serta di Twitter, dengan narasi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pilpres 2024 telah keluar. Selain itu, terdapat klaim bahwa hakim MK memutuskan mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dari perhelatan Pilpres 2024.

    Video itu memperlihatkan Ketua MK Suhartoyo sedang memimpin sidang sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Suara dalam video dikatakan sebagai bacaan keputusan MK, yakni pertama mengabulkan seluruh permohonan pemohon dengan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran serta membatalkan Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.

    Berikut narasi yang disertakan: *alhamdulilah. akhirnya paslon 02 prabowo-gibran didiskualifikasi dan ada pemilu ulang... makasih yaa allah... mahkamah konstitusi... mari saudaraku viralkan ke seantero negeri dan dunia. allahu akbar....!!!*



    Namun, benarkah video itu memperlihatkan hakim MK yang sedang membacakan putusan kasus sengketa Pilpres 2024? 

    Hasil Cek Fakta



    Tempo memverifikasi narasi itu dengan mencari sumber video, menggunakan mesin pencari Google. Ditemukan sejumlah informasi terverifikasi mengenai video yang beredar tersebut.

    Berikut hasil penelusurannya:

    Verifikasi Video



    Video yang beredar memperlihatkan Hakim MK Suhartoyo di ruang sidang serta teks berisi sejumlah poin. Video Suhartoyo dalam konten tersebut sama dengan siaran langsung saluran YouTube Mahkamah Konstitusi RI, tertanggal 27 Maret 2024.

    Sesungguhnya Suhartoyo dalam video itu tidak sedang membacakan putusan hakim. Video itu memperlihatkan tahap Penyampaian Permohonan Pemohon dari rangkaian proses sengketa hasil Pilpres 2024 di MK, bukan sidang pembacaan putusan.



    Sementara teks dan suara dalam video yang beredar, sama dengan unggahan saluran YouTube Metro TV, tertanggal 27 Maret 2024. Video itu memperlihatkan pembacaan tuntutan oleh Bambang Widjojanto terkait sengketa Pilpres 2024 di MK.

    Bambang adalah mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjadi bagian dari tim hukum pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam sengketa Pilpres 2024.

    Sembilan poin tuntutan yang dibacakan dalam video yang beredar itu sama dengan sembilan tuntutan tim hukum kubu Anies-Muhaimin dalam sengketa Pilpres 2024 di MK, yang diberitakan CNBC Indonesia.

    Sehingga bisa disimpulkan, suara dalam video yang beredar bukan dari Suhartoyo yang membacakan putusan, melainkan suara Bambang yang sedang membacakan sembilan poin tuntutan kubu Anies-Muhaimin.

    Jadwal Persidangan MK

    Tahapan proses sengketa Pilpres 2024 di MK dimulai dengan pengajuan permohonan dari pemohon yang bisa dilakukan pada tanggal 21 sampai 23 Maret 2024. Tahap berikutnya adalah pemeriksaan pendahuluan pada 27 Maret 2024.

    Persidangan pertama atas kasus sengketa Pilpres 2024 dilaksanakan 28 Maret 2024, lalu persidangan kedua pada tanggal 1 sampai 18 April 2024. Pengucapan putusan akan dilaksanakan tanggal 22 April 2024. Artinya, saat ini proses di MK belum sampai pada tahap pembacaan putusan hakim.

    Yang menjadi hakim dalam proses persidangan ini adalah Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, serta enam hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, M Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang mengatakan video yang beredar memperlihatkan Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan hakim MK atas sengketa Pilpres 2024, adalah klaim keliru.

    Video yang beredar sesungguhnya gabungan dari bagian-bagian video pembacaan tuntutan dalam sengketa Pilpres 2024 di MK. Video telah direkayasa sehingga seakan-akan memperlihatkan pembacaan putusan hakim, padahal bukan.

    Rujukan