(GFD-2025-28983) Cek Fakta: Tidak Benar Video Pembakaran Gedung Pemerintahan di Filipina Oleh Gen-Z
Sumber:Tanggal publish: 11/09/2025
Berita
Liputan6.com, Jakarta - Beredar di aplikasi percakapan pesan berantai video yang diklaim pembakaran gedung pemerintah di Filipina oleh Gen-Z. Video tersebut mulai beredar sejak awal pekan ini.
Dalam video berdurasi 22 detik tersebut tampak sejumlah aparat keamanan dengan peralatan lengkap berdiri di depan gedung yang terbakar. Video itu juga disertai dengan tulisan berbahasa asing.
Selain itu dalam video yang beredar terdapat narasi sebagai berikut:
"habiiisss luluh lantak merata semua gedung pemerintahan di Filipina oleh amuk massa gen-z"
Lalu benarkah pesan berantai video yang diklaim pembakaran gedung pemerintah di Filipina oleh Gen-Z?
Hasil Cek Fakta
Cek Fakta Liputan6.com menelusuri video tersebut dengan menggunakan Google Images. Hasilnya ada video yang identik dengan postingan.
Video itu diunggah akun situs berita, SuaraNTB.com di laman Facebooknya pada 30 Agustus 2025. Postingan video itu disertai narasi:
"Massa aksi melakukan demo di Gedung DPRD Provinsi NTB, Sabtu (30/8/2025) siang. Api terlihat melalap Gedung DPRD NTB di Jalan Udayana, Kota Mataram itu. Sejumlah bagian bangunan terlihat hangus terbakar."
Dalam websitenya, SuaraNTB juga memberitakan peristiwa itu dalam artikel berjudul "Api di Gedung DPRD NTB Kian Membesar, Atap Terlihat Hangus" yang diunggah pada 30 Agustus 2025.
Artikel itu menjelaskan Gedung DPRD NTB dibakar massa aksi demo dari aliansi mahasiswa dan masyarakat NTB, Sabtu (30/8/2025).
Selain itu kami juga menemukan video yang identik di Tiktok. Video itu diunggah akun bernama @dewilestari416 dengan narasi "NTB".
Kesimpulan
Pesan berantai video yang diklaim pembakaran gedung pemerintah di Filipina oleh Gen-Z adalah tidak benar. Faktanya video itu terjadi di gedung DPRD NTB pada 30 Agustus 2025 lalu.
Rujukan
- https://www.facebook.com/watch/?v=4315307848756235
- https://www.tiktok.com/@dewilestari416/video/7544325914461506824?q=dprd%20ntb%20dibakar&t=1757562696602
- https://suarantb.com/2025/08/30/api-di-gedung-dprd-ntb-kian-membesar-atap-terlihat-hangus/
- https://www.youtube.com/watch?v=KJgV2Qeimx0
- https://www.youtube.com/watch?v=zs7Xx9Lomn0
(GFD-2025-28982) Cek Fakta: Tidak Benar Ini Website untuk Cek Status Penerima BSU Lewat Pospay
Sumber:Tanggal publish: 11/09/2025
Berita
Liputan6.com, Jakarta- Cek Fakta Liputan6.com mendapati klaim website untuk cek status penerima BSU lewat Pospay, informasi tersebut diunggah salah satu akun Facebook, pada 5 September 2025.
Klaim website untuk cek status penerima BSU lewat Pospay berupa tulisan sebagai berikut.
PROGRAM RESMI BANTUAN SUBSIDI UPAH 2025
"Untuk pekerja yang memenuhi kriteria tertentu.
Sebagai mitra distribusi,POSPAY menjamin proses verifikasi cepat,aman, dan terhubung langsung ke sistem resmi.
đ Langkah Claim:
Cek sekarang status penerima anda secara online melalui website kami Sebagai berikut âŹď¸"
Unggahan tersebut disertai dengan menu daftar sekarang, jika diklik muncul link berikut.
"https://daftarkandirimusekarang.biz.id/web/a/?fbclid=IwY2xjawMvGulleHRuA2FlbQIxMQBicmlkETFMa1pIZ1ZRbGExUng2THBDAR6oDXKXwV8P4DAYFTl_cdgwHbVKXmJUWGORp1Fy7hYxibOorHy_ZDTnIldIhg_aem_Blawl1gQE0rvskm38cixcw"
Link tersebut mengarah pada halaman website dengan tampilan formulir digital yang meminta sejumlah data pribadi seperti nama sesuai KTP dan nomor Telegram aktif.
Benarkah klaim website untuk cek status penerima BSU lewat Pospay? Simak penelusuran Cek Fakta Liputan6.com.
Â
Hasil Cek Fakta
Cek Fakta Liputan6.com menelusuri klaim website untuk cek status penerima BSU lewat Pospay, penelusuran mengarah pada artikel berjudul "Cek Fakta Liputan6.com mendapati klaim website untuk cek status penerima BSU lewat Pospay" yang dimuat situs Liputan6.com, pada 5 Juli 2025.
Artikel situs Liputan6.com menyebutkan  cara cek status penerima BSU lewat Pospay, berikut langkahnya.
Jika terdaftar, Anda akan melihat kode QR yang harus ditunjukkan di kantor pos saat pencairan. Jika tidak terdaftar, akan muncul notifikasi bahwa NIK Anda tidak terdaftar sebagai penerima BSU.
Kesimpulan
Hasil penelusuran Cek Fakta Liputan6.com,klaim website untuk cek status penerima BSU lewat Pospay tidak benar.
Untuk mengecek status penerima BSU lewat Pospay hanya bisa dilakukan menggunakan aplikasi Pospay.
(GFD-2025-28981) Sebagian Benar: Pernyataan Megawati Mengenai Proklamasi
Sumber:Tanggal publish: 11/09/2025
Berita
FOTO mantan presiden Megawati Soekarno Putri berbaju merah sambil mengacungkan dua jari beredar di X [arsip] dan ??Facebook. Foto yang diunggah pada 10 September 2025 itu diikuti keterangan tertulis, âMegawati: âKalau proklamasi tidak dibacakan oleh Sukarno, kalian masih jadi budak.âÂ
Namun, benarkah Megawati mengucapkan kalimat tersebut?
Namun, benarkah Megawati mengucapkan kalimat tersebut?
Hasil Cek Fakta
Tempo memverifikasi konten itu lewat pencarian gambar terbalik Google dan membandingkannya dengan sumber kredibel. Hasilnya, sebagian dari pernyataan Megawati mengenai proklamasi, tidak sesuai dengan konten yang beredar.
Pernyataan Megawati soal proklamasi disampaikan saat acara pembukaan pameran foto milik Guntur Soekarno Putra bertajuk Pameran Foto Gelegar Foto Nusantara 2025: Potret Sejarah dan Kehidupan. Pameran itu digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu, 7 Juni 2025.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu awalnya menyinggung TAP MPRS yang menurunkan Soekarno. Ia menilai sejarah dipotong, padahal Soekarno pernah memperjuangkan kemerdekaan dan menyatukan NKRI.
Sebelum menutup pidatonya, Megawati berkata, âIngat, kalau tidak ada yang berani berbicara namanya Proklamasi, nggak ada kalian ini. Masih jadi budak-budak.â Ucapan itu terekam dalam pidato yang diunggah akun YouTube Liputan6 edisi 7 Juni 2025 pada menit ke-22:45.
Sementara itu, foto Megawati berbaju merah mengacungkan dua jari pernah diunggah Kompas.com pada 19 Februari 2020. Foto dokumen PDIP itu diambil saat Megawati mengumumkan pasangan calon kepala daerah di kantor PDIP, Menteng, Jakarta. Kompas juga menayangkan video acara dan pidato Megawati di akun YouTube. Gerakan yang sama terlihat pada menit ke-1:15:41.
Pernyataan Megawati soal proklamasi disampaikan saat acara pembukaan pameran foto milik Guntur Soekarno Putra bertajuk Pameran Foto Gelegar Foto Nusantara 2025: Potret Sejarah dan Kehidupan. Pameran itu digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu, 7 Juni 2025.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu awalnya menyinggung TAP MPRS yang menurunkan Soekarno. Ia menilai sejarah dipotong, padahal Soekarno pernah memperjuangkan kemerdekaan dan menyatukan NKRI.
Sebelum menutup pidatonya, Megawati berkata, âIngat, kalau tidak ada yang berani berbicara namanya Proklamasi, nggak ada kalian ini. Masih jadi budak-budak.â Ucapan itu terekam dalam pidato yang diunggah akun YouTube Liputan6 edisi 7 Juni 2025 pada menit ke-22:45.
Sementara itu, foto Megawati berbaju merah mengacungkan dua jari pernah diunggah Kompas.com pada 19 Februari 2020. Foto dokumen PDIP itu diambil saat Megawati mengumumkan pasangan calon kepala daerah di kantor PDIP, Menteng, Jakarta. Kompas juga menayangkan video acara dan pidato Megawati di akun YouTube. Gerakan yang sama terlihat pada menit ke-1:15:41.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim ucapan Megawati ini adalah sebagian benar. Megawati memang membahas soal proklamasi dan perbudakan tapi ia tidak pernah menyebutkan nama Soekarno seperti narasi yang ditempelkan pada unggahan.
Rujukan
- https://x.com/Northernseaaa73/status/1965271848725447008?t=bUdwSKltR5gBBevfDGSiyg&s=08
- https://perma.cc/2QAS-3B7S
- https://www.facebook.com/photo?fbid=122228238422141201&set=a.122097671696141201
- https://www.youtube.com/watch?v=U4iZ-LV5XvM
- https://nasional.kompas.com/read/2020/02/19/20105801/kritik-megawati-atas-formula-e-dan-mengenang-soekarno
- https://www.youtube.com/watch?v=vT7REDtYJRk /cdn-cgi/l/email-protection#5b383e303d3a302f3a1b2f3e362b3475383475323f
(GFD-2025-28980) Keliru: Indonesia Jadi Target Revolusi Warna lewat Demonstrasi Agustus 2025
Sumber:Tanggal publish: 11/09/2025
Berita
SEBUAH utas di Threads [arsip] berisi narasi yang menyebutkan bahwa Indonesia menjadi target revolusi warna atau colour revolution. Dalam utasnya, pengunggah menuliskan, rentetan demonstrasi yang terjadi sejak 25 Agustus lalu memiliki pola yang sama dengan Pakta Warsawa, sebuah aliansi negara yang diinisiasi Uni Soviet (sebuah negara yang bubar tahun 1991) atau yang kini disebut Blok Timur. Aksi itu juga disebutkan mendapat dukungan dari NED, lembaga pendanaan pro demokrasi milik AS.
Berikut petikan akhir utasnya:
Saya hanya mengingatkan: Hati-Hati dengan Revolusi Warna yang sedang mengincar Indonesia. Pola yang sama dengan dua peristiwa silam di jajaran Pakta Warsawa tahun 2000-an yang kemudian dikenal dengan istilah Balkanisasi, serta isu Arab Spring yang memporak-porandakan beberapa negara di Jalur Sutra tahun 2010-an.
Namun, benarkah klaim tersebut?
Berikut petikan akhir utasnya:
Saya hanya mengingatkan: Hati-Hati dengan Revolusi Warna yang sedang mengincar Indonesia. Pola yang sama dengan dua peristiwa silam di jajaran Pakta Warsawa tahun 2000-an yang kemudian dikenal dengan istilah Balkanisasi, serta isu Arab Spring yang memporak-porandakan beberapa negara di Jalur Sutra tahun 2010-an.
Namun, benarkah klaim tersebut?
Hasil Cek Fakta
Tempo memverifikasi klaim itu dengan menelusuri sumber kredibel dan mewawancarai peneliti hubungan internasional. Hasilnya, poin-poin yang dituliskan dalam utas terbukti keliru.
Sejumlah poin dalam narasi yang beredar tidak sesuai catatan sejarah. Misalnya, Pakta Warsawa disebut disetujui tahun 2000-an. Padahal, perjanjian itu ditandatangani di Warsawa, Polandia, pada 14 Mei 1955 dan dibatalkan pada 31 Maret 1991.
Pakta Warsawa lahir dari aliansi Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur lewat Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama, dan Saling Membantu. Aliansi ini dibentuk untuk menandingi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didirikan Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat pada 1949. Pakta Warsawa bubar setelah krisis melanda dan kekuatan negara anggotanya merosot.
Utas tuntutan 17+8 diajukan tanpa dibahas dengan rakyat Indonesia. Faktanya, sejumlah tuntutan sudah dikonsultasikan lebih dulu ke banyak pihak. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menjelaskan melalui akun X pribadinya (@BivitriS) bahwa tuntutan 17+8 yang dibuat para pemengaruh telah mengutip banyak rumusan masalah lain dan berdiskusi dengan banyak pihak. âTermasuk saya, via tlp (kemudian komunikasi lebih intensif setelah itu),â cuitnya.
Laporan Tempo juga menuliskan, sejumlah tuntutan itu dikeluarkan oleh konsorsium Bijak Memantau yang sebagian anggotanya adalah pemengaruh yang resah setelah melihat serangkaian aksi demonstrasi yang tidak memiliki fokus tuntutan untuk pemerintah.
Dari serangkaian tuntutan, tak ada yang berisi niat menggulingkan rezim. Mereka menuntut TNI tidak campur tangan dalam urusan sipil, DPRD transparan dan membatalkan tunjangan berlebihan, pembentukan tim investigasi independen atas pelindasan Affan Kurniawan dengan rantis Brimob, serta sejumlah penugasan lain.
Poin yang mengaitkan penggunaan simbol warna tertentu, kemunculan sejumlah tokoh menonjol, hingga kericuhan di lapangan dalam rentetan demonstrasi Agustus lalu sebagai tanda revolusi warna juga dibantah oleh Peneliti Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Satria Unggul Wicaksana Prakasa.
Prakarsa menegaskan penggunaan warna dalam aksi di Indonesia tidak berkaitan dengan revolusi warna atau campur tangan asing. âTidak ada kaitan dengan color revolution di Mesir atau Arab Spring. Arab Spring terjadi karena gejolak masyarakat, juga didukung upaya militer melakukan kudeta di Mesir pada 2011,â kata Satria kepada Tempo, Rabu, 10 September 2025.
Menurut dia, sejumlah pakar di Indonesia juga menilai demonstrasi itu lahir dari kemarahan publik terhadap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dan tindakan represif aparat. Aksi tersebut menyebar lewat media sosial dengan algoritma biasa sehingga kelompok masyarakat lain yang merasakan keresahan serupa ikut turun ke jalan.Â
Ia juga menilai tudingan keterlibatan âantek asingâ dalam aksi lalu sebagai hoaks. âMenurut saya sangat jauh kalau aksi itu dikaitkan dengan gerakan asing. Ini murni luapan masyarakat yang jengah dengan kebijakan pemerintah. Harus dilihat dalam konteks nasional, bukan intervensi asing,â ujar Satria.
Keterangan Satria sejalan dengan laporan Tempo yang menemukan sejumlah personel TNI diduga memicu kericuhan di beberapa daerah. Diduga tindakan itu dilakukan individu, bukan kebijakan institusi TNI.
Sejumlah poin dalam narasi yang beredar tidak sesuai catatan sejarah. Misalnya, Pakta Warsawa disebut disetujui tahun 2000-an. Padahal, perjanjian itu ditandatangani di Warsawa, Polandia, pada 14 Mei 1955 dan dibatalkan pada 31 Maret 1991.
Pakta Warsawa lahir dari aliansi Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur lewat Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama, dan Saling Membantu. Aliansi ini dibentuk untuk menandingi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didirikan Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat pada 1949. Pakta Warsawa bubar setelah krisis melanda dan kekuatan negara anggotanya merosot.
Utas tuntutan 17+8 diajukan tanpa dibahas dengan rakyat Indonesia. Faktanya, sejumlah tuntutan sudah dikonsultasikan lebih dulu ke banyak pihak. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menjelaskan melalui akun X pribadinya (@BivitriS) bahwa tuntutan 17+8 yang dibuat para pemengaruh telah mengutip banyak rumusan masalah lain dan berdiskusi dengan banyak pihak. âTermasuk saya, via tlp (kemudian komunikasi lebih intensif setelah itu),â cuitnya.
Laporan Tempo juga menuliskan, sejumlah tuntutan itu dikeluarkan oleh konsorsium Bijak Memantau yang sebagian anggotanya adalah pemengaruh yang resah setelah melihat serangkaian aksi demonstrasi yang tidak memiliki fokus tuntutan untuk pemerintah.
Dari serangkaian tuntutan, tak ada yang berisi niat menggulingkan rezim. Mereka menuntut TNI tidak campur tangan dalam urusan sipil, DPRD transparan dan membatalkan tunjangan berlebihan, pembentukan tim investigasi independen atas pelindasan Affan Kurniawan dengan rantis Brimob, serta sejumlah penugasan lain.
Poin yang mengaitkan penggunaan simbol warna tertentu, kemunculan sejumlah tokoh menonjol, hingga kericuhan di lapangan dalam rentetan demonstrasi Agustus lalu sebagai tanda revolusi warna juga dibantah oleh Peneliti Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Satria Unggul Wicaksana Prakasa.
Prakarsa menegaskan penggunaan warna dalam aksi di Indonesia tidak berkaitan dengan revolusi warna atau campur tangan asing. âTidak ada kaitan dengan color revolution di Mesir atau Arab Spring. Arab Spring terjadi karena gejolak masyarakat, juga didukung upaya militer melakukan kudeta di Mesir pada 2011,â kata Satria kepada Tempo, Rabu, 10 September 2025.
Menurut dia, sejumlah pakar di Indonesia juga menilai demonstrasi itu lahir dari kemarahan publik terhadap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dan tindakan represif aparat. Aksi tersebut menyebar lewat media sosial dengan algoritma biasa sehingga kelompok masyarakat lain yang merasakan keresahan serupa ikut turun ke jalan.Â
Ia juga menilai tudingan keterlibatan âantek asingâ dalam aksi lalu sebagai hoaks. âMenurut saya sangat jauh kalau aksi itu dikaitkan dengan gerakan asing. Ini murni luapan masyarakat yang jengah dengan kebijakan pemerintah. Harus dilihat dalam konteks nasional, bukan intervensi asing,â ujar Satria.
Keterangan Satria sejalan dengan laporan Tempo yang menemukan sejumlah personel TNI diduga memicu kericuhan di beberapa daerah. Diduga tindakan itu dilakukan individu, bukan kebijakan institusi TNI.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan demonstrasi di berbagai daerah yang terjadi akhir Agustus 2025 termasuk revolusi warna yang didukung NED AS adalah klaim keliru.
Rujukan
Halaman: 10/6611