Disadur dari artikel Periksa Fakta tempo.co
Dosen Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Alergi-Imunologi Klinik Universitas Airlangga, dr Ari Baskoro, SpPD, K-AI, FINASIM, menjelaskan bahwa vaksin Covid-19, seperti vaksin lainnya, dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), mulai dari ringan hingga berat, meski kejadiannya sangat jarang.
Salah satu KIPI berat adalah pembekuan darah atau vaccine-induced immune thrombotic thrombocytopenia (VITT), namun kasus ini sangat langka dan umumnya tidak ditemukan pada vaksin berbasis mRNA seperti Pfizer dan Moderna. Secara global, insiden pembekuan darah akibat vaksin Covid-19 hanya sekitar dua hingga 15 kasus per satu juta vaksinasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan CDC menegaskan bahwa manfaat vaksin jauh lebih besar dibanding risikonya. Karena itu, masyarakat yang telah divaksin, termasuk penerima AstraZeneca atau Johnson & Johnson, tidak perlu menjalani tes D-dimer secara rutin, sebab risiko penggumpalan darah hanya muncul dalam rentang 4–42 hari pasca-vaksinasi.
Terkait klaim bahwa jurnal Lancet mempublikasikan penelitian tentang 74 persen kematian mendadak akibat vaksin Covid-19, Ari menegaskan informasi tersebut tidak benar. Lancet justru menerbitkan berbagai studi yang menunjukkan efektivitas vaksin dalam mencegah dampak buruk Covid-19. Memang sempat beredar artikel preprint yang mengklaim hal tersebut, namun Lancet menariknya dalam waktu 24 jam karena metodologi penelitian tidak memadai dan belum melalui proses peer-review. Lancet menegaskan bahwa temuan dalam artikel preprint tidak boleh dijadikan dasar pengambilan keputusan klinis maupun kebijakan kesehatan.
Faktanya, tes D-dimer tidak perlu dijalani, apalagi secara rutin oleh seseorang yang pernah divaksinasi Covid-19 karena risiko penggumpalan darah, jika ada, hanya terjadi dalam rentang 4 hingga 42 hari pasca-vaksinasi. Dengan demikian, unggahan berisi klaim “penerima vaksin Covid-19 wajib menjalani tes penyumbatan darah D-dimer” adalah konten yang menyesatkan (misleading content).