• (GFD-2024-20677) [PENIPUAN] Tautan DANA Kaget yang Diklaim Dapat Memberikan Uang

    Sumber: Facebook.com
    Tanggal publish: 24/06/2024

    Berita

    Aku sebar DANA Kaget nih! Yuk, sikat segera sebelum melayang 💸💸💸

    saldodanakaget.linkdana-id.biz.id

    Klik aja link nya

    Hasil Cek Fakta

    Ditemukan sebuah unggahan di Threads berisi konten mengenai dana kaget. Akun tersebut menuliskan keterangan ‘Aku sebar DANA Kaget nih! Yuk, sikat segera sebelum melayang’. Si pembuat konten juga mengimbau untuk mengklik tautan atau link yang disertakan pada unggahannya, yakni saldodanakaget.linkdana-id.biz.id, yang kemudian terlihat tulisan ‘Dana Kaget buatmu’.

    Namun link tersebut tidak bisa memberikan uang, seperti yang diklaim pembuat konten yaitu dana kaget buatmu. Perusahaan layanan keuangan digital, DANA, justru menyatakan dana kaget adalah modus penipuan. Di situs resmi DANA Indonesia dijelaskan bahwa link Dana kaget adalah palsu. Tidak hanya itu, mereka juga menjelaskan perbedaan link yang benar-benar asli dikeluarkan perusahaan dengan yang palsu.

    Perusahaan ini juga menyebutkan beberapa modus penipuan yang mengatasnamakan DANA, di antaranya modus oknum yang mengatasnamakan DANA, modus sosmed DANA palsu, modus link DANA Kaget palsu, modus kartu fisik DANA palsu, dan modus link Palsu untuk memulihkan akun yang dibekukan.

    Berdasarkan penemuan diatas dapat disimpulkan bahwa narasi terkait link DANA Kaget memberikan uang adalah salah. Perusahaan layanan keuangan digital DANA justru menyatakan, bahwa DANA kaget adalah modus penipuan.

    Kesimpulan

    Narasi terkait link DANA Kaget memberikan uang adalah salah. Perusahaan layanan keuangan digital DANA justru menyatakan, bahwa DANA kaget adalah modus penipuan.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20676) Hoaks! Prabowo gagal dilantik dan Gibran jadi Presiden Indonesia

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/06/2024

    Berita

    Jakarta (ANTARA/JACX) – Sebuah unggahan video di YouTube berdurasi 10 menit menarasikan Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto gagal dilantik sehingga digantikan langsung oleh wakilnya yakni Gibran Rakabuming Raka pada 20 Juni 2024.

    Berikut narasi dalam unggahan tersebut:

    “TEPAT MALAM INI PRABOWO GAGAL DILANTIK, GIBRAN AKAN AMBIL ALIH KURSI PRESIDEN DARI PRABOWO”

    Namun, benarkah Prabowo gagal dilantik sehingga Gibran ambil alih jadi Presiden Indonesia?

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan penelusuran, dalam video tersebut tidak ada narasi Prabowo gagal dilantik, namun mengkritik buku berjudul “Gibran The Next Presiden” yang dikabarkan akan diterbitkan.

    Narator juga hanya membacakan artikel Geloranews berjudul “Gibran Seolah Melangkahi Prabowo Sebagai Presiden Terpilih” yang menarasikan Pegiat media sosial Jhon Sitorus merasa Wakil Presiden (Wapres) terpilih Gibran Rakabuming Raka seolah melangkahi Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

    Pasalnya buku 'Gibran The Next Presiden' sudah muncul penampakannya di media sosial (medsos) bahkan direncanakan diluncurkan dalam waktu dekat, padahal Prabowo Subianto saja belum dilantik.

    Sebagai informasi, pelantikan atau pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden 2024 dilakukan pada 20 Oktober 2024. Hingga saat ini, belum ada informasi resmi mengenai Prabowo gagal dilantik.

    Klaim: Prabowo gagal dilantik, Gibran jadi Presiden Indonesia

    Rating: Hoaks

    Pewarta: Tim JACX

    Editor: Indriani

    Copyright Š ANTARA 2024

    Rujukan

  • (GFD-2024-20675) Benar, Klaim Ahok soal Penghasilan Minimal untuk Hidup di Jakarta Rp5 Juta

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/06/2024

    Berita



    Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, melontarkan pernyataan bahwa penghasilan minimal warga yang hidup di DKI Jakarta Rp5 juta per bulan. Angka itupun untuk hidup pas-pasan. Menurutnya, penghasilan ideal warga yang hidup di DKI Jakarta dan lebih baik jika di atas Rp5 juta.

    "Ideal tinggal di Jakarta itu seharusnya Rp5 juta sampai Rp10 juta, Rp15 juta lebih bagus," ujarnya dalam tayangan YouTube pribadinya, Senin, 13 Mei 2024, dikutip dari CNN Indonesia.

    Benarkah klaim Ahok mengenai penghasilan minimal dan ideal tinggal di Jakarta itu?

    Hasil Cek Fakta



    Affiliate Sustainable Growth Lab, Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi mengatakan bahwa pernyataan Ahok seputar pendapatan minimum Rp5 juta untuk tinggal di Jakarta sudah tepat. Hal ini mengacu pada besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta pada 2024 yang sebesar Rp5,06 juta. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan mengatur penetapan UMP berdasarkan faktor-faktor mulai dari pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, hingga konsumsi rumah tangga di suatu provinsi.

    Michael juga merujuk data peningkatan standar hidup di Jakarta sejak 2018 sampai 2022. “Meskipun kenaikannya tidak banyak karena pengaruh normal inflasi,” kata dia.

    Hanya saja, pernyataan Ahok lainnya yang menyebutkan biaya hidup ideal sekitar Rp15 juta per bulan, perlu disoroti. Kisaran biaya sebesar itu sebenarnya menunjukkan standar hidup di atas rata-rata. Dilansir Kompas.id, kelompok kelas atas Indonesia memiliki pengeluaran sekitar Rp12,3 juta per bulan. Sementara pengeluaran kelas menengah berkisar Rp2,7 juta per bulan. 

    “Angkanya (Rp15 juta per bulan yang disebutkan Ahok) dekat dengan pendapatan rata-rata kelompok kelas atas di Indonesia,” ujarnya.

    Untuk itu, Michael menggarisbawahi bahwa biaya hidup yang layak perlu dihitung secara komprehensif, tidak bisa hanya memakai satu ukuran yang tunggal. Ukuran seperti “ideal”, “cukup”, ataupun “pas-pasan” juga perlu kita pertanyakan karena sangat bergantung pada latar belakang sosial-ekonomi seseorang yang melontarkannya.

    “Diperlukan data yang lebih komprehensif untuk menilai pengeluaran dan pendapatan yang ada. Selain itu, indikator ideal juga masih dipertanyakan karena tergantung gaya hidup masing-masing orang,” tutur Michael.

    Kesimpulan



    Pernyataan Ahok soal penghasilan minimal warga yang hidup di DKI Jakarta Rp5 juta per bulan, adalah benar. Hal ini mengacu pada besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta pada 2024 yang sebesar Rp5,06 juta.

    Namun, pernyataan Ahok lainnya yang menyebutkan biaya hidup ideal sekitar Rp15 juta per bulan, perlu disoroti. Kisaran biaya sebesar itu sebenarnya menunjukkan standar hidup di atas rata-rata.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

    Rujukan

  • (GFD-2024-20674) Keliru, Klaim Prabowo Soal Biaya Kuliah Terjangkau oleh Semua Rakyat Kecil saat Orde Baru

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/06/2024

    Berita



    Menteri Pertahanan RI sekaligus presiden terpilih Pemilu 2024, Prabowo Subianto, menyebutkan bahwa sebelum tahun 1998 atau di era Orde Baru, universitas negeri sangat terjangkau oleh rakyat kecil. Pernyataannya ini untuk menanggapi biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) tinggi yang menjadi perbincangan beberapa waktu belakangan.

    "Kan dulu begitu. Terus terang saja banyak orang yang selalu mencari-cari, menjelek-jelekkan masa lalu, orde ini, orde itu. Tapi kalau kita lihat sebelum 1998, universitas negeri semua sangat terjangkau oleh rakyat kecil. Anaknya petani bisa jadi insinyur, bisa jadi dokter. Setelah itu terjadi suatu fenomena liberalisasi, semuanya gandrung dengan paham-paham neoliberal, kapitalisme yang menurut saya tak terkendali," kata Prabowo saat sesi tanya jawab dengan Kepala Koresponden Internasional Bloomberg wilayah Asia Tenggara, Haslinda Amin, dalam Forum Ekonomi Qatar di Doha, Kamis, 23 Mei 2024.

    Benarkah klaim Prabowo Subianto soal biaya kuliah sebelum tahun 1998 atau Orba terjangkau?

    Hasil Cek Fakta



    Kandidat doktor di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Muhammad Naufal Waliyuddin menegaskan bahwa pernyataan tersebut cacat logika (logical fallacy), terutama soal Orde Baru (Orba).

    Argumen Prabowo mengenai pencapaian Orba yang membuat universitas negeri terjangkau dan anak petani bisa jadi insinyur adalah contoh logical fallacy bernama hasty generalisation. Ini adalah salah satu jenis sesat pikir yang mengambil kesimpulan secara sembrono dengan basis data yang tidak cukup. Sebab, Prabowo tidak menyebutkan rujukan data berapa jumlah anak petani yang di zaman itu yang bisa jadi insinyur dan berapa yang justru gagal masuk kampus.

    Faktanya, kenaikan biaya pendidikan tinggi memang tidak seimbang dengan peningkatan gaji masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 1995–2022 tentang data upah lulusan SMA dan universitas serta data biaya studi dari 30 PTN dan PTS selama 2013-2022 menunjukkan temuan menarik. Biaya studi diperkirakan rata-rata akan naik 6,03% per tahun. Spesifiknya, untuk PTN peningkatannya sekitar 1,3% per tahun dan untuk PTS mencapai 6,96%. Sedangkan kenaikan gaji orang tua lulusan SMA hanya sebesar 3,8% per tahun. Disusul kenaikan upah orang tua lulusan universitas yang per tahun hanya 2,7%.

    Dengan kata lain, pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi semakin ke sini memang semakin mahal dan membebani masyarakat. Akan tetapi, ada tren positif di dalam data tersebut, partisipasi masyarakat ekonomi rendah terhadap pendidikan tinggi meningkat dari 6,82% (2016) menjadi 15,96% (2021).

    Peneliti kajian kepemudaan dan keagamaan itu menambahkan bahwa faktor inflasi tidak bisa diabaikan. Salah satu cara untuk melihat perbandingan ialah menggunakan kalkulator inflasi dengan menghitung biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di era 1980-an dengan nilai rata-rata UKT masa kini.

    Pada kurun 1980an, contohnya, rentang SPP berkisar dari Rp120.000 per tahun kemudian menjadi Rp400.000 per tahun selama periode 1990an.

    Ketika dihitung berdasarkan inflasi tahunan, angka SPP pertama tersebut setara dengan Rp2,7 juta, dan yang kedua senilai Rp5,5 juta. Angka ini masih jauh dari biaya kuliah per tahun yang secara rata-rata nasional sebesar Rp14,7 juta. Ini menandakan bahwa pendidikan tinggi memang semakin mahal. 

    Maka dari itu, Naufal mengingatkan bahwa kondisi ini berisiko menutup peluang bagi masyarakat kelas ekonomi rendah untuk menjangkau pendidikan tinggi jika nilai UKT tidak disiasati secara serius.

    Sementara itu, data alokasi rata-rata subsidi pendidikan di era Orba tidak sampai 10% dari APBN. Sedangkan pasca-Reformasi, terutama sejak 2009, subsidi terbesar untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan itu termasuk tertinggi di Asia Tenggara.

    Di era Orba terdapat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang mematikan aktivisme gerakan mahasiswa era tersebut. Kebijakan ini menjinakkan sekaligus mendepolitisasi anak muda secara sosial politik sehingga universitas menjadi semakin birokratis dan hierarkis, alih-alih kritis terhadap situasi negara dan pemerintahan.

    Ini menunjukkan corak utama Orba, yakni politik Orwellian. Politik Orwellian merupakan gambaran negara melakukan pemantauan secara menyeluruh (surveillance), sarat watak otoritarianisme, represif militeristik, dan suara kritis dibungkam secara sistemik. Akibatnya, masyarakat menjadi massa mengambang, sebuah istilah untuk menyebut masyarakat yang semakin tumpul, lemah, dan tidak punya daya tawar di hadapan pemerintah.

    Justru Orba, kata Naufal, yang membuka keran liberalisasi dan kapitalisme sejak awal berkuasa, terutama melalui UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang berujung peristiwa Malari 1974—yang efeknya terasa hingga sekarang.

    Serangkaian problem ini mementahkan klaim Prabowo mengenai orde pra-1998 yang dianggapnya lebih baik ketimbang masa sekarang. Bagaimanapun, dengan segala keterbatasan yang ada, saat ini Indonesia masih berada dalam iklim demokrasi, bukan atmosfer sosial yang represif dan otoriter ala Orba.

    Kesimpulan



    Pernyataan Prabowo bahwa universitas negeri sangat terjangkau oleh rakyat kecil saat sebelum tahun 1998 atau era Orde Baru adalah keliru.

    Kenaikan biaya pendidikan tinggi memang tidak seimbang dengan peningkatan gaji masyarakat. Pertumbuhan biaya studi perguruan tinggi semakin semakin mahal dan membebani masyarakat.

    Selain itu, data alokasi rata-rata subsidi pendidikan di era Orba tidak sampai 10% dari APBN. Sedangkan pasca-Reformasi, terutama sejak 2009, subsidi terbesar untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan itu termasuk tertinggi di Asia Tenggara.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Pan

    Rujukan