• (GFD-2024-20801) Belum Ada Bukti, Klaim Tapera Jadi Solusi Atasi Backlog Perumahan

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita



    Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR), Herry Trisaputra Zuna, mengklaim bahwa iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog. Backlog perumahan (angka ketimpangan pemilikan rumah) masih menjadi tantangan klasik, karena angkanya tak kunjung menurun. 

    Ia mengatakan bahwa penyebab terbesarnya adalah kecilnya porsi anggaran pemerintah untuk sektor perumahan. Maka, Tapera bisa mengatasi masalah backlog itu.

    “Bahkan BP Tapera punya tenor 35 tahun. Bisa ngga menyelesaikan backlog? Justru dengan makin banyaknya peserta Tapera makin besar kemungkinan kita untuk menyelesaikan backlog,” ujarnya, sebagaimana dilansir Bisnis.com.

    Benarkah iuran Tapera dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog perumahan?

    Hasil Cek Fakta



    Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai klaim pemerintah soal Tapera bisa atasi backlog kepemilikan rumah tidak bisa diverifikasi. “Pasalnya, belum tentu Tapera akan efektif mengatasi masalah tersebut dengan masih besarnya angka ketimpangan pemilikan rumah,” ujarnya.

    Meski begitu, terlihat tren penurunan secara umum dalam backlog perumahan selama periode 2010 hingga 2023. Pada tahun 2010, backlog tercatat sebesar 13,5 juta unit, dan meskipun ada fluktuasi kecil, tren keseluruhan menunjukkan penurunan yang berkelanjutan. Pada 2023, backlog mencapai titik terendah, yaitu 9,9 juta unit.

    Walau terjadi penurunan, angka backlog masih cukup besar. Salah satunya karena kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat.

    Nailul merujuk data rata-rata kenaikan gaji masyarakat di tahun 2023 adalah 1,8%. Sedangkan dalam laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96%. Bahkan untuk kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11% dan menengah 2,44%. “Artinya, kesempatan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah untuk bisa memiliki rumah semakin kecil,” ungkapnya.

    Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 11% masyarakat dengan pendapatan 20% terbawah mendapatkan rumah dari warisan ataupun hibah. Angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. Masyarakat miskin memiliki ketergantungan akan hibah atau warisan rumah untuk memiliki hunian, itupun masuk kategori rumah kurang atau tidak layak.

    Lagipula, telah terjadi perubahan preferensi tempat tinggal oleh kaum muda (Gen Milenial dan Gen Z), terutama yang hidup di perkotaan. Mereka cenderung memilih hunian dekat tempat kerja, seperti menyewa kost atau unit apartemen. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menurunkan angka permintaan rumah.

    Nailul merekomendasikan, pemerintah sebaiknya lebih dulu memecahkan masalah spekulasi lahan yang membuat harga rumah tidak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah. “Jika tidak mampu menyediakan rumah yang terjangkau, bukan berarti pemerintah bisa memaksa masyarakat menabung untuk rumah,” tegasnya.

    Kesimpulan



    Pernyataan Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR), Herry Trisaputra Zuna bahwa iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog adalah belum ada bukti.

    Besarnya angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog salah satunya karena kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat. Pemerintah sebaiknya lebih dulu memecahkan masalah spekulasi lahan yang membuat harga rumah tidak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Inde

    Rujukan

  • (GFD-2024-20800) Keliru, Klaim Moeldoko soal Masyarakat Tolak Tapera karena Kurang Sosialisasi

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita



    Keputusan pemerintah soal pemungutan pajak untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menimbulkan penolakan besar di tengah masyarakat. Penolakan mencuat setelah Presiden Joko Widodo menetapkan (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat pada 20 Mei 2024. 

    Namun, Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Moeldoko meyakini bahwa penolakan terjadi karena adanya miskomunikasi atau keliru pemahaman di masyarakat.

    “Karena memang belum dijalankan dan disosialisasikan secara masif, sehingga ada missed pemahaman,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Staf Presiden, Jakarta, pada 31 Mei 2024, sebagaimana dilaporkan Kompas.com.

    Benarkah pernyataan Moeldoko itu?

    Hasil Cek Fakta



    Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai pernyataan Moeldoko salah besar. Ia memperingatkan bahwa sejak awal, kebijakan Tapera sudah menimbulkan masalah karena kurangnya melibatkan publik dalam proses penyusunan kebijakannya. “Namun, ada 2 hal utama yang membuat Tapera menjadi kontroversi di tengah masyarakat di luar masalah proses kebijakan dan sosialisasi,” ujarnya.

    Pertama, publik tahu bahwa Tapera ini pastinya akan berdampak pada pendapatan mereka, sementara mekanisme pengelolaan dan pemanfaatannya belum jelas. Kedua, ada trust issues dari publik terhadap penyelenggara negara sebagai pengelola Tapera.

    Iuran kepesertaan Tapera cukup besar, yakni mencapai 2,5% yang akan dipotong dari gaji bulanan bagi pekerja yang gajinya di atas rata-rata upah minimum regional (UMR). “Ini akan berdampak pada pendapatan pekerja,” tegasnya.

    Dengan risiko penurunan sebesar Rp200 miliar, daya beli masyarakat bisa berkurang. Masyarakat akan cenderung menahan belanja dan menekan laju konsumsi, yang lagi-lagi berimbas pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.

    Dunia usaha juga akan terdampak, karena wajib menambahkan 0,5% dari gaji tiap pekerja untuk iuran Tapera. Efek paling signifikan yang mungkin terjadi adalah pengurangan tenaga kerja. 

    Berdasarkan analisis CELIOS, kebijakan Tapera berpotensi menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan. Ini jelas menunjukkan bahwa Tapera akan memberikan tekanan bagi kelas menengah dan dunia usaha. “Terutama dampak negatif pada lapangan kerja sebagai indikasi dari adanya pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan,” ujar dia.

    Terlebih, saat ini sedang terjadi penurunan permintaan rumah akibat kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji masyarakat.

    Hasil olahan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan oleh CELIOS menunjukkan bahwa kenaikan rata-rata gaji masyarakat pada 2023 hanya berkisar 1,8%. Padahal, menurut laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia (BI), terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96%. Bahkan, kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11% dan menengah 2,44%. Di beberapa daerah di Indonesia, kenaikan indeks harga mencapai lebih dari 3%.

    Dengan pertumbuhan gaji di bawah kenaikan harga rumah, masyarakat, terutama kelas menengah bawah, akan semakin sulit memiliki hunian. Kaum muda yang tinggal di perkotaan juga cenderung memilih hunian yang dekat dengan tempat kerja, yang mungkin menurunkan angka permintaan rumah.

    Yang kedua, kata Nailul, penolakan terhadap Tapera tidak lepas dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara akibat maraknya berbagai kasus korupsi pengelolaan dana publik.

    Nailul mencontohkan, mulai dari kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), hingga PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), kasus korupsi pengelolaan dana masyarakat sudah merugikan publik lebih dari Rp30 triliun. Bahkan hingga saat ini ada nasabah dari lembaga pengelola investasi tersebut yang belum mendapatkan hak-nya.

    Maka menurutnya wajar apabila publik bertanya-tanya atau langsung menunjukkan penolakan terkait pengelolaan dana Tapera. Kontroversi Tapera bukan hanya soal kurangnya sosialisasi, tetapi publik memang sadar bahwa Tapera ini akan membawa dampak signifikan terhadap pendapatan mereka. 

    “Ini diperparah dengan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah karena skandal korupsi dan minimnya transparansi,” katanya.

    Kesimpulan



    Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Moeldoko meyakini bahwa penolakan Tapera terjadi karena kurang sosialisasi dan miskomunikasi di masyarakat adalah keliru.

    Selain kurang melibatkan publik dalam proses penyusunan kebijakannya, ada dua hal utama yang membuat Tapera menjadi kontroversi di tengah masyarakat.

    Pertama, publik tahu bahwa Tapera ini pastinya akan berdampak pada pendapatan mereka, sementara mekanisme pengelolaan dan pemanfaatannya belum jelas. Kedua, ada trust issues dari publik terhadap penyelenggara negara sebagai pengelola Tapera.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis

    Rujukan

  • (GFD-2024-20799) Sebagian Benar, Klaim Megawati soal Indonesia Anut Sistem Presidensial sehingga Tak Ada Istilah Koalisi Maupun Oposisi

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita



    Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri menyatakan dalam pidato politiknya bahwa tidak ada istilah koalisi dan oposisi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Maka menurut Ketua Umum PDI Perjuangan itu, PDIP berhak menjalin kerja sama politik dengan partai lainnya karena Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer.

    “Karena saudara-saudara sekalian, anak-anakku tersayang, harus di-stressing bahwa banyak sekali mereka yang salah karena dalam sistem ketatanegaraan kita, boleh tanya pada Pak Mahfud MD. Sistem kita adalah presidential system, jadi bukan parlementer. Jadi, sebetulnya kita ini tidak ada koalisi lalu oposisi,” ujarnya saat membuka Rakernas PDI-P di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, 24 Mei 2024.

    Benarkah pernyataan Megawati itu?

    Hasil Cek Fakta



    Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, membenarkan pernyataan Megawati bahwa Indonesia saat ini menganut sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, kata dia, memang tidak ada istilah koalisi maupun oposisi.

    Namun faktanya, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan sistem presidensial cenderung setengah hati. “Akibatnya, terdapat nuansa sistem parlementer yang mengakibatkan munculnya istilah koalisi maupun oposisi,” ujarnya.

    Definisi sistem presidensial adalah bentuk pemerintahan demokratis ketika kepala pemerintahan dipilih secara langsung memimpin otoritas kekuasaan eksekutif yang berbeda dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Sistem ini ditandai dengan pemisahan kekuasaan antar-otoritas.

    Sistem presidensial murni memang tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Dalam sistem presidensial yang berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan seperti di Amerika Serikat (AS), presiden sebagai otoritas eksekutif yang terpilih melalui pemilihan umum (pemilu) langsung, tidak bertanggung jawab secara politik kepada lembaga legislatif.

    Sementara itu, dalam sistem parlementer yang berkembang secara bertahap di Eropa Barat, lembaga legislatif memandatkan kekuasaan eksekutif kepada perdana menteri. “Perdana menteri bertanggung jawab kepada mayoritas legislatif atas kelangsungan kekuasaan politiknya,” jelasnya.

    Jika merujuk pada definisi di atas, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan legislatif tak bisa menjatuhkan pemegang kekuasaan eksekutif. Kemudian, presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat menteri sebagai pembantu dalam menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya intervensi dari lembaga legislatif/parlemen.

    Selain itu, dalam pemilu, rakyat memilih presiden untuk melaksanakan pemerintahan dan memilih anggota legislatif untuk mengontrol presiden. Dengan demikian, makna oposisi sebenarnya disematkan kepada anggota legislatif yang berfungsi menjadi pengawas dari presiden.

    Artinya, partai politik apapun, baik pengusung presiden terpilih maupun bukan, sepanjang mereka duduk di kursi DPR, bertugas sebagai oposisi dari presiden. Tugas DPR tersebut sebenarnya termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.

    Kompromi mengaburkan sistem Presidensial

    Alfath menyoroti sistem ketatanegaraan Indonesia yang lambat laun memunculkan kompromi akibat kombinasi sistem presidensial dan multipartai. Ini akibat siapa saja yang menjabat sebagai presiden akan terbelenggu keharusan berkompromi dengan partai-partai di parlemen. “Tetapi kompromi tersebut bersifat rapuh dan cair karena ketiadaan common platform (kesamaan visi misi),” ujarnya.

    Alhasil, pertimbangan merangkul semua partai politik dalam kabinet dan menempatkan mereka dalam kotak “koalisi” membuat sistem presidensial kita menjadi kabur dan lebih cenderung kepada sistem parlementer.

    Perlu dipahami, sebagian besar negara demokrasi yang stabil di dunia saat ini memang memiliki bentuk pemerintahan parlementer. Hanya beberapa negara di Amerika Latin yang menganut sistem presidensial namun tetap dapat menjaga kesinambungan demokrasinya.

    Untuk itu, sistem presidensial Indonesia perlu ditata kembali–dari yang setengah hati menjadi sepenuh hati. Ini memungkinkan terciptanya hubungan yang bersifat independen nan setara antara eksekutif dan legislatif. 

    “Dengan begitu, pemerintah benar-benar dapat menjadi rekan kerja DPR dalam proses legislasi dan pengawasan kekuasaan,” tegas Alfath. 

    Kesimpulan



    Pernyataan Megawati bahwa tidak ada istilah koalisi dan oposisi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang berupa presidensial bukan parlementer, adalah sebagian benar.

    Sistem presidensial murni memang tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan legislatif tak bisa menjatuhkan pemegang kekuasaan eksekutif.

    Namun, dalam pemilu, rakyat memilih presiden untuk melaksanakan pemerintahan dan memilih anggota legislatif untuk mengontrol presiden. Dengan demikian, makna oposisi sebenarnya disematkan kepada anggota legislatif yang berfungsi menjadi pengawas dari presiden.

    Artinya, partai politik apapun termasuk PDIP, sepanjang tidak duduk di kursi DPR, bertugas sebagai oposisi dari presiden. Tugas DPR tersebut sebenarnya termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yakni legislasi, anggaran

    Rujukan

  • (GFD-2024-20798) [PENIPUAN] TAUTAN PENDAFTARAN PENERIMA BANSOS 2024

    Sumber: telegram.com
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita

    "Assalamualaikum & salam sejahtera. Kejutan khusus buat Anda!! Mulai tahun 2024 ada bantuan tunai dari Kementerian Sosial sebesar Rp.700.000/Orang. Anda bisa mulai pengecekan secara online."

    Hasil Cek Fakta

    Beredar sebuah pesan yang dikirim melalui aplikasi Telegram, dari nomor +6285211900252 yang bernama Muhammad Samuel. Pesan ini dikirim dengan menyertakan tautan untuk mendaftar bantuan sosial untuk periode tahun 2024. Apabila tautan tersebut dibuka, maka dapat dilihat sebuah halaman yang berisi informasi mengenai pendaftaran bantuan sosial dari indonesiabaik.id. Terdapat pesan bergerak yang menyatakan bahwa Kementerian Sosial akan memberikan bantuan tunai sebesar Rp700.000/orang. Lalu terdapat pula kata "DAPATKAN" yang diklaim dapat diklik untuk melakukan pengecekan secara online.

    Namun setelah diperiksa lebih lanjut, pendaftaran untuk dapat menerima bansos 2024 bukanlah melalui tautan tersebut. Melansir dari ulasan resmi pada laman indonesiabaik.id, penerima bansos reguler pemerintah ini dapat dilihat melalui tautan resmi Kementerian Sosial (Kemensos) yaitu cekbansos.kemensos.go.id.

    Apabila belum terdaftar, maka warga yang membutuhkan harus mendaftar terlebih dahulu dalam DTKS. DTKS adalah data induk yang berisi informasi tentang penerima bantuan dan pemberdayaan sosial, serta potensi dan sumber kesejahteraan sosial. DTKS guna mendapatkan bansos, yakni secara offline dan online.

    Pendaftaran Offline DTKS:
    1. Daftar ke desa/kelurahan melalui usulan RT/RW setempat.
    2. Usulan akan dibawa ke musyawarah desa atau kelurahan.
    3. Usulan tersebut akan di input ke aplikasi bansos.
    4. Dinas sosial akan melakukan verifikasi dan validasi usulan.
    5. Hasil verifikasi akan di finalisasi oleh dinas sosial kabupaten/kota.
    6. Kepala daerah akan melakukan pengesahan.

    Pendaftaran Online DTKS:
    1. Unduh Aplikasi Cek Bansos Kemensos di PlayStore.
    2. Buat akun baru di aplikasi tersebut.
    3. Masukkan data diri seperti Nomor KK, NIK, dan nama lengkap sesuai KK serta KTP.
    4. Unggah foto KTP dan swafoto memegang KTP.
    5. Setelah registrasi berhasil, akses menu ‘Daftar Usulan’ di aplikasi.
    6. Masukkan kembali data diri sesuai petunjuk.
    7. Pilih jenis bansos yang diinginkan.
    8. Usulan akan diverifikasi dan divalidasi oleh Dinas Sosial.
    9. Hasil verifikasi akan diunggah ke sistem sebagai bahan pengolahan dan penetapan Kemensos.

    Jadi dapat disimpulkan, tautan untuk mendapatkan bansos 2024 yang dikirim melalui pesan Telegram, merupakan tautan palsu yang dapat dikategorikan sebagai konten tiruan.

    Kesimpulan

    Faktanya, untuk dapat menjadi penerima bansos 2024, warga harus mendaftar melalui Data Terpadu Kesehatan Sosial (DTKS) yang disediakan oleh Kementerian Sosial.

    Rujukan