Calon Wakil Presiden nomor urut 02, Sandiaga Salahudin Uno, menyebutkan bahwa ekonomi yang tumbuh sekarang belum dirasakan oleh masyarakat. Karena lapangan pekerjaan belum tercipta pertumbuhan 5 persen. Hal itu yang juga dikeluhkan oleh ibu Nur Janah di Langkat Sumatera Utara.
Pernyataan tersebut disampaikannya Sandiaga S Uno, pada segmen visi misi dalam Debat Pilpres 2019 Jilid V bertema “Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan, Investasi, dan Industri”, yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).
PERNYATAAN:
“Ekonomi yang tumbuh sekarang belum dirasakan oleh masyarakat. Karena lapangan pekerjaan belum tercipta pertumbuhan 5 persen yang sekarang kita sebut sebagai jebakan 5 persen yang juga dikeluhkan oleh ibu Nurjanah di Langkat Sumatera Utara. Ibu Nurjanah menyatakan bahwa toko di pasar sepi sekarang pembeli. Yang datang ke tokonya yang ada di pasar tradisional,” kata Sandiaga Salahudin Uno.
(GFD-2019-1795) Sandiaga Uno: Soal Ekonomi Dikeluhkan oleh Ibu Nurjanah di Langkat
Sumber: Debat Pilpres 2019Tanggal publish: 13/04/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Pada Minggu 11 November 2018, dalam jadwal kampanye, Sandiaga Uno berkunjung ke Pasar Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Dalam kunjungannya itu, Sandiaga bertemu dengan Ibu Nurjanah, Sandi berjanji akan ada revitalisasi pasar di kawasan tersebut.
"Kami akan melakukan revitalisasi pasar sebagaimana yang diinginkan ibu Nurjanah tadi yang mengaku dagangan agak sepi," kata Sandiaga di Pasar Tanjung Pura seperti ditulis Detikcom, Minggu (11/11/2018).
Sementara, ibu Nurjanah curhat kepada Sandiaga Uno. "Perhatikan nasib pedagang pasar Pak. Kita jualan susah, dagang sepi. Kalau ada untung, habis buat makan pak," curhat seorang pedagang bernama Nur Janah.
"Kami akan melakukan revitalisasi pasar sebagaimana yang diinginkan ibu Nurjanah tadi yang mengaku dagangan agak sepi," kata Sandiaga di Pasar Tanjung Pura seperti ditulis Detikcom, Minggu (11/11/2018).
Sementara, ibu Nurjanah curhat kepada Sandiaga Uno. "Perhatikan nasib pedagang pasar Pak. Kita jualan susah, dagang sepi. Kalau ada untung, habis buat makan pak," curhat seorang pedagang bernama Nur Janah.
Rujukan
- https://www.timesindonesia.co.id/read/210090/20190413/212806/cek-fakta-sandiaga-uno-soal-ekonomi-dikeluhkan-oleh-ibu-nurjanah-langkat/
- https://news.detik.com/berita/4296852/pedagang-pasar-di-langkat-curhat-sandiaga-janjikan-revitalisasi
- https://www.liputan6.com/pilpres/read/3689538/sandiaga-janji-revitalisasi-pasar-tanjung-pura-langkat-jika-terpilih
(GFD-2019-1794) Benarkah Harta WNI Lebih Banyak di Luar daripada di Dalam Negeri?
Sumber: Debat Pilpres 2019Tanggal publish: 13/04/2019
Berita
"Lebih banyak uang milik warga negara Indonesia di luar daripada di dalam negeri," kata Prabowo di segmen pertama debat kelima Pilpres 2019, Sabtu (13/4).
Hasil Cek Fakta
Klaim atau pernyataan ini bukanlah kali pertama disampaikan Prabowo. Secara umum, sudah berulang kali Prabowo menyinggung soal banyaknya harta kekayaan Indonesia yang ada di luar negeri, termasuk di dalam Debat Pilpres.
Salah satu pernyataan Prabowo yang menyebut angka, disampaikan pada Sabtu (23/2) lalu, dalam Pidato Kebangsaan di acara "Prabowo Menyapa Masyarakat dan Purnawirawan TNI/Polri" di Sleman. Saat itu, sebagaimana antara lain dikutip Antara, Prabowo menyebut bahwa harta atau uang WNI di luar negeri mencapai lebih dari Rp 11.000 triliun.
"Uang Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri jumlahnya lebih dari Rp 11.000 triliun. Jumlah uang di bank-bank, di seluruh bank di dalam negeri, jumlahnya Rp 5.400 triliun, berarti dua kali [lebih banyak] kekayaan Indonesia ada di luar negeri," kata Prabowo saat itu.
Sebagaimana kemudian diulas Tirto, dari pihak pemerintah sendiri juga sempat disampaikan hal senada. Salah satunya sebagaimana disampaikan Bambang Brodjonegoro saat masih menjabat Menteri Keuangan (Menkeu), pada April 2016 lalu. Waktu itu, Bambang menyebut bahwa uang orang-orang (warga negara) Indonesia yang terparkir di luar negeri jumlahnya cukup besar, yaitu sekitar Rp 11.000 triliun.
Lantas, sebagaimana bisa ditemukan pula di laman resmi Setkab, Presiden Jokowi sendiri pun sudah menyampaikan hal tersebut. Jokowi mengutarakan angka Rp 11.000 triliun itu dalam acara sosialisasi program pengampunan pajak (tax amnesty) di Makassar, November 2016.
Hanya saja, ketika Sri Mulyani menjabat Menkeu, ia sempat mengutarakan angka yang berbeda. Hal itu disampaikan Sri Mulyani dalam salah satu rapat kerja dengan DPR RI, sebagaimana bisa ditemukan di laman Kemenkeu.
"Dari studi yang dilakukan oleh McKinsey dan company pada Desember 2014 mengenai aset under management, diketahui bahwa terdapat 250 miliar USD atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan dari high network level Indonesia yang berada di luar negeri," kata Sri Mulyani saat itu.
Angka jumlah kekayaan WNI yang disimpan di dalam negeri sendiri kemudian perlu diperjelas, dan salah satu yang bisa dijadikan acuan adalah laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Berdasarkan salah satu publikasi LPS yang berjudul "Distribusi Simpanan Bank Umum Periode Januari 2019", diketahui kemudian bahwa hingga akhir Januari 2019, simpanan uang nasabah di bank-bank dalam negeri tercatat mencapai Rp 5.644 triliun.
Salah satu pernyataan Prabowo yang menyebut angka, disampaikan pada Sabtu (23/2) lalu, dalam Pidato Kebangsaan di acara "Prabowo Menyapa Masyarakat dan Purnawirawan TNI/Polri" di Sleman. Saat itu, sebagaimana antara lain dikutip Antara, Prabowo menyebut bahwa harta atau uang WNI di luar negeri mencapai lebih dari Rp 11.000 triliun.
"Uang Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri jumlahnya lebih dari Rp 11.000 triliun. Jumlah uang di bank-bank, di seluruh bank di dalam negeri, jumlahnya Rp 5.400 triliun, berarti dua kali [lebih banyak] kekayaan Indonesia ada di luar negeri," kata Prabowo saat itu.
Sebagaimana kemudian diulas Tirto, dari pihak pemerintah sendiri juga sempat disampaikan hal senada. Salah satunya sebagaimana disampaikan Bambang Brodjonegoro saat masih menjabat Menteri Keuangan (Menkeu), pada April 2016 lalu. Waktu itu, Bambang menyebut bahwa uang orang-orang (warga negara) Indonesia yang terparkir di luar negeri jumlahnya cukup besar, yaitu sekitar Rp 11.000 triliun.
Lantas, sebagaimana bisa ditemukan pula di laman resmi Setkab, Presiden Jokowi sendiri pun sudah menyampaikan hal tersebut. Jokowi mengutarakan angka Rp 11.000 triliun itu dalam acara sosialisasi program pengampunan pajak (tax amnesty) di Makassar, November 2016.
Hanya saja, ketika Sri Mulyani menjabat Menkeu, ia sempat mengutarakan angka yang berbeda. Hal itu disampaikan Sri Mulyani dalam salah satu rapat kerja dengan DPR RI, sebagaimana bisa ditemukan di laman Kemenkeu.
"Dari studi yang dilakukan oleh McKinsey dan company pada Desember 2014 mengenai aset under management, diketahui bahwa terdapat 250 miliar USD atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan dari high network level Indonesia yang berada di luar negeri," kata Sri Mulyani saat itu.
Angka jumlah kekayaan WNI yang disimpan di dalam negeri sendiri kemudian perlu diperjelas, dan salah satu yang bisa dijadikan acuan adalah laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Berdasarkan salah satu publikasi LPS yang berjudul "Distribusi Simpanan Bank Umum Periode Januari 2019", diketahui kemudian bahwa hingga akhir Januari 2019, simpanan uang nasabah di bank-bank dalam negeri tercatat mencapai Rp 5.644 triliun.
Kesimpulan
Jika berdasarkan penelusuran tersebut, bisa dikatakan bahwa klaim Prabowo soal "lebih banyak uang milik warga negara Indonesia di luar daripada di dalam negeri" itu benar, meskipun kali ini Prabowo tidak menegaskan jumlahnya dan tidak memperjelas sumber pernyataannya.
Prabowo bahkan juga benar bahwa hal itu pun sudah diungkapkan atau diakui oleh pemerintah sekarang, baik oleh Presiden Jokowi sendiri maupun oleh menterinya, kendati ada data yang berbeda.
Prabowo bahkan juga benar bahwa hal itu pun sudah diungkapkan atau diakui oleh pemerintah sekarang, baik oleh Presiden Jokowi sendiri maupun oleh menterinya, kendati ada data yang berbeda.
Rujukan
(GFD-2019-1793) Benarkah pernyataan Calon Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia kini berhasil menduduki tujuan wisata halal nomor satu di dunia?
Sumber: Debat Pilpres 2019Tanggal publish: 13/04/2019
Berita
Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo mengklaim bahwa Indonesia kini berhasil menduduki tujuan wisata halal nomor 1 di dunia. Pernyataan ini dilontarkan dalam debat capres putaran ke-5 di Hotel Sultan, Sabtu 13 April 2019.
Hasil Cek Fakta
Untuk pertama kalinya, Indonesia berhasil menduduki peringkat teratas destinasi wisata halal yaitu Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019 bersama dengan Malaysia.
CEO Crescent Rating dan Halal Trip Fazal Bahardeen mengatakan Indonesia berhasil menduduki posisi teratas dalam indeks melalui serangkaian upaya yang telah dilakukan Kementerian Pariwisata Indonesia dalam berinvestasi di industri pariwisata dan perjalanan, serta pengembangan infrastruktur ramah wisatawan muslim.
"Setelah sebelumnya berada di peringkat kedua, tahun ini Indonesia menduduki posisi pertama dalam GMTI 2019 bersama dengan Malaysia dengan skor 78," ujarnya, dalam report Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019, Selasa, 9 April 2019.
Laporan ini mencakup 130 destinasi secara global baik negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun negara non-Organisasi Kerja Sama Islam (Non-OKI).
"Negara OKI lainnya seperti Turki, Arab Saudi, Maroko, Oman, dan Brunei Darussalam tetap populer di kalangan wisatawan muslim. Destinasi itu dapat terus merasakan manfaat dari lingkungan ramah muslim mereka yang inheren dengan memanfaatkan berbagai teknologi baru guna membangun layanan yang secara strategis dapat menjangkau anak muda dan wisatawan muslim milenial secara lebih baik," tuturnya.
Laporan GMTI 2019 menunjukkan bahwa tahun ini Singapura terus mempertahankan posisinya sebagai destinasi wisata halal ramah muslim teratas di kalangan negara-negara non-OKI diikuti Thailand, Inggris, Jepang, dan Taiwan.
"Laporan ini menganalisa kesehatan dan pertumbuhan berbagai destinasi wisata ramah muslim berdasarkan 4 kriteria strategis yakni akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan," katanya.
Saat ini, GMTI menjadi studi terdepan yang menyediakan wawasan dan data untuk membantu negara, pelaku industri, dan investor dalam melihat peluang perkembangan sektor pariwisata ini, sekaligus menjadi tolak ukur perkembangan sebuah negara dalam melayani berbagai kebutuhan wisatawan muslim.
Pasar wisata halal merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan tercepat di seluruh dunia. Pada 2026, kontribusi sektor pariwisata halal diperkirakan melonjak sebesar 35% menjadi US$300 miliar terhadap perekonomian global, meningkat dari US$220 miliar di tahun 2020.
"Wisatawan Muslim secara global diprediksi akan tumbuh menjadi 230 juta wisatawan yang merepresentasikan lebih dari 10 persen total wisatawan global secara keseluruhan," ucap Fazal.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan pada 2015, Indonesia menduduki peringkat kelima sebagai negara ramah Muslim atau wisata halal. Lalu naik peringkat keempat pada 2016. Di 2017 mendapatkan peringkat ketiga dan pada 2018, Indonesia memperoleh peringkat kedua.
"Akhirnya penantian dalam 5 tahun, yang ditunggu-tunggu, Indonesia bisa menjadi peringkat pertama," katanya.
CEO Crescent Rating dan Halal Trip Fazal Bahardeen mengatakan Indonesia berhasil menduduki posisi teratas dalam indeks melalui serangkaian upaya yang telah dilakukan Kementerian Pariwisata Indonesia dalam berinvestasi di industri pariwisata dan perjalanan, serta pengembangan infrastruktur ramah wisatawan muslim.
"Setelah sebelumnya berada di peringkat kedua, tahun ini Indonesia menduduki posisi pertama dalam GMTI 2019 bersama dengan Malaysia dengan skor 78," ujarnya, dalam report Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019, Selasa, 9 April 2019.
Laporan ini mencakup 130 destinasi secara global baik negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun negara non-Organisasi Kerja Sama Islam (Non-OKI).
"Negara OKI lainnya seperti Turki, Arab Saudi, Maroko, Oman, dan Brunei Darussalam tetap populer di kalangan wisatawan muslim. Destinasi itu dapat terus merasakan manfaat dari lingkungan ramah muslim mereka yang inheren dengan memanfaatkan berbagai teknologi baru guna membangun layanan yang secara strategis dapat menjangkau anak muda dan wisatawan muslim milenial secara lebih baik," tuturnya.
Laporan GMTI 2019 menunjukkan bahwa tahun ini Singapura terus mempertahankan posisinya sebagai destinasi wisata halal ramah muslim teratas di kalangan negara-negara non-OKI diikuti Thailand, Inggris, Jepang, dan Taiwan.
"Laporan ini menganalisa kesehatan dan pertumbuhan berbagai destinasi wisata ramah muslim berdasarkan 4 kriteria strategis yakni akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan," katanya.
Saat ini, GMTI menjadi studi terdepan yang menyediakan wawasan dan data untuk membantu negara, pelaku industri, dan investor dalam melihat peluang perkembangan sektor pariwisata ini, sekaligus menjadi tolak ukur perkembangan sebuah negara dalam melayani berbagai kebutuhan wisatawan muslim.
Pasar wisata halal merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan tercepat di seluruh dunia. Pada 2026, kontribusi sektor pariwisata halal diperkirakan melonjak sebesar 35% menjadi US$300 miliar terhadap perekonomian global, meningkat dari US$220 miliar di tahun 2020.
"Wisatawan Muslim secara global diprediksi akan tumbuh menjadi 230 juta wisatawan yang merepresentasikan lebih dari 10 persen total wisatawan global secara keseluruhan," ucap Fazal.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan pada 2015, Indonesia menduduki peringkat kelima sebagai negara ramah Muslim atau wisata halal. Lalu naik peringkat keempat pada 2016. Di 2017 mendapatkan peringkat ketiga dan pada 2018, Indonesia memperoleh peringkat kedua.
"Akhirnya penantian dalam 5 tahun, yang ditunggu-tunggu, Indonesia bisa menjadi peringkat pertama," katanya.
Rujukan
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/218/fakta-atau-hoaks-benarkah-pernyataan-calon-presiden-joko-widodo-bahwa-indonesia-kini-berhasil-menduduki-tujuan-wisata-halal-nomor-satu-di-dunia
- https://pemilu.antaranews.com/berita/829288/jokowi-indonesia-berpeluang-untuk-wujudkan-industri-wisata-halal
- https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3941152/cek-fakta-sandiaga-uno-sebut-ri-pengimpor-produk-produk-halal-nomor-4-dunia
(GFD-2019-1792) Prabowo: Terjadi Deindustrialisasi, Bangsa Kita Tidak Memproduksi Apa-Apa
Sumber: Debat Pilpres 2019Tanggal publish: 13/04/2019
Berita
Dalam paparan visi dan misinya, capres nomor urut 02, Prabowo Subianto mengatakan, dia dan Sandiaga Uno berpandangan bahwa bangsa Indonesia selama ini dan sudah sejak lama berada dalam arah yang salah.
"Ini sudah terbukti bahwa kita telah menyimpang dari cita-cita pendiri bangsa," kata dia. "Kita tidak bisa membiarkan kekayaan nasional ke luar negeri," tambah Prabowo.
Ia menambahkan, sudah diakui oleh pemerintah bahwa terjadi deindustrialisasi. "Sekarang bangsa Indonesia tidak produksi apa-apa. Kita hanya menerima industri dari bangsa lain," tambah dia.
Benarkah Indonesia saat ini mengalami deindustrialisasi?
"Ini sudah terbukti bahwa kita telah menyimpang dari cita-cita pendiri bangsa," kata dia. "Kita tidak bisa membiarkan kekayaan nasional ke luar negeri," tambah Prabowo.
Ia menambahkan, sudah diakui oleh pemerintah bahwa terjadi deindustrialisasi. "Sekarang bangsa Indonesia tidak produksi apa-apa. Kita hanya menerima industri dari bangsa lain," tambah dia.
Benarkah Indonesia saat ini mengalami deindustrialisasi?
Hasil Cek Fakta
Fathya Nirmala Hanoum, Peneliti CORE Indonesia mengatakan pertumbuhan industri di Indonesia memang melambat pascakrisis 1998.
Sementara itu, seperti dikutip dari beritagar.id, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Berikut cuplikan dalam artikel berjudul Kembang kempis laju industri nasional:
Seperti dimuat dalam Ketergantungan pada sektor komoditas telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sejak krisis finansial 1998.
Sektor industri manufaktur merupakan motor utama pendorong ekonomi Indonesia. Namun, sektor ini terus mendapat sorotan dari pemerintah karena indikasi adanya fenomena deindustrialisasi prematur.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendefinisikan deindustrialisasi sebagai proses kebalikan dari industrialisasi; yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Padahal menurut Bappenas, Indonesia belum semestinya mengalami deindustrialisasi karena sedang dalam fase mengembangkan sektor tersebut -- terutama industri pengolahan sumber daya alam.
Sebelum krisis 1998, Indonesia sempat menjadi negara tujuan investasi manufaktur berbasis sumber daya manusia (labor intensive) karena upah buruh yang cenderung lebih murah. Namun, krisis ekonomi ternyata menyerang sektor manufaktur lantaran banyak yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.
Lokadata Beritagar.id mencoba mengolah data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Per kuartal III tahun 2018, BPS mencatat porsi industri manufaktur terhadap PDB mencapai 19,66 persen.
Data menunjukkan tingkat pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur sepanjang 2008 hingga 2017 tidak pernah mencapai dua digit dan cenderung stagnan. Pertumbuhan industri manufaktur pernah mencapai puncaknya pada 2011, yakni 6,26 persen.
Namun, sejak saat itu, tingkat pertumbuhan industri manufaktur terus menurun hingga mencapai 4,27 persen pada 2017. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,07 persen tahun lalu
Sementara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional, demikian dikutip dari artikel berjudul Alasan Bappenas Sebut Indonesia Mengalami Deindustrialisasi Dini, seperti dikutip dari Tempo.co.
Berikut cuplikannya:
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.
"Ini ditandai dari pertumbuhan manufaktur yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi," kata Bambang dalam acara peluncuran buku Policies to Support the Development of Indonesia's Manufacturing Sector during 2020-2024 bersama Asian Development Bank (ADB) di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Februari 2019.
Buku ini merupakan hasil kerja sama antara Bappenas dan ADB untuk persiapan studi Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024. Dalam buku ini, ADB mengingatkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih tidak terdiversifikasi karena banyak bertumpu pada ekspor komoditas. Perbaikan di sektor ini penting agar Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada lima tahun ke depan.
Bambang melanjutkan, bahwa sebelum krisis ekonomi 1998, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia sebenarnya lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi. Tapi setelah itu, kondisi pun berbalik. Artinya, kata Bambang, pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor lain seperti perdagangan, telekomunikasi, dan transportasi. "Itu gejala dari pre-mature deindustrialization."
Gejala kedua datang dari peralihan tenaga kerja Indonesia yang meninggalkan sektor tradisional seperti pertanian. Hanya saja, kata Bambang, di negara dengan industrialisasi yang baik seperti Korea Selatan, Cina, dan Taiwan, tenaga kerja ini masuk ke sektor manufaktur lebih dahulu, baru ke sektor jasa. Di Indonesia, tenaga kerja pertanian langsung masuk ke sektor jasa.
Walhasil, banyak masyarakat kemudian terserap di pasar jasa namun dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah. Ini tercermin dari data kemampuan tenaga kerja Indonesia yang dikumpulkan Bappenas. 99,41 persen tenaga kerja sektor pertanian adalah low-skilled labor. 90,45 persen low-skilled labor di sektor manufaktur serta 52 persen semi-skilled labor di sektor jasa dan yang lainnya.
Lali gejala terakhir adalah peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia yang rendah. Semakin rendah angkanya, kata Bambang, maka sektor manufaktur di negara tersebut makin tidak punya nilai tambah. Ini mengapa Indonesia larut dalam kegiatan ekspor komoditas yang selama ini gampang terpengaruh harga internasional. "Untuk itu, kami berupaya meningkatkan nilai tambah industri manufaktur lokal, pabrik baterai di Morowali, adalah re-emergence of industrialization di Indonesia."
Sementara, dalam artikel berjudul INDEF: Indonesia alami deindustrialisasi yang dimuat antaranews.com pada 29 Juni 2018, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melaporkan, Indonesia dalam 10 tahun terakhir mengalami deindustrialisasi karena kontribusinya pada perekonomian menurun.
Sementara itu, seperti dikutip dari beritagar.id, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Berikut cuplikan dalam artikel berjudul Kembang kempis laju industri nasional:
Seperti dimuat dalam Ketergantungan pada sektor komoditas telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sejak krisis finansial 1998.
Sektor industri manufaktur merupakan motor utama pendorong ekonomi Indonesia. Namun, sektor ini terus mendapat sorotan dari pemerintah karena indikasi adanya fenomena deindustrialisasi prematur.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendefinisikan deindustrialisasi sebagai proses kebalikan dari industrialisasi; yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Padahal menurut Bappenas, Indonesia belum semestinya mengalami deindustrialisasi karena sedang dalam fase mengembangkan sektor tersebut -- terutama industri pengolahan sumber daya alam.
Sebelum krisis 1998, Indonesia sempat menjadi negara tujuan investasi manufaktur berbasis sumber daya manusia (labor intensive) karena upah buruh yang cenderung lebih murah. Namun, krisis ekonomi ternyata menyerang sektor manufaktur lantaran banyak yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.
Lokadata Beritagar.id mencoba mengolah data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Per kuartal III tahun 2018, BPS mencatat porsi industri manufaktur terhadap PDB mencapai 19,66 persen.
Data menunjukkan tingkat pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur sepanjang 2008 hingga 2017 tidak pernah mencapai dua digit dan cenderung stagnan. Pertumbuhan industri manufaktur pernah mencapai puncaknya pada 2011, yakni 6,26 persen.
Namun, sejak saat itu, tingkat pertumbuhan industri manufaktur terus menurun hingga mencapai 4,27 persen pada 2017. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,07 persen tahun lalu
Sementara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional, demikian dikutip dari artikel berjudul Alasan Bappenas Sebut Indonesia Mengalami Deindustrialisasi Dini, seperti dikutip dari Tempo.co.
Berikut cuplikannya:
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.
"Ini ditandai dari pertumbuhan manufaktur yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi," kata Bambang dalam acara peluncuran buku Policies to Support the Development of Indonesia's Manufacturing Sector during 2020-2024 bersama Asian Development Bank (ADB) di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Februari 2019.
Buku ini merupakan hasil kerja sama antara Bappenas dan ADB untuk persiapan studi Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024. Dalam buku ini, ADB mengingatkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih tidak terdiversifikasi karena banyak bertumpu pada ekspor komoditas. Perbaikan di sektor ini penting agar Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada lima tahun ke depan.
Bambang melanjutkan, bahwa sebelum krisis ekonomi 1998, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia sebenarnya lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi. Tapi setelah itu, kondisi pun berbalik. Artinya, kata Bambang, pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor lain seperti perdagangan, telekomunikasi, dan transportasi. "Itu gejala dari pre-mature deindustrialization."
Gejala kedua datang dari peralihan tenaga kerja Indonesia yang meninggalkan sektor tradisional seperti pertanian. Hanya saja, kata Bambang, di negara dengan industrialisasi yang baik seperti Korea Selatan, Cina, dan Taiwan, tenaga kerja ini masuk ke sektor manufaktur lebih dahulu, baru ke sektor jasa. Di Indonesia, tenaga kerja pertanian langsung masuk ke sektor jasa.
Walhasil, banyak masyarakat kemudian terserap di pasar jasa namun dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah. Ini tercermin dari data kemampuan tenaga kerja Indonesia yang dikumpulkan Bappenas. 99,41 persen tenaga kerja sektor pertanian adalah low-skilled labor. 90,45 persen low-skilled labor di sektor manufaktur serta 52 persen semi-skilled labor di sektor jasa dan yang lainnya.
Lali gejala terakhir adalah peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia yang rendah. Semakin rendah angkanya, kata Bambang, maka sektor manufaktur di negara tersebut makin tidak punya nilai tambah. Ini mengapa Indonesia larut dalam kegiatan ekspor komoditas yang selama ini gampang terpengaruh harga internasional. "Untuk itu, kami berupaya meningkatkan nilai tambah industri manufaktur lokal, pabrik baterai di Morowali, adalah re-emergence of industrialization di Indonesia."
Sementara, dalam artikel berjudul INDEF: Indonesia alami deindustrialisasi yang dimuat antaranews.com pada 29 Juni 2018, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melaporkan, Indonesia dalam 10 tahun terakhir mengalami deindustrialisasi karena kontribusinya pada perekonomian menurun.
Rujukan
- https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3941028/cek-fakta-prabowo-terjadi-deindustrialisasi-bangsa-kita-tidak-memproduksi-apa-apa
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/215/fakta-atau-hoaks-benarkah-indonesia-mengalami-deindustrialisasi-seperti-dinyatakan-calon-presiden-prabowo-subianto
- https://money.kompas.com/read/2019/04/13/213942426/cek-fakta-prabowo-sebut-terjadi-deindustrialisasi-di-indonesia
- https://news.solopos.com/read/20190413/496/985115/cek-faktaprabowo-sebut-indonesia-alami-deindustrialisasi
- https://www.timesindonesia.co.id/read/210088/20190413/210719/cek-fakta-prabowo-bangsa-indonesia-tidak-produksi-apaapa/
Halaman: 5691/5900