• (GFD-2021-8637) Tidak Terbukti, Cina Telah Persiapkan Perang Dunia III dengan Senjata Biologis

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/05/2021

    Berita


    Klaim bahwa Cina telah mempersiapkan Perang Dunia III dengan memakai senjata biologis beredar di Instagram. Menurut unggahan di Instagram tersebut, informasi ini berasal dari sebuah dokumen rahasia yang dibuat oleh para ilmuwan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Cina. Dokumen itu mengungkap bahwa Cina telah meneliti manipulasi penyakit untuk membuat senjata, termasuk virus Corona penyebab Covid-19, sejak 2015.
    "China dilaporkan telah mempersiapkan Perang Dunia III dengan memakai senjata biologis selama enam tahun terakhir. Sebuah dokumen rahasia yang dibuat oleh para ilmuwan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA China) itu mengungkap mereka sudah lama meneliti manipulasi penyakit untuk membuat senjata sejak 2015, termasuk virus corona SARS yang menimbulkan COVID-19," demikian bunyi klaim tersebut.
    Akun ini membagikan klaim itu pada 10 Mei 2021. Akun tersebut menulis, "So, they already started it?" Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari 92 ribulikedan 2.600 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim yang tidak terbukti terkait Cina.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, klaim itu berasal dari sebuah buku yang terbit pada 2015. Namun, buku tersebut mendapatkan banyak kritik karena berisi teori konspirasi dan menyesatkan. Sejauh ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Cina telah mempersiapkan senjata biologis, termasuk virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    Munculnya klaim itu bermula dari terbitnya artikel oleh situs media yang berbasis di Australia, The Australian, pada 7 Mei 2021 yang berjudul "‘Virus warfare’ in China military documents". Artikel ini kemudian dikutip oleh sejumlah situs media lain.
    Dikutip dari South China Morning Post (SCMP), artikel itu mengupas buku yang terbit pada 2015 dan masih diperjualbelikan secara online sampai sekarang, berjudul "The Unnatural Origin of Sars dan Species New Species of Man-Made Virus as Genetic Bioweapons". Namun, buku ini membahas apakah virus Corona dapat dipakai oleh teroris sebagai senjata melawan Cina, bukan tentang bagaimana Cina menjadikan virus Corona sebagai senjata biologis.
    Buku itu diterbitkan lebih dari satu dekade setelah munculnyaSevere Acute Respiratory Syndrome( SARS ) yang disebabkan oleh virus Corona bernama SARS-CoV pada 2003. Penulis utama buku itu adalah Xu Dezhong, profesor penyakit menular dari Air Force Medical University di Xian, Shaanxi, Cina. “Berdasarkan berbagai bukti epidemiologi, biologi molekuler, dan biologi evolusioner, buku ini menyimpulkan bahwa SARS-CoV mungkin memiliki asal yang tidak alami, atau buatan manusia,” kata penulis.
    Terdapat satu bab khusus dalam buku itu yang membahas kemungkinan metode untuk membuat senjata biologis. Tapi sebagian besar isi bab ini berasal dari dokumen militer Amerika Serikat yang tidak diklasifikasikan, yang dirancang oleh Michael Ainscough, seorang kolonel di United States Air Force (USAF) Counter Proliferation Center.
    Dalam buku itu, Dezhong menyatakan menerjemahkan makalah Ainscough karena ditulis setahun sebelum munculnya wabah SARS di Cina. Buku ini tidak menuduh secara langsung bahwa AS menciptakan SARS, tapi menunjukkan upaya AS dalam penelitian, pengembangan, dan penyebaran senjata biologis menggunakan metode genetik.
    Penyebab SARS
    Dikutip dari situs resmi Johns Hopkins Medicine, SARS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan nama SARS-associated coronavirus atau SARS-CoV. Umumnya, virus Corona menyebabkan penyakit saluran pernapasan atas ringan hingga sedang pada manusia, tapi juga dapat menyebabkan penyakit pernapasan, gastrointestinal, hati, dan neurologis pada hewan.
    Ketika bergegas menghentikan penyebaran SARS pada 2003, para peneliti mempelajari lebih banyak karakteristik SARS-CoV, yang belum pernah teridentifikasi sebelumnya. Meskipun mereka masih belum memastikan asal penyakit tersebut, banyak yang percaya bahwa SARS-CoV pertama kali muncul pada hewan, kemudian menyebar ke manusia.
    Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa SARS adalah senjata biologis yang juga menyebabkan Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Cina telah mempersiapkan Perang Dunia III dengan memakai senjata biologis, tidak terbukti. Klaim ini bermula dari artikel yang membahas buku berjudul "The Unnatural Origin of Sars dan Species New Species of Man-Made Virus as Genetic Bioweapons" yang terbit 2015. Namun, buku itu menyinggung tentang apakah virus Corona dapat digunakan oleh teroris sebagai senjata melawan Cina, bukan tentang bagaimana Cina menjadikan virus Corona sebagai senjata biologis. Tidak ada pula bukti yang disuguhkan yang mendukung klaim ini.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8636) Sesat, Klaim Ini Foto Sopir Taksi yang Ditangkap Intelijen AS karena Berwajah Arab dan Dianggap Terlibat 9/11

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/05/2021

    Berita


    Foto yang memperlihatkan seorang pria berjenggot tebal yang memakai baju khas tahanan berwarna oranye beredar di Instagram. Foto tersebut diklaim sebagai foto seorang sopir taksi yang ditangkap oleh intelijen Amerika Serikat karena berwajah Arab dan dianggap terlibat teror 9/11. Menurut klaim itu, pasca serangan gedung World Trade Centre pada 9 September 2001, warga AS menganggap semua orang Islam adalah teroris.
    Berikut narasi yang menyertai foto tersebut: "Pasca kejadian 9/11 seluruh Amerika Serikat terjangkit penyakit Islamophobia. Mereka menganggap semua orang muslim adalah teroris yang patut dimusuhi. Setiap orang yang memiliki wajah kearab-araban akan ditangkap dan dianggap sebagai teroris berbahaya. Demikian pula dengan sopir taksi satu ini. Dia ditangkap begitu saja oleh intelijen setempat tanpa mengetahui kesalahannya. Foto tersebut adalah foto terakhir pria ini sebelum akhirnya ia dimasukkan ke ruang introgasi. Dia disiksa sedemikian rupa hingga tewas."
    Akun ini mengunggah foto beserta klaim itu pada 20 Mei 2021. Akun tersebut pun menulis narasi sebagai berikut: "Foto ini menjadi bersejarah yang diambil beberapa detik sebelum disiksa. Mungkin foto ini tampak biasa saja, namun efek yang setelah kejadian dalam foto itu berakibat nyawa yang melayang." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah disukai lebih dari 2.500 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim sesat terkait foto yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri foto tersebut dengan reverse image tool Source, Yandex, dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa pria dalam foto tersebut bernama Dilawar. Ia adalah seorang sopir taksi yang ditangkap oleh milisi Afghanistan saat mengantar penumpang. Mereka kemudian diserahkan kepada tentara AS di Camp Salerno, yang saat itu menjadi sasaran serangan roket. Mereka dinyatakan sebagai tersangka dalam serangan roket tersebut.
    Foto yang identik pernah dimuat oleh situs Ebaumsworld.com pada 5 Juni 2015 dalam artikelnya yang berjudul “19 Final Photos Taken Before Death”. Foto tersebut diberi keterangan: "Sopir taksi Afghanistan berusia 22 tahun, Dilawar, dituduh secara tidak benar dan dikirim ke penjara Bagram oleh tentara AS. Lima hari setelah foto ini diambil, Dilawar meninggal karena luka-luka yang dideritanya selama penyiksaan."
    Foto yang sama juga pernah dimuat oleh situs Clarksvilleonline.com pada 19 Desember 2007 dalam artikelnya yang berjudul “Taxi to the Dark Side details U.S. torture”. Taxi to the Dark Side merupakan sebuah film yang diangkat dari kisah Dilawar.
    The New York Times mendapatkan salinan hampir 2 ribu halaman dokumen rahasia investigasi kriminal tentara Angkatan Darat AS berisi kisah kematian brutal Dilawar di pusat penahanan Bagram. The New York Times memperoleh salinan tersebut dari seseorang yang terlibat dalam penyelidikan kasus itu, yang mengkritik metode yang digunakan di Bagram.
    Menurut laporan The New York Times, Dilawar tiba di Bagram pada 5 Desember 2002. Empat hari sebelumnya, pada malam hari raya Idul Fitri, Dilawar berangkat dari desa kecilnya di Yakubi, Afghanistan, dengan barang baru yang berharga, sebuah sedan Toyota bekas yang dibelikan oleh keluarganya beberapa minggu sebelumnya untuk dikendarai sebagai taksi.
    Pada hari dia menghilang, ibu Dilawar memintanya menjemput ketiga saudara perempuannya dari desa terdekat untuk pulang. Tapi dia membutuhkan uang bensin dan memutuskan pergi ke ibukota provinsi Khost, Afghanistan, sekitar 45 menit untuk mencari ongkos. Di pangkalan taksi, dia menemukan tiga pria yang ingin ke Yakubi. Dalam perjalanan, mereka melewati pangkalan pasukan AS, Camp Salerno, yang pagi itu menjadi sasaran serangan roket.
    Milisi Afghanistan yang setia kepada komandan gerilyawan yang menjaga pangkalan tersebut, Jan Baz Khan, menghentikan mobil Dilawar di pos pemeriksaan. Mereka menyita walkie-talkie yang rusak dari salah satu penumpang Dilawar. Di bagasi, mereka juga menemukan penstabil listrik yang digunakan untuk mengatur arus dari generator. (Keluarga Dilawar mengatakan penstabil itu bukan milik mereka, karena mereka tidak memiliki listrik).
    Keempat pria tersebut pun ditahan dan diserahkan kepada tentara AS di pangkalan itu sebagai tersangka dalam serangan roket tersebut. Namun, interogator utama Dilawar, Spesialis Glendale C. Walls II, berpendapat bahwa dia terus mengelak. "Beberapa lubang muncul, dan kami ingin dia menjawab dengan jujur," katanya. Interogator lainnya, Sersan Salcedo, mengeluh bahwa narapidana itu tersenyum, tidak menjawab pertanyaan, dan menolak untuk tetap berlutut di tanah atau bersandar di dinding.
    Sementara penerjemah yang hadir saat itu, Ahmad Ahmadzai, memiliki pandangan yang berbeda dengan interogator. Para interogator, kata dia, menuduh Dilawar meluncurkan roket yang menghantam pangkalan AS. Dia membantahnya. Para interogator pun berulang kali mendorongnya ke dinding. "Sekitar 10 menit pertama, saya kira, mereka sebenarnya menanyai dia, setelah itu mendorong, menendang, dan meneriakinya. Tidak ada interogasi yang sedang berlangsung," ujar Ahmadzai.
    Pada Februari 2003, seorang pejabat militer AS mengungkapkan bahwa komandan gerilyawan Afghanistan yang anak buahnya telah menangkap Dilawar dan penumpangnya telah ditahan. Komandan itu, Jan Baz Khan, dicurigai menyerang Camp Salerno sendiri dan kemudian menyerahkan "tersangka" yang tidak bersalah kepada AS untuk mendapatkan kepercayaan mereka, kata pejabat militer tersebut.
    Dilansir dari The Guardian, tentara AS telah melakukan penyiksaan terhadap para tahanan di kamp penjara Bagram yang dikelola di Afghanistan. Tujuh tentara didakwa sehubungan dengan penyiksaan tersebut, di mana The New York Times melaporkan bahwa perlakuan kasar oleh beberapa interogator adalah rutinitas, tahanan dibelenggu dalam posisi tetap yang menyakitkan, dan penjaga dapat menyerang tahanan yang dibelenggu dengan impunitas virtual.
    Dokumen militer rahasia yang diperoleh The New York Times menyoroti kematian dalam penahanan Dilawar, seorang sopir taksi berusia 22 tahun yang diyakini oleh sebagian besar interogator tidak bersalah, serta seorang narapidana lainnya, Habibullah. Kedua pria itu meninggal dalam rentang waktu enam hari pada Desember 2002.
    Juru bicara Pentagon Letnan Kolonel John Skinner mengatakan dokumen militer rahasia tersebut menunjukkan betapa seriusnya militer AS mempertimbangkan tuduhan penyiksaan. "Setiap insiden tidak dapat diterima, dan ketika ada tuduhan, kami menyelidikinya," katanya. Ia juga menambahkan bahwa 28 orang terlibat dalam laporan itu dan tujuh orang didakwa. "Roda keadilan sedang berputar, sebagaimana mestinya."
    Skinner mengatakan, saat ini, ada lebih dari 10 jalur penyelidikan utama yang menginvestigasi seluruh aspek penahanan, di samping peningkatan pengawasan, peningkatan pelatihan, dan peningkatan fasilitas. Terlepas dari perbaikan itu, kebijakannya sejak awal adalah perlakuan yang manusiawi terhadap tahanan. "99,99 persen anggota militer kami menjunjung standar setiap hari dalam situasi yang sulit dan berbahaya," katanya. Jika tidak, ujarnya, akan ada konsekuensi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut menunjukkan sopir taksi yang ditangkap oleh intelijen AS karena berwajah Arab dan dianggap terlibat teror 9/11, menyesatkan. Pria dalam foto itu bernama Dilawar. Dalam dokumen rahasia yang diungkap oleh The New York Times, Dilawar merupakan korban salah tangkap yang mengalami penyiksaan hingga tewas di kompleks penjara Bagram, Afganistan, pada 2002. Dilawar ditangkap oleh milisi Afganistan bersama ketiga penumpangnya, lalu diserahkan ke pangkalan pasukan AS, Camp Salerno, karena dituduh sebagai pelaku serangan roket terhadap pangkalan tersebut.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8635) Keliru, Klaim Ini Foto Gedung Tertinggi di Israel yang Hancur Dihajar Roket Hamas

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/05/2021

    Berita


    Foto yang memperlihatkan sebuah gedung pencakar langit yang hancur dan terbakar serta mengeluarkan asap hitam yang membumbung tinggi beredar di Facebook. Foto ini diklaim sebagai foto salah satu gedung tertinggi di Israel, yang terletak di Tel Aviv, yang hancur akibat dihajar oleh roket Hamas, kelompok milisi Palestina.
    Akun ini membagikan foto denganwatermark"zezodesigns" itu pada 20 Mei 2021 dengan narasi sebagai berikut: "JANJI HAMAS TERPENUHI. Gedung kedua tertinggi di Tel Aviv HANCUR dihajar ROKET HAMAS !!!" Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dari 3 ribu reaksi dan 600 komentar serta dibagikan lebih dari 300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi foto editan dari salah satu gedung tertinggi di Israel, Moshe Aviv.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri akun media sosial dengan nama "zezodesigns". Hasilnya, ditemukan sebuah akun Instagram dengan nama @zezodesigns. Setelah ditelusuri lebih lanjut, akun itu pernah mengunggah foto di atas pada 16 Mei 2021. Akun ini hanya menulis keterangan "semoga hari yang dijanjikan".
    Namun, dalam profilnya, akun ini menulis pekerjaannya, yaknigraphic designer. Tempo kemudian menghubungi pemilik akun itu, Khalil Ziad, lewate-mailyang tercantum dalam profil akun tersebut pada 24 Mei 2021. Dalame-mail-nya kepada Tempo, Khalil menjawab, "Foto itu adalah hasil editan dan tidak asli, berjudul 'semoga hari yang dijanjikan'."
    Tempo kemudian menelusuri jejak digital foto tersebut denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan sebuah foto yang identik yang diunggah di situs resmi perusahaan konstruksi Israel, Phoenicia Ltd. Dalam foto ini, terlihat bayangan gedung serta bentuk awan yang sama seperti yang tampak dalam foto yang beredar. Gedung itu bernama Moshe Aviv.
    Kesamaan antara foto yang beredar baru-baru ini (kiri) dan foto yang diunggah oleh situs Phoenicia Ltd (kanan).
    Dilansir dari Gezbegen.com, situs perjalanan yang berbasis di Turki, Moshe Aviv adalah salah satu gedung tertinggi di Israel. Bangunan berlantai 29 ini terletak di Ramat Gan, Tel Aviv. Nama gedung ini diambil dari nama pemilik perusahaan konstruksi, Moshe Aviv, yang meninggal dua tahun sebelum menara ini rampung dibangun pada 2003.
    Dikutip dari situs resmi perusahaan pemilik Moshe Aviv, Aviv Group, gedung ini memiliki dua bangunan utama. Pertama, Bachar House, bangunan asli Moshe Aviv, yang dirancang oleh arsitek Yehuda Magidovitch, dan dipugar oleh arsitek Amnon Bar Or. Kedua, The Atrium, menara bisnis dan Bachar House yang digabungkan lewat atrium kaca modern, yang dirancang oleh arsitek Moshe Tzur.
    Meskipun foto tersebut merupakan hasil suntingan, dilansir dari kantor berita Rusia, Sputnik News, Hamas diduga sempat memberikan peringatan agar penghuni Moshe Aviv segera dievakuasi karena gedung itu akan menjadi sasaran roket dari Gaza, sebagai pembalasan atas banyaknya gedung tinggi di wilayah Palestina yang dihancurkan oleh Israel.
    Hal ini juga diberitakan oleh jaringan berita Irak, INP, pada 15 Mei 2021. Menurut laporan INP, Brigade Al-Qassam, organisasi sayap Hamas, memperingatkan agar penghuni Moshe Aviv segera dievakuasi. Kepala Staf Brigade Al-Qassam Muhammad Al-Deif juga memberikan tengat waktu dua jam kepada Israel untuk menghentikan tembakan roket.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto salah satu gedung tertinggi di Israel yang hancur akibat dihajar oleh roket Hamas, keliru. Foto itu merupakan hasil editan dari foto profil salah satu gedung tertinggi di Israel, yang terletak di Tel Aviv, Moshe Aviv. Foto tersebut disunting oleh pemilik akun Instagram @zezodesigns, Khalil Ziad, yang telah menyatakan bahwa foto itu tidak asli.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8634) Keliru, Klaim Vaksin Pfizer Mengandung Chip sehingga Magnet Menempel di Lengan yang Disuntik

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/05/2021

    Berita

    Video yang memperlihatkan seorang wanita bermasker sedang menunjukkan sebuah logam yang diklaim sebagai magnet yang menempel di lengannya beredar di media sosial. Menurut wanita itu, lengannya tersebut adalah lengan yang menerima suntikan vaksin Covid-19 buatan Pfizer. Sementara di lengannya yang tidak menerima suntikan vaksin, ia menunjukkan bahwa magnet tersebut tidak menempel. "We're chipped," kata wanita itu.
    Di Instagram, video tersebut dibagikan oleh akun ini pada 10 Mei 2021. Akun itu menulis, "Pfizer jab and a magnet experiment! No words left to describe this," atau jika diterjemahkan berarti: "Suntikan Pfizer dan eksperimen magnet! Tidak ada kata-kata yang bisa mendeskripsikan hal ini." Hingga artikel ini dimuat, video itu telah ditonton lebih dari 26 ribu kali dan dikomentari lebih dari 280 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi video dengan klaim keliru terkait vaksin Covid-19 buatan Pfizer.

    Nano chip dalam vaksin

    Hasil Cek Fakta

    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menghubungi dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto dan ahli bioteknologi Bimo Ario Tejo serta menelusuri pemberitaan terkait klaim itu.
    Menurut laporan  Factcheck, ada banyak hal yang tidak diketahui tentang video tersebut, termasuk apakah wanita dalam video itu benar-benar divaksinasi, magnet apa yang mungkin digunakan, dan apakah ada zat lain yang dipakai untuk membuat logam tersebut menempel. Selain itu, tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa vaksin mengandung chip atau bahan yang menghasilkan efek magnetis.
    Tempo pernah memverifikasi klaim bahwa vaksin Covid-19 mengandung microchip, dan menyatakannya keliru. Kebanyakan microchip RFID (radio frequency identification) terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam jarum berukuran normal yang digunakan untuk vaksinasi. Mungkin saja membuat chip dengan ukuran yang lebih kecil, tapi tidak berguna apabila tidak memiliki antena sebagai penerima sinyal.
    Sebuah chip harus memiliki kapasitas yang cukup besar untuk mengambil daya dari gelombang mikro, yang kemudian mengirim kembali sinyal yang cukup kuat sehingga bisa ditangkap oleh penerima. Chip RFID terkecil yang tersedia secara komersial, lengkap dengan antenanya, hanya dapat terbaca dari jarak milimeter. Sementara chip RFID terkecil yang tidak tersedia secara komersial hanya dapat terbaca dari jarak mikron.
    Menurut Tonang, klaim bahwa vaksin Covid-19 dapat menyebabkan efek magnetis, sehingga magnet menempel di lokasi suntikan, tidak benar. “Komponen dalam produk vaksin Covid-19 tidak mengandung logam yang menimbulkan sifat magnetik. Tidak ada juga semacam 'pin pelacak' semacam itu,” katanya.
    Pendapat serupa disampaikan oleh Bimo. Menurut dia, tidak mungkin vaksin Covid-19 dapat menimbulkan efek magnetis. “Tidak mungkin. Sulit untuk tahu alasan mereka mengklaim hal tersebut (dalam video itu). Bagi saya, itu hanya joke tanpa argumen ilmiah apa pun,” ujarnya.
    Dilansir dari Factcheck, Lisa Morici, profesor di Tulane University School of Medicine yang mempelajari vaksin, mengatakan bahwa bahan dalam vaksin berbasis mRNA (vaksin Pfizer dan vaksin Moderna) dan adenovirus (vaksin J&J) hanyalah RNA/DNA, lipid, protein, garam, dan gula. "Semua komponen ini ditemukan di berbagai makanan, vaksin, dan obat-obatan," katanya.
    Menurut Morici, klaim mengenai microchip yang terkandung di dalam vaksin ini hanyalah mitos. "Mikro mengacu pada ukuran chip, yang berarti ukuran mikron. Sementara vaksin berbasis mRNA dan adenovirus adalah nanopartikel, yang berarti ukuran nanometer. Karena itu, vaksin tersebut seribu kali lebih kecil dari microchip dan microchip tidak bisa dimasukkan ke dalam vaksin," tuturnya.
    Ahli kelistrikan pun telah menyatakan bahwa tidak ada bahan dalam vaksin yang akan menyebabkan hasil semacam itu, seperti menempelnya magnet di lokasi suntikan. "Agar magnet biasa menempel pada benda lain secara magnetis, benda itu harus memiliki remanensi magnet yang signifikan (seperti magnet lain), atau permeabilitas magnet relatif yang secara signifikan melebihi satu kesatuan (seperti pintu lemari es)," kata Mark Allen, profesor teknik kelistrikan dan sistem University of Pennsylvania.
    “Menurut lembar fakta FDA tentang tiga vaksin resmi yang digunakan di Amerika Serikat (Pfizer, Moderna, dan J&J), tidak ada bahan dalam ketiga vaksin tersebut yang mengandung bahan dengan sifat ini (permeabilitas secara signifikan melebihi kesatuan)," ujar Allen. Intinya, kata dia, "Magnet tidak akan menempel pada Anda hanya karena Anda telah menerima vaksin."
    Randall Victora, kepala departemen teknik kelistrikan dan komputer di University of Minnesota, juga berkata, "Meskipun hampir semua material bersifat magnetis dalam arti paramagnetisme, diamagnetisme, dan feromagnetisme, hanya feromagnet yang berpotensi membuat magnet tetap di lenganmu. Tidak ada bahan yang terdaftar dalam vaksin Pfizer, Moderna, atau J&J yang merupakan feromagnet, dan karenanya tidak dapat menyebabkan magnet menempel di lengan Anda. Sebagian besar microchip pun tidak memiliki komponen feromagnet."

    Kesimpulan

    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 buatan Pfizer mengandung chip sehingga magnet menempel di lengan yang disuntik, keliru. Tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa vaksin mengandung chip atau bahan yang menghasilkan efek magnetis. Vaksin jauh lebih kecil daripada microchip, sehingga microchip tidak bisa dimasukkan ke dalam vaksin. Selain itu, tidak ada bahan yang terdaftar dalam vaksin Pfizer yang merupakan feromagnet, dan karenanya tidak dapat menyebabkan magnet menempel di lengan.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan