• (GFD-2021-8645) Keliru, Donor Darah dari Penerima Vaksin Covid-19 Berbahaya

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/06/2021

    Berita


    Video yang berisi ajakan kepada masyarakat untuk menolak menerima donor darah dari orang yang telah menerima vaksin Covid-19 beredar di Facebook. Video berdurasi sekitar 2,5 menit itu berisi sejumlah ilustrasi proses transfusi darah dan cuplikan sejumlah dokumen yang disertai teks dalam bahasa Indonesia.
    Dalam video tersebut, disebutkan bahwa donor darah dari orang yang telah menerima vaksin Covid-19 berbahaya, karena banyak efek samping yang ditimbulkan dari vaksin tersebut. Ribuan orang diklaim meninggal dan jutaan kasus terjadi akibat vaksin Covid-19.
    Vaksin yang berbasis mRNA juga disebut dapat menyebabkan risiko yang serius, seperti munculnya penyakit autoimun serta reaksi antibodi dan protein darah yang bisa mengganggu sistem koagulasi darah. Akun ini membagikan video itu pada 30 Mei 2021 dengan narasi, "Bahaya donor darah dari orang yang sudah di vaksin."
    Gambar tangkapan layar video yang beredar di Facebook yang berisi klaim keliru terkait donor darah dari penerima vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo menelusuri informasi terkait di sejumlah situs Palang Merah atau lembaga donor darah di beberapa negara. Hasilnya, ditemukan penjelasan bahwa penerima vaksin Covid-19 tetap aman mendonorkan darahnya asalkan dalam kondisi sehat dan tidak memiliki gejala. Beberapa negara menetapkan waktu tunggu bagi mereka yang telah menerima vaksin untuk mendonorkan darahnya.
    Prosedur tersebut salah satunya diterapkan di Palang Merah Amerika Serikat. Dalam situs resminya, disebutkan bahwa Palang Merah AS tetap menerima pendonor yang telah menerima vaksin Covid-19 jenis apapun asalkan bebas gejala dan dalam kondisi sehat. Prosedur ini diterapkan karena efek samping ringan dapat terjadi setelah pemberian vaksin, meski biasanya menghilang dalam beberapa hari. Apabila pendonor mengalami efek samping, mereka meminta agar pendonor menunggu hingga merasa sehat.
    One Blood, organisasi kesehatan di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), menyatakan hanya penerima vaksin yang telah disetujui penggunaan daruratnya yang bisa mendonorkan darah. Sebaliknya, penerima vaksin yang belum disetujui dianggap tidak memenuhi syarat untuk donor darah.
    Di Australia, sebagai tindakan pencegahan, pendonor harus menunggu tujuh hari setelah menerima vaksin Covid-19 jenis apapun sebelum mendonasikan darah, plasma, atau trombositnya. Alasannya, vaksin dapat menyebabkan efek samping ringan seperti demam, yang biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa hari.
    Pendonor yang memberikan darah, plasma, atau trombositnya saat mereka tidak dalam kondisi 100 persen sehat dapat meningkat risikonya untuk mengalami reaksi yang merugikan, seperti pingsan selama atau setelah melakukan donor.
    Adapun di Indonesia, prosedur donor darah bisa dilakukan oleh penerima vaksin Covid-19 setelah dua minggu mereka disuntik dengan vaksin tersebut. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Surat Edaran Palang Merah Indonesia pada 19 Maret 2021.
    Terkait klaim bahwa vaksin berbasis mRNA, seperti vaksin Pfizer dan vaksin Moderna, dapat menyebabkan penyakit autoimun, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS ( CDC ) menyatakan orang yang memiliki kondisi autoimun dapat menerima vaksin Covid-19. Namun, saat ini, tidak ada data yang tersedia tentang keamanan vaksin Covid-19 untuk kondisi tersebut.
    Klaim itu sendiri telah beredar sejak Desember 2020. Drew Weissman, pakar mRNA, mengatakan kepada kantor berita Associated Press (AP) bahwa vaksin mRNA tidak dapat menyebabkan autoimun. Vaksin ini telah diberikan kepada masyarakat selama lima tahun terakhir. “Tidak ada data yang mengatakan bahwa vaksin mRNA dapat menyebabkan penyakit autoimun. Saya belum pernah melihat atau mendengar satu pun laporan bahwa vaksin mRNA menyebabkan autoimunitas,” katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa donor darah dari orang yang telah menerima vaksin Covid-19 berbahaya, keliru. Mereka yang telah menerima vaksin Covid-19 tetap bisa mendonorkan darahnya asalkan dalam kondisi sehat dan tidak memiliki gejala. Beberapa negara menetapkan waktu tunggu bagi mereka yang akan mendonorkan darahnya setelah disuntik vaksin untuk melihat timbulnya efek samping. Di Australia, pendonor diharuskan menunggu selama tujuh hari, sedangkan di Indonesia selama 14 hari setelah menerima vaksin.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8644) Keliru, Klaim Ini Video Pemakaman Palsu Warga Palestina yang Jadi Korban Serangan Israel

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/06/2021

    Berita


    Video yang memperlihatkan sejumlah pria yang sedang mengusung mayat dengan tandu beredar di Facebook. Saat terdengar suara sirine, para pria itu malah menurunkan mayat tersebut dan kabur. Tak lama kemudian, orang yang menjadi mayat, yang ternyata masih hidup, itu juga terbangun dan kabur. Video ini diklaim sebagai video pemakaman palsu warga Palestina yang menjadi korban serangan Israel.
    Akun ini membagikan video tersebut pada 12 Mei 2021. Aku itu menulis, "Penduduk Gaza Palestina membawa jenazah korban serangan Israel, dan ketika tiba-tiba ada sirine serangan udara, pengusung jenazah bubar, jenazahnya bangun melepas kafan dan kabur menyelamatkan diri.... wkwkwk." Hingga artikel ini dimuat, video dalam unggahan tersebut telah ditonton lebih dari 350 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya. Video itu tidak ada kaitannya dengan konflik Israel-Palestina.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, video tersebut telah beredar di internet sejak Maret 2020 dan tidak terkait dengan konflik antara Israel dan Palestina yang memanas baru-baru ini. Video itu sengaja dibuat oleh sejumlah anak muda di Yordania pada 2020 saat otoritas setempat memberlakukan karantina dan jam malam untuk mencegah penularan Covid-19.
    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex.
    Hasilnya, ditemukan bahwa video tersebut pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Jordan Trend pada 24 Maret 2020 dengan judul dalam Bahasa Arab yang jika diterjemahkan berarti “Pemakaman Palsu Selama Karantina Rumah di Yordania”. Video yang identik juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Nicos Vlogs pada 26 Maret 2020 dengan judul "Pemakaman Palsu di Yordania, untuk Melanggar Jam Malam Virus Corona".
    Situs media berbahasa Arab Alroeya.com pun pernah memuat video yang sama pada 24 Maret 2020 dalam artikelnya yang berjudul "Video pemakaman palsu untuk melanggar larangan di Yordania, dan sirine polisi membuat 'jenazah' kembali ke rumahnya".
    Menurut Alroeya.com, video sekelompok orang di Yordania yang membawa mayat dengan tandu ke pemakaman untuk menguburkan mayat tersebut beredar di Twitter. Ternyata, video itu hanyalah video sekelompok anak muda yang berusaha melanggar larangan yang diberlakukan oleh otoritas Yordania karena khawatir akan merebaknya virus Corona.
    Penjelasan yang sama dimuat oleh Alhurra.com. Video itu menunjukkan para pemuda yang mencoba melanggar jam malam yang diberlakukan oleh otoritas Yordania, dengan mengadakan pemakaman palsu. Saat mendengar sirine mobil polisi, mereka melarikan diri, meninggalkan orang yang berperan sebagai mayat di jalanan, yang ikut melarikan diri beberapa saat kemudian.
    Dilansir dari In-24.com, pada 10 Mei 2021 lalu, video itu disebarkan kembali oleh penasihat Menteri Luar Negeri Israel, Dan Poraz, di Twitter. Dia menuduh warga Palestina memicu kekerasan dengan menggelar pemakaman palsu. Untuk mendukung klaimnya, dia membagikan video tersebut. “Haruskah kita tertawa atau menangis?” ujarnya. Video ini pun dibagikan oleh para warganet. Mereka menuduh Hamas telah memasang taktik untuk menimbulkan kemarahan komunitas internasional.
    Namun, seperti dikutip dari AFP, peristiwa dalam video itu tidak ada hubungannya dengan meletusnya kekerasan di Jalur Gaza, Palestina. Video ini, yang direkam di Yordania, menunjukkan anak-anak muda yang menggunakan dalih pemakaman palsu untuk melarikan diri dari karantina yang diberlakukan karena pandemi Covid-19. Poraz pun menghapus cuitannya sekitar 18-20 Mei.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video tersebut adalah video pemakaman palsu warga Palestina yang menjadi korban serangan Israel, keliru. Video itu telah beredar sejak Maret 2020 dan tidak terkait dengan konflik Israel dan Palestina. Video itu sengaja dibuat sejumlah pemuda di Yordania yang menggunakan dalih pemakaman palsu untuk melarikan diri dari kebijakan karantina yang diberlakukan pemerintah setempat di tengah pandemi Covid-19.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8643) Keliru, Klaim Ini Video Pembakaran Bendera Israel oleh Rakyatnya Sendiri karena Konflik dengan Palestina

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/06/2021

    Berita


    Sebuah video yang memperlihatkan sekelompok orang menggelar aksi protes dengan membakar bendera Israel beredar di Facebook. Sejumlah pria dalam video itu tampak mengenakan pakaian yang biasa digunakan oleh umat Yahudi. Video ini diklaim sebagai video pembakaran bendera Israel oleh rakyatnya sendiri akibat berkonflik dengan Palestina.
    Video tersebut dibagikan oleh akun ini pada 21 Mei 2021. Akun itu pun menulis, “BENDERA ISR4HELL. DI BAKAR RAKYATNYA SENDIRI. APA KABAR Y4Hud1 PESEK. Sepertinya gak bakal cair ini dananya.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dengan 500 reaksi dan telah ditonton lebih dari 11 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya. Video itu tidak terkait dengan konflik antara Israel dan Palestina.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula mengambil gambar tangkapan layar video itu. Lalu, gambar ini ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa video itu telah beredar sejak pertengahan 2019 lalu dan tidak terkait dengan memanasnya konflik antara Israel dan Palestina baru-baru ini.
    Video yang identik pernah diunggah oleh situs Ensonhaber.com pada 4 Juli 2019. Video tersebut juga pernah dimuat oleh sejumlah media Turki, seperti Yenisafak dan Gaste24, pada tanggal yang sama. Pembakaran bendera Israel dalam video itu merupakan bagian dari aksi protes umat Yahudi ultra-ortodoks di Israel terkait kematian seorang pemuda Israel keturunan Ethiopia akibat tertembak polisi.
    Dikutip dari LA Times, pemuda Israel keturunan Ethiopia yang meninggal akibat peluru polisi itu bernama Solomon Teka, 18 tahun. Ia tertembak oleh polisi yang sedang tidak bertugas pada 30 Juni 2019 di pinggiran Kiryat Haim di Haifa, Israel bagian utara, saat berkumpul dengan teman-temannya di sebuah taman bermain.
    Dilansir dari CNN, polisi yang menembak Teka kala itu sedang menikmati liburan akhir pekannya bersama istri dan tiga anaknya di taman bermain tersebut. Ketika itu, polisi tersebut melihat beberapa remaja yang memukuli seorang anak laki-laki yang lebih muda. Polisi ini mendatangi mereka dan mencoba untuk menghentikannya, sebelum kemudian melepaskan tembakan yang mengenai Teka.
    Dikutip dari Middle East Eye, peristiwa tersebut memicu gelombang protes komunitas Yahudi Ethiopia di Israel. Ribuan warga Israel-Ethiopia menggelar demonstrasi besar-besaran di seluruh Israel untuk memprotes penembakan polisi terhadap Teka. Aksi protes ini menyebabkan 111 petugas polisi terluka dan ratusan pengunjuk rasa ditahan.
    Presiden Israel Reuven Rivlin bahkan meminta pengunjuk rasa untuk menyudahi aksi protes. Rivlin pun berjanji bahwa pemerintahannya akan bertindak secara bertanggung jawab dan moderat serta bakal memperbaiki kesalahan mereka dan menciptakan masa depan yang lebih baik.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video itu adalah video pembakaran bendera Israel oleh rakyatnya sendiri akibat berkonflik dengan Palestina, keliru. Video tersebut merupakan video lama dan tidak terkait dengan memanasnya konflik antara Israel dan Palestina baru-baru ini. Video itu memperlihatkan aksi protes umat Yahudi ultra-ortodoks di Israel terkait kematian seorang pemuda Israel keturunan Ethiopia akibat tertembak oleh polisi pada pertengahan 2019 lalu.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8642) Keliru, Anak-anak Kebal terhadap Virus Corona dan yang Meninggal Tak Ada Kaitannya dengan Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/06/2021

    Berita


    Video pendek yang berisi klaim bahwa anak-anak kebal terhadap virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, beredar di Instagram. Menurut perempuan dalam video itu, yang mengklaim dirinya sebagai peneliti, anak-anak yang meninggal dalam setahun terakhir juga tidak terkait dengan Covid-19. Video tersebut juga mempromosikan agar publik menolak vaksin Covid-19 karena dianggap sebagai genosida.
    "Masihkah vaksin harus dipaksakan untuk masyarakat? Harus berapa banyak anak-anak mati karena vaksin dan membuat pemerintah sadar bahwa vaksin harus dihentikan?" demikian teks yang tertulis dalam video itu.
    Sementara perempuan dalam video tersebut berkata, "Virus ini tidak berpengaruh terhadap anak-anak. Mereka kebal terhadap virus ini. Dua ratus lebih anak meninggal dalam setahun, dan tidak ada hubungannya dengan dengan Covid-19. Hanya karena 200 lebih anak meninggal, kalian ingin menyuntikkan vaksin kepada anak-anak yang lain? Akuilah bahwa ini merupakan sebuah pembunuhan besar-besaran, genosida."
    Akun ini membagikan video tersebut pada 30 Mei 2021. Akun itu menulis, "Masihkah kita mau dipermainkan, dijadikan kelinci percobaan, manggut-manggut aja disuruh ini-itu. Kita ini manusia berakal, bukan kawanan hewan ternak."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi video dengan klaim keliru terkait penularan Covid-19 terhadap anak-anak.

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Anak-anak kebal terhadap virus Corona dan yang meninggal tidak ada kaitannya dengan Covid-19
    Fakta:
    Data kasus di beberapa negara menunjukkan bahwa anak-anak tidak kebal terhadap Covid-19. Dilansir dari NPR, menurut American Academy of Pediatrics (AAP), jumlah anak-anak yang terinfeksi Covid-19 di beberapa negara bagian di Amerika Serikat baru-baru ini mencapai 22,4 persen, lebih tinggi dibandingkan pada 2020 saat pandemi baru terjadi, yakni sebesar 3 persen.
    Jumlah anak yang positif Covid-19 tersebut mencapai 71.649 orang dari 319.601 kasus per 29 April 2021. Diduga, salah satu penyebab meningkatnya kasus pada anak-anak adalah adanya varian baru virus Corona yang menyebar, B117, yang menjadi dominan di banyak negara dan lebih mudah menular.
    Di Brasil, meskipun awalnya Covid-19 dinilai jarang menyebabkan anak-anak yang tertular penyakit ini meninggal, ternyata ada 1.300 bayi yang meninggal karena penyakit tersebut, seperti yang dilaporkan oleh BBC pada 15 April 2021.
    Anak-anak di Indonesia pun juga tertular Covid-19. Jumlah anak-anak di Indonesia yang positif Covid-19 hingga 20 Desember 2020 mencapai 74.249 orang. Sedangkan data klaster sekolah atau pesantren sudah mencapai 3.711 kasus dan tersebar di berbagai provinsi.
    Menurut Johns Hopkins Medicine, meskipun Covid-19 pada anak-anak biasanya lebih ringan ketimbang pada orang dewasa, beberapa anak bisa mengalami sakit yang parah dan komplikasi atau gejala jangka panjang yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Virus ini dapat menyebabkan kematian pada anak-anak meskipun lebih jarang ketimbang pada orang dewasa.
    Klaim 2: Vaksinasi Covid-19 pada anak-anak bertujuan untuk genosida
    Fakta:
    Dilansir dari Johns Hopkins Medicine, vaksin Covid-19 telah melalui prosedur keamanan yang sangat ketat. Berdasarkan hasil pemberian vaksin Covid-19 Pfizer untuk anak-anak di AS, efek samping suntikan antara anak-anak dan orang dewasa sama. Anak-anak akan merasakan sakit di lokasi suntikan, dan lebih lelah dari biasanya. Sakit kepala, nyeri otot atau persendian, bahkan demam dan kedinginan juga mungkin terjadi. Efek samping ini bersifat sementara dan bakal hilang dalam waktu 48 jam.
    Selama ini, vaksinasi telah terbukti mencegah banyak kematian pada anak-anak akibat berbagai penyakit. Dikutip dari Unicef, pada abad ke-20, lebih dari 5,2 miliar orang meninggal, di mana 1,7 miliar orang di antaranya meninggal karena penyakit menular, seperti difteri (0,76 juta), hepatitis B (12,7 juta), campak (96,7 juta), meningitis (21,9 juta), polio (0,13 juta), cacar (400 juta), tetanus (37,1 juta), dan batuk rejan (38,1 juta).
    Vaksinasi sangat aman dan efektif. Vaksin hanya diberikan kepada anak-anak setelah melalui tinjauan yang panjang dan cermat oleh ilmuwan, dokter, dan profesional kesehatan. Vaksin akan menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat menyebabkan rasa sakit, kemerahan, atau nyeri di tempat suntikan. Tapi ini minimal dibandingkan dengan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan trauma akibat penyakit yang dicegah oleh vaksin. Efek samping yang serius usai vaksinasi, seperti reaksi alergi yang parah, sangat jarang terjadi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa anak-anak kebal terhadap virus Corona dan yang meninggal tidak ada kaitannya dengan Covid-19, keliru. Di AS, jumlah anak yang positif Covid-19 mencapai 71.649 orang per 29 April 2021. Sementara di di Indonesia, jumlah anak yang terinfeksi Covid-19 hingga 20 Desember 2020 mencapai 74.249 orang. Terkait anak-anak yang meninggal akibat Covid-19, di Brasil, terdapat 1.300 bayi yang meninggal karena penyakit tersebut.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan