• (GFD-2021-8641) Sebagian Benar, Klaim Ini Foto Meteor yang Jatuh di Puncak Gunung Merapi

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/05/2021

    Berita


    Sebuah foto yang memperlihatkan kilatan cahaya vertikal yang berada tepat di puncak sebuah gunung beredar di media sosial. Foto tersebut dibagikan dengan klaim bahwa meteor jatuh di puncak Gunung Merapi.
    Di Facebook, foto tersebut dibagikan oleh akun ini pada 28 Mei 2021. Akun itu menulis narasi berupa kalimat pertanyaan, “Meteor Jatuh di Puncak Gunung Merapi ? Kali Adem, Cangkringan, Yogyakarta (27 Mei 2021) pkl. 23.07 WIB. Gunarto_song | @merapi_uncover."
    Hingga artikel ini dimuat pada 31 Mei 2021, foto unggahan akun tersebut telah mendapatkan lebih dari 1.300 reaksi dan 320 komentar serta dibagikan lebih dari 800 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang memuat foto kilatan cahaya vertikal yang diklaim jatuh di puncak Gunung Merapi.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto tersebut denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan artikel berita yang memuat foto itu, yang menjelaskan bahwa kilatan cahaya kehijauan ini diduga kuat berasal dari aktivitas hujan meteor. Namun, lokasinya bukan di puncak Gunung Merapi.
    Foto tersebut pertama kali diunggah ke Instagram oleh akun @gunarto_song pada 28 Mei 2021. Pemilik akun itu, Gunarto, merupakan fotografer yang mengabadikan momen tersebut. Di Instagram, Gunarto menulis narasi seperti yang beredar. “Meteor Jatuh di Puncak Gunung Merapi ??, Kali Adem, Cangkringan, Yogyakarta(27 Mei 2021, Jam 23.07 WIB),” kata Gunarto.
    Di Twitter, tiga foto yang identik diunggah oleh akun @merapi_uncover pada tanggal yang sama, dengan narasi yang sama pula. Peristiwa ini pun terekam oleh kamera CCTV milik Megadata, perusahaan penyedia layanan internet, pada 27 Mei 2021. Video tersebut diunggah ke Twitter oleh akun @JogjaUpdate pada 28 Mei 2021. "Meteor terlihat (pada detik ke 21) dari CCTV Megadata, di Merapi yang berlokasi di Kalitengah Kidul."
    CCTV milik Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menangkap kilatan cahaya tersebut pada waktu yang sama. Dalam akun Instagram-nya, BPPTKG menulis, "Kamera CCTV yang berada di Deles (sisi timur Gunung Merapi) sempat merekam kilatan cahaya pada tanggal 27 Mei 2021 pukul 23.08.10 WIB."
    Dilansir dari Kompas.com, Gunarto mengungkapkan bahwa foto itu diambilnya ketika berada di Kali Adem, Cangkringan, Yogyakarta, pada 27 Mei 2021. Namun, ia tidak yakin apakah benda bercahaya itu merupakan meteor atau bukan. "Saya enggak berani pastikan, yang pasti sangat cepat dan terang. Lokasinya di Kali Adem, Cangkringan, malam hari tanggal 27 Mei 2021," ujarnya.
    Menurut dia, saat melakukan pembidikan obyek, terdapat ambience pada awan. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa cahaya misterius itu tidak jatuh di puncak Gunung Merapi, tapi perspektifnya seolah-olah cahaya tersebut jatuh di puncak Gunung Merapi.
    Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menjelaskan cahaya hijau yang muncul di dekat Gunung Merapi kemungkinan berkaitan dengan hujan meteor. Dilansir dari dari situs resmi LAPAN, menurut peneliti LAPAN Andi Pangerang, berdasarkan data International Meteor Organization (IMO) pada Mei 2021, setidaknya terdapat dua hujan meteor yang sedang aktif ketika cahaya tersebut diabadikan kamera pada 27 Mei 2021.
    Kedua hujan meteor yang dimaksud adalah hujan meteor Eta Aquarid yang aktif pada 19 April-28 Mei 2021 dan hujan meteor Arietid yang aktif pada 14 Mei-24 Juni 2021. "Sehingga, dari dua ini, bisa diduga bahwa kilatan cahaya kehijauan yang muncul di dekat Gunung Merapi itu mungkin terkait dengan aktivitas hujan meteor,” kata Andi.
    Dengan menggunakan metode paralaks sederhana, Andi menyimpulkan bahwa, jika cahaya itu memang berasal dari meteor, lokasi jatuhnya bukan berada di lereng Gunung Merapi. “Lokasi jatuhnya di sekitar puncak Gunung Merbabu. Hal ini ditandai dengan posisi kilatan cahaya yang nyaris vertikal menjulang ke langit,” tuturnya.
    Selain itu, kilatan cahaya yang secara visual tidak terlalu besar, ditambah ketiadaan ledakan, membuat Andi memperkirakan bahwa meteor yang kemungkinan jatuh tersebut pun tidak terlalu besar. "Setidaknya berukuran seperti kerikil dan bisa jadi telah habis terbakar di atmosfer," ujarnya.
    Analisis berbeda diungkapkan oleh anggota Astronom Amatir Indonesia, Marufin Sudibyo. Dikutip dari Kompas.com, ia mengatakan bahwa memang benar telah terdeteksi sebuah meteor-terang (fireball) yang seakan-akan menumbuk puncak Gunung Merapi pada 27 Mei 2021 sekitar pukul 23.01 WIB. Terdapat dua dokumentasi untuk fenomena ini, yakni citra atau foto bertipe long exposure (kecepatan rana sangat lambat) dan rekaman CCTV beresolusi rendah.
    "Berdasarkan dua dokumentasi tersebut dan dengan memperhitungkan fitur-fitur khas di sekitar puncak Gunung Merapi, maka untuk sementara ini saya menyimpulkan meteor-terang tersebut berkedudukan di atas Laut Jawa sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa," kata Marufin pada 29 Mei 2021. Tepatnya, berjarak 150-160 kilometer di sebelah utara-barat laut dari kedua titik yang mendokumentasikan fenomena tersebut.
    Meteor-terang tersebut memang seakan-akan menumbuk puncak Gunung Merapi karena berada di dalam garis pandang di antara titik pengamatan menuju ke posisi meteor. Perhitungan menunjukkan, pada kedua lokasi tersebut, meteor-terang terekam pada altitude 16-17 derajat. "Analisis saya lebih lanjut juga memperlihatkan bahwa meteor-terang ini sama sekali tak berhubungan dengan salah satu hujan meteor sebagaimana dipaparkan LAPAN," ujarnya.
    Pada saat kejadian, hujan meteor Eta Aquarid maupun Arietid belum terbit atau masih nerada di bawah horizon untuk titik lokasi di sekitar Gunung Merapi, sehingga mustahil untuk bisa menjadi sumber dari meteor-terang yang terekam di sekitar Gunung Merapi. "Meteor-terang itu tidak jatuh ke paras bumi. Maka tidak jatuh pula di puncak Gunung Merapi. Posisi meteor-terang tersebut juga sangat jauh dari Gunung Merapi," imbuhnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto itu menunjukkan meteor yang jatuh di puncak Gunung Merapi, sebagian benar. Kilatan cahaya kehijauan yang terekam muncul di dekat Gunung Merapi tersebut diduga kuat terkait dengan aktivitas hujan meteor. Namun, terkait lokasinya, LAPAN menyatakan bukan di lereng Gunung Merapi, melainkan di puncak Gunung Merbabu. Fotografer yang mengabadikan peristiwa tersebut juga mengatakan cahaya misterius itu tidak jatuh di puncak Gunung Merapi, tapi perspektifnya memang seolah-olah kilatan tersebut jatuh di puncak Gunung Merapi.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8640) Keliru, Klaim Ini Video Penampakan Bulan Raksasa di Arktik antara Rusia dan Kanada

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/05/2021

    Berita


    Video yang memperlihatkan penampakan bulan dengan jarak yang begitu dekat dengan bumi selama 30 detik beredar di media sosial. Menurut klaim yang menyertai video itu, penampakan bulan tersebut terlihat di Arktik, antara Rusia dan Kanada. Video ini menyebar di tengah terjadinya fenomena alam gerhana bulan total atau super blood moon pada 26 Mei 2021 lalu.
    Di Twitter, video beserta klaim itu dibagikan salah satunya oleh akun ini pada 26 Mei. Akun tersebut menulis narasi sebagai berikut: "This is at Artic.. Between Russia n canada.. Moon appears this big and disappears in about 30 seconds.. What a sight.." (Ini di Arktik.. Antara Rusia dan Kanada.. Bulan muncul sebesar ini dan menghilang dalam waktu sekitar 30 detik.. Pemandangan yang luar biasa..)
    Gambar tangkapan layar unggahan di Twitter yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya. Video ini bukan video penampakan bulan raksasa di Arktik.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video itu menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Lalu, gambar-gambar ini ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa video itu adalah hasil suntingan. Video ini merupakan karya seorang seniman animasicomputer-generated imagery(CGI) dan visualisasi 3D.
    Seniman yang bernama Aleksey Patrev itu mengunggah video tersebut di akun TikTok  miliknya, @aleksey__nz, pada 17 Mei 2021, lebih dari sepekan sebelum terjadinyasuper blood moonpada 26 Mei 2021 lalu. Video ini hanya diberi keterangan: "#moon #foryoupage #cosmos #2021 #Odessa #space". Selain video itu, di akun TikTok Aleksey, terdapat pula video-video lain yang juga merupakan hasil suntingan seniman asal Odessa, Ukraina ini.
    Video-video tersebut juga diunggah ke akun Instagram Aleksey, @aleksey__n. Dalam profilnya, Aleksey menyebut dirinya sebagai "CG artist" yang fokus dalam produksi animasi CGI dan visualisasi 3D.
    Sejumlah organisasi cek fakta juga telah memverifikasi klaim tersebut, dan menyatakannya keliru. Dilansir dari organisasi cek fakta India, Factly, video itu adalah video grafik komputer yang dibuat oleh pemilik akun TikTok @aleksey__nz. Akun itu juga memuat banyak video serupa sebelumnya.
    "Video menunjukkan padang rumput yang tidak terdapat di kutub, karena kutub tertutup es. Selain itu, tidak terlihat pantulan bulan di danau yang terlihat dalam video tersebut. Semua ini membuktikan bahwa video ini memang ciptaan grafik komputer. Karena itu, klaim tersebut salah," demikian penjelasan Factly.
    Menurut Factly, jarak rata-rata antara bulan dan bumi adalah 382.900 kilometer. Orbit bulan yang mengelilingi bumi berbentuk elips, dan saat perigee, kondisi di mana bulan berada pada titik terdekat dengan bumi, jarak keduanya 363.104 kilometer. Supermoon terjadi ketika bulan mengalami purnama bertepatan dengan posisinya ketika berada di titik terdekatnya dengan bumi. Namun, dalam posisi ini dan saat matahari terbit, bulan tidak tampak secerah yang terlihat dalam video tersebut.
    Selain itu, bulan berputar dengan kecepatan yang sama dengan gerakan orbitnya, kasus khusus penguncian pasang-surut yang disebut rotasi sinkron. "Karena itu, kita hanya bisa melihat satu sisi bulan sepanjang waktu. Namun, dalam video tersebut, kita dapat dengan jelas melihat sisi jauh bulan saat sedang gerhana. Semua detail ini menetapkan bahwa video itu tidak lain adalah grafik komputer," demikian penjelasan Factly.
    Organisasi cek fakta India lainnya, Alt News, memuat penjelasan serupa. Menurut Alt News, salah satu petunjuk bahwa video itu tidak nyata adalah bulan yang terlihat dalam video itu mengorbit dengan kecepatan tinggi, ketika seharusnya terlihat diam dari bumi. "Bulan mengorbit bumi setiap 27.322 hari sekali. Diperlukan waktu sekitar 27 hari bagi bulan untuk berputar sekali pada porosnya. Akibatnya, bulan tampak tidak berputar dan diam hampir sempurna. Ilmuwan menyebutnya rotasi sinkron."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video tersebut adalah video penampakan bulan raksasa di Arktik antara Rusia dan Kanada, keliru. Video itu merupakan ciptaan grafik komputer karya seorang seniman animasi CGI dan visualisasi 3D. Video tersebut diunggah ke media sosial sebelum terjadinya fenomena gerhana bulan total pada 26 Mei 2021 lalu. Video ini juga menunjukkan padang rumput, yang tidak terdapat di kutub. Selain itu, tidak terlihat pantulan bulan di danau. Bulan yang terlihat dalam video tersebut pun mengorbit dengan kecepatan tinggi, yang seharusnya terlihat diam dari bumi.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8639) Keliru, Vaksin Covid-19 Sebabkan 0,8 Persen Kematian dalam 2 Minggu dan yang Hidup Hanya Bertahan 2 Tahun

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/05/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisi pernyataan yang diklaim berasal dari ketua saintis di perusahaan vaksin Pfizer, Mike Yeadon, beredar di grup-grup percakapan WhatsApp sejak 26 Mei 2021. Menurut pesan berantai itu, Yeadon mengatakan bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan 0,8 persen kematian dalam waktu dua minggu, sementara penerima vaksin yang masih hidup hanya bisa bertahan selama dua tahun.
    "Yang sudah divaksin siap-siap mati dini," begitu narasi yang tertulis di bagian awal pesan berantai tersebut. Selanjutnya, terdapat narasi yang diklaim dinyatakan oleh Yeadon, "Mike Yeadon, bekas ketua saintis di firma vaksin Pfizer menyatakan bahwa kini sudah amat terlambat untuk menyelamatkan siapa yang sudah divaksin Covid-19."
    Menurut pesan berantai ini, tak lama setelah suntikan pertama vaksin, 0,8 persen penerimanya bakal meninggal dalam waktu dua minggu. "Mereka yang bertahan akan mampu bertahan hidup sekitar dua tahun, namun kemampuan tersebut dikurangi dengan penambahan atau top-up suntikan vaksin. Penambahan vaksin yang sedang dibuat sekarang adalah untuk menyebabkan kemorosotan fungsi organ tertentu dalam badan manusia."
    Di akhir pesan berantai itu, terdapat narasi bahwa tujuan akhir pemerintah menyediakan vaksin yang diwajibkan saat ini adalah untuk mengurangi populasi secara besar-besaran. Dicantumkan pula tautan artikel dari situs Lifesitenews.com yang berjudul "EXCLUSIVE - Former Pfizer VP: ‘Your government is lying to you in a way that could lead to your death".
    Gambar tangkapan layar pesan berantai di WhatsApp yang berisi klaim keliru tentang vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Menurut verifikasi Tim CekFakta Tempo, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat kematian hingga 0,8 persen setelah vaksin Covid-19 dosis pertama disuntikkan kepada seseorang. Tidak ada pula bukti bahwa mereka yang telah disuntik vaksin Covid-19 hanya bisa bertahan hidup sekitar dua tahun.
    Dikutip dari Deutsche Welle (DW), yang meninjau laporan dari Italia, Austria, Korea Selatan, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Norwegia, Belgia dan Peru, dalam banyak kasus, otoritas kesehatan belum menemukan hubungan sebab-akibat antara vaksinasi dan kematian.
    Di Korea Selatan misalnya, dilaporkan bahwa terdapat 15 orang yang meninggal setelah menerima vaksin Covid-19 AstraZeneca. Di sana, vaksin tersebut hanya diberikan kepada orang yang berusia di bawah 65 tahun. Namun, hasil penyelidikan menunjukkan hampir semua warga yang meninggal itu telah memiliki kondisi medis sebelumnya, seperti penyakit serebrovaskular atau kardiovaskular.
    Di Jerman, Institut Paul Ehrlich (PEI) yang bertanggung jawab atas vaksinasi telah menyelidiki 113 kematian yang dilaporkan di negara tersebut. Korban berusia 46-100 tahun, dan mereka meninggal antara satu jam hingga 19 hari setelah menerima vaksin.
    Dari 113 kematian tersebut, 20 orang di antaranya meninggal akibat infeksi Covid-19 (di mana 19 orang di antaranya belum memiliki perlindungan vaksin secara penuh; dan sisanya masih belum jelas). Sementara 43 orang di antaranya meninggal akibat kondisi yang sudah ada sebelumnya atau infeksi lain.
    Menurut arsip berita Tempo pada 14 Mei 2021, Badan Kesehatan Masyarakat Inggris justru menyatakan bahwa imunisasi massal vaksin virus Corona telah mencegah hampir 12 ribu kematian dan menangkal lebih dari 30 ribu rawat inap pada lansia.
    Dalam laporan Badan Kesehatan Masyarakat Inggris, hingga akhir April 2021, program imunisasi vaksin virus Corona telah mencegah 11.700 kematian pada kelompok usia 60 tahun ke atas di Inggris. Selain itu, diperkirakan bahwa 33 ribu lansia berusia 65 tahun ke atas tidak perlu dirawat inap setelah adanya imunisasi massal ini pada periode yang sama.
    Terkait riwayat Michael Yeadon, dilansir dari kantor berita Reuters, ia memang seorang mantan peneliti ilmiah dan wakil presiden di Pfizer. Dia pun ikut mendirikan perusahaan bioteknologi tersebut. Namun, kariernya berubah secara tidak terduga. Ia beberapa kali melontarkan pernyataan yang menyesatkan terkait vaksin Covid-19, salah satunya bahwa vaksin itu menyebabkan kemandulan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan 0,8 persen kematian dalam waktu dua minggu dan penerima vaksin yang masih hidup hanya bisa bertahan sekitar dua tahun, keliru. Klaim ini tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada, bahwa vaksin Covid-19 justru menyelamatkan lebih banyak manusia dari kematian. Di Inggris misalnya, imunisasi massal vaksin virus Corona telah mencegah hampir 12 ribu kematian.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8638) Keliru, Klaim Ini Video-video Pesawat Antariksa Cina yang Jatuh di Laut India

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/05/2021

    Berita


    Empat video yang memperlihatkan cahaya terang yang bergerak lambat melintasi langit beredar di Facebook. Video-video tersebut diklaim sebagai video pesawat antariksa milik Cina yang bergesekan dengan atmosfer saat jatuh dari luar angkasa ke laut India.
    Akun ini membagikan empat video tersebut pada 10 Mei 2021. Akun itu pun menulis narasi, “Itu bkn comet tapi itu pesawat antariksa apolo .. Milik cina yg jatuh Dari luar angkasa ke bumi. Bergesekan dgn atmosfir. Jatuhnya di laut india.”
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video-video yang diunggahnya. Video itu bukan video pesawat antariksa Cina yang jatuh.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, cahaya terang yang bergerak lambat melintasi langit dalam video-video tersebut disebabkan oleh roket Falcon 9 milik SpaceX, perusahaan antariksa yang didirikan oleh Elon Musk, yang turun dari orbit. Saat itu, Falcon 9, yang diluncurkan pada awal Maret 2021 lalu, gagal membuat "pembakaran deorbit" dan masuk kembali ke atmosfer.
    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video-video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image tool Google dan Yandex.
    Hasilnya, ditemukan kompilasi video-video yang identik yang pernah diunggah ke YouTube oleh kanal terverifikasi milik situs media KING 5 News pada 26 Maret 2021. Video itu berjudul “Streak of lights over Pacific Northwest was Falcon 9 rocket debris”.
    Dalam laporannya, KING 5 News menulis bahwa cahaya terang yang bergerak lambat itu terlihat di atas Pacific Nortwest, Amerika bagian utara, sekitar pukul 9 malam waktu setempat. Cahaya ini menarik perhatian warga yang tinggal di Kanada hingga oregon. Mereka menyangka bahwa cahaya itu merupakan hujan meteor atau komet yang terbakar saat memasuki atmosfer.
    James Davenport, asisten profesor peneliti astronomi di University of Washington, menyatakan bahwa cahaya tersebut disebabkan oleh roket Falcon 9 yang turun dari orbit. Dia mengatakan puing-puing roket itu kemungkinan berada sekitar 30 mil dalam atmosfer, dan tidak mungkin ada potongan substansial yang akan mencapai bumi. SpaceX, perusahaan antariksa milik Elon Musk, meluncurkan roket Falcon 9 tahap 2 ini pada 4 Maret 2021 lalu.
    Kompilasi video serupa juga pernah diunggah oleh kanal YouTube Global News pada 27 Maret 2021 dengan judul “SpaceX rocket debris likely the reason for strange lights seen in skies over Pacific Northwest”. Menurut Global News, yang mengutip penjelasan National Weather Service dan pakar astromoni, cahaya yang terlihat di British Columbia, Washington, dan Oregon itu kemungkinan besar adalah sampah luar angkasa.
    Orang-orang berspekulasi di media sosial tentang cahaya itu dan bertanya-tanya apakah benda tersebut merupakan meteor atau bahkan obyek tak dikenal. Astronom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, Jonathan McDowell, mengatakan di Twitter bahwa itu adalah roket tahap 2 SpaceX, Falcon 9, yang diluncurkan pada awal Maret lalu, yang gagal membuat "pembakaran deorbit" dan masuk kembali ke atmosfer.
    Peluncuran Falcon 9 oleh SpaceX pada 4 Maret ini disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube-nya. Video peluncuran itu diunggah dengan judul “Starlink Mission”.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, saat ini, SpaceX memiliki lebih dari seribu satelit Starlink di orbit karena membangun megaconstellation yang mampu menyediakan jangkauan internet berkecepatan tinggi secara global. Roket Falcon 9 untuk Starlink 17 mencakup pendorong tahap pertama yang sejauh ini telah terbang tujuh kali. Ini meluncurkan misi satelit Iridium-8 dan Telstar 18 Vantage, serta lima penerbangan Starlink.
    Booster ini siap menjadi booster Falcon 9 ketiga yang terbang delapan kali, dan jika semuanya berjalan lancar, akan mendarat di kapal drone "Of Course I Still Love You" di Samudera Atlantik sehingga dapat dipulihkan. Roket Block 5 Falcon 9 SpaceX itu dirancang untuk terbang hingga 10 kali sebagai bagian dari program penggunaan kembali perusahaan untuk menurunkan biaya peluncuran.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video pesawat antariksa milik Cina yang bergesekan dengan atmosfer saat jatuh dari luar angkasa ke laut India, keliru. Cahaya terang yang bergerak lambat melintasi langit dalam video-video tersebut disebabkan oleh roket Falcon 9 milik SpaceX, perusahaan antariksa yang didirikan oleh Elon Musk, yang turun dari orbit. Saat itu, Falcon 9, yang diluncurkan pada awal Maret 2021 lalu, gagal membuat "pembakaran deorbit" dan masuk kembali ke atmosfer.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan