• (GFD-2020-8121) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Kominfo Tak Mungkin Blokir Internet Papua seperti Pernyataan Menteri Johnny Plate?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/06/2020

    Berita


    Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny Plate, pada 4 Juni 2020 lalu, mengatakan bahwa pemerintah tidak mengambil keputusan dan kebijakan yang melanggar hukum terkait pemblokiran internet di Papua pada Agustus 2019. Johnny menyatakan tidak menemukan informasi adanya rapat di Kominfo soal pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
    "Secara teknis tidak mungkin Kominfo melakukan pemutusan akses internet atau pelambatan internet yang tata kelolanya berada pada manajemen operator seluler," kata Johnny kepada Tempo. Dia pun mengatakan, Kominfo belum menemukan dokumen yang menyebut operator seluler membuat kebijakan pelambatan internet di Papua dan Papua Barat saat itu.
    Johnny juga menuturkan belum ditemukan dokumen tentang keputusan pemerintah pusat, baik di kabinet maupun Kominfo, untuk melakukan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. "Bisa saja terjadi adanya perusakan terhadap infrastruktur telekomunikasi oleh kelompok yang tidak jelas dan itu berdampak pada gangguan internet di wilayah tersebut."
    Pernyataan Johnny ini merespon putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menyatakan Menteri Kominfo sebagai Tergugat I dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai Tergugat II melanggar hukum terkait kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus-September 2019.
    Kebijakan ini diambil menyusul meletusnya kerusuhan di kedua provinsi tersebut. Gugatan itu dilayangkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet. Ketika kerusuhan di Papua dan Papua Barat terjadi, Menkominfo masih dijabat oleh Rudiantara. Johnny baru menjabat sebagai Menkominfo pada Oktober 2019.
    Artikel ini akan memeriksa pernyataan Menkominfo Johnny Plate yang berbunyi "Kominfo tak mungkin blokir internet Papua", termasuk belum ditemukannya dokumen tentang keputusan pemerintah pusat, baik di kabinet maupun Kominfo, untuk melakukan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri dokumen yang diterbitkan Kominfo di situs resminya dan pernyataan Kominfo di media pada Agustus-September 2019. Kebijakanthrottlinghingga pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat oleh pemerintah diumumkan melalui siaran pers di laman resmi Kominfo.
    Tempo mendokumentasikan 10 siaran pers dari Kominfo yang berisi pengumumanthrottlingdan pemblokiran internet serta pengumuman pembukaan pemblokiran internet tersebut di Papua dan Papua Barat dalam rentang 19 Agustus-13 September 2019. Kominfo pun menyampaikan kebijakannya itu ke sejumlah media.
    Selain itu, Tempo menggunakan data konektivitas internet di Papua dan Papua Barat sepanjang 19-22 Agustus 2019 yang direkam oleh NetBlocks, jaringan masyarakat sipil yang fokus pada isu hak digital. Data ini didapatkan lewat pemetaan alamatInternet Protocol(IP) suatu negara secarareal timedan mengaitkan penyebab terjadinya pemadaman internet tersebut.
    Sebagai informasi, persekusi dan tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pada 16 Agustus 2019 memicu protes warga Papua dan Papua Barat. Dimulai pada 19 Agustus 2019, ribuan warga di Kota Manokwari dan Sorong, Papua Barat, turun ke jalan. Aksi tersebut kemudian berakhir ricuh. Gedung DPRD Papua Barat jadi sasaran amuk massa dan dibakar.
    Setelah reda, protes berlanjut di sejumlah daerah di Provinsi Papua, mulai dari Sentani, Abepura, Kotaraja, Deiyai, hingga Jayapura yang menyebabkan beberapa warga tewas. Dengan alasan untuk mencegah peredaran hoaks selama kerusuhan itu, pemerintah melalui Kominfo melakukanthrottlinghingga pemblokiran internet sejak 19 Agustus 2019.
    Menurut AccesNow,throttlingadalah pelambatan seluruh koneksi jaringan. Sedangkan pemblokiran internet utamanya menyasar materi atau platform tertentu. Pemblokiran seluruh media sosial atau aplikasi pesan singkat bisa berdampak seperti halnya pemadaman jaringan, kemampuan untuk berkomunikasi sangat terbatas dan akses informasi dilarang.
    Siaran Pers Kominfo Terkait Throttling hingga Pemblokiran Internet
    Terdapat tiga tindakan pembatasan internet yang dilakukan Kominfo, yakni:
    1.Throttlingdi beberapa wilayah Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019 pada pukul 13.00-20.30 WIT
    Kebijakan ini diumumkan melalui Siaran Pers No. 154/HM/KOMINFO/08/2019 tentang Pelambatan Akses di Beberapa Wilayah Papua Barat dan Papua pada Senin, 19 Agustus 2019. Siaran pers ini dipublikasikan di situs resmi Kominfo dengan tautan yang telah diarsipkan Tempo di sini.
    Siaran pers itu berisi pengumuman bahwa:
    Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan throttling atau pelambatan akses/bandwidth di beberapa wilayah Papua Barat dan Papua di mana terjadi aksi massa pada Senin (19/8/2019), seperti Manokwari, Jayapura, dan beberapa tempat lain. Pelambatan akses dilakukan secara bertahap sejak Senin (19/8/2019) pukul 13.00 WIT. Sehubungan dengan situasi di wilayah Papua sudah kondusif, maka mulai malam ini (Pukul 20.30 WIT) akses telekomunikasi sudah dinormalkan kembali. Dapat kami sampaikan bahwa tujuan dilakukan throttling adalah untuk mencegah luasnya penyebaran hoaks yang memicu aksi.
    Pelambatan internet ini juga diberitakan oleh Tempo yang mewawancarai Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu, pada 19 Agustus 2019.
    2. Pemblokiran layanan data di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus-6 September 2019 pukul 23.00 WIT.
    a. Kebijakan ini diumumkan di melalui Siaran Pers No. 155/HM/KOMINFO/08/2019 tentang Pemblokiran Layanan Data di Papua dan Papua Barat pada Rabu, 21 Agustus 2019. Siaran pers ini dipublikasikan di situs resmi Kominfo dengan tautan yang telah diarsipkan Tempo di sini.
    Siaran pers itu berisi pengumuman bahwa:Untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya, setelah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan Data Telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana Tanah Papua kembali kondusif dan normal.
    b. Pada 23 Agustus 2019, Kominfo kembali menerbitkan Siaran Pers No. 159/HM/KOMINFO/08/2019 tentang Pemblokiran Layanan Data di Papua dan Papua Barat Masih Berlanjut.
    Siaran pers ini berbunyi:
    Merujuk Siaran Pers Kementerian Komunikasi dan Informatika No. 155/HM/KOMINFO/08/2019 tanggal 21 Agustus 2019 mengenai Pemblokiran Layanan Data di Papua dan Papua Barat, dengan ini disampaikan bahwa hingga saat ini, Jumat (23/8/2019) pemblokiran data internet pada layanan operator seluler masih berlanjut. Pemblokiran layanan data atau internet tersebut akan berlangsung sampai situasi dan kondisi Papua benar-benar normal. Untuk saat ini, masyarakat tetap bisa berkomunikasi dengan menggunakan layanan panggilan telepon dan layanan pesan singkat/SMS.
    c. Pada 29 Agustus 2019, Kominfo menerbitkan Siaran Pers No. 163/HM/KOMINFO/08/2019 tentang Pernyataan Pers Menkominfo RI.
    Siaran pers ini menyatakan kebijakan pemerintah hanya sebatas melakukan pembatasan terhadap layanan data (tidak ada kebijakan blackout), sementara layanan suara (menelepon/ditelepon) serta SMS (mengirim/menerima) tetap berfungsi. Siaran pers ini juga menjelaskan bahwa layanan suara dan SMS hari itu tidak bisa digunakan karena ada pihak yang memotong kabel utama jaringan optik Telkom di Jayapura. Hal ini mengakibatkan matinya seluruh jenis layanan seluler di banyak lokasi di Jayapura.
    d. Pada 4 September 2019, Kominfo menerbitkan Siaran Pers No. 170/HM/KOMINFO/09/2019 tentang Pemerintah Secara Bertahap Buka Blokir Layanan Data di Papua dan Papua Barat.
    Siaran pers ini berisi pengumuman pembukaan pemblokiran layanan data di 19 kabupaten di Papua. Sembilan belas daerah itu adalah Keerom, Puncak Jaya, Puncak, Asmat, Boven Digoel, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Intan Jaya, Yalimo, Lanny Jaya, Mappi, Tolikara, Nduga, Supiori, Waropen, Merauke, Biak, Yapen, dan Sarmi. Sementara 10 kabupaten/kota lainnya di Papua, yakni Mimika, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Numfor, Kota Jayapura, Yahukimo, dan Nabire, masih akan dipantau situasinya dalam 1-2 hari ke depan.
    Pembukaan pemblokiran layanan data juga dilakukan di 10 kabupaten/kota di Papua Barat, yakni Fakfak, Sorong Selatan, Raja Ampat, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kaimana, Tambrauw, Maybrat, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak. Untuk Kota Sorong, Kabupaten Sorong, dan Kota Manokwari, masih akan dipantau situasinya dalam 1-2 hari ke depan.
    e. Pada 6 September 2019, Kominfo menerbitkan Kesimpulan

    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pernyataan bahwa Kominfo tidak mungkin melakukan pemblokiran internet adalah pernyataan yang keliru. Faktanya, Kominfo memang melakukan pelambatan dan pemblokiran internet di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus-10 September 2019. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Kominfo melalui 10 siaran pers yang hingga saat ini masih ditampilkan di situs resmi Kominfo.
    Terkait gangguan internet yang diklaim bisa saja terjadi karena adanya perusakan terhadap infrastruktur telekomunikasi juga keliru. Pada 29 Agustus 2019, Kominfo memang mengumumkan adanya pemotongan kabel utama jaringan optik Telkom di Jayapura oleh pihak tertentu yang mengakibatkan matinya seluruh jenis layanan seluler di banyak lokasi di Jayapura. Akan tetapi, kebijakan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat telah diumumkan sejak 19 Agustus 2019, sementara kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat telah diumumkan sejak 21 Agustus 2019. Kebijakan itu pun diumumkan sendiri oleh Komi

    Rujukan

  • (GFD-2020-8120) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Isi Tulisan yang Berjudul Dugaan Konspirasi Covid-19 Bukan Isapan Jempol?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Setyo Hajar Dewantoro mengunggah sebuah tulisan panjang yang berjudul "Cerita Unik tentang Covid-19: Indikasi bahwa Dugaan Konspirasi Bukan Isapan Jempol" pada 3 Juni 2020. Tulisan itu mengulas hal-hal yang ia klaim sebagai indikasi bahwa pandemi Covid-19 hanyalah sebuah konspirasi.
    Klaim-klaim yang akun tersebut tulis antara lain bahwa tidak ada tragedi Covid-19 di Pekalongan, Jawa Tengah, meskipun warganya tidak mematuhi protokol pencegahan Covid-19. Kemudian, ia menyinggung penggunaan minyak kayu putih serta vitamin C dan E sebagai obat pasien Covid-19.
    “Bukankah berita kesembuhan pasien dengan minyak kayu putih, vitamin, dan obat lainnya, dalam jumlah yang sangat signifikan: 8.406 atau sekitar 30 persen dari jumlah orang yang terdeteksi postif Covid 19, dengan telak mematahkan dongeng bahwa Covid-19 belum ada obatnya? Obatnya ada dan sangat sederhana!” demikian narasi yang ditulis akun tersebut.
    Selain itu, akun ini menyinggung tentang banyaknya pasien meninggal yang "dipaksakan" masuk dalam kategori "meninggal karena Covid-19". Ia mengklaim bahwa sebab kematian pasien-pasien itu sudah jelas karena penyakit lain. Hingga artikel ini dimuat, tulisan tersebut telah dibagikan lebih dari 150 kali dan disukai lebih dari 400 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Setyo Hajar Dewantoro.

    Hasil Cek Fakta


    Tempo menggunakan penjelasan sejumlah ahli dan sumber kredibel lainnya untuk memeriksa klaim-klaim dalam tulisan yang berjudul “Cerita Unik tentang Covid-19: Indikasi bahwa Dugaan Konspirasi Bukan Isapan Jempol” tersebut. Berikut hasilnya:
    Klaim 1: Warga Pekalongan membuktikan bagaimana sikap hidup yang sama sekali tak sesuai dengan protokol kesehatan ala WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), tidak mendatangkan tragedi apapun pada mereka.
    Fakta:
    Kasus pertama Covid-19 yang menimpa tiga warga di Pekalongan diumumkan pada 9 April 2020 lalu. Setelah ditemukannya kasus pertama ini, pemerintah setempat pun memberlakukan social distancing. Jumlah kasus positif Covid-19 ini juga terus meningkat. Hingga 5 Juni 2020, jumlah kasus positif Covid-19 di Pekalongan mencapai 16 orang dengan dua pasien meninggal. Dengan demikian, klaim bahwa tidak ada kasus Covid-19 di Pekalongan meski warganya tidak menaati protokol pencegahan keliru.
    Sumber: Kompas.com dan situs resmi  Kota Pekalongan
    Klaim 2: Bukankah berita kesembuhan pasien dengan minyak kayu putih, vitamin, dan obat lainnya, dalam jumlah yang sangat signifikan: 8.406 atau sekitar 30 persen dari jumlah orang yang terdeteksi postif Covid-19, dengan telak mematahkan dongeng bahwa Covid-19 belum ada obatnya? Obatnya ada dan sangat sederhana!
    Fakta:
    Terkait minyak kayu putih atau Eucalyptus, memang pernah ada penelitian bahwa Eucalyptus efektif dalam membunuh virus Betacorona, tapi bukan virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Virus Corona penyebab Covid-19 memang termasuk dalam keluarga virus Betacorona. Namun, SARS-CoV-2 termasuk Betacorona yang lebih baru dan khusus. Dengan demikian, Eucalyptus belum bisa dianggap sebagai obat bagi Covid-19. "Harus diujikan dulu pada virus yang spesifik, yaitu SARS-CoV-2. Penelitian yang sudah ada itu di Betacorona. Jadi, semua masih berupa prediksi, dan Eucalyptus belum bisa disebut sebagai obat Covid-19," kata Inggrid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia.
    Sedangkan terkait dengan vitamin C dan E, dalam Protokol Tata Laksana Covid-19 yang diterbitkan oleh lima organisasi profesi dokter Indonesia, memang disebutkan mengenai pemakaian kedua vitamin itu bagi pasien Covid-19 dengan gejala ringan, tapi juga dibarengi dengan penggunaan Azitromisin dan antivirus Oseltamivir atau Favipiravir. Untuk pasien dengan gejala berat, tata laksananya lebih kompleks. Misalnya, pasien dengan gagal napas, dalam tata laksananya diberikan alat bantu napas mekanik.
    WHO menyatakan, meskipun beberapa pengobatan barat, tradisional, maupun rumahan dapat meringankan dan mengurangi gejala ringan Covid-19, belum ada obat yang telah terbukti dapat mencegah atau menyembuhkan Covid-19. WHO tidak merekomendasikan pengobatan mandiri dengan obat apapun, termasuk antibiotik, untuk mencegah atau menyembuhkan Covid-19. Namun, beberapa uji klinis sedang berlangsung terhadap obat-obatan barat maupun tradisional. WHO sedang mengoordinasikan upaya-upaya pengembangan vaksin dan obat untuk mencegah dan mengobati Covid-19 dan akan terus memberikan informasi terbaru seiring tersedianya temuan klinis.
    Sumber: situs resmi  WHO, situs resmi  Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Tempo CekFakta
    Klaim 3: Semakin banyak terungkap cerita tentang pasien meninggal yang "dipaksakan" agar masuk kategori "meninggal karena Covid 19". Padahal sebab meninggalnya jelas karena penyakit lain.
    Fakta:
    Tidak ada data pasien Covid-19 meninggal yang dipaksakan. Kasus meninggal yang diumumkan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, setiap hari pukul 15.00 WIB adalah kasus yang menimpa pasien yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19. Hingga 5 Juni 2020, tingkat kematian pasien Covid-19 di Indonesia adalah 5,97 persen.
    Faktor komorbid atau penyakit penyerta menjadi penyebab banyaknya kasus kematian Covid-19 di Indonesia. Faktor pemberat penyebab meninggalnya kasus Covid-19 ini antara lain hipertensi, sesak napas yang bisa terjadi karena asma dan TBC, serta diabetes. Namun, kasus kematian Covid-19 tidak hanya terjadi pada pasien dengan penyakit penyerta.
    Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat tiga faktor penyebab tingginya kematian Covid-19 di Indonesia. Ketiganya adalah terlambatnya penanganan pasien karena sistem rujukan yang kacau, lambatnya pemeriksaan hasil uji swab pasien yang diduga terpapar virus Corona Covid-19, dan minimnya ventilator dibanding jumlah pasien yang membludak.
    Sumber: Situs resmi Kementerian Kesehatan, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 dalam arsip berita Tempo, dan IDI dalam arsip berita Tempo
    Klaim 4: PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diputuskan tanpa riset mendalam. Landasannya cuma sebuah asumsi: Covid 19 sangat berbahaya dan mudah menyebar.
    Fakta:
    Lockdown, atau dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 disebut Karantina Wilayah, adalah salah satu cara yang menurut para ahli dapat memutus rantai penularan infeksi virus Corona. Pemerintah pun mengambil kebijakan PSBB untuk memutus rantai penularan Covid-19, infeksi yang disebabkan oleh virus Corona baru bernama SARS-CoV-2.
    Dalam kajian Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, karantina wilayah diperlukan karena Covid-19 merupakan penyakit baru yang belum dipahami sifat-sifatnya, tapi sudah tersebar di 196 negara di dunia, yang masih terus diteliti pencegahan dan pengobatannya. Covid-19 memiliki perjalanan penyakit yang cepat dan sangat mudah menular melalui droplet atau kontak serta dapat bertahan di permukaan benda cukup lama.
    Dalam waktu satu pekan, kondisi pasien Covid-19 dapat memburuk, membutuhkan ventilator dan ruang insentif, hingga meninggal dunia. Laju kematian global mencapai 4,3 persen. Sebagian besar mengenai kelompok usia lanjut dan pasien dengan penyakit penyerta, seperti kardiovaskular, diabetes, paru kronis, hipertensi, kanker, dan autoimun. Menurut PAPDI, jika rantai penyebaran Covid-19 tidak segera diputus, dampaknya adalah peningkatan jumlah kematian. Kematian massal ini bisa terjadi di kelompok usia produktif sehingga mengakibatkan hilangnya sebuah generasi.
    Sumber: Tempo
    Klaim 5: Tanpa Covid-19 pun, angka meninggal dunia di Indonesia bisa mencapai 435.000 orang per tiga bulan. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan pada asumsi Covid-19 sangat berbahaya sementara data faktual menunjukkan lethality ratio-nya sangat rendah?
    Fakta:
    Tingkat kematian di Indonesia pada 2019 memang mencapai 6,5 persen atau sekitar 1,6 juta dalam setahun. Sedangkan angka kematian akibat positif Covid-19 per 5 Juni 2020 sebesar 1.721 orang. Dengan jumlah tersebut, menurut Johns Hopkins University School of Medicine, Indonesia menempati urutan ke-22 angka kematian terbanyak dari seluruh negara yang terpapar Covid-19.
    Akan tetapi, menurut LaporCovid-19, jumlah kematian pasien terduga Covid-19, yakni Orang dalam Pemantauan (ODP) dan

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, isi tulisan yang berjudul "Cerita Unik tentang Covid-19: Indikasi bahwa Dugaan Konspirasi Bukan Isapan Jempol" tersebut menyesatkan. Dalam tulisan itu, memang terdapat beberapa data yang benar, seperti 25 pasien Covid-19 di RS Dokter Haryoto Lumajang yang sembuh dan anggaran yang disediakan pemerintah untuk menangani pasien Covid-19. Namun, fakta-fakta itu dikaitkan dengan data lain yang keliru dan tidak berbasis penelitian ilmiah sehingga menyesatkan publik.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8119) [Fakta atau Hoaks] Benarkah JK Perbolehkan Salat Jumat di Masjid Mulai 5 Juni Ini?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/06/2020

    Berita


    Narasi bahwa Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla (JK) memperbolehkan salat Jumat secara berjamaah di masjid mulai 5 Juni 2020 beredar di media sosial. Narasi ini dilengkapi dengan sebuah video JK ketika diwawancarai oleh wartawan mengenai kembali dibukanya masjid di tengah pandemi virus Corona Covid-19.
    Dalam video berdurasi 31 detik itu, JK mengatakan, "Pertama, kenapa masjid harus lebih dulu buka sebelum yang lain, suatu negara harus ada rohnya, roh keagamaan. Kita mesti berdoa. Nanti setelah ini baru kantor dan mal bisa buka. Kalau masjid buka, gereja buka, silahkan yang lain buka. Baru ada rohnya bangsa ini. Buat apa kita peringati 1 Juni, Pancasila, kalau kita tidak melaksanakan yang tertinggi, Ketuhanan yang Maha Esa."
    Adapun salah satu akun Facebook yang membagikan video tersebut adalah akun Muhammad Usman, tepatnya pada 4 Juni 2020. Akun ini pun menuliskan narasi, "Ketua DMI (Dewan Mesjid Indonesia) Muhammad Jusuf Kalla. MengInstrupsikan Mulai Besok Sudah Boleh Melaksanakan Ibadah Sholat Jum'at Di Mesjid." Hingga kini, video itu telah ditonton lebih dari 10 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muhammad Usman.
    Apa benar Ketua Umum DMI Jusuf Kalla memperbolehkan salat Jumat secara berjamaah di masjid mulai 5 Juni 2020?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, video Jusuf Kalla yang diunggah oleh akun Muhammad Usman di atas merupakan potongan dari video dengan durasi yang jauh lebih panjang, yakni 9 menit 14 detik, yang diunggah oleh kanal YouTube Suaradotcom pada 3 Juni 2020. Video itu berjudul "Pantau Kesiapan Masjid Jelang New Normal, JK: Yang Pakai Masker Boleh Masuk".
    Menurut keterangannya, video itu memperlihatkan JK ketika meninjau kesiapan Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan, pada 3 Juni 2020 menjelang penerapan skenario tatanan hidup baru atau new normal. Di sana, JK memantau petugas Palang Merah Indonesia (PMI) serta anggota TNI yang menyemprotkan disinfektan ke seluruh bagian masjid. Selain itu, mantan Wakil Presiden RI ini juga memantau ketersediaan tempat cuci tangan dan protokol kesehatan lainnya.
    Berikut pernyataan lengkap JK dalam video tersebut:
    "Kedatangan saya hari ini di Masjid Al Azhar dengan Pak Jimly, dengan Pak Syaf, Waketum DMI, pertama untuk melihat kesiapan, untuk kembali kita di Jakarta ini secara resmi, karena ada juga yang tidak resmi, melaksanakan salat Jumat insya Allah lusa. Ini setelah saya sebagai Ketua DMI berkonsultasi dengan Pak Presiden dan Pak Gubernur DKI. Bahwa, apabila DKI besok tidak lagi memperpanjang PSBB, maka berarti ada perbaikan yang signifikan di DKI dan juga daerah-daerah lainnya, karena itulah maka tempat-tempat umum dapat dibuka dengan syarat melaksanakan protokol kesehatan yang ketat. Nah, setelah kita pelajari, protokol kesehatan yang paling ketat itu dapat dilaksanakan justru di rumah ibadah, masjid, gereja, dan sebagainya. Karena protokol kesehatan itu kan tiga: jaga jarak minimum satu meter, pakai masker, dan cuci tangan. Semua itu dilaksanakan di masjid. Kita jaga jarak semeter. Pakai masker. Jadi, kalau ada jemaah tidak pakai masker, suruh dulu pakai masker baru boleh masuk. Kemudian, cuci tangan. Di setiap pintu ada disinfektan atau sabun, atau di tempat wudhu mesti ada sabun. Karena itulah maka yang paling aman dalam situasi ini justru di rumah ibadah. Berbeda dengan di pasar atau di mal, mungkin Anda tidak bisa jaga jarak dengan betul. Tidak bisa cuci tangan setiap saat. Dan kedua, di masjid itu paling lama setengah jam orang salat Jumat. Apalagi kita minta diperpendek. Itulah kenapa Pak Presiden dan Pak Gubernur dengan DMI sepakat untuk mulai Jumat ini masjid buka. Karena itu, dengan syarat juga mesti masjid membersihkan masjid, disinfektan, seperti dilakukan ini. Kalau tidak bisa dengan semprotan, maka dibersihkan dengan apa yang telah kita bagikan, dengan Wipol dan sebagainya, masjid-masjid itu di lantai. Ini memang tidak bisa buka karpetnya karena terpasang, mati. Tapi semua jamaahnya harus bawa sajadah sendiri. Setidak-tidaknya kain untuk tempat sujud. Supaya jangan, kalau pun ada, tidak terkena. Itu yang kita sampaikan. Dan itu insya Allah semua masjid akan melaksanakan. Itu juga nanti gereja hari Minggu. Karena itulah maka Presiden besok salatnya di masjid Istana. Insya Allah kita akan salat di sini setelah 12 Jumat kita tidak salat Jumat. Paling lama ini dalam hidup saya tidak salat Jumat. Kadang-kadang juga salat Jumat di rumah."
    Setelah menjelaskan hal itu, terdapat seorang wartawan yang bertanya tentang pengawasan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan di setiap masjid. JK menjawab: "Coba lihat sebelah sana tuh. Itu apa di situ? Tempat cuci tangan kan? Berarti memenuhi syarat pintu ini. Tempat wudhu juga ada. Kemudian, nanti di pintu-pintu ada pengurus masjid, jaga masker. Kemudian, ukur suhu. Kemudian, jarak sudah diatur, tanda-tandanya. Jadi, memenuhi semua syarat."
    Terdapat pula wartawan yang kembali menanyakan, apabila pada 5 Juni PSBB DKI diperpanjang, apakah masjid tetap dibuka. Merespons pertanyaan itu, JK mengatakan: "Ya kalau tidak diperpanjang berarti masih ada bahaya. Jadi, syaratnya itu tidak diperpanjang. Sama dengan daerah lain. Daerah yang sudah aman, yang 120 itu, silakan. Tentu kita harapkan juga pengurus masjid melaporkan hal ini ke lurah masing-masing. Kan ada Menteri Agama minta itu ya, suruh mengajukan ke lurah masing-masing. Dan kami semua, Presiden, Gubernur sudah memperbolehkan."
    Terkait salat Jumat di zona merah, JK berkata, "Kalau zona merah, tentu sesuai pertimbangan wilayah masing-masing. Kalau lurah atau gugus tugasnya bilang bahaya, tentu silakan salat Jumat di tempat lain." Sementara cuplikan yang diunggah oleh akun Muhammad Usman dimulai pada menit 8:35 hingga wawancara berakhir.
    Dikutip dari Berisatu.com, DMI Pusat telah mengeluarkan surat edaran terkait pembukaan masjid untuk aktivitas ibadah, baik untuk ibadah wajib lima waktu maupun salat Jumat, khususnya dalam menyambut kenormalan baru. Menurut surat edaran itu, masjid hanya boleh menampung 40 persen jemaah dari kapasitas normal.
    "Karena ketentuan jaga jarak minimal satu meter, maka daya tampung masjid hanya 40 persen," kata Ketua DMI Jusuf Kalla pada 1 Juni 2020. Untuk memenuhi kebutuhan jemaah dan mempedomani tujuan syariat, salat Jumat juga bisa dilaksanakan di samping masjid, musala, dan tempat umum. Kemudian, bagi daerah yang padat penduduknya, salat Jumat bisa dilaksanakan dalam dua gelombang.
    Dilansir dari Kompas.com, pembukaan rumah ibadah di tengah pandemi Covid-19 juga telah diatur dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 tahun 2020 tentang Panduan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah agar Terhindar dari Penyebaran Covid-19. Surat edaran ini mengatur prosedur operasional standar di rumah ibadah, antara lain jaga jarak, penyediaan tempat cuci tangan atau hand sanitizer, dan pengecekan suhu tubuh jemaah.
    Jemaah juga harus mengenakan masker dan tidak berlama-lama berada di rumah ibadah. Selain itu, pengurus rumah ibadah juga harus memastikan bahwa penyelenggaraan kegiatan ibadah di tempat ibadahnya aman dari Covid-19, berdasarkan fakta lapangan dan mengajukan surat keterangan aman dari gugus tugas setempat.
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 5 Juni 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang mengumumkan perpanjangan PSBB DKI Jakarta. Namun, PSBB yang disebut masa transisi menuju new normal ini melonggarkan berbagai kegiatan sosial dan ekonomi, termasuk pembukaan tempat ibadah.
    "Mulai 5 Juni kegiatan beribadah sudah bisa mulai dilakukan. Jadi masjid, musala, kemudian gereja, vihara, pura, kemudian kelenteng, semua sudah mulai bisa buka, tapi hanya untuk kegiatan rutin. Dan harus mengikuti prinsip-prinsip protokol kesehatan," ujar Anies pada 4 Juni 2020.
    Anies menyatakan bahwa masyarakat harus tetap menjaga jarak aman saat kegiatan di tempat ibadah. Jumlah orang dalam tempat ibadah juga tidak boleh lebih dari separuh kapasitas. Selain itu, kata dia, usai pelaksanaan ibadah, tempat ibadah harus disemprot dengan disinfektan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Ketua Umum DMI Jusuf Kalla memperbolehkan salat Jumat secara berjamaah di masjid mulai 5 Juni 2020 sebagian benar. Pernyataan JK tersebut terkait dengan penerapan skenario tatanan hidup baru atau new normal di DKI Jakarta. Terkait salat Jumat di zona merah, JK mengatakan pelaksanaan salat Jumat di wilayah tersebut harus sesuai dengan pertimbangan kepala daerah atau gugus tugas di sana.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8118) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ramuan Herbal Bernama Mio Kopi Bisa Obati Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/06/2020

    Berita


    Sebuah video yang berisi narasi bahwa seorang warga Lampung Selatan, Nyoman Subamio, menemukan obat Covid-19 yang bernama Mio Kopi beredar di WhatsApp. Menurut narasi dalam video yang berasal dari Radar TV Lampung ini, resep herbal itu bisa 100 persen mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru, SARS-CoV-2, tersebut.
    Berikut ini narasi dalam video tersebut:
    “Nyoman Subamio, seorang warga Lampung Selatan, mengaku menemukan obat Covid-19. Namanya adalah Mio Kopi. Sebuah resep herbal dengan komposisi manjur mampu menyembuhkan virus Corona, dan herbalis ini memastikan garansi kesembuhan 100 persen. Usaha Nyoman Subamio begitu keras untuk memastikan dan meyakinkan bahwa dirinya memiliki obat penyembuh Covid-19. Kepada sejumlah awak media, herbalis memiliki obat manjur untuk mengobati penderita Corona. Obatnya adalah Mio Kopi, sebuah racikan herbal rahasia dengan komposisi mengusir dan mencegah virus mematikan tersebut. Ia sudah berupaya menembus birokrasi, baik pemerintah pusat dan Provinsi Lampung, namun hanya dianggap sebagai angin lalu. Hebatnya, ia sudah menyurati Istana Presiden untuk membuktikan kehebatan obatnya ini. Ia berjanji, jika tidak sembuh, maka dirinya siap dijebloskan ke penjara.”
    Narasi itu disambung dengan penjelasan dari Subamio, yakni sebagai berikut:
    "Pak Presiden yang sangat saya hormati, saya yakin Pak Presiden mukjizat Mio Kopi bisa mengatasi Corona. Pak Presiden yang sangat saya hormati, nama saya Nyoman Subamio, viral di Lampung TV, 220 ribu lebih yang sudah menonton. Cuma, tidak ada respon sama sekali dari pejabat-pejabat yang ada di Lampung. Pak Presiden, mungkin saya orang pertama di dunia yang siap dan berani makan ludah orang yang kena infeksi Corona hanya untuk membuktikan kedahsyatan mukjizat Mio Kopi. Jika Bapak Presiden bersedia memberikan saya fasilitasi untuk dapat mengobati orang yang kena infeksi Corona, saya hanya butuh waktu tujuh hari saja Pak Presiden untuk membuktikan kedahsyatan mukjizat Mio Kopi ini. Dan Pak Presiden, saya jamin mukjizat Mio Kopi tanpa efek samping, 100 persen tanpa efek samping. Dan saya siap dipenjara jika ini tidak terbukti Pak Presiden."
    Gambar tangkapan layar video soal Mio Kopi yang beredar di WhatsApp.
    Apa benar ramuan herbal bernama Mio Kopi tersebut bisa mengobati Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Dilansir dari video di kanal YouTube Lampung TV yang dipublikasikan pada 25 April 2020, ramuan herbal Mio Kopi yang dibuat oleh Nyoman Subamio tersebut terdiri dari daun kelor, bawang merah, dan Tolak Angin Sido Muncul. Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai penelitian tentang pengaruh daun kelor, bawang merah, dan Tolak Angin terhadap virus Corona Covid-19.
    Daun kelor
    Dilansir dari Kompas.com, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Indonesia (UI) belum lama ini melakukan penelitian gabungan untuk mengetahui komponen dari bahan herbal yang bisa melawan infeksi virus Corona. Salah satu bahan alami yang diteliti adalah daun kelor.
    Menurut penelitian itu, senyawa-senyawa yang dianggap bermanfaat untuk menangkal virus Corona memang terkandung dalam daun yang memang sudah sering dijadikan obat herbal ini. Namun, penelitian ini masih dalam tahap awal sehingga diperlukan lebih banyak lagi riset untuk memastikan khasiat daun kelor terhadap penderita Covid-19.
    Menurut dokter sekaligus editor medis SehatQ, Karlina Lestari, masyarakat harus berhati-hati terhadap sejumlah klaim terkait tanaman herbal yang dianggap mampu mencegah Covid-19. Pasalnya, hingga saat ini, belum ada penelitian yang dengan jelas memaparkan bahwa obat herbal tertentu bisa menyembuhkan Covid-19.
    Lagipula, sejauh ini, obat-obat herbal yang diteliti terkait Covid-19 lebih bertujuan untuk melihat kemampuannya dalam meningkatkan sistem imun, bukan untuk benar-benar menyembuhkan. “Jangan percaya 100 persen dengan klaim tersebut karena penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan,” katanya. Ia menambahkan, cara mencegah Covid-19 yang paling benar saat ini adalah rajin mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir.
    Bawang merah
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 2 April 2020, bawang merah memang mengandung senyawa yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh. Dilansir dari kantor berita Antara, peneliti dari Padang, Sumatera Barat, Rasmi R, juga menyatakan bahwa bawang merah memiliki kandungan antioksidan sehingga dapat melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Meskipun begitu, belum ada penelitian bahwa bawang merah bisa mengobati Covid-19.
    Pada Maret 2020 lalu, beredar narasi bahwa bawang merah yang telah dikupas bisa menyedot bakteri dan virus, termasuk virus Corona Covid-19. Menurut ahli biologi yang dikutip organisasi cek fakta Snopes, sangat tidak masuk akal bawang dapat menyedot virus flu. Sebab, virus membutuhkan inang yang hidup untuk bertahan hidup. Virus pun tidak dapat mendorong dirinya keluar dari tubuh inangnya dan melintasi sebuah ruangan.
    Office for Science and Society Universitas McGill di Quebec, Kanada, menyatakan hal serupa. Justru, menurut mereka, bawang merah tidak mudah terkontaminasi bakteri karena mengandung senyawa sulfur yang bersifat anti-bakteri. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa bawang dapat melindungi seseorang dari flu yang disebabkan oleh virus.
    Mereka menuturkan mengupas bawang dapat memicu pelepasan enzim yang memulai reaksi kimia yang menghasilkan asam propenesulfenat, dan pada gilirannya menghasilkan asam sulfat. Asam sulfat inilah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu, permukaan bawang yang dikupas relatif cepat mengering, sehingga mengurangi kelembaban yang dibutuhkan bakteri untuk berkembang biak.
    Sejauh ini, penggunaan bawang merah yang telah dikupas pun tidak tercantum dalam rekomendasi pencegahan untuk virus Corona Covid-19. Pencegahan terbaik menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah sering mencuci tangan, menutup mulut saat batuk dengan siku yang terlipat atau tisu, dan menjaga jarak setidaknya 1 meter dari orang yang batuk atau bersin.
    Tolak Angin
    Dilansir dari Detik.com, Direktur Sido Muncul, Irwan Hidayat, mengatakan bahwa khasiat Tolak Angin lebih pada meningkatkan daya tahan tubuh. Menurut dia, Tolak Angin telah lolos uji klinis fase pertama serta menjadi obat herbal terstandar.
    "Karena tolak angin ini sebenarnya secara resmi telah lolos uji klinis fase pertama dan terbukti dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Kalau Covid-19 ini kan obatnya belum ada. Jadi, masalahnya, kalau daya tahannya membaik, dia bisa memperbaiki dirinya sendiri," ujar Irwan.
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 30 April 2020, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati meminta masyarakat lebih cermat dan bijaksana dalam memilih obat alternatif atau herbal untuk mencegah Covid-19. "Selama pandemi Covid-19, banyak bermunculan obat-obat alternatif yang diklaim bisa mengatasi virus ini," kata Zullies.
    Menurut dia, kemunculan sejumlah produk alternatif itu berawal dari keprihatinan atas belum adanya obat untuk Covid-19 yang benar-benar direkomendasikan. Kendati demikian, Zullies menyebut sebagian besar produk alternatif yang ada belum memiliki bukti ilmiah mampu mengatasi Covid-19.
    Meski ada bukti kesembuhan, dia menyebut hal tersebut berasal dari testimoni segelintir orang. Dengan demikian, masih sangat kurang untuk mendukung kemanjuran obat-obat tersebut. Apalagi, Covid-19 pada sebagian orang dengan kekebalan tubuh kuat tidak memberikan gejala dan bisa sembuh sendiri.
    Zullies mengapresiasi inovasi-inovasi obat baru untuk Covid-19 tersebut. Namun, inovasi itu harus tetap berada pada koridor ilmiah yang dapat ditelusuri dan dibuktikan. Kendati Indonesia kaya akan tanaman obat yang berpotensi mengatasi Covid-19, menurut dia, pengembangan obat baru dari herbal tetap harus mengikuti kaidah ilmiah yang berlaku.
    Menurut Zullies, ketika memilih obat-obat untuk mencegah atau mengatasi Covid-19, masyarakat bisa menggunakan obat-obat herbal yang telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Untuk memastikan produk-produk yang telah terdaftar di BPOM dan mendapat izin edar, masyarakat bisa mengaksesnya melalui situs resmi BPOM.
    "Kalau produk yang didaftar sebagai pangan, maka produk tersebut tidak bisa memiliki izin edar sebagai suplemen kesehatan atau bahkan obat pada saat yang sama. Jadi, jika ada produk pangan yang diklaim memiliki efek pengobatan, itu perlu dipertanyakan," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa ramuan herbal Mio Kopi bisa mengobati Covid-19 belum bisa dibuktikan. Ramuan ini terdiri dari daun kelor, bawang merah, dan Tolak Angin. Hingga kini, penelitian tentang khasiat daun kelor terhadap penderita Covid-19 masih berlangsung. Selain itu, belum ada penelitian bahwa bawang merah bisa mengobati Covid-19. Adapun khasiat Tolak Angin lebih pada meningkatkan daya tahan tubuh.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan