(GFD-2020-8139) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ada Kata Pengantar Megawati dalam Buku-buku yang Disita TNI di Probolinggo?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 18/06/2020
Berita
Klaim bahwa TNI menyita buku-buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang di dalamnya terdapat kata pengantar dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, beredar di media sosial. Klaim itu terdapat dalam gambar tangkapan layar tautan artikel yang berasal dari blog Operain.
Artikel itu berjudul "TNI: Buku PKI Yang Kami Sita Terdapat Kata Pengantar Megawati Soekarnoputri & Eva Sundari". Terdapat pula foto seorang anggota TNI yang menunjukkan tiga buku yang disita. Di Facebook, gambar tersebut diunggah salah satunya oleh akun Al Qadri, yakni pada 13 Juni 2020.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Al Qadri.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri artikel yang terdapat di blog Operain tersebut. Namun, blog Operain tidak dapat lagi diakses. Di halaman utama blog itu, tertera pemberitahuan “Maaf, blog di operain.blogspot.com telah dihapus. Alamat ini tidak tersedia untuk blog baru.”
Dilansir dari situs cek fakta Turnbackhoax.id, judul artikel dalam gambar tangkapan layar itu merupakan hasil suntingan dan berasal dari situs penyebar hoaks yang saat ini sudah tidak bisa diakses. Dalam berita aslinya di situs Liputan6.com yang dimuat pada 30 Juli 2019, judulnya adalah “LBH Surabaya: Penyitaan Buku di Probolinggo Langgar Hukum”.
Adapun berita itu berisi kritik LBH Surabaya terhadap penyitaan buku-buku yang diduga memuat ajaran komunis milik komunitas Vespa Literasi oleh Polsek Kraksaan dan TNI Kabupaten Probolinggo pada 27 Juli 2019. Terdapat empat buku yang disita, yaitu "Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara", "Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia", "Menempuh Jalan Rakyat", dan "D.N. Aidit: Sebuah Biografi Ringkas".
Tempo pun memverifikasi apakah buku-buku yang disita di Probolinggo itu memuat kata pengantar dari Megawati. Berikut hasilnya:
Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara
Buku setebal 143 halaman ini merupakan satu dari empat seri buku Tempo, "Orang Kiri Indonesia", yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2010. Tidak ada kata pengantar dari Megawati di buku ini.
Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia
Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Cetakan pertama terbit pada 2014 dan cetakan kedua pada 2017. Kata pengantar dalam buku ini ditulis oleh si penulis, yakni Peter Kasenda.
Kata pengantar di buku "Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia".
Menempuh Jalan Rakyat
Dalam buku ini, juga tidak terdapat kata pengantar dari Megawati. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan pada 1952. Kata pengantar buku ini ditulis oleh penerbit.
Kata pengantar di buku "Menempuh Jalan Rakyat".
Buku dengan kata pengantar Megawati
Buku yang sempat disita oleh aparat gabungan dari Komando Distrik Militer (Kodim) dan Kejaksaan Padang yang di dalamnya terdapat kata pengantar dari Megawati adalah buku berjudul "Mengincar Bung Besar". Dilansir dari Detik.com, buku tersebut ditulis oleh Tim Majalah Historia.
Buku ini ditulis berdasarkan riset dan reportase mengenai upaya-upaya pembunuhan terhadap Presiden RI ke-1, Sukarno. Salah satunya ketika pria yang akrab disapa Bung Karno itu dilempari granat di daerah Cikini, Jakarta Pusat. "Soal sejarah, bukannyebarinkomunisme," kata Bonnie seperti dikutip dari Tirto.id.
Peluncuran buku itu pun, pada 30 November 2017 di Museum Nasional, dihadiri oleh Megawati dan juga mantan wakil presiden Try Sutrisno. "(Launching) bukunyaajayang menghadiri purnawirawan Jenderal TNI, masak bukunya disita dengan tuduhan komunisme?" kata Bonnie pada 10 Januari 2019.
Bonnie menduga razia yang dilakukan TNI terhadap buku yang ditulis oleh Historia itu sebagai upaya menghapus rekam sejarah tentang Bung Karno. Ia meminta aparat membaca buku itu terlebih dulu. “Pelajari dulu bukunya. Seharusnya juga kalau mau dirazia harus melalui pengadilan. Buku-buku itu juga harus jelas, misalnya yang menyebarkan ajaran kekerasan,” kata Bonnie.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa terdapat kata pengantar Megawati dalam buku-buku yang disita TNI di Probolinggo merupakan klaim yang keliru. Dalam buku-buku tersebut, yakni "Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara", "Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia", serta "Menempuh Jalan Rakyat", tidak terdapat kata pengantar dari Megawati.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1415953965271940&set=a.107991262734890&type=3&eid=ARDV8fXBpRk0GQk3r7T34mBtAgHfgDS2egRcJKxJRdJP934-3cIv9DzsE5kAQjovAvsaX-gE6Xo-3Aeg&_rdc=1&_rdr
- https://bit.ly/3hAlYqd
- https://bit.ly/3hAlYqd
- https://turnbackhoax.id/2020/06/12/salah-tni-buku-pki-yang-kami-sita-terdapat-kata-pengantar-megawati-soekarnoputri-eva-sundari/
- https://news.detik.com/berita/d-4378650/mengincar-bung-besar-peluncurannya-dihadiri-megawati-kini-disita-tni
- https://tirto.id/kata-penulis-yang-bukunya-dirazia-aparat-karena-judul-pki-sukarno-decU
(GFD-2020-8138) [Fakta atau Hoaks] Benarkah di Jerman Tiba-tiba Muncul Awan Hitam yang Disertai Suara Azan?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 17/06/2020
Berita
Akun Facebook Baharudinmajelis mengunggah sebuah video yang memperlihatkan orang-orang di jalanan sedang merekam situasi di sekitar mereka dengan kamera ponselnya. Dalam video yang diunggah pada 12 Juni 2020 tersebut, terdengar pula suara azan. Menurut akun ini, peristiwa dalam video itu adalah peristiwa munculnya awan hitam yang disertai suara azan di Jerman.
Berikut narasi yang ditulis oleh akun Baharudinmajelis: "Di Berlin , Jerman ada kejadian aneh, tiba-tiba ada awan hitam, dan muncul suara adzan menggema. Padahal gak ada Masjid .. , ALLAHU AKBAR ....."
Hingga artikel ini dimuat, unggahan video tersebut telah ditonton lebih dari 79 ribu kali, dibagikan lebih dari 2.700 kali, dan dikomentari sebanyak 147 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Baharudinmajelis.
Apa benar di Berlin, Jerman, tiba-tiba muncul awan hitam yang disertai dengan suara azan?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video unggahan akun Baharudinmajelis tersebut menjadi sejumlah foto dengantoolInVID. Kemudian, foto-foto tersebut ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex.
Hasilnya, diketahui bahwa video itu telah banyak dibagikan di YouTube pada awal April 2020, terutama dengan narasi berbahasa Turki. Salah satu kanal YouTube yang pernah mengunggah video itu adalah kanal Mustafa Turna, yakni pada 3 April 2020. Kanal ini memberikan judul yang jika diterjemahkan berarti "Azan dikumandangkan dengan lantang untuk pertama kalinya di ibukota Jerman, Berlin".
Berbekal petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan terkait peristiwa itu dengan memasukkan kata kunci “Azan in Berlin” ke mesin pencarian Google. Lewat cara ini, ditemukan bahwa sejumlah media pernah mempublikasikan video yang diambil dari peristiwa yang sama. Satu di antaranya adalah Ruptly, kantor berita yang berbasis di Berlin.
Dalam keterangan video yang diunggah di kanal YouTube-nya, Ruptly menjelaskan bahwa video tersebut memperlihatkan ratusan warga yang berkumpul di luar Masjid Dar Assalam, Berlin, pada 3 April 2020 untuk mendengarkan panggilan salat (azan). Azan ini bergema bersamaan dengan bunyi lonceng di gereja yang berada di dekat masjid tersebut.
Azan dan lonceng ini dibunyikan bersama-sama sebagai tanda solidaritas selama pandemi Covid-19. Namun, karena menyebabkan kerumunan orang dan melanggar aturanphysical distancing, polisi mendatangi masjid itu, berdiskusi dengan imam masjid, dan sepakat bahwa azan harus diakhiri lebih awal untuk memastikan kepatuhan atas aturanphysical distancing.
Meskipun begitu, menurut penyelenggara acara, termasuk Pusat Antar Budaya Gereja Genezarethkirche, azan dan lonceng itu akan terus dibunyikan bersama-sama setiap hari pada jam 6 sore waktu setempat. Namun, penyelenggara memastikan bahwa hari berikutnya akan terdapat instruksi di media sosial agar umat mengikuti panggilan untuk berdoa itu secaraonline.
Terdapat beberapa kesamaan dalam video unggahan akun Baharudinmajelis dengan video unggahan kanal Ruptly. Pertama, bentuk dan warna coklat masjid dengan sejumlah tenda berwarna putih di depannya. Kedua, bentuk dan warna gedung yang berada di kiri-kanan masjid, yakni gedung yang berwarna oranye dan merah muda.
Gambar tangkapan layar video unggahan kanal YouTube Ruptly (kiri) dan gambar tangkapan layar video unggahan akun Facebook Baharudinmajelis (kanan).
Dalam dokumentasi Google Street View pada Juni 2008, terlihat pula bentuk dan warna Masjid Dar Assalam yang sama dengan yang terlihat dalam video. Hanya saja, warna gedung yang berada di kanan masjid kini berubah dari sebelumnya abu-abu. Namun, bentuk gedung masih sama dengan yang terlihat dalam dokumentasi Google Street View pada Juni 2008.
Di Jerman, aksi melantunkan azan dan membunyikan lonceng gereja secara bersamaan sebagai tanda solidaritas selama pandemi Covid-19 tidak hanya dilakukan di Masjid Dar Assalam. Masjid dan gereja di kota selain Berlin juga menggelar aksi tersebut sejak akhir Maret 2020.
Menurut laporan Ruptly, pada 25 Maret 2020, azan juga dilantunkan di masjid Uni Turki-Islam untuk Urusan Agama (DITIB) di Duisburg bersamaan dengan pembunyian lonceng di gereja yang berlokasi di dekat masjid tersebut. Azan itu dikumandangkan pada jam 7 malam. Azan ini pertama kali dilantunkan oleh masjid DITIB sejak selesai dibangun pada 2008.
Meskipun begitu, untuk menekan penyebaran virus Corona Covid-19 di Jerman, tempat-tempat ibadah menangguhkan sementara layanan keagamaan. Hal ini dilakukan menyusul adanya pembatasan ketat terhadap pertemuan publik oleh pemerintah Jerman yang diumumkan pada 5 April 2020.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan di atas, klaim yang ditulis oleh akun Facebook Baharudinmajelis, bahwa di Berlin, Jerman, tiba-tiba muncul awan hitam yang disertai dengan suara azan, menyesatkan. Azan yang terekam dalam video yang menyertai klaim itu memang benar merupakan azan yang berkumandang di Berlin. Namun, bukan karena munculnya awan hitam, melainkan dilantunkan oleh Masjid Dar Assalam bersamaan dengan pembunyian lonceng gereja yang berlokasi di dekat masjid tersebut. Aksi ini adalah bagian dari gerakan solidaritas di tengah pandemi Covid-19.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8137) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Narasi yang Sebut Novel Baswedan Salahkan Jokowi dan Menyuruhnya Banding?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 17/06/2020
Berita
Akun Facebook Muhammad Bahrun Najach membagikan narasi yang menyebut penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, menyalahkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam unggahannya pada 13 Juni 2020 ini, akun itu juga meminta Novel untuk mengajukan banding.
Berikut narasi yang ditulis oleh akun tersebut: “Dan hasil putusan pengadilan yang terbuka pun jadi salah pak jokowi? Oee klo gk puas banding dong...”
Dalam unggahannya, akun itu pun menyertakan gambar tangkapan layar sebuah judul berita yang diklaim sebagai pernyataan Novel. Judul berita tersebut berbunyi "Novel Baswedan Muak, Marah Besar pada Jokowi: Anda Telah Membiarkan Semuanya Pak, Memang Keterlaluan!".
Dalam gambar tangkapan layar tersebut, tercantum bahwa berita itu dimuat pada 11 Juni 2020. Penulisnya bernama Restu. Namun, tidak diketahui situs apa yang memuat berita tersebut.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muhammad Bahrun Najach.
Hasil Cek Fakta
Terkait gambar tangkapan layar
Dengan memasukkan kata kunci “Novel Baswedan Muak, Marah Besar pada Jokowi: Anda Telah Membiarkan Semuanya Pak, Memang Keterlaluan!” di mesin pencarian Google, Tim CekFakta Tempo menemukan bahwa berita tersebut dimuat oleh situs Pojok Satu pada 11 Juni 2020.
Berita ini berisi tanggapan Novel terkait ringannya tuntutan jaksa terhadap dua terdakwa kasus penyiraman air keras yang menimpanya. Dua terdakwa itu, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, hanya dituntut satu tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 11 Juni 2020.
Dalam berita itu, terdapat tiga kutipan pernyataan Novel, yakni:
“Hari ini kita lihat apa yg saya katakan bhw sidang serangan terhadap saya hanya formalitas. Membuktikan persepsi yg ingin dibentuk n pelaku dihukum ringan.”
“Keterlaluan mmg... sehari2 bertugas memberantas mafia hukum dgn UU Tipikor.. tetapi jadi korban praktek lucu begini.. lebih rendah dari org menghina.. pak @jokowi, selamat atas prestasi aparat bapak. Mengagumkan..."
“Melihat kebusukan semua yg mrk lakukan rasanya ingin katakan TERSERAH.. Tp yg mrk lakukan ini akan jadi beban diri mrk sendiri, krn semua akan dipertanggunghawabkan. Termasuk pak @jokowi yang membiarkan aparatnya berbuat spt ini.. prestasi?”
Menurut situs Pojok Satu, pernyataan itu diambil dari cuitan Novel di akun Twitter-nya, @nazaqistsha, pada 11 Juni 2020. Tempo pun memeriksatweetNovel. Hasilnya, memang benar bahwa tiga pernyataan itu dicuitkan oleh Novel. Dalam tigatweetitu, dia menunjukkan kekecewaannya terhadap proses hukum atas kasus penyiraman air keras yang menimpanya.
Terkait narasi
Narasi yang ditulis oleh akun Muhammad Bahrun Najach, yakni “Dan hasil putusan pengadilan yang terbuka pun jadi salah pak jokowi? Oee klo gk puas banding dong...”, keliru. Saat ini, sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel masih dalam tahap tuntutan dari jaksa penuntut umum, belum masuk pada tahap putusan dari majelis hakim.
Menurut tata urutan persidangan pidana, setelah tuntutan dibacakan, sidang akan dilanjutkan dengan pembelaan atau pledoi dari terdakwa. Kemudian, sidang dilanjutkan dengan replik, duplik, dan terakhir putusan majelis hakim. Setelah putusan, terdakwa maupun pelapor bisa mengajukan banding atau menerima hasil putusan.
Pasca dibacakannya tuntutan dalam sidang pada 11 Juni 2020, Novel berharap Jokowi turun tangan agar kasusnya bisa lebih terang benderang. Sebab, menurut Novel, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, ia seharusnya bisa menanyakan hal tersebut kepada Jokowi sebagai pemegang kekuasaan pertama. Jika Jokowi ingin membangun sistem peradilan yang lebih baik, Novel berharap kasusnya bisa diinvestigasi kembali oleh Jokowi.
"Saya yakin beliau akan turun untuk melihat fakta itu dan menginvestigasi. Idealnya begitu, saya tak yakin Presiden abai dengan fakta ini, yang hal itu akan menunjukkan potret kerja Presiden sendiri yang tak baik," kata Novel dalam arsip berita Tempo pada 15 Juni 2020.
Menurut Novel dan juga tim advokasinya, tuntutan tersebut janggal. "Saya tidak mendapatkan tambahan informasi atau apapun yang semakin membuat yakin, sehingga saya sedikit pun tidak lebih yakin," kata Novel pada 13 Juni seperti dikutip dari arsip berita Tempo.
Pengacara Novel, Muhammad Isnur, mengatakan kejanggalan pertama adalah digunakannya pasal penganiayaan oleh jaksa penuntut umum. Ronny dan Rahmat disebut melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 353 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ini sesuai dengan dakwaan subsider.
Padahal, menurut Isnur, kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi menimbulkan akibat yang buruk, yakni meninggal. “Sehingga, jaksa harus mendakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," ujar Isnur.
Selain itu, berdasarkan pantauan tim advokasi Novel, setidaknya terdapat tiga saksi yang mestinya bisa dihadirkan. Tiga saksi itu juga sudah pernah diperiksa, baik oleh penyidik Polri, Komnas HAM, maupun Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan kepolisian. Namun, saksi-saksi penting ini tidak dihadirkan jaksa di persidangan.
Dalam fakta-fakta persidangan yang disampaikan oleh jaksa di berkas tuntutan pun, nihil informasi tentang sosok pemberi perintah. Anggota kuasa hukum Novel sekaligus Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi yang ditulis oleh akun Muhammad Bahrun Najach, bahwa Novel Baswedan salahkan Presiden Jokowi terkait putusan pengadilan atas kasusnya dan menyuruhnya banding, menyesatkan. Isi berita dalam gambar tangkapan layar yang diunggah oleh akun tersebut memang berasal dari cuitan Novel di Twitter. Namun, narasi yang menyebut Novel salahkan Jokowi soal putusan pengadilan dan memintanya banding keliru. Saat ini, sidang kasus penyiraman air keras terhadap Novel masih dalam tahap tuntutan dari jaksa penuntut umum, belum masuk pada tahap putusan majelis hakim.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- http://archive.ph/rN31D
- https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2020/06/11/novel-baswedan-muak-marah-besar-pada-jokowi-anda-telah-membiarkan-semuanya-pak-memang-keterlaluan/
- https://nasional.tempo.co/read/1353884/novel-baswedan-saya-akan-heran-jika-presiden-diam/full&view=ok
- https://fokus.tempo.co/read/1353633/tuntutan-ringan-dan-kejanggalan-penyerangan-novel-baswedan
(GFD-2020-8136) [Fakta atau Hoaks] Benarkah di RUU HIP Sila Pertama Pancasila Diubah Jadi Ketuhanan yang Berkebudayaan?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 16/06/2020
Berita
Klaim bahwa sila pertama Pancasila diubah dari "Ketuhanan yang Maha Esa" menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" beredar di Facebook. Menurut klaim tersebut, perubahan sila pertama Pancasila ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Salah satu akun yang membagikan narasi itu adalah akun Hafid Daeng Al Makassary, yakni pada 13 Juni 2020. Akun ini juga mengunggah foto siaran program Kabar Petang di stasiun televisi tvOne. Topik yang dibahas dalam siaran itu adalah "RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?".
Terdapat pula narasumber dalam program tersebut, yakni anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah dibagikan lebih dari 200 kali.
Gambar tangkapan layar akun Facebook Hafid Daeng Al Makassary.
Unggahan tersebut beredar di tengah penolakan RUU HIP yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU HIP masuk ke dalam program legislasi prioritas DPR pada 2020 dan sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR sebagai inisiatif DPR. Persetujuan ini diperoleh setelah mayoritas fraksi memberikan dukungan.
Salah satu ormas yang menolak RUU tersebut adalah Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Mereka menilai materi RUU HIP banyak bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah undang-undang. Hal itu berpotensi membuka kembali perdebatan ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir.
Namun, apa benar di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan"?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa foto yang diunggah oleh akun Hafid Daeng Al Makassary dengan memasukkan kata kunci sesuai judul program yang tertera, yakni "RUU Pancasila Buka Pintu Komunisme?", ke kolom pencarian di kanal YouTube tvOne.
Dengan cara itu, Tempo menemukan bahwa siaran program dengan narasumber anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu tersebut pernah ditayangkan pada 13 Juni 2020. Siaran itu diberi judul "Pasal 7 RUU Pancasila HIP Tuai Kontroversi, Abdul Mu'ti: Jangan Buka Sejarah yang Harusnya Dikubur".
Dalam siaran tersebut, disinggung tentang frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" yang tertera dalam Pasal 7 RUU HIP. Frasa ini menuai kontroversi karena dianggap mereduksi arti ketuhanan. Masinton membantah hal tersebut. Menurut dia, frasa itu muncul dalam pidato Bung Karno di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.
"Bahwa setiap orang Indonesia hendaknya percaya pada Tuhan. Landasan kepercayaan pada Tuhan ini satu-kesatuan dengan empat sila lainnya yang menghormati kemanusiaan, kehidupan, perbedaan, dan sebagainya. Ketika kita bicara Pancasila sejak proses kelahirannya pada 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, itu adalah satu tarikan napas, satu rangkaian proses historis bangsa kita dalam merumuskan Pancasila. Ini sudah disampaikan secara gamblang oleh Bung Karno dalam pidato di Sidang BPUPKI itu. Jadi, ini adalah sebuah penegasan dalam rangkaian proses historis itu. Nah, tentu Pancasila yang kita kenal saat ini adalah dengan urut-urutan sila yang sekarang. Namun, sebelum dia berproses menjadi urut-urutan sila yang sekarang, ada proses historis awalnya. Nah, di situlah diletakkan dalam draf RUU ini. Bukan berarti kita kemudian mengabaikan hal-hal lain yang sudah secara monumental dan bersama-sama, konsensus dasar berbangsa kita, tokoh-tokoh bangsa kita merumuskan ini dan menerima Pancasila secara bersama-sama. Maka, kesimpulannya, tidak ada yang berubah di sini. Justru saling menguatkan, menegaskan aspek historisnya," ujar Masinton.
Tempo pun mengecek draf RUU HIP yang diunggah di situs resmi DPR. Berikut narasi lengkap Pasal 7 yang memuat frasa “Ketuhanan yang Berkebudayaan”:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Dalam Pasal 7 tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Meskipun begitu, pasal ini menyinggung rumusan trisila-ekasila yang dinilai oleh PP Muhammadiyah mereduksi Pancasila.
RUU HIP tidak mendesak
Selain ormas, sejumlah akademisi mengkritik RUU HIP ini. Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan RUU HIP mengandung banyak pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement.
"Norma hukum biasanya mengatur perilaku dan kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal yang mengatur perilaku," kata Bivitri seperti dikutip dari Tirto. Dia pun menyatakan RUU ini tidak mendesak. "Pancasila tentu amat sangat penting, tapi masalah riil yang kita hadapi adalah pandemi COVID-19."
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar juga mempermasalahkan isi RUU HIP. Ia menilai banyak pasal yang isinya multitafsir dan akhirnya mubazir. "Misalnya, Pasal 7 yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno dijadikan bunyi pasal?" kata Zainal.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati sependapat dengan Bivitri. Menurut dia, RUU HIP tidak mendesak sama sekali. "Ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi. Persis seperti Orba (Orde Baru) karena terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila," kata Asfinawati.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa di RUU HIP sila pertama Pancasila diubah menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan" menyesatkan. Frasa itu memang disebutkan sebagai ciri pokok Pancasila dalam Pasal 7 RUU HIP. Namun, dalam RUU tersebut, tidak tercantum narasi bahwa sila pertama Pancasila diubah dari sebelumnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Meskipun begitu, sejumlah pihak menilai RUU HIP tidak mendesak untuk disahkan dan secara substansi mengandung pasal-pasal yang multitafsir.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- http://archive.ph/eHkqv
- https://nasional.tempo.co/read/1353954/pp-muhammadiyah-tolak-pembahasan-ruu-haluan-ideologi-pancasila/full&view=ok
- https://www.youtube.com/watch?v=338ynIMGF0U
- http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200609-010923-6831.pdf
- https://sumbar.antaranews.com/berita/365252/muhammadiyah-trisila-ekasila-dalam-ruu-hip-mereduksi-pancasila
- https://tirto.id/fHMp
Halaman: 4846/6297