(GFD-2020-8135) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Imigrasi Tahan 300 WNA Cina yang Bawa Ribuan Senjata Api di Tengah Pandemi Covid-19?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/06/2020
Berita
Klaim bahwa Dinas Imigrasi menahan 300 warga negara asing atau WNA asal Cina ilegal yang membawa ribuan senjata api beredar di media sosial. Menurut klaim yang terdapat dalam gambar berlogo CNN Indonesia itu, ratusan WNA Cina tersebut baru transit di Bandara Soekarno-Hatta dengan membawa 3 ribu senjata api AK-46 serta 5 ribu peluru.
Dalam gambar tersebut, tertulis bahwa penahanan itu terjadi pada 4 Juni 2020. Di bagian awal, tertulis narasi "Di saat rezim pemerintah menerapkan aturanlockdownyang harus dipatuhi oleh rakyat dengan tidak memberi jaminan uang untuk kebutuhan hidup sesuai undang-undang, di saat itu pula rezim menyelundupkan WNA Cina komunis ilegal secara masif terus-menerus."
Menurut klaim tersebut, para WNA Cina ilegal itu terindikasi sebagai Tentara Merah dan para intelijen Cina. "Sepertinya aparat kepolisian menutup mata dalam hal ini, atau mungkin malahmembackingi. Kedaulatan NKRI dan rakyat asli pribumi serta seluruh umat beragama di Indonesia sudah di ambang ancaman kepunahan," demikian narasi dalam klaim tersebut.
Dalam gambar tersebut, terdapat pula empat foto. Dua foto memperlihatkan puluhan senjata laras panjang. Satu foto memperlihatkan puluhan peluru. Sementara satu foto lainnya memperlihatkan puluhan warga Cina berbaju biru, yang beberapa di antaranya memakai helm.
Di Facebook, gambar tersebut diunggah salah satunya oleh akun Hendra Bastari, yakni pada 7 Juni 2020. Hingga artikel ini dimuat, gambar unggahan akun Hendra Bastari ini telah dibagikan lebih dari 150 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hendra Bastari.
Apa benar Imigrasi tahan 300 WNA asal Cina yang bawa ribuan senjata AK-46 di tengah pandemi Covid-19?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo memasukkan berbagai kata kunci terkait, mulai dari "Imigrasi tahan 300 WNA Cina" hingga “WNA Cina bawa senjata”, ke mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan adanya pemberitaan media terkait hal itu. Begitu pula saat Tempo melakukan pencarian di situs C NN Indonesia dengan kata kunci "Dinas Imigrasi Tahan 300 Orang WNA China Ilegal", tidak ditemukan berita dengan judul tersebut.
Foto-foto yang dicantumkan dalam gambar itu pun tidak terkait dengan klaim bahwa Imigrasi menahan 300 WNA Cina yang membawa ribuan senjata. Berdasarkan penelusuran Tempo denganreverse image toolSource, Google, Yandex, dan TinEye, berikut fakta atas foto-foto tersebut:
Foto I
Foto tumpukan peluru ini pernah dimuat di situs Luckygunner.com pada 22 Juni 2012, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Foto tersebut diberi keterangan: “Can you tell which of these rounds are .223 and which are 5.56? Because .223 Rem and 5.56 NATO share the same external dimensions, it can be hard to tell the difference.”
Foto II
Foto tumpukan senjata laras panjang tersebut pernah dimuat di situs stok foto Getty Images pada 29 Juli 2011, jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Foto itu diberi judul “Picture of part of the assault rifles se”. Adapun keterangan fotonya berbunyi: "Foto bagian dari senapan serbu yang disita oleh polisi Kolombia di Cali, Departemen Valle del Cauca, pada 29 Juli 2011. Polisi Kolombia menyita 47 senapan serbu Norinco 7,62 mm buatan Cina (replika AK-47) dan 215 amunisi. Menurut otoritas, senjata itu dimiliki oleh kelompok kriminal Los Comba. AFP PHOTO/Luis Robayo."
Foto III
Foto yang memperlihatkan puluhan warga Cina ini pernah dimuat di situs Antaranews.com pada 28 Januari 2020 dengan judul “Mencegah kedatangan TKA China demi menahan penyebaran corona”. Foto tersebut diberi keterangan: “Buntut merebaknya virus corona yang berasal dari kota Wuhan, China, membuat pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan serius. Keberadaan dan kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) China menjadi perhatian sejumlah daerah. Kantor Imigrasi dan Disnakertrans berupaya melakukan pencegahan, demi melindungi masyarakat Indonesia tertular virus mematikan itu. (Saharudin/Rangga Musabar/Soni Namura/Sizuka).”
Foto IV
Foto puluhan senjata laras panjang tersebut pernah dimuat di situs Merdeka.com pada 26 Juli 2012 dalam artikel foto yang berjudul “Puluhan senjata api diamankan Polda Metro Jaya”. Foto ini diberi keterangan: "Selain senpi, aparat juga berhasil mengamankan 56air soft gunlaras panjang dan 36 laras pendek. 1.736 Butir amunisi laras panjang dan pendek, juga amunisisoft gunsebanyak 57.605 butir diamankan."
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim dalam gambar unggahan akun Facebook Hendra Bastari, bahwa Imigrasi tahan 300 WNA asal Cina yang bawa ribuan senjata AK-46 di tengah pandemi Covid-19, keliru. Tidak ditemukan adanya pemberitaan media terkait hal itu. Di situs CNN Indonesia pun, yang logonya tercantum dalam gambar tersebut, tidak terdapat berita dengan judul yang memuat kalimat "Dinas Imigrasi Tahan 300 Orang WNA China Ilegal". Begitu pula dengan foto-foto yang dicantumkan, tidak terkait dengan klaim bahwa Imigrasi menahan 300 WNA Cina yang membawa ribuan senjata.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8134) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ribka Tjiptaning Sebut Ibu Jokowi Ketua Gerwani PKI?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/06/2020
Berita
Akun Facebook Dian Limaran mengunggah foto anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, pada 14 Juni 2020. Dalam foto itu, tertulis kalimat yang seolah-olah merupakan pernyataan Ribka, “Saya PKI. Jokowi tak berani Gebuk saya, karena ibunya ketum Gerwani PKI.”
Dalam unggahannya, akun Dian Limaran juga membagian sebuah tulisan panjang berjudul “29 bukti Presiden Jokowi PKI”. Tulisan ini antara lain berisi klaim bahwa Jokowi adalah keturunan PKI.“Jokowi sembunyikan indentitas asli dan tempat lahirnya. Jokowi semula tidak ngaku berasal dari Giriroto Ngemplak Boyolali, Basis PKI terbesar di Indonesia 1955-1965.”
Selain menyinggung Jokowi, tulisan itu juga menyebut bahwa nama asli orang tua Jokowi disembunyikan. “Jokowi sembunyikan nama asli orang tuanya. Widjiatno diganti dengan nama Noto Mihardjo. Sulami dipalsukan dengan Sudjiatmi,” demikian narasi dalam tulisan tersebut.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Dian Limaran.
Apa benar anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, menyebut bahwa ibu Jokowi Ketua Umum Gerwani PKI?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo memasukkan kata kunci “Saya PKI Jokowi tak berani gebuk saya karena ibunya Ketum Gerwani PKI” ke mesin pencarian Google. Namun, tidak ditemukan bahwa pernyataan tersebut pernah diucapkan oleh Ribka Tjiptaning di media.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Ribka pun tidak pernah menyatakan “Saya PKI”. Klaim ini memutarbalikkan kalimat yang menjadi judul buku yang pernah ditulis Ribka. Buku yang diterbitkan pada 2002 itu berjudul “ Aku Bangga Jadi Anak PKI ”.
PKI sendiri telah berakhir setelah Gerakan 30 September 1965 yang disusul dengan pembantaian besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pembubaran PKI pun telah dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Sejak saat itu, tidak ada lagi aktivitas PKI di Indonesia. Selain itu, Ribka lahir pada 1 Juli 1959. Pada 1965, Ribka baru berusia 6 tahun.
Terkait apakah ibu Presiden Jokowi adalah Ketua Umum Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), klaim ini sudah pernah diverifikasi oleh Tim CekFakta Tempo pada 5 April 2019.
Dua dosen dari perguruan tinggi yang berbeda menulis buku tentang asal-usul Jokowi. Hasil penelusuran kedua dosen itu, yang tertuang dalam buku yang berjudul "Jokowi dari Bantaran Kalianyar ke Istana", membantah fitnah yang menyebut Jokowi merupakan keturunan dari keluarga yang terkait dengan PKI.
Salah satu dosen yang menulis buku tersebut, Wawan Mas'udi, bercerita bahwa ia melacak sejarah asal-usul Jokowi mulai dari kakek-nenek serta kedua orang tuanya. "Kami mendatangi kampung-kampung tempat asal-usul keluarganya dan mengumpulkan beberapa sumber," katanya dalam acara bedah buku yang digelar di Solo pada 19 Desember 2018.
Kakek Jokowi dari jalur ayah, Lamidi Wiryomiharjo, merupakan kepala desa di Desa Krajan, Karanganyar, yang menjabat sejak 1950 hingga 1980-an. Jabatan Lamidi, menurut dia, sekaligus membantah fitnah bahwa Jokowi merupakan keturunan dari simpatisan PKI. "Orde baru tidak mungkin membiarkan orang yang tersangkut PKI jadi kepada desa," katanya.
Wawan adalah dosen Fakultas Ilmu Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Sedangkan dosen lain yang menulis buku itu, Ramdhon, adalah pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Sebelas Maret.
Dilansir dari laporan Tirto.id yang menjelaskan asal-usul ibu Jokowi menyebut bahwa ibu Jokowi bernama Sudjiatmi. Sudjiatmi lahir pada 15 Februari 1943 di Desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah. Sudjiatmi menikah dengan Widjiatno Notomihardjo pada 1959. Pasangan ini lalu pindah dari Boyolali ke Srambatan, Solo bagian utara. Pada 21 Juni 1961, lahir anak pertama mereka, Joko Widodo.
Sudjiatmi dan suaminya memang orang biasa yang bahkan pernah mengalami kehidupan sulit. Keluarga ini beberapa kali pindah rumah, termasuk pernah tinggal di permukiman kumuh di bantaran kali. Meski pernah mengalami masa sulit, pasangan Notomiharjo dan Sudjiatmi menyekolahkan Jokowi hingga ke perguruan tinggi, hingga sang putra merintis usaha mebel dan bisa memperbaiki taraf kesejahteraan keluarga.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa anggota DPR dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, menyebut bahwa ibu Presiden Jokowi Ketua Umum Gerwani PKI keliru. Ribka tidak pernah berkata “Saya PKI, Jokowi tak berani Gebuk saya, karena ibunya ketum Gerwani PKI”. Ribka hanya pernah menulis buku yang berjudul “Saya Bangga Jadi Anak PKI”. Ibu Jokowi pun bukan Ketua Umum Gerwani.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8133) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya Soal Pembatalan Ibadah Haji 2020?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/06/2020
Berita
Klaim bahwa Menteri Agama Fachrul Razi menarik ucapannya tentang pembatalan pemberangkatan calon jemaah haji 2020 beredar di media sosial. Menurut klaim dalam judul artikel di situs Sosok.politik.us tersebut, ibadah haji 2020 bisa dilaksanakan.
Artikel yang berjudul "KABAR GEMBIRA Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya, Ibadah Haji 2020 Bisa Dilaksanakan, Ini Syaratnya" itu dimuat pada 8 Juni 2020. Dalam artikelnya, diketahui bahwa situs tersebut menyadur dari situs media Medcom.id dan Tribun Timur, jaringan Tribunnews.
Artikel itu menyebut, jika ada kepastian dari pemerintah Arab Saudi, calon jemaah haji 2020 harus dikarantina selama 28 hari. “Proses karantina yang harus dilakukan para calon jemaah haji 14 hari sebelum berangkat ke Saudi dan 14 hari setelah sampai di Saudi,” kata Fachrul.
Selain itu, jika ada kepastian dari Pemerintah Arab Saudi, kloter pertama idealnya akan diberangkatkan pada 26 Juni 2020. Kalau pun diberangkatkan, kemungkinan hanya setengah dari kuota calon jemaah haji. “Mungkin juga tidak bisa berangkat, mungkin juga hanya setengah yang diperbolehkan berangkat dan dipastikan kesehatannya,” tutur Fachrul.
Gambar tangkapan layar artikel di situs Sosok.politik.us.
Apa benar Menag Fachrul Razi tarik ucapannya soal pembatalan ibadah haji 2020?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo denganplagiarism checker tool, artikel di atas bersumber dari situs Tribunnews yang dimuat pada 8 Juni 2020. Artikel itu berjudul “Kloter Pertama Calon Jemaah Haji Berangkat 26 Juni Jika Arab Saudi Kasih Kepastian, Wajib Karantina”.
Berita tersebut mengutip pernyataan Menag Fachrul Razi yang dimuat oleh situs Medcom.id pada 7 Juni 2020 dalam artikelnya yang berjudul "Karantina 28 Hari Jadi Pertimbangan Peniadaan Haji". Dalam artikel tersebut, Fachrul membeberkan alasan peniadaan penyelenggaraan ibadah haji 2020.
Menurut Fachrul, salah satu pertimbangannya adalah waktu karantina terkait pandemi virus Corona Covid-19. "Kalau dalam situasi sekarang, ada semacam isolasi atau karantina 14 hari pada saat sebelum ke Arab Saudi dan sampai di sana juga karantina 14 hari," kata Fachrul adlam program Crosscheck #FromHome by Medcom.id bertajuk "Untold Story di Balik Batal Haji 2020".Rentang waktu 28 hari tersebut, menurut Fachrul, tidak cukup jika menilik jadwal keberangkatan kloter pertama calon haji. Kloter pertama rencananya berangkat pada 26 Juni 2020. "Itu jadwal seharusnya. Begitu sampai di sana, (seharusnya) sudah masuk ke dalam rangkaian ibadah. Mestinya sebelum 1 Juni (diberangkatkan)," ujar Fachrul.
Dilansir dari situs resmi Kemenag, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Sekretaris Jenderal Kemenag Suhaili menegaskan bahwa berita yang menyebut Menag Fachrul Razi menarik ucapannya terkait pembatalan haji 2020 hoaks atau informasi bohong yang menyesatkan.
Menurut Suhaili, berita itu diunggah oleh Tribun Timur pada 8 Juni 2020 dengan judul "KABAR GEMBIRA Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya, Ibadah Haji 2020 Bisa Dilaksanakan, Ini Syaratnya". Dalam berita itu, disebutkan bahwa Fachrul memberikan klarifikasi terkait pembatalan keberangkatan calon jemaah haji 2020.
“Berita tersebut ditulis secara tidak tepat dengan mengutip dari media online lain, yaitu Medcom. Padahal, berita di Medcom sudah benar, tertulis dengan judul 'Karantina 28 Hari Jadi Pertimbangan Peniadaan Haji',” kata Suhaili pada 9 Juni 2020.
Menurut Suhaili, keputusan pembatalan keberangkatan calon jemaah haji 2020 itu sudah tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 Tahun 2020. Dalam keputusan itu, tidak terdapat pengandaian bersyarat jika pemerintah Arab Saudi memutuskan digelarnya ibadah haji.
Fachrul pun, menurut Suhaili, tidak pernah menyampaikan pengandaian bersyarat semacam itu. Fachrul justru menjelaskan alasan pembatalan keberangkatan, salah satunya terkait keharusan penerapan protokol kesehatan berupa karantina di masa pandemi yang secara waktu tidak memungkinkan lagi.
Berdasarkan arsip berita Tempo, Kemenag menyatakan meniadakan ibadah haji 2020 karena pandemi Covid-19 masih menghantui dunia, khususnya Arab Saudi. Menteri Agama Fachrul Razi, dalam konferensi pers virtual pada 2 Juni 2020, mengatakan bahwa pandemi ini berdampak pada semua aspek sosial keagamaan.
Menurut Fachrul, Kemenag sebelumnya telah membentuk Pusat Krisis Haji 2020. Pusat krisis ini diberi mandat untuk membuat mitigasi penyelenggaraan haji 2020. "Tim ini sudah membentuk kajian khusus tiga skema penyelenggaraan haji," kata Fachrul.
Ketiga skema ini adalah haji normal, dibatasi, atau dibatalkan. Masuk Mei, opsi mengerucut pada pembatasan atau pembatalan. Menurut dia, Arab Saudi tak kunjung membuka akses haji untuk negara mana pun. "Sehingga pemerintah tak punya waktu menyiapkan," katanya.
Karena itu, pemerintah memutuskan meniadakan keberangkatan ibadah haji 2020. Keluangan waktu pun tidak dimiliki pemerintah andai memaksakan pemberangkatan jemaah haji meski dengan pengurangan kuota. Alasannya, kloter pertama jemaah haji Indonesia harus sudah berangkat pada 26 Juni.
Padahal, pemerintah dan jemaah membutuhkan tambahan waktu untuk mengikuti protokol kesehatan. "Dalam skenario ini (pengurangan kuota), rentang waktu haji akan lebih lama karena ada masa tambahan karantina 14 hari sebelum berangkat, setelah tiba (di Arab Saudi), dan setelah tiba kembali (di Indonesia)," tuturnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menteri Agama Fachrul Razi tarik ucapannya soal pembatalan ibadah haji 2020 adalah klaim yang keliru. Artikel di situs Sosok.politik.us yang memuat klaim tersebut tidak tepat dalam mengutip pernyataan Fachrul. Berita di situs Medcom.id yang dirujuk oleh situs Sosok.politik.us berisi penjelasan Fachrul soal waktu karantina 28 hari yang menjadi pertimbangan dalam pembatalan ibadah haji 2020.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8132) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Kuburan Massal Ulama dan Santri 1948 oleh PKI Muso?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/06/2020
Berita
Akun Facebook Zein Muttaqien Halimi membagikan sebuah foto yang disebut sebagai "kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso" pada 31 Mei 2020. Foto itu disertai dengan tulisan panjang yang berisi klaim mengenai bentuk-bentuk kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lalu.
Dalam foto hitam-putih itu, terlihat puluhan orang dalam posisi duduk di sebuah lubang parit yang panjang. Di atasnya, terdapat sejumlah pria berseragam yang membawa bedil. Adapun tulisan panjang yang menyertai foto tersebut ditutup dengan narasi sebagai berikut:
"*Pasca Reformasi 1998* Pimpinan dan Anggota PKI yang dibebaskan dari Penjara, beserta keluarga dan simpatisanya yang masih mengusung IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan, sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yang sangat panjang, dan jangan biarkan mereka menambah lagi daftar kekejamanya di negeri tercinta ini."
Unggahan akun Zein Muttaqien Halimi itu pun viral. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 5.700 kali dan dikomentari lebih dari 1.600 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Zein Muttaqien Halimi.
Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal:
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi apakah foto di atas adalah foto kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso, Tim CekFakta Tempo menelusuri asal-usul foto tersebut denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut pernah dipublikasikan oleh sejumlah situs. Satu di antaranya adalah situs berbahasa Inggris yang berbasis di Pakistan, Dawn.
Situs ini memuat foto tersebut pada 23 Juli 2015 dalam artikel yang berjudul "The volatile fusion: Origins, rise & demise of the ‘Islamic Left’". Keterangan foto dalam artikel itu berbunyi "Tentara menjaga parit yang penuh dengan aktivis kiri Indonesia. Mereka semua ditembak (1965).” Adapun isi artikel tersebut menyinggung sejarah Indonesia dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto yang diwarnai dengan penumpasan anggota PKI dan simpatisannya.
Tempo pun menghubungi Yohanes Andreas Iswinarto, pemilik Perpustakaan Online 1965-1966. Menurut Yohanes, foto tersebut dimuat setidaknya dalam dua buku yang berisi cerita tentang PKI. Yang pertama adalah buku "Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)" karya Hadi Kuncoro dkk yang diterbitkan oleh Media Pressindo Yogyakarta pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 562.
Foto di halaman 562-563 buku "Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)" karya Hadi Kuncoro dkk.
Sementara yang kedua, menurut Yohanes, adalah buku "Penghancuran PKI" cetakan kedua karya Olle Tornquist yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 276. Olle memberikan keterangan "Siap dieksekusi dan dikuburkan" terhadap foto tersebut. Foto ini pun pernah dimuat dalam buku Olle yang sama namun yang berbahasa Swedia, "Marxistik Barlast", yang terbit pada 1982.
Foto di halaman 276 buku "Penghancuran PKI" cetakan kedua karya Olle Tornquist.
Dengan demikian, orang-orang dalam foto tersebut bukanlah ulama dan santri yang dibunuh oleh PKI Musso pada 1948.
Benarkah eks anggota dan simpatisan PKI memutarbalikkan fakta sejarah?
Foto puluhan orang yang berada di dalam sebuah parit menjelang eksekusi tersebut merupakan salah satu foto yang menunjukkan adanya pembantaian massal terhadap mereka yang diduga terkait dengan PKI. Pembantaian massal ini terjadi dalam rentang 1965-1966. Jauh sebelum reformasi, fakta sejarah mengenai pembantaian ini tidak banyak terungkap ke publik.
Barulah setelah pemerintahan Presiden Soeharto jatuh, upaya-upaya pengungkapan sejarah terkait peristiwa 1965 banyak dilakukan, baik oleh peneliti-peneliti, berbagai lembaga, dan para penyintas peristiwa 1965. Salah satu tujuannya adalah memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
Bahkan, setelah lebih dari empat dekade, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka kembali kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang sebagian besar menimpa anggota dan simpatisan PKI. Pada 2012, Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat.
"Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menemukan terjadinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis, di kantor Komnas HAM pada 23 Juli 2012 seperti dilansir dari arsip pemberitaan Tempo.
Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan HAM berat.
Nur Kholis mengatakan para korban dalam peristiwa ini mengalami kejahatan berlapis. "Banyak korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujarnya. Kejahatan-kejahatan itu pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Pasalnya, kejahatan terjadi merata di seluruh Indonesia dalam kurun waktu bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa. "Misalnya, ada 15 orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir berbarengan, ada kejadian serupa di Manado, Palu, Medan, dan Palembang."
Data Komnas HAM tersebut juga diperkuat dengan sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi 1965 yang kembali dibuka ke publik pada 2017. Dilansir dari BBC, dokumen itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika terkait pembunuhan massal pasca 1965. Ketiga lembaga yang membuka dokumen tersebut adalah National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, serta lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Adapun dokumen yang dibuka berupa 39 dokumen setebal 30 ribu halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya yang berbentuk pembantaian massal. Salah satu dokumen itu berisi laporan pada 26 November 1965 dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya yang menyebut bahwa mereka terus mendapatkan informasi soal pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor.
Di Tulungagung, setidaknya 15 ribu komunis dibunuh. "Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan, jika darah korban diusapkan ke wajah, bakal lebih terjamin (masuk surga)," demikian yang tertulis dalam laporan tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas adalah foto kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso keliru. Foto itu adalah foto orang-orang yang diduga mengikuti paham komunis yang akan dieksekusi di sebuah parit. Peristiwa dalam foto itu merupakan bagian dari pembantaian massal yang menimpa anggota dan simpatisan PKI dalam rentang 1965-1966. Klaim bahwa keluarga dan simpatisan eks-PKI melakukan gerakan pemutarbalikkan fakta sejarah setelah reformasi 1998 pun keliru. Yang mereka lakukan adalah upaya pengungkapan sejarah untuk memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://web.archive.org/web/20200612065826/
- https://www.facebook.com/zein.halimi/posts/249731599639483?_rdc=1&_rdr=
- https://www.dawn.com/news/1195863/the-volatile-fusion-origins-rise-demise-of-the-islamic-left
- https://nasional.tempo.co/read/418811/komnas-ham-pembantaian-pki-adalah-pelanggaran-ham-berat/full&view=ok
- https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41649232
Halaman: 4847/6297