(GFD-2021-8476) Keliru, Klaim Video Kamala Harris yang Disuntik Ini Bukti Kebohongan Vaksinasi Covid-19
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 29/01/2021
Berita
Video yang diklaim sebagai bukti kebohongan vaksinasi Covid-19 beredar di media sosial. Video tersebut memperlihatkan momen ketika Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris menerima suntikan vaksin Covid-19 dari seorang petugas medis.
Setelah menyuntikkan vaksin ke lengan Harris, petugas medis itu terlihat melipat sebuah bagian yang terdapat di alat suntik dengan bantuan pegangan kursi yang diduduki Harris. Cuplikan momen ini diperbesar dan diputar dua kali dalam video tersebut.
Di Facebook, video beserta klaim itu diunggah salah satunya oleh akun Komandan Sarges She Halilintar, tepatnya pada 2 Januari 2021. Akun ini menulis, “Sadarlah Kebohongan sedang di lancarkan ke publik!!! Reposted from @truthhunterid Tonton baik baik! Perawat ketauan blunder. Silahkan simpulkan sendiri. Cawapres USA Kamala Harris disuntik va*sin disiarkan live di TV.”
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Komandan Sarges She Halilintar yang memuat klaim keliru soal video yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, video tersebut memperlihatkan momen ketika Wapres AS Kamala Harris menerima vaksin Covid-19 pada 29 Desember 2020 dan disiarkan oleh sejumlah media. Salah satu media yang pernah mengunggah video itu adalah CNN, yakni ke kanal YouTube resminya. Menurut keterangan video tersebut, diketahui bahwa saat itu Harris menerima dosis pertama vaksin Moderna.
Video yang sama, dengan kualitas yang lebih baik, juga pernah diunggah ke YouTube oleh VOA News pada 30 Desember 2020. Dalam keterangannya, tertulis bahwa Harris, pada 29 Desember 2020, menerima dosis pertama vaksin Moderna di depan media secara langsung sebagai bagian dari upaya untuk meyakinkan publik AS bahwa vaksinasi itu aman. "Itu mudah! Terima kasih. Saya hampir tidak merasakannya," kata Harris setelah menerima vaksin.
Namun, dalam video berkualitas tinggi yang dipublikasikan VOA News ini, ketika petugas medis mencabut bagian penutup alat suntik, terlihat secara jelas bahwa terdapat jarum di alat suntik tersebut. Setelah vaksin disuntikkan, petugas medis itu memang tampak melipat sebuah bagian yang terdapat di ujung alat suntik dengan bantuan lengan kursi yang diduduki Harris. Bagian alat suntik yang dilipat itu berwarna merah muda.
Tapi, seperti dilansir dari France24, bagian alat suntik berwarna merah muda yang tampak berbahan plastik itu merupakan sebuah mekanisme keamanan. Bagian tersebut membantu memastikan bahwa baik pasien atau petugas medis tidak melukai dirinya sendiri secara tidak sengaja akibat jarum suntik selama proses penyuntikan.
Penjelasan serupa dimuat oleh World Today News, yang mengutip AFP. Bagian berwarna merah muda itu sebenarnya adalah mekanisme keamanan yang sudah cukup umum diterapkan dalam alat suntik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun merekomendasikan penggunaan bagian semacam ini yang "menekan dan menutup jarum suntik sepenuhnya setelah proses penyuntikan" untuk mencegah pengguna melukai dirinya sendiri secara tidak sengaja dan akhirnya membuat dirinya terpapar risiko infeksi.
Sebelum Kamala Harris menjalani vaksinasi Covid-19, pada pertengahan Desember 2020, isu mengenai jarum palsu ini telah beredar, terutama sejak vaksin Covid-19 diluncurkan di Inggris dan AS. Salah satunya adalah klaim yang dilengkapi dengan video milik BBC yang memperlihatkan vaksinasi Covid-19. Video tersebut diklaim sebagai "bukti" alat suntik yang digunakan untuk vaksinasi palsu.
Menurut penjelasan BBC, rekaman tersebut menunjukkan petugas medis yang menggunakan alat suntik berpengaman, di mana jarum suntik dimasukkan ke dalam bagian tubuh alat suntik setelah digunakan. Alat suntik berpengaman telah digunakan secara luas selama lebih dari satu dekade. Mekanisme keamanan yang diterapkan dalam alat suntik itu melindungi petugas medis dan pasien dari cedera dan infeksi.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video yang memperlihatkan Wapres AS Kamala Harris disuntik tersebut adalah bukti kebohongan vaksinasi Covid-19, keliru. Dalam video yang sama, namun dengan kualitas yang lebih tinggi, ketika petugas medis mencabut bagian penutup alat suntik, terlihat secara jelas bahwa terdapat jarum di alat suntik tersebut. Setelah vaksin disuntikkan, petugas medis itu memang tampak melipat bagian berwarna merah muda yang terdapat di ujung alat suntik. Namun, bagian itu merupakan sebuah mekanisme keamanan pada alat suntik. Bagian ini berfungsi untuk melindungi pasien atau petugas medis dari cedera dan infeksi. Alat suntik berpengaman telah digunakan secara luas selama lebih dari satu dekade.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/kamala-harris
- https://archive.vn/oRWyH
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://bit.ly/3ovMh3f
- https://bit.ly/3clzEWb
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-moderna
- https://observers.france24.com/en/americas/20210108-was-there-really-no-needle-when-kamala-harris-got-vaccinated-for-covid-19-look-again
- https://www.world-today-news.com/yes-the-syringe-used-to-vaccinate-kamala-harris-was-fitted-with-a-needle/
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://bbc.in/3r32kaw
- https://www.tempo.co/tag/jarum-suntik
(GFD-2021-8475) Keliru, Pengawal Joe Biden di Foto Ini Berasal dari Militer Cina
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 29/01/2021
Berita
Foto dari sebuah tayangan di televisi yang memperlihatkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden tengah menghadiri sebuah acara beredar di media sosial. Dalam tayangan itu, terlihat seorang pria di belakang Biden yang berwajah khas Asia. Pria tersebut diklaim sebagai pengawal Biden yang berasal dari pasukan militer Cina.
Di Facebook, salah satu akun yang membagikan foto beserta klaim tersebut adalah akun Handaya Jaya, tepatnya pada 21 Januari 2021. Akun itu menulis, "Pengawal biden sekarang dari pasukan Cina..." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah mendapatkan 12 reaksi dan 12 komentar.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Handaya Jaya yang memuat klaim keliru terkait foto yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, foto di atas merupakan foto dari tayangan pelantikan Joe Biden pada 20 Januari 2021. Tayangan tersebut disiarkan oleh stasiun televisi Metro TV pada 21 Januari. Metro TV juga mengunggah potongan video pelantikan Biden ini di YouTube. Dalam video itu, memang terlihat sosok pria berwajah khas Asia di belakang Biden.
Tempo kemudian menelusuri informasi serta pemberitaan terkait pengawal Joe Biden yang berwajah khas Asia tersebut. Dilansir dari Vice, Biden tidak memiliki pengawal yang berasal dari pasukan militer Cina. Pengawal yang bernama David Cho ini adalah seorang agen Dinas Rahasia AS berdarah Korea-Amerika. Ia memang ditunjuk untuk mengatur detail keamanan pelantikan Biden pada 20 Januari lalu.
Pada 2019, Cho menerima medali emas atas pelayanannya yang luar biasa dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Penghargaan tersebut diberikan "atas partisipasi langsung dan tanpa lelah dalam negosiasi tingkat tinggi" selama pertemuan kedua antara mantan Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Vietnam. Menurut The Washington Post, Cho adalah "orang kedua" di Dinas Rahasia AS selama masa jabatan Trump.
Di akun Twitter miliknya, Alistair Coleman, penulis BBC Monitoring yang fokus pada isu disinformasi dan analisis media Korea Utara, juga membantah bahwa Joe Biden memiliki pengawal dari Cina. "Dia adalah David Cho, keturunan Korea-Amerika, salah satu anggota Dinas Rahasia AS yang paling dihormati dan berpengalaman yang telah bekerja baik untuk pemerintahan di bawah Partai Republik maupun Partai Demokrat," ujarnya.
Tempo pun menemukan sejumlah foto yang memperlihatkan David Cho ketika mengawal Donald Trump. Dua di antaranya adalah milik kantor berita Reuters. Foto pertama diambil ketika Trump dan istrinya, Melania, menghadiri acara Paskah di Gedung Putih pada 22 April 2019. Sementara foto kedua diambil ketika Trump tiba di New York Presbyterian Hospital untuk mengunjungi adik laki-lakinya, Robert, pada 14 Agustus 2020.
Presiden Donald Trump, memegang priwitan milik anggota militer saat ikut mewatnai menggunakan crayon ketika merayakan Hari Raya Paskah dalam White House Easter Egg Roll di Washington, 22 April 2019. REUTERS/Jonathan Ernst
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pengawal Presiden AS Joe Biden yang terlihat dalam foto di atas berasal dari pasukan militer Cina, keliru. Pengawal Biden dalam foto itu bernama David Cho. Ia adalah seorang agen Dinas Rahasia AS berdarah Korea-Amerika. Ia memang ditunjuk untuk mengatur detail keamanan pelantikan Biden pada 20 Januari lalu. Cho juga menjadi "orang kedua" di Dinas Rahasia AS selama masa jabatan Donald Trump.
ANGELINA ANJAR SAWITRI
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/joe-biden
- https://archive.md/Ap9tV
- https://www.tempo.co/tag/pelantikan-joe-biden
- https://www.youtube.com/watch?v=SRNq0xzJSho&t=27s
- https://www.vice.com/en/article/5dpjqk/no-biden-doesnt-have-a-chinese-handler-hes-a-us-secret-service-agent
- https://www.tempo.co/tag/donald-trump
- https://twitter.com/alistaircoleman/status/1352692299017424900
- https://www.tempo.co/tag/cina
- https://pictures.reuters.com/archive/USA-TRUMP--RC1300429990.html
- https://pictures.reuters.com/archive/USA-TRUMP--RC2WDI9LOMK1.html
- https://www.tempo.co/tag/militer-cina
(GFD-2021-8474) Keliru, Menkumham Hapus Sanksi Pidana usai Anak Buah Megawati Tolak Vaksinasi Covid-19
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/01/2021
Berita
Gambar tangkapan layar cuitan di Twitter yang menampilkan foto Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly beredar di Facebook. Cuitan ini berisi tautan artikel dari situs Democrazy.id yang berjudul "Usai Anak Buah Megawati Tolak Divaksin, Kumham Langsung Hapus Sanksi Pidana". Beberapa waktu lalu, politikus PDIP Ribka Tjiptaning memang menyatakan menolak vaksin Covid-19.
Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Muhammad Saisal, tepatnya pada 19 Januari 2021. Akun ini menulis, “Cemen.!!! Negara kalah sama seorang nenek yg merasah bangga sbagei anak peka'ih..” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 275 reaksi dan 31 komentar serta dibagikan sebanyak 30 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muhammad Saisal yang memuat klaim keliru terkait sanksi bagi penolak vaksin Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Dilansir dari Liputan6.com, politikus PDIP Ribka Tjiptaning menyatakan penolakannya untuk disuntik vaksin Covid-19 dalam rapat kerja komisinya, Komisi IX DPR, dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 12 Januari 2021. Pada 13 Januari, seperti dikutip dari Antara, Menkumham Yasonna Laoly menegaskan tidak ada sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksin. Menurut dia, sanksi bagi penolak vaksin Covid-19 sebatas sanksi administratif.
Penjelasan tersebut dilontarkan oleh Yasonna setelah terdapat kesimpangsiuran isu terkait sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. "Ada disinformasi yang mohon untuk diluruskan. Dalam peraturan, hanya sanksi administratif. Ini sebetulnya hanya untuk mendorong supaya masyarakat mau ikut bersama-sama (divaksin)," kata Yasonna.
Sebelumnya, pada 9 Januari, seperti dilansir dari Kompas.com, Wakil Menkumham Edward Hiariej memang sempat menyatakan bahwa masyarakat yang menolak vaksinasi bisa dijatuhi hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara. "Ketika pertanyaannya apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata pria yang akrab disapa Eddie tersebut.
Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu mengatakan ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU tersebut menyatakan warga yang tidak mematuhi dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Sementara itu, Pasal 9 UU yang sama menyebut warga wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. "Jadi, ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah suatu kewajiban, maka secara mutatis mutandis, jika ada warga negara yang tidak mau divaksin, maka bisa dikenakan sanksi," kata Eddie. Namun, menurut dia, sanksi bisa berupa denda, penjara, atau keduanya sekaligus.
Pada 16 Januari, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Eddie menyebut bahwa terdapat pemahaman dan penafsiran yang keliru terkait pernyataannya soal penerapan sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19. Eddie menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki niat memenjarakan penolak vaksin, apalagi jumlah narapidana sendiri sudah melebihi kapasitas penjara.
“Penjara kita sudah over capacity, sampai 149 ribu. Kalau masing-masing tidak mau vaksin kemudian dimasukkan ke dalam penjara, mau berapa lagi over capacity penjara itu. Jadi, ini adalah pemahaman yang keliru menafsirkan peryataan saya, seolah-olah begitu orang tidak mau vaksin, kemudan dia dijatuhi pidana penjara atau denda dan lain sebagainya,” kata Eddie.
Secara normatif, kata Eddie, mereka yang menolak vaksin bisa dipidana. Namun, apakah perlu dipidana atau tidak, Eddie menegaskan bahwa tindakan itu tidak diperlukan. Alasan hukumnya adalah UU Wabah Penyakit Menular, UU Kesehatan, dan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah hukum administratif yang kebetulan diberi sanksi pidana.
Fungsi sanksi pidana dalam konteks ini adalah sebagai senjata pamungkas atau, dalam doktrin hukum pidana, ultimum remedium. “Sebagai sarana yang paling akhir dalam menegakkan hukum pidana jika pranata hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Meski bisa dipidana, tapi kewajiban vaksin yang dicanangkan pemerintah sama sekali tidak ada niat atau maksud untuk mempidana atau memenjara orang yang tidak mau vaksin,” ujarnya.
Dilansir dari Kompas.com, Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Heni Susilo Wardoyo pun membantah klaim bahwa sanksi pidana dihapus setelah adanya penolakan vaksin Covid-19 dari seorang politikus PDIP. Menurut dia, sanksi pidana tercantum dalam UU. Karena itu, aturan di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri, tidak bisa menganulir sanksi pidana dalam UU tersebut.
Jika sanksi pidana ingin dihapus, pemerintah mesti merevisi UU terkait, yang harus dilakukan bersama DPR. "Itu dari sisi norma," kata Heni. Selain itu, menurut dia, tidak ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan lain di bawahnya yang menyentuh ranah pidana. Jika terdapat penerapan sanksi dalam aturan-aturan tersebut, sifatnya sebatas sanksi administrasi.
Berdasarkan arsip berita Tempo, pada 14 Januari 2021, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono juga menyebut pemerintah belum menetapkan aturan khusus terkait sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Kemenkes, ujarnya, akan mengupayakan pendekatan persuasif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang urgensi vaksinasi Covid-19.
Penerapan sanksi di daerah
Setiap daerah mempunyai kebijakan yang berbeda dalam penerapan sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Dilansir dari Kumparan.com, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengatur sanksi bagi warga yang menolak vaksin berupa denda maksimal Rp 5 juta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020.
Sementara itu, Pemprov Kalbar merujuk pada UU Wabah Penyakit Menular. Dalam UU ini, terdapat pidana maksimal 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 juta bagi yang menghalangi penanggulangan wabah. UU Wabah Penyakit Menular itu juga menjadi dasar Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dalam menerapkan sanksi bagi penolak vaksin.
Terdapat pula daerah yang tidak menerapkan sanksi bagi warga yang menolak vaksin, seperti Makassar, Bali, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemprov DIY tidak menerapkan sanksi bagi warga yang menolak vaksin demi meningkatkan kesadaran warga. Sesuai arahan Gubernur DIY, dalam menangani Covid-19, masyarakat harus bertindak sebagai subjek, bukan objek.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menkumham menghapus sanksi pidana usai anak buah Megawati menolak vaksinasi Covid-19, keliru. Sanksi pidana tercantum dalam UU. Karena itu, aturan di bawahnya, termasuk Peraturan Menteri, tidak bisa menganulir sanksi pidana tersebut. Jika sanksi pidana ingin dihapus, pemerintah mesti merevisi UU terkait, yang harus dilakukan bersama DPR. Selain itu, sanksi pidana memang dimungkinkan bagi penolak vaksin berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, terhadap penolak vaksin Covid-19, pemerintah memilih opsi sanksi administratif.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://archive.vn/nRsIA
- https://bit.ly/3iUQHzF
- https://www.tempo.co/tag/pdip
- https://bit.ly/2NEFvvf
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://bit.ly/3prEYuN
- https://bit.ly/3pskkL5
- https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/24/145000565/-hoaks-kemenkumham-hapus-sanksi-pidana-bagi-yang-tolak-vaksinasi-?page=all
- https://www.tempo.co/tag/kemenkumham
- https://bit.ly/2MeYoEC
- https://kumparan.com/kumparannews/beda-pendapat-yasonna-dan-wamenkumham-soal-pidana-bagi-warga-yang-tolak-divaksin-1uyW8T8OV8I/full
- https://www.tempo.co/tag/megawati
(GFD-2021-8473) Keliru, Vaksin adalah Senjata Biologis karena Mengandung Racun Seperti AS03 dan MF59
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/01/2021
Berita
Klaim bahwa vaksin merupakan senjata biologis untuk memusnahkan populasi karena mengandung racun seperti AS03 dan MF59, garam arsenit, dan merkuri beredar di Facebook. Klaim ini beredar di tengah pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 tahap pertama yang menyasar para tenaga kesehatan.
Akun yang mengunggah klaim itu adalah akun Lois Lois, tepatnya pada 27 Januari 2021. Akun tersebut juga menulis bahwa, selama sebulan pasca pemberian vaksin Covid-19 terhadap tenaga kesehatan, akan banyak kematian mendadak yang disebabkan oleh serangan jantung, HIV, serta kanker ganas.
Berikut narasi yang ditulis oleh akun tersebut:
“Gejala pasca Vaksinasi pada Nakes!!Hati2..dalam 1 bulan kemudian akan banyak kematian mendadak serangan jantung/stroke.HIV(+)Kanker ganas(+)Karena Vaksin FLU adalah senjata Biologis utk memusnahkan populasi suatu bangsa.Tidak ada kandungan obat di dalamnya melainkan Racun ASO3+ MF59Garam ArsenitMercury.Yg merusak syaraf2.”
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Lois Lois yang berisi klaim keliru soal vaksin.
Hasil Cek Fakta
Untuk memeriksa klaim-klaim dalam unggahan akun Lois Lois, Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai informasi dari lembaga kesehatan serta pemberitaan dari media. Berikut fakta atas klaim-klaim tersebut:
Klaim 1: Vaksin mengandung racun seperti AS03 dan MF59
Fakta:
AS03 dan MF59 bukanlah racun. Keduanya merupakan adjuvan, atau zat yang ditambahkan ke dalam vaksin untuk membantu memperkuat respons kekebalan pada orang yang menerima vaksin.
Dikutip dari Science Direct, adjuvan adalah zat yang termasuk dalam vaksin untuk meningkatkan imunogenisitas antigen dengan kemampuan imunostimulan yang tidak mencukupi. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana sistem kekebalan berinteraksi dengan patogen telah berkontribusi pada pengembangan adjuvan yang mengandung lebih dari satu molekul imunostimulan, yang disebut Sistem Adjuvan (Adjuvant Systems/AS).
AS03 adalah Sistem Adjuvan yang mengandung surfaktan, polisorbat 80, dan dua minyak yang bisa terurai secara hayati, α-tokoferol dan squalene. Studi non-klinis tidak mengungkapkan masalah keamanan terkait penggunaan AS03. Dalam uji klinis, vaksin influenza yang ditambahkan AS03 secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Data pasca-lisensi pun menunjukkan profil manfaat-risiko yang menguntungkan di berbagai populasi.
Terdapat pula bukti uji coba terkontrol secara acak tentang efikasi yang lebih tinggi pada vaksin influenza trivalen (TIV) yang mengandung AS03 dibanding pada TIV tanpa adjuvan dalam mencegah infeksi beberapa subtipe influenza, dan meningkatkan perlindungan terhadap kematian serta pneumonia pada orang yang berusia 65 tahun ke atas. Masih dari Science Direct, vaksin influenza yang ditambahkan AS03 telah digunakan secara luas di Eropa dan belahan dunia lainnya, terutama dalam kombinasi dengan vaksin H1N1.
Sementara MF59, dikutip dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC ), adalah adjuvan yang terkandung dalam fluad (vaksin influenza yang dilisensikan untuk orang berusia 65 tahun ke atas). MF59 merupakan emulsi minyak dalam air yang terdiri dari squalene, yang merupakan minyak alami yang ditemukan pada sel tumbuhan, hewan, maupun manusia. MF59 digunakan dalam vaksin flu di Eropa sejak 1997 dan di AS sejak 2016, telah diberikan kepada jutaan orang dan memiliki catatan keamanan yang sangat baik.
Klaim 2: Vaksin mengandung garam arsenit dan merkuri
Fakta:
Tidak ditemukan informasi mengenai adanya kandungan garam arsenit dalam vaksin flu maupun vaksin Covid-19. Sementara terkait kandungan merkuri, seperti dilansir dari CDC, yang terdapat dalam vaksin bukanlah jenis metil merkuri yang bisa menjadi racun bagi manusia pada tingkat paparan yang tinggi, melainkan etil merkuri, yang terdapat dalam thimerosal.
Etil merkuri bisa dibersihkan lebih cepat oleh tubuh ketimbang metil merkuri sehingga kecil kemungkinan menyebabkan kerusakan. Thimerosal pun demikian, tidak tinggal di dalam tubuh untuk waktu yang lama sehingga tidak menumpuk dan mencapai tingkat yang berbahaya. Ketika thimerosal memasuki tubuh, ia terurai menjadi etil merkuri dan thiosalicylate, yang dengan mudah dihilangkan.
Menurut CDC, beberapa vaksin mengandung thimerosal yang telah digunakan selama beberapa dekade di AS dalam botol multi-dosis obat-obatan dan vaksin. Tidak ada bukti bahaya yang disebabkan oleh dosis rendah thimerosal dalam vaksin, kecuali untuk reaksi kecil seperti kemerahan dan bengkak di tempat suntikan. Namun, pada Juli 1999, badan layanan kesehatan masyarakat AS, American Academy of Pediatrics, dan produsen vaksin setuju thimerosal harus dikurangi atau dihilangkan sebagai tindakan pencegahan.
Thimerosal berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri dalam vaksin. Thimerosal ditambahkan ke vial vaksin yang mengandung lebih dari satu dosis untuk mencegah pertumbuhan kuman, seperti bakteri dan jamur. Masuknya bakteri dan jamur berpotensi terjadi ketika jarum suntik masuk ke dalam botol. Kontaminasi kuman dalam vaksin dapat menyebabkan reaksi lokal yang parah, penyakit serius, atau kematian.
Klaim 3: Vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kematian mendadak akibat serangan jantung, HIV, dan kanker ganas.
Fakta:
Terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan serangan jantung, klaim itu telah diverifikasi Tempo dan dinyatakan sebagai klaim yang keliru. Sejak program vaksinasi Covid-19 dimulai pada 13 Januari 2021, tidak ada laporan kasus kematian yang disebabkan oleh vaksin Covid-19, termasuk akibat serangan jantung.
Adapun terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan HIV, klaim ini juga keliru. Klaim tersebut kemungkinan mengutip kejadian pasca vaksinasi Covid-19 di Australia yang menggunakan vaksin buatan The University of Queensland dan perusahaan bioteknologi lokal CSL Ltd. Pada awal Desember 2020, otoritas Australia mengumumkan bahwa beberapa peserta uji vaksin dilaporkan mengembangkan antibodi yang memicu hasil positif palsu pada beberapa tes HIV.
Vaksin tersebut memang mengandung fragmen kecil protein HIV, yang berfungsi untuk membantu menstabilkan vaksin. Akan tetapi, seperti dikutip dari Live Science, tidak ada cara vaksin dapat menyebabkan infeksi HIV, karena vaksin mengandung fragmen virus yang tidak berbahaya.
Yang terakhir, terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kanker ganas, klaim tersebut pun keliru. Dikutip dari Republika, menurut dokter sekaligus vaksinolog Dirga Sakti Rambe, tidak ada vaksin yang bisa menyebabkan kanker. "Malah ada vaksin yang bisa melindungi kanker, vaksin hepatitis B yang bisa melindungi kanker hati, vaksin HPV melindungi kanker mulut rahim, jadi tidak benar vaksin sebabkan kanker," ujar Dirga.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin adalah senjata biologis untuk memusnahkan populasi karena mengandung racun seperti AS03 dan MF59, garam arsenit, dan merkuri, keliru. Klaim bahwa vaksin Covid-19 yang disuntikkan kepada tenaga kesehatan dapat menyebabkan kematian mendadak akibat serangan jantung, HIV, dan kanker ganas pun tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin
- https://archive.is/Nk16b
- https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264410X19305225
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-influenza
- https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/as03
- https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/adjuvants.html
- https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/thimerosal/index.html
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/1212/keliru-dokter-di-palembang-meninggal-karena-vaksin-covid-19-mengandung-zat-beracun
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://www.livescience.com/australia-covid-19-vaccine-false-positive-hiv-tests.html
- https://republika.co.id/berita/qldhz3414/vaksinolog-vaksin-tidak-sebabkan-autisme-dan-kanker
- https://www.tempo.co/tag/senjata-biologis
Halaman: 4760/6295