(GFD-2021-8554) Keliru, Pesan Berantai tentang Pandemi Covid-19 Hanya Tipuan yang Diklaim Berasal dari IDI
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 23/03/2021
Berita
Pesan berantai yang diklaim berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beredar di Facebook. Pesan berantai itu berisi sejumlah klaim yang meragukan pandemi Covid-19. "Tidak ada pandemi, tidak ada Covid-19, dan tidak ada virus yang beterbangan yang mematikan. Semua itu adalah bentuk pengelabuan dan pembodohan global," demikian narasi di awal pesan berantai tersebut.
Akun ini membagikan pesan berantai itu pada 21 Maret 2021. Beberapa klaim yang terdapat dalam pesan berantai tersebut antara lain:
Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim-klaim keliru dan menyesatkan seputar pandemi dan Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi apakah pesan berantai itu berasal dari IDI, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait. Hasilnya, ditemukan bahwa pesan berantai tersebut tidak ditulis oleh IDI. Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ), yang mengutip Liputan6.com, Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi menyatakan IDI tidak pernah mengeluarkan keterangan semacam itu.
Tempo kemudian memeriksa klaim-klaim yang terdapat dalam pesan berantai tersebut. Berikut hasil penelusuran Tempo:
Klaim 1: Tidak ada satu pun warga Swedia, Korea Utara, Chechnya, dan Tajikistan yang terkena Covid-19
Fakta:
Dilansir dari Worldometers, hingga 23 Maret 2021, Swedia telah mencatatkan jumlah kasus Covid-19 sebanyak 744.272 orang dengan kematian 13.262 orang. Di Tajikistan, sebanyak 13.308 orang telah terinfeksi Covid-19 dan 90 orang di antaranya meninggal dunia.
Terkait kasus Covid-19 di Chechnya, sebuah wilayah berbentuk republik di Rusia, data terakhir yang berhasil ditemukan adalah data pada Mei 2020 silam yang dimuat oleh The New York Times. Ketika itu, Chechnya melaporkan 1.046 kasus dengan 11 kematian.
Sementara data kasus Covid-19 di Korea Utara tidak tersedia secara terbuka.
***
Klaim 2: Bila Covid-19 termasuk pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan
Fakta:
Pandemi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Menurut definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), pandemi adalah penyebaran penyakit baru ke seluruh dunia.
Dari pengertian tersebut, pandemi bukan ditunjukkan dari banyaknya orang yang mati bergelimpangan. Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi karena, hingga saat ini, penyakit itu telah menyebar ke sebagian besar negara, dengan total kasus Covid-19 mencapai 124.326.764 orang dan jumlah kematian lebih dari 2,7 juta orang.
***
Klaim 3: Orang positif Covid-19 yang berada di rumah lebih aman ketimbang yang berada di rumah sakit, risikonya antara hidup dan mati
Fakta:
Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan, penanganan pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 dilakukan berdasarkan gejalanya. Pasien yang tidak bergejala akan diimbau untuk melakukan isolasi mandiri di rumah atau di rumah sakit darurat. Bagi pasien dengan gejala berat, mereka akan diisolasi di rumah sakit atau rumah sakit rujukan.
Menurut epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, yang dikutip dari CNN Indonesia, jumlah kematian akibat Covid-19 yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh terlambatnya pemberian penanganan. Hal itu dipicu oleh faktor ketidaksiapan sistem kesehatan Indonesia untuk menangani pasien dengan gejala sedang hingga berat.
***
Klaim 4: Virus Corona Covid-19 adalah virus flu biasa
Fakta:
Dilansir dari kantor berita Reuters, yang mengutip The Stanford Children's Health, virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, belum pernah teridentifikasi sebelumnya. SARS-CoV-2 tidak sama dengan virus Corona yang umumnya beredar di antara manusia dan menyebabkan penyakit ringan, seperti flu biasa. Meskipun termasuk dalam keluarga virus Corona, SARS-CoV-2 adalah virus baru yang menyerang manusia.
Flu biasa memiliki gejala pilek dan sakit tenggorokan yang umumnya ringan dan berlangsung antara 1-2 minggu. Sedangkan Covid-19 memiliki gejala kesulitan bernafas, demam, dan batuk kering. Beberapa pasien mengalami pneumonia dan memerlukan rawat inap. Jika pneumonia bertambah parah, bisa berakibat fatal.
***
Klaim 5: WHO sudah tidak independen lagi, konsorsium utamanya adalah China komunis dan zionis Yahudi (Israel). Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang saja kewalahan tidak bisa melawan kekuatan elite global tersebut.
Fakta:
WHO berdiri pada 7 April 1948. Saat ini, WHO bekerja bersama 194 negara anggota. WHO memiliki lebih dari 7 ribu karyawan di 150 kantor negara, enam kantor regional, dan satu kantor pusat di Jenewa, Swiss. Majelis Kesehatan Dunia dihadiri oleh delegasi dari semua negara anggota, dan menentukan kebijakan WHO. Sementara Dewan Eksekutif WHO terdiri dari anggota yang secara teknis memenuhi syarat di bidang kesehatan, dan memberikan efek terhadap keputusan dan kebijakan Majelis Kesehatan.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang menyebut pandemi Covid-19 hanya pembodohan tersebut keliru. Pesan berantai ini tidak ditulis oleh IDI. Klaim-klaim dalam pesan berantai itu pun keliru dan menyesatkan, mulai dari "tidak ada satu pun warga Swedia, Korea Utara, Chechnya, dan Tajikistan yang terkena Covid-19", "bila Covid-19 termasuk pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan", "orang positif Covid-19 yang berada di rumah lebih aman ketimbang yang berada di rumah sakit, risikonya antara hidup dan mati", hingga "virus Corona Covid-19 adalah virus flu biasa".
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/covid-19
- https://web.facebook.com/fauziyah.rochmi/posts/121365863294169
- https://www.tempo.co/tag/idi
- https://www.kominfo.go.id/content/detail/33436/hoaks-pernyataan-idi-terkait-pandemi-covid-19/0/laporan_isu_hoaks
- https://www.worldometers.info/coronavirus/country/sweden/
- https://www.worldometers.info/coronavirus/country/tajikistan/
- https://www.nytimes.com/2020/05/22/world/europe/coronavirus-chechnya-kadyrov.html
- https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/PANDEMI
- https://www.who.int/csr/disease/swineflu/frequently_asked_questions/pandemic/en/
- https://www.worldometers.info/coronavirus/
- https://www.kemkes.go.id/article/print/20101700001/begini-alur-pelayanan-pasien-covid-19.html
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210129084458-20-599831/tinggi-angka-kematian-sinyal-salah-jalan-penanganan-covid
- https://www.reuters.com/article/uk-factcheck-coronavirus-common-cold/claim-the-new-coronavirus-is-a-common-cold-idUSKBN2142MC
- https://www.tempo.co/tag/virus-corona
- https://www.who.int/about
- https://www.tempo.co/tag/pandemi-covid-19
(GFD-2021-8553) Keliru, Klaim Ini Foto Drone Israel di Palestina yang Tertangkap Elang
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 23/03/2021
Berita
Foto yang memperlihatkan seekor elang yang menangkap sebuah drone beredar di Facebook. Foto itu diklaim sebagai foto drone pengintai milik Israel yang tertangkap oleh elang ketika terbang rendah di atas langit Gaza, Palestina.
Di Facebook, foto beserta klaim tersebut dibagikan oleh akun ini pada 16 Maret 2021. Akun itu menulis, "Drone pengintai Israel terbang rendah diatas langit Gaza palestina.. Pertolongan Alloh drone Ditangkap Elang. Kita berharap semua manusia melihatnya."
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait foto elang yang menangkap drone yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto di atas dengan reverse image tool Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu bukan foto drone Israel di Palestina yang tertangkap elang. Foto tersebut diambil di Katwijk, Belanda, saat elang milik perusahaan Guard from Above menangkap drone dalam sebuah latihan polisi.
Foto itu terdapat dalam database situs stok foto Getty Images, yang merupakan karya fotografer kantor berita AFP, Koen Van Weel. Foto ini diberi keterangan: "Seekor elang milik perusahaan Guard from Above menangkap drone dalam sebuah latihan polisi di Katwijk pada 7 Maret 2016. Burung pemangsa ini bisa mendapatkan drone yang terbang di udara dengan menangkap mereka menggunakan kakinya. Koen Van Weel/AFP via Getty Images."
Situs media yang fokus pada perkembangan drone, Drone DJ, juga pernah memuat foto itu dalam artikelnya pada 5 Maret 2019. Menurut laporan Drone DJ, yang mengutip organisasi cek fakta Snopes, foto itu menunjukkan elang yang sudah terlatih milik perusahaan Guard from Above selama sesi pelatihan dengan polisi Belanda untuk mencegat drone.
Kantor berita BBC pun pernah memuat video yang memperlihatkan elang milik perusahaan Guard from Above selama sesi pelatihan dengan polisi Belanda untuk menangkap drone tersebut. Video ini dimuat pada 5 April 2016 dalam artikelnya yang berjudul "The eagle that chases drones".
Dalam perjalanannya, seperti dikutip dari Drone DJ, polisi Belanda merasa bahwa terlalu banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan dalam pelatihan dan pemeliharaan elang-elang penangkap drone ini. Polisi juga mengakui menangkap drone di udara tidak sepenuhnya aman bagi elang. Penggunaan elang untuk menangkap drone ini pun dihentikanoleh polisi Belanda pada 2017.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto drone Israel di Gaza, Palestina, yang tertangkap elang, keliru. Foto itu diambil di Katwijk, Belanda, saat elang milik perusahaan Guard from Above menangkap drone dalam sebuah sesi pelatihan yang digelar oleh polisi Belanda.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/israel
- https://archive.ph/jJJ6F
- https://www.tempo.co/tag/palestina
- https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/an-eagle-of-the-guard-from-above-company-grasps-a-drone-news-photo/514147794
- https://www.tempo.co/tag/drone
- https://dronedj.com/2019/03/05/drone-catching-eagle-photo/
- https://www.bbc.com/news/av/technology-35921123
- https://dronedj.com/2017/12/07/dutch-police-eagles-drones/
- https://www.tempo.co/tag/elang
- https://www.tempo.co/tag/gaza
(GFD-2021-8552) Sesat, Klaim Ini Grafik Antibodi usai Vaksinasi Covid-19 Dosis I yang Dekati Nol pada Hari ke-28
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/03/2021
Berita
Gambar tangkapan layar sebuah pesan berantai yang berisi grafik yang diklaim sebagai grafik antibodi usai vaksinasi Covid-19 beredar di media sosial. Menurut pesan itu, pada hari ke-7 setelah vaksinasi dosis pertama, antibodi akan mulai terlihat. Namun, pada hari ke-28 usai vaksinasi dosis pertama, antibodi bakal turun mendekati nol.
"Ini grafik antibody setelah vaksin, hari ke 7 mulai kelihatan, puncak hari ke 10 kemudian turun sampai hari ke 28 sudah kecil sekali, kemudian di suntik, hasilnya antibody jadi melonjak. 7 hari setelah vaccine anti body menurun, jadi kalau bisa jangan keluar dulu. Itu sebabnya orang bisa kena covid beberapa hari sebelum vaksin ke 2, karena antibody sudah mendekati nol," demikian narasi dalam pesan tersebut.
Di Facebook, gambar tangkapan layar itu dibagikan oleh akun ini pada 17 Maret 2021. Akun tersebut juga menulis, “FYI, imun terbentuk sekitar 28 hr sejak vaksin *kedua* maka sebelum terbentuk imun sebaiknya isoman krn justru sedang drop. Apalagi hr ke 14, maka nya perlu vaksin k2. Setelah vaksin tetap hrs ikut prokes 5 M.”
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim sesat terkait antibodi usai vaksinasi Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri sumber dari grafik di atas denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa grafik dalam gambar tangkapan layar tersebut bukanlah grafik yang secara khusus menunjukkan tingkat antibodi setelah menerima vaksin Covid-19. Grafik itu telah beredar jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19, setidaknya sejak 15 Agustus 2017.
Grafik tersebut pernah dimuat oleh blog Diary Chemistry pada 15 Agustus 2017 dalam artikelnya yang berjudul “Mekanisme Anti Bodi Sebagai Sistem Pertahanan Tubuh”. Dalam keterangannya, tertulis bahwa grafik itu menunjukkan karakteristik perjalanan waktu dari respons imun terhadap suatu antigen.
Menurut artikel ini, paparan atau pemberian kedua dari antigen menimbulkan respons imun sekunder dan, seperti yang terlihat dalam grafik, respons kedua lebih efektif daripada respons pertama jika dipandang dari segi produksi antibodi. Dalam hal vaksinasi, respons sekunder yang efektif adalah respons yang melindungi terhadap infeksi jika terjadi paparan terhadap patogen hidup.
Grafik yang sama juga pernah dimuat oleh situs Elinotes.com pada 28 Januari 2020 dalam artikelnya yang berjudul “Pengertian Sel Memory pada Mahluk Hidup”. Gambar tersebut diberi keterangan sebagai diagram cara kerja sel memori membentuk antibodi kekebalan tubuh.
Tempo kemudian menghubungi dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto. Dia membenarkan pola pembentukan antibodi yang telihat dalam grafik tersebut. Namun, menurut Tonang, tidak bisa dimaknai bahwa turunnya antibodi pada semua orang harus di hari ke-28 usai vaksinasi dosis pertama seperti yang terlihat dalam grafik itu.
Tonang membuat grafik serupa, dan menyebutnya sebagai ilustrasi respons pembentukan antibodi dalam hal vaksinasi. Dia menjelaskan, setelah suntikan pertama, tubuh melakukanprimingatau pengenalan. Kemudian, terbentuk sel plasma dan sel B-memori dengan cepat. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi.
Tapi, karena baru dalam tahap pengenalan, sel plasma yang terbentuk ini bekerja hanya dalam waktu yang singkat. “Maka, setelah sekitar hari ke-7 mulai ada sel plasma, kemudian hari ke-10 sampai ke-12 mulai ada antibodi, antibodi akan turun. Saat antibodi sudah turun, hampir habis, itulah saat yang tepat disuntikkan dosis kedua,” kata Tonang pada 22 Maret 2021.
Bila penyuntikan dosis kedua dilakukan saat antibodi masih relatif tinggi, vaksin justru akan "ditangkap" oleh antibodi Covid-19 tersebut. Akibatnya, dosis kedua ini bakal berkurang efektivitasnya. “Bila antibodi sudah menurun, ketika disuntikkan dosis kedua, sebagian tertangkap antibodi, tapi sebagian besar tetap berefek. Maka, segera diikuti terbentuknya antibodi secara cepat dalam jumlah besar,” katanya.
Tonang mengingatkan bahwa, sebelum dan setelah menerima suntikan vaksin, seseorang tetap berisiko terkena Covid-19, apalagi sebelum tercapainya titer antibodi yang optimal. Ia pun menganjurkan penerima vaksin Covid-19 untuk tetap menerapkan protokol kesehatan.
Dilansir dari Kompas.com, juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyebut antibodi atau imunogenitas tubuh terhadap virus Corona tak langsung terbentuk sesaat setelah vaksinasi Covid-19. Vaksin Covid-19 Sinovac misalnya, baru membentuk antibodi yang optimal dalam 28 hari pasca penyuntikan dosis kedua.
Nadia menjelaskan, sekitar 14 hari pasca vaksinasi dengan vaksin Sinovac dosis pertama, antibodi tubuh yang terbentuk terhadap virus Corona mencapai 60 persen. Sementara, sekitar 28 hari pasca vaksinasi dosis kedua, pembentukan antibodi bisa mencapai 95-99 persen. Oleh karenanya, Nadia menegaskan bahwa vaksinasi dosis kedua penting dilakukan.
Menurut Nadia, meskipun sudah mengikuti vaksinasi Covid-19, seseorang tetap bisa terserang virus Corona. Namun, keberadaan vaksin akan membuat tubuh orang tersebut menjadi lebih kuat menahan rasa sakit. Meskipun begitu, Nadia mengingatkan agar masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan 3M sembari. Protokol yang dimaksud berupa memakai masker, rajin mencuci tangan, dan menerapkan jaga jarak.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa grafik di atas adalah grafik antibodi usai vaksinasi Covid-19 dosis pertama yang mendekati nol pada hari ke-28, menyesatkan. Grafik itu bukanlah grafik yang secara khusus menunjukkan tingkat antibodi setelah vaksinasi Covid-19. Menurut dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto, pola respos pembentukan antibodi dalam hal vaksinasi memang seperti yang terlihat dalam grafik tersebut. Namun, tidak bisa dimaknai bahwa turunnya antibodi pada semua orang harus di hari ke-28 seperti yang terlihat dalam grafik itu.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://archive.ph/se5ib
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://diarychemistry.blogspot.com/2017/08/mekanisme-anti-bodi-sebagai-sistem.html
- https://www.elinotes.com/2020/01/pengertian-sel-memory-pada-mahluk-hidup.html
- https://www.tempo.co/tag/antibodi
- https://www.tempo.co/tag/antibodi-covid-19
- https://nasional.kompas.com/read/2021/02/15/20021611/kemenkes-sinovac-bentuk-antibodi-optimal-28-hari-pasca-vaksinasi-dosis-kedua
- https://www.tempo.co/tag/sinovac
- https://www.tempo.co/tag/virus-corona
(GFD-2021-8551) Keliru, Klaim Ini Video Aksi Melawan Arogansi Cina di Malaysia pada Maret 2021
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/03/2021
Berita
Video yang diklaim sebagai video aksi melawan arogansi Cina di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Maret 2021 beredar di media sosial. Dalam video itu, terlihat puluhan ribu orang memenuhi jalanan sebuah kota. Mereka mengenakan pakaian serba putih.
Terdengar pula suara seorang pria dalam video tersebut. Pria yang merupakan perekam dari video itu berkata, "Ini live nih. Ini memang betul-betul ada hikmah, isu yang berlaku sekarang ini telah menyatukan bangsa Melayu, bangsa Islam."
Pria itu juga menyebut beberapa nama wilayah dan bangunan dalam video tersebut, seperti Dataran Merdeka dan Masjid India. "Lihatlah, Dataran Merdeka penuh, di bawah LRT penuh, Masjid India penuh. Lihatlah, makin bertambah akan datang," ujar pria tersebut.
Di Facebook, akun ini membagikan video beserta narasi tersebut pada 19 Maret 2021. Akun itu menulis, "Kuala Lumpur pagi tadi, melawan arogansi Cina." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 145 reaksi dan 43 komentar serta dibagikan 92 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, video tersebut bukan video aksi melawan arogansi Cina di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Maret 2021. Video itu adalah video lama, yang memperlihatkan aksi warga Malaysia yang menolak ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) pada 8 Desember 2018.
Untuk memeriksa klaim tersebut, Tempo mula-mula mengambil gambar tangkapan layar dari video di atas. Lalu, gambar tersebut ditelusuri denganreverse image toolYandex. Hasilnya, ditemukan bahwa video itu telah beredar di YouTube sejak Desember 2018.
Kanal YouTube Ziffdev Broadcast pernah mengunggah video yang sama pada 8 Desember 2018 dengan judul "Himpunan Bantah ICERD dari Udara". Kanal YouTube Media Marhaen juga pernah mengunggah video tersebut pada 9 Desember 2018 dengan judul "Himpunan #Daulat812 Membantah Ratifikasi ICERD)".
Tempo kemudian menelusuri pemberitaan terkait demonstrasi di Malaysia yang menolak ratifikasi ICERD pada 2018 tersebut. Dilansir dari Channel News Asia, pada 8 Desember 2018, ribuan pendukung dua partai besar di Malaysia, United Malays National Organization (UMNO) dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS), menggelar unjuk rasa anti-ICERD.
Unjuk rasa tersebut tetap dilanjutkan meskipun pemerintah telah mengumumkan bahwa mereka tidak lagi akan meratifikasi ICERD, sebuah konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengutuk diskriminasi dan menyerukan kepada negara-negara untuk membuat kebijakan yang menghapus diskriminasi rasial dalam segala bentuk.
Sebagian besar demonstran berkumpul di dua masjid, Masjid Jamek dan Masjid Nasional Malaysia, sejak pukul 06.00 waktu setempat. Masjid-masjid itu berjarak sekitar 2 kilometer dari Dataran Merdeka, lokasi resmi demonstrasi. Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan istrinya, Rosmah Mansor, turut serta dalam unjuk rasa tersebut.
Menurut laporan Malaysia Kini, yang juga memuat foto udara dari lokasi unjuk rasa tersebut, diperkirakan puluhan ribu orang berkumpul di jalanan Kuala Lumpur pada 8 Desember 2018 untuk merayakan keputusan pemerintah tidak meratifikasi ICERD. Diselenggarakan oleh LSM Melayu-Muslim, aksi tersebut juga didukung oleh UMNO dan PAS. Mereka yang hadir akan berkumpul di tiga lokasi, yakni pusat perbelanjaan Sogo, Masjid Jamek, dan Masjid Negara, sebelum akhirnya menuju Dataran Merdeka.
Aksi tersebut dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 18.00 waktu setempat. Polisi memperkirakan demonstran yang hadir dalam aksi itu mencapai 55 ribu orang. Kepala polisi Kuala Lumpur Mazlan Lazim mengatakan aksi itu berlangsung damai. Satu-satunya pelanggaran yang ditemukan adalah beberapa peserta aksi membawa anak-anak mereka, yang bertentangan dengan Undang-Undang Majelis Damai 2012.
Wakil Presiden PAS Tuan Ibrahim mengatakan aksi tersebut tidak digelar untuk mengutuk ras lain, tapi untuk membela hak-hak kaum Melayu dan Islam sebagai agama resmi. "Kami tidak berkumpul di sini karena kami anti-Cina atau anti-India. Kami di sini bukan untuk mengambil hak-hak orang Cina atau India. Kami membela Konstitusi Federal," katanya.
Dikutip dari Malaysia Kini, Malaysia adalah satu dari dua negara mayoritas muslim di dunia yang belum meratifikasi ICERD. Pada 23 November 2018, pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak meratifikasi ICERD setelah munculnya berbagai demonstrasi di Malaysia terkait konvensi tersebut. ICERD diprakarsai oleh PBB pada 1965 untuk menangani intoleransi rasial global. Tapi, di Malaysia, hal itu dianggap sebagai ancaman terhadap hak istimewa Bumiputera dan Islam.
Pada 28 September 2018, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berpidato di depan Majelis Umum PBB. Ia berkata bahwa pemerintah baru Malaysia telah berjanji untuk meratifikasi semua instrumen inti PBB yang tersisa terkait dengan perlindungan hak asasi manusia. "Ini tidak akan mudah bagi kami karena Malaysia multietnis, multiagama, multikultural, dan multibahasa. Kami akan memberikan ruang dan waktu bagi semua untuk berunding dan memutuskan dengan bebas berdasarkan demokrasi," ujarnya.
Anggota parlemen Rembau Khairy Jamaluddin, saat memperdebatkan pidato Mahathir pada 15 Oktober 2018, menyuarakan keprihatinannya tentang dampak ICERD terhadap hak istimewa Bumiputera. Komentar Khairy ditanggapi oleh Utusan Malaysia, yang menyatakan bahwa ICERD akan mengancam posisi khusus orang Melayu dan Islam di negara tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah serangkaian protes yang menyatukan kekuatan konservatif, dan memuncak ketika UMNO dan PAS mengumumkan unjuk rasa besar melawan ICERD.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video tersebut adalah video aksi melawan arogansi Cina di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Maret 2021, keliru. Video itu merupakan video lama, yang memperlihatkan aksi warga Malaysia yang menolak ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) pada 8 Desember 2018.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/cina
- https://www.tempo.co/tag/islam
- https://www.tempo.co/tag/malaysia
- https://www.youtube.com/watch?v=7XeF2S_3VZM
- https://www.youtube.com/watch?v=-nn9ntoSGZE
- https://www.channelnewsasia.com/news/asia/malaysia-anti-icerd-rally-in-kuala-lumpur-thousands-arrive-11012828
- https://www.tempo.co/tag/diskriminasi
- https://www.malaysiakini.com/news/455247
- https://pages.malaysiakini.com/icerd/en/
- https://www.tempo.co/tag/pbb
- https://www.tempo.co/tag/melayu
- https://www.tempo.co/tag/kuala-lumpur
Halaman: 4743/6298