• (GFD-2021-8826) Keliru, Varian Omicron Disebarkan untuk Memaksa Vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/12/2021

    Berita


    Narasi yang mengklaim bahwa menyebarnya varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika, menyebar di Facebook pada 28 November 2021. Unggahan ini beredar di tengah munculnya varian Omicron yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan. 
    “Tujuan utama dari propaganda varian Omicron di benua Afrika adalah sebagai pressure atau pemaksaan program vaksinasi copet-69 di benua Afrika,” tulis narasi tersebut. 
    Dalam narasi itu juga disebutkan, paksaan vaksinasi karena diklaim mayoritas penduduk di benua Afrika menolak program vaksinasi Covid-19. “Terbukti selama ini kasus Covid-19 di benua Afrika itu sangat rendah, jika dibandingkan dengan negara di benua lainnya yang selama ini menerapkan program vaksinasi dengan masif kepada masyarakat.”
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim bahwa Varian Omicron sengaja disebarkan untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

    Hasil Cek Fakta


    Hasil pemeriksaan fakta Tempo menunjukkan menyebarnya varian Omicron bukan bagian propaganda untuk memaksa vaksinasi Covid-19. Rendahnya tingkat vaksinasi di benua tersebut, disebabkan oleh banyak faktor. Namun ketidakmerataan akses dan cakupan vaksin Covid-19, mendorong munculnya varian virus baru. 
    Tempo memeriksa tiga klaim dari narasi yang beredar di Facebook tersebut dengan mengutip dari sejumlah pemberitaan dan analisa para pakar kesehatan. 
    Klaim 1: varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika
    Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, virus terus berubah melalui mutasi dan terkadang mutasi ini menghasilkan varian virus baru. Beberapa varian muncul dan menghilang sementara yang lain bertahan. Varian baru akan terus bermunculan.  
    Menurut CDC, dengan potensi munculnya varian virus baru, memberikan vaksinasi adalah cara terbaik untuk mengurangi penyebaran infeksi dan memperlambat varian baru. Vaksin justru dapat mengurangi risiko keparahan penyakit, rawat inap, dan kematian akibat COVID-19. Dengan demikian munculnya varian Omicron bukan bagian propaganda. Peningkatan vaksinasi Covid-19 di benua Afrika dibutuhkan untuk mengurangi risiko keparahan dan kematian akibat Covid-19. 
    Varian Omicron memang dideteksi pertama kali muncul di Afrika Selatan pada 24 November 2021. Akan tetapi, varian baru telah menyebar di Belanda, Belgia, Jerman, Perancis, Jepang, Hongkong dan Amerika Serikat. Sehingga munculnya varian virus baru ini menjadi ancaman global. 
    Klaim 2: mayoritas penduduk di benua Afrika menolak program vaksinasi Covid-19
    Dikutip dari Time, hingga 1 Desember 2021, tingkat vaksinasi dengan dosis penuh di benua Afrika baru mencapai 7,3 persen, jauh dibandingkan Eropa dan Amerika yang mencapai sebesar 58 persen. 
    Rendahnya tingkat vaksinasi tersebut, disebabkan oleh faktor yang cukup kompleks. Di antaranya karena koordinasi yang kurang dalam pengiriman vaksin, infrastruktur kesehatan yang lemah dan keragu-raguan penduduk.
    Sebagian besar negara Afrika mengandalkan COVAX, sebuah program yang dibuat untuk memasok vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah—untuk menyediakan pengiriman vaksin COVID-19. Namun, ketika produsen vaksin terbesar di dunia, Serum Institute of India, dilanda masalah produksi dan larangan ekspor menyusul lonjakan COVID-19 di India sendiri, pengiriman vaksin melambat hingga menetes. Hanya 245 juta dosis yang telah dikirim ke Afrika sub-Sahara, menurut pelacak vaksin UNICEF.
    Banyak negara Afrika terpaksa bergantung pada sumbangan. Tetapi pengiriman sering kali “tidak terkoordinasi dengan baik”, kata Dr. Lul Riek, koordinator Afrika bagian selatan untuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika. Lebih buruk lagi, beberapa pengiriman menyertakan dosis yang mendekati tanggal kadaluarsa.
    Bahkan ketika ada cukup dosis vaksin yang tersedia, keragu-raguan vaksin di seluruh benua tinggi—dipicu oleh kombinasi misinformasi online, ketidakpercayaan para pemimpin pemerintah dan sejarah eksperimen medis Barat di benua itu.
    Ketimpangan vaksinasi Covid-19 tersebut diduga menjadi penyebabnya munculnya varian baru Covid-19. “Apa yang terjadi saat ini sebagian besar tidak dapat dihindari. Varian saat ini, Omicron, adalah hasil dari kegagalan dunia untuk memvaksinasi warganya dengan cara yang adil dan efisien,” kata Dr. Ayoade Alakija, ketua Aliansi Pengiriman Vaksin Afrika Uni Afrika. “Perilaku tidak pengertian dan isolasionis dari Global North telah menciptakan situasi saat ini, dan sampai mereka dimintai pertanggungjawaban, saya khawatir Omicron mungkin baru permulaan,” kata dia menambahkan.  
    Klaim 3: Vaksinasi rendah mempengaruhi kasus Covid-19 di benua Afrika juga rendah
    Dampak pandemi Covid-19 di Afrika Sub-Sahara memang lebih rendah dibandingkan dengan Eropa, Amerika dan Asia. Namun hal itu tidak terkait dengan rendahnya tingkat vaksinasi, mengingat bagaimana vaksin dapat mengurangi tingkat keparahan dan kematian akibat Covid-19. 
    Dikutip dari The Conversation, dalam sebuah studi yang dipimpin analis kesehatan Janica Adam, memeriksa berbagai kemungkinan dengan peninjauan literatur untuk menjawab hal itu. Akan tetapi diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih memahami apa saja faktor-faktor yang berkontribusi pada rendahnya dampak Covid-19 di Afrika.
    Faktor pertama terkait demografi usia. Sebagian besar kematian terjadi pada mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. Di Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Asia, rata-rata usia penduduk berkisar antara 32 hingga 42,5 tahun. Kanada misalnya dengan usia rata-rata 41.1 dengan sekitar 18 persen populasi penduduk berusia 65 tahun. Kanada telah mencatat hampir 1,5 juta kasus Covid-19 dan 27 ribu kematian.
    Sedangkan struktur demografi usia penduduk Afrika sub-Sahara jauh lebih muda – usia rata-rata adalah 18 tahun. Misal di Uganda, dengan rata-rata usia penduduk 16,7 dan hanya 2 persen populasinya berusia 65 tahun atau lebih. Uganda hanya mencatat kasus Covid-19 kurang dari 100 ribu dan 3 ribu kematian. 
    Fakta kedua terkait fasilitas perawatan jangka panjang atau panti jompo. Di Afrika sub-sahara, kebanyakan orang lanjut usia tidak tinggal di fasilitas panti jompo, sebagaimana di Kanada. Orang lanjut usia di Afrika tinggal bersama keluarga yang mengurangi penularan penyakit. Berbeda dengan Kanada di mana 81 persen kematian terjadi di panti jompo.
    Ketiga, adanya keterbatasan pengujian SARS-CoV-2. Pengumpulan data yang tidak memadai dapat berarti kita tidak benar-benar mengetahui kasus dan prevalensi COVID-19.  
    Keempat, respons kesehatan masyarakat pemerintah yang efektif. Respon cepat dari beberapa pemerintah Afrika dan organisasi kesehatan mungkin telah memainkan peran penting. Pada awal pandemi, beberapa langkah dilakukan: screening, pembentukan Africa Task Force untuk Novel Coronavirus, penangguhan penerbangan dari China dan penutupan perbatasan di 40 negara Afrika. Program baru juga mempromosikan berbagi informasi COVID-19 di seluruh Afrika sub-Sahara.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan, klaim menyebarnya varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika, adalah keliru. Munculnya varian baru sebagai sifat virus yang terus berubah melalui mutasi dan terkadang mutasi ini menghasilkan varian virus baru. Beberapa varian muncul dan menghilang sementara yang lain bertahan.  
    Tingkat vaksinasi Covd-19 di Afrika paling rendah karena disebabkan berbagai faktor. Di antaranya karena koordinasi yang kurang dalam pengiriman vaksin, infrastruktur kesehatan yang lemah dan keragu-raguan penduduk akibat misinformasi, ketidakpercayaan para pemimpin pemerintah dan sejarah eksperimen medis Barat di benua itu.
    Tim Cek Fakta Tempo
  • (GFD-2021-8825) Keliru, Foto Anak Korban Penculikan di Gorontalo

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/12/2021

    Berita


    Kolase foto yang memperlihatkan seorang bocah tengah mendapatkan perawatan medis akibat luka dibagian jari tangannya beredar di media sosial. Foto-foto tersebut dibagikan dengan narasi bahwa anak tersebut merupakan korban penculikan di Gorontalo dan tangannya terluka saat meloloskan diri.
    Di Facebook, kolase foto tersebut dibagikan akun ini pada 26 Oktober 2020. Berikut narasi lengkapnya:
    “As.di impor masikan kpd org2 tua,agar memperhatikan anak jika tidak ad di rumah,penculikan anak sudah meraja leleh,kejadian ini terjadi di ilomata,kb.gorontaloh,anak in di culik dengan mengunakan mobil,untungnya anak ini bisa meloloskan diri dari penculikan,lihat tangan anak ini,terluka krn berusaha untuk meloloskan diri dri penculikan.berhati hatilah kita semua sebelum akan terjadi sesuatu kpd kita semua.”
    Hingga artikel ini dimuat kolase foto tersebut telah dibagikan lebih dari 8.200 kali dan mendapat 10 komentar. Apa benar ini foto anak korban penculikan di Gorontalo?
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim foto anak korban penculikan di Gorontalo

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto tersebut dengan menggunakan tool reverse image Google. Hasilnya, anak tersebut bukanlah korban penculikan. Tangannya luka akibat terkena pecahan botol saat bermain dengan teman-temannya.
    Kolase foto yang identik pernah dimuat situs  detotabuan.com  pada 27 Oktober 2020 dengan judul, “Kabar Percobaan Penculikan Anak di Pinolosian Ternyata Hoax.”
    Namun, narasi paa kolase foto yang dimuat situs ini menyebutkan bahwa lokasi kejadian yakni di Ilomata, (Kecamatan Pinolosian, Kabupaten Bolaang Mangondow Selatan, Sulawesi Utara).
    Kolase foto yang disertai narasi narasi penculikan, juga membuat heboh netizen di Sulawesi Utara. Tidak terkecuali warga di Bolaang Mangondow Selatan (Bolsel).
    Mendapat inormasi tersebut, Polres Bolsel bersama 2 anggota Polsek Pinolosian langsung menuju lokasi yang disebutkan.
    “Setelah menerima informasi, pukul 16.40 Wita Piket Reskrim bersama Anggota Sat IK bersama 2 anggota Polsek Pinolosian mendatangi TKP dan rumah korban untuk melakukan penyelidikan dan Pulbaket kebenaran berita yang beredar di medsos tentang adanya informasi penculikan anak,” ujar Kasat Reskrim Polres Bolsel, IPTU, Sahroni Rasyid.
    Korban anak berinisial M (7) dan orang tuanya kemudian di arahkan menuju Polsek Pinolosian untuk membuat laporan polisi.
    “Setelah korban (M) berada di Polsek, kemudian dilakukan interogasi oleh Piket Reskrim Res Bolsel dan mendapatkan keterangan bahwa korban luka korban bukan karena akan di culik, namun korban sedang bermain sambil berlari, lalu jatuh tersungkur ketanah dan jari telunjuk kiri dari korban kena pecahan beling yang mengakibatkan luka robek,” ujarnya.
    Pada pukul 17:00 WITA,  Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) langsung menggelar pemeriksaan dengan mengkonfirmasi langsung ke anak yang diduga menjadi korban penculikan.
    “Dari pengakuan bocah tersebut, bahwa dia bersama teman-temannya sedang bermain. Saat itu dia berlari dan jatuh, kemudian jari tangannya terkena pecahan botol. Karena takut akan dimarahi orang tuanya, sehingga dia mencari alasan, bahwa kejadian yang menimpa dirinya karena akan  diculik orang, dan tangannya terluka akibat melawan,” terang Anggota Satreskrim Polres Bolsel, Bripka Rekky H Madoa, saat dikonfirmasi detiksulawesi, Senin (26/10/2020).
    “Sampai saat ini tidak ada laporan penculikan anak yang masuk di Polres maupun Polsek Pinolosian," ujar Kasat Reskrim Polres Bolsel, IPTU, Sahroni Rasyid, Selasa (27/10/2020) ketika dihubungi Tribun Manado.
    "Jadi berita penculikan itu tidak benar atau hoax,” tegasnya.
    Kapolres Bolsel AKBP Yuli Kurnianto menghimbau masyakarat agar tidak mudah menyebarkan/membagikan informasi yang belum pasti kebenarannya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, kolase foto seorang seorang bocah tengah mendapatkan perawatan medis akibat luka dibagian jari tangannya yang diklaim sebagai korban penculikan,keliru. Kapolres Bolsel AKBP Yuli Kurnianto memastikan bahwa inormasi tersebut merupakan hoaks.
    Anak tersebut terluka pada bagian tangannya akibat terkena pecahan botol. Karena takut akan dimarahi, anak itupun mengarang cerita dengan mengaku bahwa ia menjadi korban penculikan. Lokasi kejadian juga bukan di Gorontalo, melainkan di Bolaang Mangondow Selatan, Sulawesi Utara.
    TIM CEK FAKTA TEMPO

    Rujukan

  • (GFD-2021-8824) Menyesatkan, Video Gempa Bumi di Jambi pada 29 November 2021

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/12/2021

    Berita


    Sebuah video hasil rekaman CCTV yang memperlihatkan suasana kepanikan disebuah warung internet beredar di media sosial. Video tersebut dibagikan dengan narasi bahwa Jambi gempa dahsyat hari ini.
    Di Youtube video tersebut dibagikan kanal ini pada 29 November 2021 dengan judul, “ Sumatera Terbelah!! Jambi Gempa Dahsyat Hari Ini, Warga Berhamburan.”
    Berikut narasi lengkapnya:
    “Gempa Jambi Hari Ini. Gempa banyuasin. Gempa bumi dengan magnitudo 4.7 yang ikut dirasakan di Kota Jambi, terjadi Selasa (29/11/2021) pukul 16.07 WIB. Warga Kota Jambi yang merasakan getaran gempa ini banyak yang berhampuran ke luar dari rumah. Demikian juga pekerja di kantor, tidak sedikit yang keluar dari gedung untuk menghindari kemungkinan negatif.”
    Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah disaksikan lebih dari 25.500 kali dan mendapat 25 komentar. Apa benar ini rekaman video gempa di Jambi pada 29 November 2021?
    Tangkapan layar unggahan video yang diklaim sebagai Video Gempa Bumi di Jambi pada 29 November 2021

    Hasil Cek Fakta


    Video tersebut merupakan rekaman peristiwa gempa di Pidie Jaya, Aceh, pada 25 Februari 2017.
    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut dengan menggunakan tool InVid. Selanjutnya gambar-gambar hasil fragmentasi ditelusuri jejak digitalnya dengan menggunakan reverse image tools Google dan Yandex.
    Video yang identik dengan kualitas yang lebih baik pernah diunggah ke Youtube oleh kanal Khalikul Lc pada 25 Februari 2017 dengan judul, “ Gempa Bumi Pidie Jaya Aceh Terekam CCTV.
    Video identik lainnya juga pernah diunggah ke Youtube oleh kanal BUKIT Tuber pada 11 Januari 2018 dengan judul, “ Rekaman CCTV Gempa Di Indonesia 2017.”
    Dalam video rekaman CCTV tersebut terlihat dengan jelas catatan waktu peristiwa gempa yakni 2017-02-25.
    Dilansir dari  Detik.com, gempa berkekuatan 4,5 skala Richter mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh pada 25 Februari 2017.
    Titik pusat gempa berada di 5,14 LU 96,22 BT dan berjarak 18 kilometer barat laut Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya. Belum ada informasi terkait kerusakan dan korban yang ditimbulkan gempa ini.
    Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, pada Sabtu, (25/2/2017) gempa terjadi pukul 15.01 WIB. Pusat gempa berada pada kedalaman 10 kilometer.
    Dikutip dari  Serambinews.com, menyusul terjadinya gempa bumi, Sabtu (25/2) sekitar pukul 15.20 WIB, warga  Pidie Jaya (Pijay) kembali tersentak. Mereka yang berada dalam rumah, pertokoan atau sejenisnya berhamburan keluar untuk menghindari hal-hal yang tak diingini.
    Kendati guncangannya tidak seberapa dan berlangsung dalam waktu relatif singkat (hanya beberapa detik), namun cukup membuat warga terkejut.
    Terlebih lagi mereka yang saat kejadian kebetulan sedang dalam pertokoan atau rumah berkontruksi permanen serta bertingkat.
    Begitu merasakan guncangan, spontan terkejut dan berucap, “gempa, gempa,” ucap sejumlah warga sambil berlarian keluar.
    Setelah kondisinya terlihat aman, warga pun kembali beraktivitas, walau sebagian mereka kelihatan agak pucat dan trauma.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, gempa dengan kekuatan 4,7 Magnitudo mengguncang timur laut Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan pada pukul 16.07 WIB.
    "Gempa yang terjadi di 54 kilometer Timur Laut Musi Banyuasin tersebut terjadi di kedalaman 10 kilometer," ujar Kepala Stasiun  BMKG  Jambi Ibnu Sulistyono, Senin, 29 November 2021.
    "Hingga saat ini belum ada laporan adanya kerusakan akibat gempa tersebut," tutur Ibnu Sulistyono.
    Dampak gempa yang terjadi di Timur Laut  Musi Banyuasin  tidak dirasakan di wilayah Provinsi Jambi. Meskipun jarak antara Timur Laut Musi Banyuasin tersebut lebih dekat ke Ibu Kota Provinsi Jambi dari pada ke Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan.
    Dikutip dari Merdeka.com, gempa yang terjadi tersebut merupakan  gempa dangkal. Tepatnya terjadi pada lokasi 2.28 Lintang Selatan dan 104.14 Bujur Timur. Gempa tersebut terjadi akibat aktivitas sesar lokal di Timur Laut Banyu Asin Provinsi Sumatera Selatan.
    Gempa dirasakan oleh masyarakat sekitar 2 mmi, di mana guncangan gempa seperti guncangan kendaraan dengan beban yang cukup berat saat melintas.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video yang diklaim sebagai rekaman peristiwa gempa bumi di Jambi pada 25 November 2021 menyesatkan. Rekaman CCTV video tersebut merupakan peristiwa gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pada 25 Februari 2017.
    Menurut Kepala Stasiun  BMKG  Jambi Ibnu Sulistyono, gempa bumi memang terjadi pada 29 November 2021 di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada pukul 16.07 WIB. Meskipun titik gempa lebih dekat dengan Jambi, namun dampak gempa tidak dirasakan warga Jambi.
    TIM CEK FAKTA TEMPO

    Rujukan

  • (GFD-2021-8823) Keliru, Dokter Asal Malaysia Dr. Chai Koh Meow Meninggal setelah Mendapat Vaksin Booster Pfizer

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/12/2021

    Berita


    Narasi tentang seorang dokter Malaysia Dr. Chai Koh Meow yang meninggal karena vaksin booster mRNA, beredar di Facebook, 23 November 2021. Narasi ini mengambil sumber dari situs berbahasa Mandarin, sinchew.com. 
    Unggahan itu menulis bahwa Chai Koh Meow meninggal setelah menerima vaksin booster Pfizer, untuk melengkapi vaksin pertamanya yang menggunakan Sinovac. 
    “Seorang dokter Malaysia berusia 58 tahun, Dr. Chai Koh Meow, deputi direktur Departemen Kesehatan Malaysia, menerima suntikan vaksin booster Covid buatan Pfizer hari Selasa yang lalu, sebagai tambahan ke atas vaksin Sinovac yang diterimanya terdahulu, meninggal dunia setelah mengalami gejala-gejala tubuh menjadi tidak nyaman seperti demam (colds) dan rasa sakit (soreness),” demikian isi narasi tersebut. 
    Tangkapan layar unggahan dengan klaim dokter Malaysia Dr. Chai Koh Meow meninggal setelah mendapat vaksin booster Pfizer

    Hasil Cek Fakta


    Otoritas Malaysia telah memberikan penjelasan atas meninggalnya senior Asisten Direktur Utama Kementerian Kesehatan, Dr. Chai Koh Meow. Menurut Direktur Umum Kesehatan Tan Sri, Noor Hisham Abdullah, Chai Koh menerima vaksin booster Covid-19 pada 9 November 2021. Setelah suntikan vaksin tersebut, tidak ada laporan dia mengalami efek samping serius. 
    “Dia tetap menjalankan tugas hingga 16 November 2021,” kata Noor Hisham, dikutip dari kantor berita Malaysia, Bernama, edisi 18 November 2021.
    Otoritas Kesehatan Malaysia kemudian melakukan post-mortem terhadap jenazah Chai Koh. Dikutip dari New Straits Times 26 November 2021, hasil post-mortem itu menunjukkan bahwa Dr. Chai meninggal karena gagal jantung, bukan efek vaksin Covid-19 seperti spekulasi yang beredar di media sosial.
    Post-mortem adalah data-data fisik yang diperoleh melalui identifikasi personal setelah korban meninggal. 
    “Berdasarkan laporan post-mortem, Dr Chai meninggal karena hemoperikardium karena penyakit arteri koroner dan infark miokard,” kata Noor Hisham. 
    Noor juga menyatakan, "Kami ingin menyampaikan belasungkawa kepada keluarga mendiang Dr Chai dan berterima kasih kepada saudaranya karena mengizinkan kami membagikan hasil post-mortem (dengan publik).
    Menteri Kesehatan Malaysia Khairy Jamaluddin mengatakan dia berharap klarifikasi itu bisa mengakhiri spekulasi tentang kematian Dr Chai.
    Dia mengatakan tidak ada hubungan langsung antara vaksin Covid-19 dan kematian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh kementerian. “Kami pasti akan membagikan temuan, jika ada kasus kematian terkait dengan vaksin,” katanya. 
    "Kami berharap dengan (penjelasan) ini, kami dapat menghentikan spekulasi apa pun dan mendesak masyarakat untuk menggunakan dosis booster (untuk meningkatkan cakupan kekebalan)," katanya, seraya menambahkan bahwa penelitian juga menemukan bahwa manfaat vaksin lebih besar daripada risikonya.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, klaim yang menyebut seorang dokter Malaysia Dr. Chai Koh Meow yang meninggal karena vaksin booster mRNA, adalah keliru. Berdasarkan hasil post-mortem Kementerian Kesehatan Malaysia, diketahui bahwa Dr. Chai meninggal karena gagal jantung.
    Tim Cek Fakta Tempo