(GFD-2021-8688) Keliru, Klaim Obat Bius pada Penerima Vaksin Covid-19 Bisa Sebabkan Kematian
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 30/06/2021
Berita
Pesan berantai yang berisi klaim bahwa seseorang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19 dilarang menerima obat bius beredar di Facebook pada 18 Juni 2021. Apabila menerima obat bius setelah vaksin, menurut pesan berantai itu, seseorang dapat meninggal.
“Siapapun yang telah divaksinasi virus Corona, dilarang menggunakan segala jenis anestesi (bius), baik anestesi lokal maupun anestesi dokter gigi, karena hal ini dapat membahayakan nyawa orang yang divaksinasi sangat berbahaya,” demikian yang tertulis dalam pesan berantai ini.
Dalam pesan berantai tersebut, tertulis pula bahwa mereka yang akan menerima obat bius harus menunggu selama 4 minggu setelah sembuh dari infeksi Covid-19. Selain itu, dalam pesan berantai ini, disebutkan contoh seseorang yang meninggal karena mendapatkan obat bius setelah vaksin.
Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim keliru terkait obat bius dan vaksin Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, klaim dalam pesan berantai tersebut tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada. Seseorang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19 tetap aman menerima obat bius. Tidak ada bukti bahwa menerima obat bius setelah menjalani vaksinasi Covid-19 bakal menyebabkan kematian.
Saat dihubungi pada 30 Juni 2021, Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Tonang Dwi Ardyanto, mengatakan klaim tersebut tidak benar. “Secara teori juga tidak ada hubungannya antara pemberian vaksinasi dengan penggunaan obat anestesi, sepanjang itu memang atas indikasi, misalnya memang harus menjalani tindakan operatif,” katanya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, pesan berantai yang sama juga beredar di luar negeri dalam bahasa Inggris, salah satunya di India. Pesan berantai itu pun telah diverifikasi oleh organisasi pemeriksa fakta kesehatan, Health Analytic Asia. Menurut Naveen Malhotra, profesor anestesiologi, semua klaim itu palsu. “Tidak ada bukti ilmiah untuk membuktikan ini. Semua jenis anestesi dapat diberikan dengan aman oleh ahli anestesi yang berkualifikasi setelah vaksinasi Covid-19,” ujarnya.
Indian Society of Anesthesiologists (ISA) juga telah membantah klaim tersebut dalam sebuah pernyataan pers, dan mengimbau masyarakat untuk mengabaikannya. “ISA mengimbau masyarakat umum untuk mengabaikan pernyataan palsu seperti itu dan menerima vaksinasi tanpa rasa takut," demikian penjelasan ISA.
Health Desk, situs pemeriksa fakta milik Meedan, organisasi nonprofit yang mendukung jurnalisme, pun menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi mengancam jiwa atau berbahaya untuk digunakan setelah mendapatkan vaksin Covid-19. Hingga kini, produsen vaksin tidak mengeluarkan label peringatan tentang bahaya penggunaan obat bius setelah vaksinasi Covid-19.
Menurut Health Desk, anestesi dapat membuat vaksin Covid-19 kurang efektif. Ini karena vaksin berinteraksi dengan sistem kekebalan, begitu juga anestesi, yang dapat mengganggu cara vaksin mengajarkan tubuh untuk melawan infeksi. American Society of Anesthesiologists pun merekomendasikan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah penyuntikan dosis terakhir sebelum menjalani operasi dengan anestesi.
Sementara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau CDC merekomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter, karena setiap kasus berbeda. "Yang terbaik adalah berbicara dengan dokter sebelum membuat keputusan tentang operasi dengan anestesi, atau minum obat penekan kekebalan atau terapi tambahan (bahkan obat penghilang rasa sakit dasar seperti ibuprofen). Menunda operasi atau perawatan yang tidak perlu dapat menimbulkan risiko tersendiri."
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pemberian obat bius pada penerima vaksin Covid-19 bisa menyebabkan kematian, keliru. Seseorang yang telah mendapatkan vaksin Covid-19 tetap aman menerima obat bius. Tidak ada bukti bahwa menerima obat bius setelah menerima vaksin Covid-19 bakal menyebabkan kematian.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/obat-bius
- https://archive.is/1sSef
- https://www.tempo.co/tag/covid-19
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://www.ha-asia.com/false-post-about-the-use-of-anaesthesia-circulates-in-india-no-link-between-anesthesia-and-covid-19-jab/
- https://health-desk.org/articles/is-it-dangerous-to-take-anesthetics-after-getting-a-covid-19-vaccination
- https://www.tempo.co/tag/anestesi
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
(GFD-2021-8687) Keliru, Klaim Ini Video Sri Mulyani Vaksinasi Covid-19 Palsu karena Jarum Suntik yang Dipakai Kosong
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 29/06/2021
Berita
Video yang memperlihatkan seorang dokter sedang menyuntikkan vaksin Covid-19 ke lengan seorang perempuan beredar di media sosial. Menurut klaim yang menyertai video tersebut, perempuan ini merupakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menjalani vaksinasi Covid-19 hanya sebagai pencitraan karena jarum suntik yang digunakan kosong.
Di Facebook, video berdurasi 28 detik itu dibagikan salah satunya oleh akun ini, tepatnya pada 21 Juni 2021. Akun tersebut pun menulis narasi sebagai berikut: “Mari kita ketawa!!! Sri Mulyani suntik vaksin utk pencitraan tp kamera gak bisa boong. Di jarum suntik ga ada isi vaksin nya, perhatikan jarum suntik nya!”
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya. Perempuan yang divaksinasi Covid-19 dalam video ini bukan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, perempuan yang menerima vaksinasi dalam video di atas bukan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, melainkan Benedita Oliveira, Sekretaris Kesehatan Kota Quixada di Brasil. Video tersebut telah beredar di internet sejak Januari 2021.
Untuk memverifikasi klaim di itu, Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar ini ditelusuri jejak digitalnya dengan reverse image tool Google dan Yandex.
Hasilnya, ditemukan bahwa proses vaksinasi dalam video itu pernah disiarkan secara langsung oleh akun Facebook resmi Pemerintah Kota Quixada pada 19 Januari 2021. Video ini diberi keterangan bahwa "Wali Kota Ricardo Silveira Mengumumkan Tindakan untuk Memerangi Covid-19 di Quixada. Balai Kota Quixada memulai vaksinasi terhadap Covid - 18/01/2021".
Video yang identik juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Cidade Alerta CE pada 21 Januari 2021 dengan judul “Vacinacao contra a Covid-19 em Quixada gera polemica”. Dalam keterangannya, tertulis bahwa video vaksinasi Covid-19 itu viral di jejaring sosial, karena jarum suntik yang digunakan oleh Sekretaris Kesehatan Kota Quixada, Benedita Oliveira.
Dalam video ini, di dalam jarum suntik, tidak terlihat adanya dosis vaksin Covid-19 saat jarum tersebut diinjeksi ke lengan Oliveira. Sepanjang hari, jurnalis dan editor Cidade menganalisis dengan cermat semua konten yang direkam oleh tim dari Pemerintah Kota Quixada.
"Yang bisa kita lihat adalah kebocoran dosis pada spuit. Perhatikan bahwa, ketika petugas kesehatan mengambil jarum suntik untuk mengisinya dengan dosis vaksin Covid-19, embuler kembali dan mengembalikan cairan ke dalam ampul. Petugas mengubah posisi jarum suntik dan, sekali lagi, menarik gagangnya. Lihat pada gambar bahwa dosis masuk ke jarum suntik yang diberikan kepada wali kota. Namun, sebelum divaksin, dokter melakukan asepsis pada lengan sekretaris kesehatan, dan saat akan memberikan dosis, setetes produk jatuh. Dan jelas terlihat jarum suntiknya kosong. Mungkin ada kebocoran dosis, itu sebabnya Anda tidak melihat cairan di dalam jarum suntik. Ini menunjukkan bahwa mungkin ada kesalahan dalam menangani vaksin atau bahkan cacat pada jarum suntik," demikian penjelasan Cidade.
Namun, dalam rilis persnya, Pemerintah Kota Quixada telah menyatakan bahwa klaim yang beredar di jejaring sosial adalah berita palsu. Mereka pun telah mengajukan pengaduan ke kantor polisi sipil kota, dan bakal mengambil tindakan hukum sesuai perundang-undangan.
Sementara Kementerian Publik Negara Bagian Ceara, Brasil, menjelaskan bahwa mereka belum menerima keluhan apa pun tentang dugaan vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan jarum suntik kosong di Quixada. Sementara polisi sipil negara bagian menginformasikan bahwa mereka telah menerima pengaduan dari Pemerintah Kota Quixada terkait hal itu dan sedang menyelidiki kasus tersebut.
Hal ini pun diberitakan oleh Opovo. Dalam laporannya, Opovo menulis bahwa video vaksinasi Covid-19 di Kota Quixada itu beredar di jejaring sosial dengan klaim bahwa telah terjadi vaksinasi palsu di wilayah tersebut. Sekretaris Kesehatan Kota Quixada, Benedita Oliveira, tampak divaksinasi. Namun, dalam prosesnya, dosis tidak terlihat disuntikkan. Dalam sebuah pernyataan, Pemerintah Kota Quixada mengatakan bahwa itu adalah berita palsu, namun tidak mengklarifikasi apa yang terjadi dan tidak menyatakan bahwa video itu diedit.
Dalam update-nya, Opovo menulis bahwa Pemerintah Kota Quixada menginformasikan video yang beredar itu telah diedit, dan bukan konten yang dapat diandalkan. Menurut mereka, karena dosisnya hanya 0,5 militer, ada kemungkinan cairan vaksin menjadi "hampir tidak terlihat". Pemerintah Kota Quixada pun merilis sebuah video yang menunjukkan seorang petugas kesehatan tengah mempersiapkan dosis vaksin Covid-19 yang digunakan.
Pemerintah Kota Quixada juga menerbitkan pernyataan: “Pemerintah Kota Quixada menyesali sikap mereka yang bertanggung jawab dalam memproduksi berita palsu ini dan menolak setiap dan semua tindakan yang membahayakan kesadaran penduduk sehubungan dengan kebijakan imunisasi yang dilakukan untuk memerangi pandemi Covid-19 dan menyelamatkan nyawa. Ini adalah kebohongan serius yang secara substansial dapat merusak kinerja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Quixada terhadap Covid-19.”
“Mengenai video yang disebarluaskan di jejaring sosial oleh sejumlah situs dan akun media sosial, Pemerintah Kota Quixada menginformasikan bahwa video tersebut adalah berita palsu. Jaksa Agung Kota Quixada telah mengajukan pengaduan ke Kantor Polisi Sipil Daerah Quixada, Kementerian Umum Negara Bagian Ceara, serta portal AntiFake, yang dikelola oleh Pemerintah Negara Bagian Ceara, selain mempersiapkan tindakan hukum yang tepat terhadap para penyebar," demikian isi pernyataan tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video tersebut adalah video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjalani vaksinasi Covid-19 palsu karena jarum suntik yang digunakan kosong, keliru. Perempuan yang menerima vaksinasi dalam video tersebut bukan Sri Mulyani, melainkan Benedita Oliveira, Sekretaris Kesehatan Kota Quixada di Brasil. Tudingan vaksinasi palsu terhadap Oliveira telah beredar di internet sejak Januari 2021. Pemerintah Kota Quixada pun telah menyatakan bahwa klaim tersebut adalah berita palsu.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/sri-mulyani
- https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=105968708401491&id=100069650863738&_rdc=2&_rdr
- https://www.tempo.co/tag/menteri-keuangan
- https://www.facebook.com/prefeituradequixadace/videos/413914036393048
- https://www.youtube.com/watch?v=6MJEeyMIpw8
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://www.tempo.co/tag/brasil
- https://www.opovo.com.br/noticias/ceara/2021/01/20/video-sobre-falsa-vacinacao-contra-covid-19-em-quixada-e-fake--diz-prefeitura.html
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
(GFD-2021-8686) Keliru, Pesan Berantai tentang Adanya Genosida Umat Islam Lewat Vaksin Covid-19
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 29/06/2021
Berita
Pesan berantai yang berjudul "Genosida Umat Islam Indonesia dengan Vaksin Covid-19" beredar di Facebook. Pesan ini berisi sejumlah klaim yang meragukan pandemi Covid-19 di dunia, termasuk di Indonesia. Di bagian awal pesan itu, disebutkan bahwa Inggris dan para ahli medis Eropa telah menyatakan Covid-19 tidak lagi dikategorikan sebagai pandemi maupun penyakit berisiko tinggi.
Kemudian, terdapat klaim-klaim lainnya, seperti bahwa orang-orang di Cina dan negara-negara Eropa tidak ada yang mau memakai masker lagi karena seluruh warganya sudah sehat, bahwa Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam menolak vaksin, bahwa rumah sakit adalah tempat genosida umat Islam, dan bahwa melepas masker saat berbicara wajib karena, kalau tidak, akan menelan racun karbon dioksida atau CO2.
Akun ini membagikan pesan berantai tersebut pada 26 Juni 2021. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun itu telah mendapatkan 99 reaksi dan 57 komentar serta dibagikan lebih dari 200 kali.
Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim-klaim keliru terkait Covid-19 dan vaksin.
Hasil Cek Fakta
Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai pemberitaan dan hasil penelitian untuk memverifikasi lima klaim tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa kelima klaim itu tidak disertai dengan bukti-bukti yang akurat. Berikut penjelasan atas kelima klaim tersebut:
Klaim 1: Inggris dan para ahli medis Eropa telah menyatakan Covid-19 tidak lagi dikategorikan sebagai pandemi maupun penyakit berisiko tinggi. Di Eropa dan Amerika Serikat, status virus Corona telah diubah menjadi penyakit menular biasa seperti influenza.
Fakta:
Dikutip dari laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO Eropa, Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, setelah tercatat adanya 118 ribu kasus di 114 negara dengan 4.291 kematian. Hingga kini (29 Juni 2021), pandemi belum dinyatakan berakhir. Sesuai grafik yang dipublikasikan oleh kantor berita Deutsche Welle, situasi pandemi saat ini justru sedikit memburuk, di mana 71 negara telah melaporkan lebih banyak kasus dalam dua minggu terakhir dibandingkan 14 hari sebelumnya.
Klaim bahwa Eropa dan AS telah mengubah status virus Corona sebagai penyakit menular biasa seperti influenza juga tidak akurat. Berdasarkan penjelasan Pusat Pencegahan dan Penanganan Penyakit Eropa (ECDC), Covid-19 memiliki proporsi kasus infeksi parah yang lebih tinggi dan kematian yang lebih tinggi daripada influenza musiman. Beberapa orang yang pernah terinfeksi Covid-19 juga mengalami efek jangka panjang, dengan gejala pernapasan dan neurologis yang berkelanjutan.
Selain itu, Covid-19 lebih menular daripada influenza musiman, di mana satu individu yang terinfeksi menyebabkan jumlah infeksi sekunder yang lebih tinggi daripada influenza. Karena SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, adalah virus baru, tidak ada kekebalan yang telah terbentuk sebelumnya pada orang yang tertular. Hal ini membuat seluruh populasi rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 di awal pandemi. Perbedaan antara Covid-19 dan flu musiman ini juga dimuat dalam situs resmi CDC AS.
Sumber: WHO Eropa, Deutsche Welle, ECDC, CDC
Klaim 2: Orang-orang di Cina dan negara-negara Eropa tidak ada yang mau memakai masker lagi karena seluruh warganya sudah sehat
Fakta:
Otoritas Beijing, ibukota Cina, memang pernah melonggarkan kebijakan pemakaian masker setelah kota itu berhasil menekan kasus Covid-19 pada April dan Agustus 2020 lalu. Namun, meski terdapat pelonggaran, seperti dikutip dari kantor berita Reuters, penduduk setempat tetap memilih menggunakan masker karena lebih aman dan mendapatkan tekanan sosial.
Dalam sebuah video yang memperlihatkan warga Cina pergi untuk mendapatkan vaksin misalnya, mereka tampak masih menggunakan masker. Video berjudul "China’s Covid-19 vaccination drive hits 1 billion mark" ini dipublikasikan oleh South China Morning Post (SCMP) pada 21 Juni 2021. Demikian juga dalam foto-foto yang dimuat oleh Voice of America (VoA) pada 3 Juni 2021, terlihat bahwa warga Beijing tetap menggunakan masker saat menjalani vaksinasi.
Sementara negara-negara di Eropa mulai mewajibkan pemakaian masker medis seiring dengan penyebaran varian baru virus Corona yang dianggap lebih cepat menular dan datangnya musim dingin. Pemerintah Prancis misalnya, dikutip dari CNN, mewajibkan warga memakai masker bedah FFP1 sekali pakai, respirator pelindung wajah FFP2 yang lebih protektif, atau masker kain yang memenuhi spesifikasi "Kategori 1" yang dapat menyaring lebih dari 90 persen partikel di seluruh tempat umum.
Keputusan Prancis itu mengikuti kebijakan pemerintah Jerman sebelumnya yang mengharuskan semua orang untuk memakai masker FFP1 atau FFP2 saat berada di transportasi umum, di tempat kerja, dan di toko-toko.
Sumber: Reuters, YouTube SCMP, VoA, CNN
Klaim 3: Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam menolak vaksin
Fakta:
Lima negara tersebut telah menjalankan program vaksinasi Covid-19. Dikutip dari Asean Briefing, Malaysia telah menandatangani kesepakatan dengan Pfizer untuk 12,8 juta dosis vaksin Covid-19. Vaksin tersebut diberikan kepada masyarakat dalam dua tahap, di mana program vaksinasi dimulai pada kuartal 1 2021. Malaysia memiliki target untuk menyuntik antara 80-100 persen warganya.
Brunei Darussalam telah bergabung dengan skema Covax global dan berharap bisa mendapatkan vaksin Covid-19 pada kuartal 2021, setelah mendapatkan pasokan yang cukup untuk bagi 50 persen populasi. Filipina juga telah memulai program vaksinasinya per Juni 2021, dan berharap bisa memvaksinasi sekitar 25 juta warga (sekitar 25 persen dari populasinya) sepanjang tahun ini. Lebih dari 30 perusahaan lokal menandatangani perjanjian untuk membeli setidaknya 2,6 juta dosis vaksin AstraZeneca.
Thailand pun telah menandatangani kontrak senilai 2,38 miliar baht dengan AstraZeneca untuk vaksin Covid-19. Mereka menargetkan dosis tersebut akan mencakup 13 juta warga dari populasinya yang mencapai sekitar 69 juta orang. Sementara Vietnam telah menandatangani perjanjian dengan Medigen Vaccine, perusahaan vaksin yang berbasis di Taipei, Taiwan, untuk mengamankan pasokan 3-10 juta dosis vaksin Covid-19 pada 2021.
Sumber: Asean Briefing
Klaim 4: Rumah sakit adalah tempat genosida umat Islam
Fakta:
Kematian pasien Covid-19 di rumah sakit bukanlah genosida. Jumlah kematian saat ini meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19. Dikutip dari CNBC Indonesia, kematian rentan dialami oleh pasien Covid-19, terutama yang memiliki gejala berat dan penyakit bawaan. Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 ini pun menyebabkan keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit melonjak.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 26 Juni 2021, DKI Jakarta mencatatkan BOR paling tinggi, yakni 93 persen. Banten mencatatkan keterisian tertinggi berikutnya, yakni 91 persen, disusul dengan Jawa Barat sebesar 89 persen, Jawa Tengah sebesar 87 persen, dan Yogyakarta sebesar 86 persen.
Jumlah kasus Covid-19 naik berlipat-lipat salah satunya akibat virus Corona varian Delta. WHO menyebut varian ini sangat menular, termasuk jenis varian yang tercepat dan terkuat yang pernah ada. "(Varian Delta) menjadi lebih mematikan karena lebih efisien dalam caranya menularkan antar manusia. Dan pada akhirnya akan menemukan individu-individu yang rentan yang akan menjadi sakit parah, harus dirawat di rumah sakit, dan berpotensi meninggal," kata Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Mike Ryan.
Sumber: CNBC Indonesia, Tempo, Detik.com
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berjudul "Genosida Umat Islam Indonesia dengan Vaksin Covid-19" itu keliru. Lima klaim yang terdapat dalam pesan berantai itu tidak didukung dengan bukti-bukti yang ada.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://www.tempo.co/tag/islam
- https://web.facebook.com/permalink.php?story_fbid=177444531015179&id=100062488986023
- https://www.tempo.co/tag/virus-corona
- https://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19/novel-coronavirus-2019-ncov
- https://www.dw.com/en/coronavirus-global-pandemic-trend/a-53954594
- https://www.ecdc.europa.eu/en/covid-19/questions-answers/questions-answers-basic-facts
- https://www.cdc.gov/flu/symptoms/flu-vs-covid19.htm
- https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-beijing-masks-idUSKBN25H0H8
- https://www.youtube.com/watch?v=NJFsn6Ck3mU
- https://www.voanews.com/covid-19-pandemic/slow-start-china-mobilizes-vaccinate-headlong-pace
- https://edition.cnn.com/2021/01/22/europe/europe-covid-medical-masks-intl/index.html
- https://www.aseanbriefing.com/news/covid-19-vaccine-roll-outs-in-asean-asia-live-updates-by-country/
- https://www.tempo.co/tag/genosida
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20210628160454-4-256524/sedih-jakarta-kembali-cetak-rekor-kasus-kematian-covid-19
- https://video.tempo.co/read/25095/lebih-dari-400-pasien-covid-19-di-dki-meninggal-di-luar-fasilitas-rumah-sakit
- https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5616511/waspada-who-sebut-varian-delta-sebagai-varian-terkuat-covid-19-saat-ini
- https://www.tempo.co/tag/masker
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/1210/keliru-pakai-masker-membuat-co2-menumpuk-dan-keasaman-tubuh-naik-sehingga-rentan-virus
- https://www.tempo.co/tag/covid-19
(GFD-2021-8685) Keliru, Klaim Ini Foto Pria yang Disiksa di Penjara Cina karena Memeluk Islam
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/06/2021
Berita
Foto yang memperlihatkan seorang pria dengan kondisi tubuh terkekang dalam sebuah kursi besi beredar di media sosial. Foto tersebut dibagikan dengan klaim bahwa pria tersebut merupakan seorang tahanan di Cina yang disiksa karena beragama Islam.
Di Facebook, foto tersebut dibagikan salah satunya oleh akun ini pada 7 Juni 2021. Berikut narasi yang ditulis oleh akun itu, yang telah diterjemahkan dari bahasa Hindi:
"Muslim China. Orang yang terlihat duduk di kursi ini tidak lain adalah bapak dari umat ini, adalah saudara kita yang beragama Islam. Tidak tahu berapa banyak orang seperti itu yang terlibat dalam satu atau lain cara dan satu-satunya kesalahan mereka adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang percaya pada kalma lailahaillallah. Ini gambar penjara di China di sini Muslim Uyghur ini diperlakukan seperti ini. Mereka benar-benar terikat di kursi, bahkan mereka tidak bisa bergerak. Mereka disimpan seperti ini selama berminggu-minggu, orang-orang malang ini tidur di atasnya, makan di atasnya."
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait foto yang diunggahnya. Penangkapan dan interogasi yang terlihat dalam foto itu sama sekali tidak terkait dengan Islam.
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto tersebut dengan reverse image tool Source, Google, dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut merupakan gambar tangkapan layar dari sebuah video penahanan dan interogasi oleh personel polisi Cina terhadap seorang pria yang dituduh telah mengkritik polisi lalu lintas Cina saat menangkap seorang pengendara motor.
Video interogasi tersebut pernah diunggah ke YouTube oleh kanal China Min TV pada 8 Agustus 2018. Menurut kanal itu, pria bernama Zhuifengluhua tersebut melontarkan kritiknya di sebuah grup WeChat pada malam sebelum ia ditangkap. Keesokan harinya, pria ini dibawa oleh polisi untuk diinterogasi. Namun, ia menolak untuk mengakuinya, dan mengatakan bahwa ia telah minum terlalu banyak. Ia pun terus meminta maaf kepada polisi.
Video yang identik juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Lieutenants Loft pada 3 Desember 2019. Video ini diberi judul “China Police Interrogate Man For Social Media Comments”. Situs Bichute.com juga pernah memuat video tersebut pada 4 Desember 2019. Menurut keterangan video tersebut, pria itu dikurung di kursi besi dan diinterogasi oleh polisi Cina karena komentar yang dia bikin secara online.
Hal ini pun diberitakan oleh Reclaimthenet.org. Dalam laporannya, Reclaimthenet.org juga menulis bahwa pria itu diborgol ke kursi besi dan diinterogasi karena mengkritik polisi Cina di media sosial. Dia diketahui mengeluh tentang polisi di QQ dan WeChat. Ia pun ditanyai tentang nama akunnya, serta aktivitasnya di grup WeChat.
“Mengapa Anda mengeluh tentang polisi di QQ dan WeChat ?” tanya seorang polisi kepada pria tersebut. “Mengapa Anda berbicara tentang polisi lalu lintas secara online? Apa yang salah dengan polisi yang menyita motor? Mengapa Anda menjelek-jelekkan polisi? Apakah kamu membenci polisi?” Pria itu pun ketakutan dan meminta maaf, "Maaf, saya salah. Saya tahu, saya tahu itu sekarang. Tolong maafkan saya, saya tidak akan melakukannya lagi."
Terkait kursi besi dalam foto itu, dikutip dari France24, kursi tersebut kerap disebut “kursi harimau”, yang diklasifikasikan sebagai alat penyiksaan dalam laporan Human Rights Watch pada 2015. Kursi ini memiliki cincin yang digunakan untuk melumpuhkan tahanan dan menjaga mereka dalam posisi yang sangat tidak nyaman. Menurut Human Rights Watch, polisi Cina terkadang menyiksa tahanan dengan meninggalkan mereka di kursi ini selama beberapa hari.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merekomendasikan kursi ini dilarang. Tapi pihak berwenang Cina membela diri dengan mengatakan bahwa kursi itu merupakan "tindakan perlindungan untuk memastikan bahwa tersangka tidak melarikan diri, melukai diri sendiri, atau menyerang personel".
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas merupakan foto pria yang disiksa di penjara Cina karena beragama Islam, keliru. Foto itu memang diambil dari sebuah video penahanan dan interogasi oleh personel polisi Cina. Namun, penangkapan dan interogasi tersebut sama sekali tidak terkait dengan agama pria tersebut. Pria ini ditahan dan diinterogasi polisi Cina karena melontarkan kritik di sebuah grup WeChat tentang kinerja polisi lalu lintas Cina yang menahan seorang pengendara motor.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/cina
- https://www.facebook.com/photo?fbid=334225405029075&_rdc=1&_rdr
- https://www.tempo.co/tag/muslim
- https://www.tempo.co/tag/uyghur
- https://www.youtube.com/watch?v=_OXDj0nObpg
- https://www.youtube.com/watch?v=rbTXb6bEMfI
- https://www.bitchute.com/video/I1gJ0_Pz7qI/
- https://reclaimthenet.org/china-man-chair-interrogation-social-credit/
- https://www.tempo.co/tag/wechat
- https://observers.france24.com/en/20191104-chinese-police-musical-videos-arrests-interrogations-douyin-tiktok
- https://www.tempo.co/tag/islam
Halaman: 4595/6183