(GFD-2020-8100) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Dokter Italia Temukan Sebab Kematian Covid-19 adalah Bakteri Bukan Virus?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 27/05/2020
Berita
Pesan berantai yang menyebut dokter di Italia menemukan bahwa penyebab kematian pada pasien Covid-19 adalah bakteri, bukan virus, beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Menurut narasi itu, hal ini menyebabkan penggumpalan darah yang disebut koagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau trombosis sehingga bisa disembuhkan dengan antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan.
Di bagian awal pesan berantai itu, terdapat judul yang berbunyi "Di Italia Obat untuk Coronavirus Akhirnya Ditemukan". Kemudian, terdapat narasi, "Dokter Italia, tidak mematuhi hukum kesehatan dunia WHO, untuk tidak melakukan otopsi pada kematian Coronavirus dan mereka menemukan bahwa BUKANLAH VIRUS, tetapi BAKTERIlah yang menyebabkan kematian. Ini menyebabkan gumpalan darah terbentuk dan menyebabkan kematian pasien."
Pesan berantai tersebut juga memuat klaim, "Italia mengalahkan apa yang disebut Covid-19, yang tidak lain adalah 'Koagulasi intravaskular diseminata' (Trombosis). Dan cara untuk memeranginya, yaitu, penyembuhannya, adalah dengan 'antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan'. Menurut ahli patologi Italia. 'Ventilator dan unit perawatan intensif tidak pernah dibutuhkan.'"
Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di WhatsApp.
Bagaimana kebenaran klaim-klaim dalam pesan berantai di atas?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi isi dari pesan berantai tersebut, Tim CekFakta Tempo melakukan riset di situs-situs kredibel, baik dalam maupun luar negeri, lewat mesin pencarian Google.
Klaim 1: Covid-19 disebabkan oleh bakteri, bukan virus, sehingga bisa disembuhkan dengan antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan
Fakta:
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh jenis virus Corona baru yang ditemukan pertama kali di Wuhan, Cina, pada Desember 2019. Virus Corona adalah kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis virus Corona diketahui menyebabkan infeksi saluran pernapasan pada manusia, mulai dari batuk dan pilek hingga yang lebih serius, seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus Corona jenis baru yang menyebabkan Covid-19 diberi nama SARS-CoV-2.
Dilansir dari India Today, ahli pulmonologi dari Max Hospital India, Sharad Joshi, juga menyatakan bahwa klaim "Covid-19 disebabkan oleh bakteri, bukan virus" keliru. Menurut Joshi, Covid-19 adalah infeksi virus. Infeksi bakteri sekunder, sepsis, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC) memang bisa terjadi. Namun, sebagai akibat dari komplikasi yang umum ditemukan pada semua penyakit virus.
Karena itu, pemberian antibiotik kepada pasien Covid-19 ditujukan untuk melawan infeksi bakteri sekunder. Menurut Direktur Rumah Sakit Lok Nayak Jai Prakash Narayan India, Suresh Kumar, secara ilmiah, tidak ada peran antibiotik untuk mengobati Covid-19. "Antibiotik diberikan untuk melawan infeksi bakteri sekunder atau kolateral," ujarnya.
Dikutip dari artikel cek fakta FullFact, Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) menyatakan bahwa anti-inflamasi non-steroid dengan dosis rendah, seperti ibuprofen, bisa digunakan untuk menurunkan demam atau rasa nyeri akibat Covid-19. NHS merekomendasikan, "Cobalah paracetamol terlebih dahulu, karena memiliki efek samping yang lebih sedikit ketimbang ibuprofen dan merupakan pilihan yang lebih aman bagi kebanyakan orang."
Adapun antikoagulan, obat untuk mencegah pembekuan darah, telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada pasien Covid-19 tertentu. British Thoracic Society telah mempublikasikan panduan tentang dosis yang direkomendasikan dari heparin dengan berat molekul rendah pada pasien Covid-19 yang terkonfirmasi atau diduga mengalami trombosis.
Klaim 2: Penyebab kematian pada pasien Covid-19 adalah koagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau trombosis, bukan pneumonia
Fakta:
Dilansir dari The Journal Irlandia, sejumlah penelitian memang menemukan hubungan antara Covid-19 dengan trombosis. Ada pula pemeriksaan yang menghubungkan Covid-19 dengan DIC. Namun, keliru jika mengklaim bahwa pasien Covid-19 telah salah didiagnosa mengidap pneumonia. Faktanya, pasien dengan Covid-19 yang parah sering mengalami pneumonia.
Dikutip dari FullFact, pneumonia merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien Covid-19 yang parah. Menurut sebuah penelitian, baik pneumonia maupun DIC bisa dialami pada waktu yang sama oleh pasien Covid-19. "Trombosis paru-paru merupakan faktor yang bisa mempersulit jalannya pneumonia pada pasien Covid-19," demikian penjelasan FullFact.
Dilansir dari artikel cek fakta Correctiv, memang terdapat penelitian oleh dokter di Italia pada 22 April 2020, namun belum menjalanipeer-reviewatau tinjauan sejawat, yang menemukan pasien Covid-19 dengan trombosis. Karena itu, mereka mengusulkan penggunaan antikoagulan. Namun, penelitian tersebut tidak menyimpulkan bahwa pasien Covid-19 meninggal hanya karena trombosis.
Selain pneumonia, WHO telah mendaftarkan trombositopenia sebagai kemungkinan komplikasi dalam kasus kritis Covid-19 sejak akhir Januari. Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit yang meningkatkan risiko trombosis. Karena itu, WHO juga menyarankan penggunaan antikoagulan heparin dengan berat molekul rendah pada pasien remaja dan dewasa yang tidak memiliki kontraindikasi. Jika memiliki kontraindikasi, WHO menyarankan untuk menggunakan alat kompresi pneumatik intermiten.
Klaim 3: Ventilator dan unit perawatan intensif (ICU) tidak pernah dibutuhkan oleh pasien Covid-19
Fakta:
Menurut WHO, sekitar 80 persen penderita Covid-19 akan sembuh tanpa memerlukan perawatan rumah sakit. Tapi satu dari enam penderita bakal mengalami sakit yang parah. Dikutip dari BBC, dalam kasus yang parah ini, virus akan menyebabkan kerusakan pada paru-paru sehingga kadar oksigen dalam tubuh menurun dan membuat penderita sulit bernapas. Untuk meringankan kasus ini, ventilator digunakan untuk mendorong udara, dengan meningkatkan kadar oksigen, ke paru-paru.
Selain itu, ventilator memiliki pelembab udara, yang menambah panas dan kelembaban pada pasokan udara sehingga sesuai dengan suhu tubuh pasien. Pasien pun diberi obat untuk mengendurkan otot-otot pernapasan sehingga napas mereka dapat sepenuhnya diatur oleh mesin. Pasien dengan gejala lebih ringan dapat diberi corong yang dikenal sebagai ventilasi non-invasif, karena tidak memerlukan pipa internal. Bentuk ventilasi lainnya adalah tekanan saluran napas positif kontinyu (CPAP).
Dilansir dari India Today, berdasarkan penjelasan para praktisi kesehatan senior, tidak semua pasien Covid-19 membutuhkan ventilator dan ICU. Mereka yang membutuhkan ventilator dan ICU adalah pasien Covid-19 dengan kondisi kritis atau mengalami kegagalan multi-organ. Sergio Harasi, Direktur Unit Operasi Pneumologi Rumah Sakit San Giuseppe Italia, mengatakan, "Sebagian besar kematian Covid-19 disebabkan oleh pneumonia interstisial dan gagal napas. Klaim bahwa pasien tidak seharusnya diintubasi patut dipertanyakan."
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim dalam pesan berantai di atas keliru. Covid-19 disebabkan oleh virus, bukan bakteri. Antibiotik diberikan kepada pasien Covid-19 yang mengalami infeksi bakteri sekunder. Anti-inflamasi diberikan untuk menurunkan demam atau rasa nyeri akibat Covid-19. Adapun antikoagulan direkomendasikan bagi pasien Covid-19 yang mengalami trombosis. Beberapa penelitian memang menemukan pasien Covid-19 yang mengalami trombosis. Namun, menyimpulkan bahwa pasien Covid-19 meninggal hanya karena trombosis keliru. Selain trombosis, pasien Covid-19 kebanyakan meninggal karena pneumonia dan gagal napas. Terkait klaim ventilator dan ICU tidak dibutuhkan oleh pasien Covid-19, juga keliru.
IBRAHIM ARSYAD | ANGELINA ANJAR SAWITRI
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-for-public
- https://www.indiatoday.in/fact-check/story/blot-clot-coronavirus-italian-doctors-who-1681512-2020-05-25
- https://fullfact.org/online/thrombosis-covid-19/
- https://www.thejournal.ie/coronavirus-factcheck-debunked-covid-thrombosis-pneumonia-5103773-May2020/
- https://fullfact.org/online/thrombosis-covid-19/
- https://correctiv.org/faktencheck/2020/04/28/corona-kettenbrief-nein-aspirin-kann-covid-19-nicht-heilen-und-nicht-alle-patienten-sterben-an-einer-thrombose
- https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/330854/WHO-nCoV-Clinical-2020.2-eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y
- https://www.bbc.com/news/health-52036948
- https://www.indiatoday.in/fact-check/story/blot-clot-coronavirus-italian-doctors-who-1681512-2020-05-25
(GFD-2020-8099) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tes PCR Tak Bisa Tunjukkan Jenis Virus Corona Covid-19?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 26/05/2020
Berita
Sebuah tulisan panjang yang menyebut bahwa tespolymerase chain reaction(PCR) tidak bisa menunjukkan jenis virus Corona Covid-19 viral di Facebook. Salah satu akun yang membagikan tulisan itu adalah akun Thiwy Yunus, yakni pada 23 Mei 2020. Akun ini mengklaim bahwa tulisan tersebut merupakan saduran. Namun, akun itu tidak menyebut sumber dari tulisan ini.
Tulisan tersebut berisi sejumlah klaim. Klaim pertama, rapid test hanya bisa mengecek antibodi di dalam tubuh seseorang, bukan mengecek virus. "Jika antibodi muncul/reaktif dianggap ada virus atau bakteri.. Tapi gak tau itu virus/bakteri apa.. Itu sudah dianggap hasilnya positif. Orang flu kalo ikut rapid tes hasilnya kemungkinan positif karena antibodinya muncul.. Jadi hasil rapid tes positif blm tentu kena Corona."
Klaim kedua, tes PCR juga hanya bisa mendeteksi keberadaan virus, tapi tidak bisa menentukan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati akibat sudah dibunuh oleh antibodi di dalam tubuh. "Tes PCR akan memberikan hasil positif jika ada virus, entah itu virus hidup atau virus mati," demikian bunyi klaim kedua.
Adapun klaim ketiga, tidak ada kasus kematian yang murni diakibatkan oleh virus Corona. "Disebabkan krn terlalu bnyk bermacam2 virus yg ada dlm tubuh shg antibodi kalah dan tidak mampu kalahkan virus yg terlalu bnyk dan bermacam2 itu.. Jika ada ribuan yg meninggal itu menunjukkan sebelum adanya Covid-19 banyak ribuan org sdh terjangkit virus.. Sehingga ketika kena covid kondisi semakin parah.. antibodi gak ngatasi lagi.."
Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 1.500 kali, dikomentari lebih dari 400 kali, dan disukai lebih dari 500 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Thiwy Yunus.
Artikel cek fakta ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua klaim:
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi dua klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mewawancarai Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Berry Juliandi, dan melakukan riset terhadap berbagai artikel di situs-situs kredibel.
Menurut Berry, klaim bahwa rapid test tidak bisa menentukan Covid-19 keliru. Rapid test yang dipakai dalam skrining Covid-19 sudah didesain untuk mengenali antibodi yang dikeluarkan tubuh saat virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, menginfeksi. “Rapid test itu menggunakan suatu bahan kimia yang khusus mengenali antibodi SARS-CoV-2,” kata Berry saat dihubungi pada 26 Mei 2020.
Antibodi merupakan reaksi alami tubuh apabila terdapat protein asing yang masuk. Tubuh mengeluarkan antibodi sesuai jenis protein asing yang masuk. Karena itu, kata Berry, antibodi untuk SAR-CoV-2 akan berbeda dengan antibodi untuk virus flu biasa atau untuk bakteri. "Apakah bisa mengenali virus apapun, itu salah, karena dia dikembangkan untuk mengenali antibodi untuk SARS-CoV-2," katanya.
Meskipun begitu, akurasi hasil pengujian dengan rapid test memang lebih rendah. Sebab, tes ini sangat bergantung pada jumlah antibodi yang dikeluarkan tubuh saat terjadinya infeksi SARS-CoV-2. Apabila antibodi yang dikeluarkan sedikit, yang dipengaruhi oleh genetika seseorang, hasil rapid test bisa menjadi negatif.
Faktor kedua, rendahnya antibodi sangat bergantung pada durasi waktu sejak seseorang pertama kali terinfeksi. Seseorang yang baru terinfeksi, antibodinya masih rendah. “Sehingga, saat rapid test, hasilnya negatif. Padahal, sebenarnya, dia sudah positif Covid-19,” kata Berry.
Karena itu, waktu terbaik untuk melakukan rapid test minimal pada hari ke-7 setelah terinfeksi dan seterusnya, saat jumlah antibodi cukup banyak. Namun, kendalanya, tidak diketahui kapan seseorang mulai terinfeksi SARS-CoV-2. Sehingga, menurut Berry, rapid test lebih tepat digunakan hanya sebagai penapisan atau skrining orang-orang yang pernah terinfeksi.
Terkait klaim kedua, bahwa tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati, juga keliru. Menurut Berry, tes Covid-19 yang paling akurat adalah dengan PCR.
Berry menjelaskan bahwa tes PCR Covid-19 sudah dikembangkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 yang diambil dari lendir di saluran pernapasan. Dalam PCR ini, terdapat materi genetik sintetik atau primer yang hanya bisa menempel pada urutan materi genetik SARS-CoV-2. “Jadi, kalau ada virus lain pada lendir, tidak akan bisa dideteksi oleh primer yang khusus dirancang untuk menempel pada SARS-CoV-2,” katanya.
Klaim bahwa PCR tidak bisa mendeteksi virus yang masih hidup atau yang sudah mati pun keliru. Sebab, virus sebenarnya adalah benda mati yang hanya bisa aktif apabila masuk ke dalam sel makhluk hidup.
Menurut Berry, kelebihan tes PCR tersebut menjadikan tes ini lebih akurat ketimbang rapid test. Tes PCR bisa mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa harus menunggu munculnya antibodi seperti rapid test. “Meskipun virusnya sedikit, bisa langsung dideteksi. Atau, meski 1 detik lalu terinfeksi, juga bisa langsung dideteksi dengan PCR,” kata Berry.
Sementara terkait klaim bahwa tidak ada kasus kematian yang murni diakibatkan oleh virus Corona, Tempo telah memverifikasinya dalam artikel di tautan ini. Menurut para ahli, pasien yang meninggal karena Covid-19 bukan saja mereka yang memiliki penyakit penyerta dan berusia tua, melainkan juga kelompok usia muda dan tanpa penyakit penyerta.
WHO rekomendasikan PCR
Dikutip dari LiveScience, tes PCR bekerja dengan mendeteksi bahan genetik spesifik dalam virus. Tergantung pada jenis PCR yang dipakai, petugas kesehatan mengambil sampel liur dari bagian belakang tenggorokan atau dari saluran pernapasan bawah, dan bisa juga menggunakan sampel tinja.
Begitu sampel tiba di laboratorium, peneliti akan mengekstrak asam nukleatnya, yang menyimpan genom virus. Kemudian, peneliti dapat memperkuat daerah genom tertentu dengan teknik yang dikenal sebagai transkripsi terbalik PCR. Hal ini, pada dasarnya, memberikan peneliti sebuah sampel yang lebih besar yang dapat mereka bandingkan dengan SARS-CoV-2.
Dilansir dari The Conversation, tes PCR pun telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama pandemi Covid-19. Sedangkan rapid test yang menguji antibodi belum sepenuhnya dapat diandalkan.
Pada 7 April 2020, WHO telah mendaftarkan dua tes diagnostik pertama untuk penggunaan darurat selama pandemi Covid-19. Kedua diagnosain vitroitu adalahgenesig Real-Time PCR Coronavirus (Covid-19)dancobas SARS-CoV-2 Qualitative assay for use on the cobas 6800/8800 Systems.
Genesig Real-Time PCR Coronavirus (Primerdesign, Inggris) adalah sistem terbuka yang lebih cocok untuk laboratorium dengan kapasitas pengujian sampel sedang. Adapuncobas SARS-CoV-2 for use on the cobas 6800/8800 Systems(Roche, Amerika Serikat) adalah uji sistem tertutup untuk laboratorium yang lebih besar.
Mariangela Simao, Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Produk Obat-obatan dan Kesehatan mengatakan, "Daftar penggunaan darurat produk-produk ini akan memungkinkan negara-negara di dunia untuk meningkatkan pengujian dengan diagnostik yang terjamin kualitasnya. Memfasilitasi akses terhadap tes yang akurat sangat penting bagi mereka untuk mengatasi pandemi dengan alat terbaik yang ada."
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati, keliru. Begitu pula dengan klaim bahwa rapid test tidak bisa mengenali virus Corona Covid-19, yang juga keliru. Rapid test yang digunakan saat ini telah dikembangkan untuk mengenali antibodi yang dikeluarkan tubuh apabila terdapat infeksi Covid-19, meskipun tingkat akurasinya lemah. Sedangkan tes PCR dengan akurasi yang lebih tinggi digunakan untuk mengetahui keberadaan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- http://archive.ph/w2eqi
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/795/fakta-atau-hoaks-benarkah-virus-corona-covid-19-tidak-bahaya-dan-tidak-sebabkan-kematian
- https://www.livescience.com/how-coronavirus-tests-work.html
- https://theconversation.com/covid-19-tests-how-they-work-and-whats-in-development-134479
- https://www.who.int/news-room/detail/07-04-2020-who-lists-two-covid-19-tests-for-emergency-use
(GFD-2020-8098) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Virus Corona Covid-19 Tidak Bahaya dan Tidak Sebabkan Kematian?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/05/2020
Berita
Akun Facebook Ach Hanif mengunggah sebuah video wawancara Jawa Pos TV dengan Mohammad Indro Cahyono pada 14 Mei 2020. Wawancara itu membahas seputar virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. "Dengarkan dan simak baik-baik penjelasan ahli virus tentang Covid-19. Bahwa Corona tidak membunuh," demikian narasi yang ditulis akun Ach Hanif terhadap video tersebut.
Narasi "virus Corona tidak membunuh" memang berasal dari pernyataan Indro dalam wawancara tersebut, terutama pada bagian akhir segmen, mulai menit 7:18. Pernyataan itu dilontarkan Indro untuk menjawab presenter yang bertanya mengenai prediksi darinya soal kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.
Indro menjawab bahwa virus Corona sebenarnya tidak tahan lama. Apabila masyarakat melakukan gerakan massal untuk hidup bersih, minum vitamin, dan cuci tangan, pandemi akan selesai dalam 2-3 minggu. Namun, dia menganggap permasalahan pandemi Covid-19 ini bergeser ke persoalan lockdown.
"Sebenarnya, intinya kan di virusnya. Kalau kita tahu virusnya tidak berbahaya. Ya, (virus) ini memang akan menimbulkan penyakit, tapi tidak menimbulkan kematian. Belum tentu menimbulkan kematian bagi manusia normal. Nah, kalau ini terjadi ini, tidak ada kehebohan itu semua," katanya.
Unggahan akun Ach Hanif itu pun viral. Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah dibagikan lebih dari 20 ribu kali dan dikomentari lebih dari 800 kali. Dalam kolom komentar unggahan itu, sejumlah warganet mempercayai apa yang dijelaskan oleh Indro dalam video tersebut.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ach Hanif.
Apa benar klaim Mohammad Indro Cahyono bahwa Covid-19 tidak berbahaya dan tidak menimbulkan kematian?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, wawancara Jawa Pos TV dengan Mohammad Indro Cahyono dilakukan pada 7 April 2020. Jawa Pos TV memberikan keterangan bahwa Indro adalah seorang ahli virus atau virolog. Namun, dalam video itu, tidak dijelaskan bahwa Indro sebenarnya merupakan dokter hewan.
Indro adalah lulusan Universitas Gajah Mada. Sejak 2006, ia bekerja di Badan Penelitian Veteriner (Balitvet), sebuah unit yang berada di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Kementerian Pertanian. Di Balitvet, Indro bertugas sebagai peneliti di Laboratorium Virologi. Pada 2018, Indro keluar dari Balitvet dan menjadi peneliti di kantor swasta.
Dilihat dari latar belakang tersebut, Indro sebenarnya adalah ahli kesehatan atau ahli virus pada hewan, bukan ahli virus pada manusia. Ia juga tidak terlibat dalam penanganan klinis pasien yang terinfeksi Covid-19. Dengan alasan ini, Tempo perlu memeriksa klaim Indro dalam wawancaranya dengan Jawa Pos TV di atas.
Untuk memverifikasi klaim Indro itu, Tempo mewawancarai ahli epidemiologi Universitas Padjajaran, Panji Fortuna Hadisoemarto, dan dokter spesialis paru sekaligus juru bicara Tim Penanganan Covid-19 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Erlina Burhan. Tempo juga menggunakan data-data dari pemberitaan terkait.
Saat dihubungi pada 22 Mei 2020, Panji mengatakan bahwa pernyataan Indro itu bertolak belakang dengan fakta yang ada. SARS-CoV-2 telah menyebabkan kematian pasien di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kasus kematian tidak hanya menimpa pasien di kelompok usia tua, melainkan juga di kelompok usia lainnya. "Faktanya, sudah banyak kematian di mana-mana, tingkat kematian sudah cukup tinggi," kata Panji.
Orang berusia tua dan yang memiliki penyakit penyerta atau komorbiditas, kata Panji, memang menjadi kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi Covid-19. Akan tetapi, mereka yang berusia lebih muda dan tanpa penyakit penyerta juga punya risiko untuk terinfeksi. Kelompok ini, meski tanpa gejala, juga berisiko menularkan kepada sesama.
Menurut Panji, virus Corona memang memiliki banyak jenis, yang mana beberapa di antaranya menyebabkan flu biasa. Namun, beberapa jenis virus Corona juga menyebabkan kematian, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS), pun SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. “SARS-CoV-2 ini adalah jenis virus Corona baru, bukan virus Corona yang menyebabkan flu biasa,” katanya.
Panji juga menyatakan bahwa pandemi Covid-19 tidak mungkin selesai dalam waktu 2-3 minggu. Merujuk kasus pertama yang dilaporkan di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, infeksi Covid-19 masih terus terjadi sampai hari ini. Itu berarti pandemi Covid-19 di Indonesia telah berlangsung hampir tiga bulan.
Erlina menjelaskan hal serupa. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan kematian dengan risiko terbesar pada orang tua dan yang memiliki penyakit penyerta. Meskipun begitu, sekitar 15-20 persen pasien yang tidak memiliki penyakit penyerta bisa terinfeksi SARS-CoV-2.
Menurut Erlina, mereka yang tidak memiliki penyakit penyerta bisa terinfeksi saat imunitasnya turun, sebagai dampak dari stres atau kurang istirahat. Saat SARS-CoV-2 menginfeksi dan terjadi replikasi virus yang cukup besar pada organ tubuh, hal ini dapat memicu badai sitokin. “Ini yang bisa merusak sistem organ lain dan bisa menyebabkan kematian,” kata Erlina.
Sitokin adalah protein kecil yang dilepaskan oleh banyak sel berbeda di dalam tubuh, termasuk sistem kekebalan tubuh tempat mereka mengkoordinasikan respons terhadap infeksi. Reaksi yang berlebihan memicu peradangan. Pada beberapa pasien, tingkat sitokin tidak terkontrol yang kemudian mengaktifkan lebih banyak sel imun menghasilkan hiperinflamasi. Pada akhirnya, hal itu dapat membahayakan atau bahkan membunuh pasien.
Tingkat kematian Covid-19 di dunia 6,6 persen
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia per 22 Mei 2020 mencapai 4.893.186 kasus dengan 323.256 orang meninggal. Tingkat kematian Covid-19 di dunia sebesar 6,6 persen. Adapun tingkat kematian Covid-19 di Indonesia mencapai 6,4 persen, dengan jumlah kematian sebanyak 1.326 orang.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengumumkan bahwa kasus meninggal akibat Covid-19 di Indonesia paling banyak dialami oleh kelompok rentang usia 30-59 tahun, yakni sebanyak 351 orang dari total kematian sebesar 773 orang per 28 April 2020. Jumlah kasus kematian terbanyak kedua adalah pada kelompok rentang usia 60-79 tahun, yaitu 302 orang. Kemudian, pada rentang usia 0-4 tahun dua orang, rentang usia 5-14 tahun tiga orang, dan rentang usia 15-29 tahun 19 orang.
Mencuplik data kasus Covid-19 di New York dalam Worldometers, kasus kematian Covid-19 di sana juga terjadi pada seluruh rentang usia, yakni usia 0-17 tahun (0,06 persen), 18-44 tahun (3,9 persen), 45-64 tahun (22,4 persen), 65-74 tahun (24,9 persen), dan 75 tahun ke atas (48,7 persen).
Erlina pun mengingatkan bahwa kasus kematian tidak bisa hanya dilihat sebagai angka statistik. Sebab, setiap kematian memiliki dampak sosial, baik terhadap keluarga terdekat ataupun lingkungan sekitarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, tidak berbahaya dan tidak menyebabkan kematian adalah klaim yang menyesatkan. Hingga 22 Mei 2020, jumlah kematian akibat Covid-19 di dunia telah mencapai 323.256 orang dan di Indonesia 1.326 orang. Pasien yang meninggal karena Covid-19 bukan saja mereka yang memiliki penyakit penyerta dan berusia tua, melainkan juga kelompok usia muda dan tanpa penyakit penyerta.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://web.facebook.com/ach.hanief/videos/1685274341615085/
- https://www.youtube.com/watch?v=B15brKCrQwk
- https://tekno.tempo.co/read/1327284/infeksi-virus-corona-begini-badai-sitokin-bisa-bikin-fatal/full&view=ok
- https://covid19.kemkes.go.id/category/situasi-infeksi-emerging/info-corona-virus/
- https://covid19.go.id/p/berita/kasus-meninggal-akibat-covid-19-paling-banyak-usia-30-59-tahun
- https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-age-sex-demographics/
(GFD-2020-8097) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Perayaan Pembukaan Lockdown di Arab Saudi?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 22/05/2020
Berita
Sejumlah video yang diklaim sebagai video perayaan pembukaan lockdown di Arab Saudi beredar di YouTube dan Facebook. Video pendek berdurasi sekitar 2 menit itu memperlihatkan parade polisi yang menunggang kuda dan kendaraan yang memenuhi jalanan kota. Terdengar pula suara pria yang berbicara dengan bahasa Arab dalam video itu.
Di YouTube, video itu diunggah salah satunya oleh kanal Lida Channel pada 30 April 2020. Kanal tersebut memberikan judul pada videonya sebagai berikut: "Alhamdulillah ..Arab Saudi Lockdown nya sdh d buka kembali rakyat menyambut dgn sukacita".
Kanal Abadikini Com juga mengunggah video tersebut di YouTube, yakni pada 1 Mei 2020. Video itu diberi judul "Arab Saudi Buka Lockdown, Pegawai Masjidil Haram Bersuka Cita". Sementara di Facebook, salah satu akun yang membagikan video itu adalah akun Hijrah. Akun ini menuliskan narasi, "Info terkini. Arab Saudi sudah buka lockdown. Semoga Indonesia, malaysia menyusul. Aamiin."
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hijrah.
Apa benar video parade tersebut adalah video perayaan pembukaan lockdown di Arab Saudi?
Hasil Cek Fakta
Tempo menggunakan tool InVID untuk memfragmentasi video di atas menjadi sejumlah gambar. Gambar-gambar itu kemudian ditelusuri dengan reverse image tool Google. Hasilnya, Tempo terhubung dengan unggahan kanal Khaleej Times di YouTube pada 27 April 2020.
Khaleej Times adalah situs berita berbahasa Inggris yang bermarkas di Dubai, Uni Emirat Arab (UAE). Khaleej Time memberikan keterangan bahwa video itu adalah video warga Al Ras dan Al Naif di Dubai yang merayakan pembukaan lockdown setelah kebijakaan itu berlangsung lebih dari tiga pekan.
Kanal berita lainnya, Dubai One, juga mempublikasikan video yang identik yang memperlihatkan pawai polisi berkuda dan parade kendaraan polisi di jalanan kota setempat pada malam hari. Parade itu disambut dengan meriah oleh para warga.
Dalam akun Twitter resminya pada 27 April 2020, Kantor Media Pemerintah Dubai (GDMO) mencuit bahwa Komite Tertinggi Manajemen Krisis dan Bencana Dubai telah melonggarkan pembatasan pergerakan orang di Al Ras dan Al Naif. Keputusan tersebut dibuat karena kedua wilayah tersebut mencatatkan nol kasus Covid-19 dalam dua hari terakhir.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter resmi Kantor Media Pemerintah Dubai.
Meskipun begitu, pembatasan pergerakan warga akan tetap diberlakukan antara pukul 22.00 hingga pukul 06.00 waktu setempat seperti halnya wilayah UAE lainnya. "Lebih dari 6 ribu tes telah dilakukan terhadap penduduk daerah tersebut dalam waktu kurang dari sebulan," demikian keterangan yang ditulis oleh GDMO.
Menurut laporan situs The National UAE, pelonggaran pembatasan pergerakan orang di kedua wilayah tersebut diumumkan pada 26 April 2020. Warga Al Naif dan Al Ras diizinkan untuk bergerak secara bebas pada pukul 06.00-22.00 waktu setempat. Pembatasan tetap diberlakukan antara pukul 22.00 hingga 06.00 seperti halnya kota lain.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video perayaan pembukaan lockdown di Arab Saudi adalah klaim yang keliru. Video itu adalah video parade aparat kepolisian dan penduduk Al Naif dan Al Ras, Dubai, Uni Emirat Arab, yang merayakan pelonggaran lockdown pada 26 April 2020.
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.youtube.com/watch?v=LnwmVB_cWKc
- https://www.youtube.com/watch?v=noe5AdGpYVo
- https://web.facebook.com/watch/?v=233247951336073&external_log_id=9d48258393d8fdd999f962925f86213a&q=Arab%20saudi%20buka%20lockdown
- https://www.youtube.com/watch?v=4Y3IXwt2MMs
- https://www.youtube.com/watch?v=e7ZJn_XXHVQ
- https://twitter.com/DXBMediaOffice/status/1254478882683699200
- https://www.thenational.ae/uae/health/coronavirus-restrictions-eased-in-dubai-s-naif-and-al-ras-areas-1.1011288
Halaman: 4458/5899