• (GFD-2020-8171) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ribka Tjiptaning Akui Semua Anak PKI Gabung PDIP?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 07/07/2020

    Berita


    Narasi bahwa politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Ribka Tjiptaning, mengakui semua anak Partai Komunis Indonesia (PKI) bergabung ke partainya beredar di Facebook. Narasi itu terdapat dalam sebuah gambar tangkapan layar video di YouTube yang berjudul “Pengakuan Ribka Tjiptaning..!!!. Semua anak PKI bergabung ke PDIP” yang dibagikan oleh halaman Facebook Generasi Millenial pada 5 Juli 2020.
    Tidak ada penjelasan lain dalam unggahan Halaman Generasi Millenial itu. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 150 kali, dikomentari lebih dari 100 kali, dan direspons lebih dari 450 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan halaman Facebook Generasi Millenial.
    Unggahan itu beredar di tengah ramainya pembahasan tentang PKI sejak Mei lalu karena usianya yang genap 100 tahun pada 23 Mei 2020. Isu ini juga ramai seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
    Salah satu alasan penolakan RUU HIP adalah adanya kekhawatiran bahwa aturan tersebut dapat membangkitkan komunisme. Fraksi PDIP sebagai pengusul RUU HIP pun menjadi sasaran. Dalam aksi massa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada 24 Juni lalu, terjadi insiden pembakaran bendera PDIP oleh massa.
    Namun, apa benar Ribka Tjiptaning mengakui semua anak PKI gabung PDIP?

    Hasil Cek Fakta


    Dengan memasukkan kata kunci “wawancara Ribka Tjiptaning” di kolom pencarian YouTube, Tim CekFakta Tempo menemukan bahwa gambar tangkapan layar itu bersumber dari video talkshow “Analisa” yang ditayangkan oleh stasiun televisi Lativi (saat ini berganti nama menjadi tvOne) pada 2002.
    Sumber asli video itu, yakni kanal YouTube Lativi, sudah dihapus. Namun, Tempo menemukan salinan video tersebut yang diunggah oleh kanal Andre Agusta W. A20 pada 2016. Video itu terbagi dalam tiga bagian, yang masing-masing berdurasi 10 menit 42 detik, 6 menit 57 detik, dan 6 menit 14 detik.
    Video wawancara sepanjang hampir 30 menit itulah yang dipotong menjadi hanya beberapa menit dan diunggah oleh kanal YouTube lain dengan narasi yang menyesatkan. Salah satunya adalah video dengan judul “Pengakuan Ribka Tjiptaning...!!! Mayoritas Anak PKI Bergabung ke PDIP”, yang diunggah oleh kanal Lowo Ijo pada 3 April 2019. Judul ini mirip dengan yang terdapat dalam gambar tangkapan layar unggahan halaman Generasi Millenial.
    Konteks wawancara
    Wawancara Lativi tersebut sebenarnya terkait dengan buku yang diluncurkan oleh Ribka Tjiptaning yang berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Selain Ribka, Lativi juga menghadirkan Cyprianus Aoer, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Suara Pembaruan. Ada pula kesaksian keluarga eks anggota PKI dari Semarang dan Medan yang mengalami diskriminasi selama Orde Baru.
    Dalam wawancara itu, Ribka menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi misinya menulis buku tersebut. Pertama, agar semakin banyak orang yang mengetahui adanya perlakuan diskriminatif oleh pemerintah Orde Baru terhadap keluarga dan anak-anak anggota atau kader PKI. Sebagai seorang dokter, Ribka bercerita bahwa kliniknya pernah ditutup paksa karena ia anak anggota PKI.
    Kedua, agar anak-anak anggota PKI segera bangkit, menghapus rasa minder dan trauma. Mereka harus berani melawan ketidakadilan yang dirasakan selama Orde Baru sebab pembantaian dan pemenjaraan terhadap anggota dan simpatisan PKI pada 1965-1966 tidak melalui proses pengadilan. “Ini semua adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak pernah dituntaskan,” katanya.
    Ribka pun berharap dibentuk sebuah pengadilan HAM agar persoalan 1965-1966 bisa diselesaikan. Pengadilan HAM ini diharapkan dapat mendorong rekonsiliasi, di mana nantinya pihak yang dinyatakan bersalah harus meminta maaf dan para korban harus menerima maaf tersebut.
    Di bagian akhir wawancara, Ribka menyatakan bahwa anak-anak eks anggota atau simpatisan PKI memberikan suaranya kepada PDIP dalam Pemilihan Legislatif 1999. Saat itu, mereka berharap sosok Megawati Soekarnoputri, yang menjadi simbol perlawanan rakyat selama Orde Baru, dapat memberikan perubahan dan memperjuangkan nasib mereka dalam mencari keadilan. 
    Namun, Ribka menyatakan bahwa belum terlihat perjuangan PDIP terkait perubahan bagi anak-anak eks anggota atau simpatisan PKI tersebut. “Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda Mbak Mega memperjuangkan ke arah ke sana,” kata Ribka. Konteks pernyataan Ribka inilah yang dihilangkan dalam berbagai video yang diunggah oleh sejumlah kanal YouTube. Video yang dipotong menjadi hanya sekitar 1 menit tersebut kemudian diberi judul yang menyesatkan.
    Adapun Cyprianus Aoer menjelaskan, secara sosiologis, peristiwa 1965 menimbulkan dampak psikologis pada anak-anak eks anggota PKI. Selama pemerintahan Orde baru, anak-anak eks PKI diperlakukan tidak manusiawi dan diskriminatif. Padahal, mereka tidak mewarisi kesalahan orangtuanya. 
    Di sisi lain, secara ideologis, PKI sulit untuk bangkit lagi karena ideologi komunis sudah dianggap gagal menjadi solusi bagi kesejahteraan, termasuk di negara-negara lain. “PKI sulit muncul lagi di Indonesia karena akan dihadapkan dengan trauma masa lalu,” katanya.
    Cyprianus pun mendukung adanya pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965. Pelurusan sejarah tersebut penting agar peristiwa 1965 tidak terulang lagi, seperti adanya orang-orang yang tewas dan dipenjara tanpa pengadilan. Menurut dia, hak asasi harus ditegakkan dan menjadi pedoman ke depannya. “Pemerintah harus meluruskan sejarah yang saat ini kontroversial, karena kebenaran itu hanya ada pada sejarah.”
    Pengungkapan sejarah 1965
    Setelah pemerintahan Presiden Soeharto jatuh, upaya-upaya pengungkapan sejarah terkait peristiwa 1965 banyak dilakukan, baik oleh peneliti-peneliti, berbagai lembaga, dan para penyintas peristiwa 1965. Salah satu tujuannya adalah memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
    Bahkan, setelah lebih dari empat dekade, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka kembali kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang sebagian besar menimpa anggota dan simpatisan PKI. Pada 2012, Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat.
    "Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menemukan terjadinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis, di kantor Komnas HAM pada 23 Juli 2012 seperti dilansir dari arsip pemberitaan Tempo.
    Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan HAM berat.
    Nur Kholis mengatakan para korban dalam peristiwa ini mengalami kejahatan berlapis. "Banyak korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujarnya. Kejahatan-kejahatan itu pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Pasalnya, kejahatan terjadi merata di seluruh Indonesia dalam kurun waktu bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa. "Misalnya, ada 15 orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir berbarengan, ada kejadian serupa di Manado, Palu, Medan, dan Palembang."
    Data Komnas HAM tersebut juga diperkuat dengan sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi 1965 yang kembali dibuka ke publik pada 2017. Dilansir dari BBC, dokumen itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika terkait pembunuhan massal pasca 1965. Ketiga lembaga yang membuka dokumen tersebut adalah National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, serta lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Ribka Tjiptaning mengakui semua anak PKI gabung PDIP menyesatkan. Klaim itu bersumber dari pernyataan Ribka dalam talkshow “Analisa” di Lativi pada 2002 yang telah diubah. Pernyataan asli Ribka adalah anak-anak eks anggota PKI yang menjadi korban pada 1965-1966 memberikan suaranya kepada PDIP dalam Pemilihan Legislatif 1999. Mereka berharap sosok Megawati, yang menjadi simbol perlawanan rakyat selama Orde Baru, dapat memberikan perubahan dan memperjuangkan nasib mereka yang mengalami diskriminiasi selama Orde Baru. 
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8170) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Air Minum Kemasan yang Bisa Hantarkan Listrik Tak Layak Konsumsi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 07/07/2020

    Berita


    Sebuah video yang memperlihatkan uji coba air minum dalam kemasan yang bisa menghantarkan listrik ke lampu beredar di media sosial. Video tersebut diikuti dengan narasi bahwa air minum yang diuji coba itu, yakni Le Minerale dan Aqua, tak layak konsumsi karena mengandung bahan yang dapat menghantarkan listrik, yakni besi.
    Dalam video tersebut, tampak seorang pria tengah mempraktekkan cara menguji air yang mengandung besi. Ia menggunakan sampel beberapa merek air minum dalam kemasan, di antaranya Le Minerale dan Aqua. Kemudian, kedua merek itu dibandingkan dengan air yang disebut tidak mengandung besi. Dalam video tersebut, tampak air minum Le Minerale dan Aqua mampu menyalakan lampu setelah dihubungkan dengan konduktor.
    Di Facebook, video berdurasi 2 menit 38 detik tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Sriindahsari Azhar, yakni pada 3 Juli 2020. “Untung sy ndk trlalu suka minum le mineralle sm aqua. lebih suka minum air dirumah yg sdh di rebus smpai mendidih2,” demikian narasi yang ditulis oleh akun Sriindahsari Azhar.
    Hingga artikel ini muat, video yang dibagikan akun Sriindahsari Azhar itu telah ditonton lebih dari 58 ribu kali, dikomentari sebanyak 179 kali, dan dibagikan lebih dari 1.800 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Sriindahsari Azhar.
    Apa benar air minum kemasan yang bisa menghantarkan listrik tidak layak konsumsi?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi beberapa gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar hasil fragmentasi itu ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex.
    Hasilnya, ditemukan banyak video uji coba serupa yang telah beredar di internet sejak 2018. Salah satunya adalah video presentasi oleh sebuah merek air minum. Video itu diunggah oleh kanal YouTube Detox Water pada 14 Juni 2018 dengan judul “Tes Air Minum Sederhana”.
    Video uji coba yang sama lainnya juga pernah diunggah oleh kanal YouTube Air Segar Maaqo pada 14 Oktober 2019 dengan judul “Wow Air Mineral Ini Menyala”. Dalam video berdurasi sekitar 1 menit itu, pihak Maaqo meyakinkan konsumennya bahwa air minum yang mereka produksi tidak akan menyala karena tidak mengandung bahan penghantar listrik sama sekali.
    Namun, Yuni Gunawan, Corporate Secretary Mayora Indah, perusahaan yang memegang merek Le Minerale, mengatakan bahwa uji coba kandungan air dalam video tersebut menggunakan metode yang salah. "Jelas ini metode yang salah, tidak valid, dan menyesatkan yang dilakukan oleh oknum yang tidak mempunyai kapasitas dan tidak kredibel di dalam pemahaman mengenai pelaksanaan metode pengujian keamanan makanan dan minuman," tutur Yuni kepada Liputan6.com pada 2 Juli 2020.
    Menurut Yuni, air secara alami mengandung mineral sehingga bersifat konduktor dan menghantarkan listrik, sedangkan air yang didemineralisasi tidak akan menghantarkan listrik karena mineralnya telah dihilangkan. "Kesimpulan menyesatkan diambil dengan menyatakan bahwa air yang lampunya menyala mengandung bahan berbahaya," ujarnya.
    Melalui situs resminya pada 2 Juli 2020, Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BPOM ) juga menyatakan bahwa klaim "air mineral yang mengandung zat besi tidak layak dikonsumsi" menyesatkan. Saat ini, terdapat empat jenis air minum dalam kemasan (AMDK) yang beredar di Indonesia, yaitu air mineral, air demineral, air mineral alami, dan air minum embun. Keempatnya memiliki standar keamanan dan mutu yang berbeda-beda sehingga tidak dapat dibandingkan satu sama lain.
    Menurut BPOM, kandungan mineral menyebabkan air mineral memiliki kemampuan untuk menghantarkan listrik karena mineral adalah sumber elektrolit yang mempunyai sifat penghantar listrik. Kandungan zat besi maupun mineral lainnya dalam air mineral diatur dalam dalam SNI 335:2015 tentang Air Mineral yang penerapannya bersifat wajib. Selain itu, kandungan zat besi juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
    BPOM menyatakan bahwa mereka selalu melakukan penilaian terhadap keamanan, mutu, dan gizi produk pangan sebelum diedarkan di wilayah Indonesia (pre-market evaluation), termasuk kandungan cemaran sesuai standar yang telah ditetapkan. BPOM tidak akan memberikan izin edar terhadap AMDK yang memiliki kandungan cemaran melebihi batas yang ditentukan.
    Secara rutin, BPOM pun melakukan pengawasan terhadap produk pangan, termasuk AMDK, yang beredar di wilayah Indonesia (post-market control), baik melalui pemeriksaan sarana produksi, sarana distribusi, maupun kegiatan pengambilan sampel dan pengujian untuk memeriksa cara produksi atau distribusi dan kualitas produk setelah diedarkan.
    "Kepada masyarakat dihimbau agar menjadi konsumen cerdas yang tidak mudah terpengaruh oleh isu yang beredar di media sosial. Selalu ingat cek KLIK (Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengkonsumsi produk obat dan makanan," demikian penjelasan BPOM.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim dalam video di atas, bahwa air minum kemasan yang bisa menghantarkan listrik tidak layak konsumsi, menyesatkan. Uji coba dalam video tersebut membandingkan kandungan jenis air yang berbeda, yakni air mineral dan air demineral. Keduanya memiliki standar keamanan dan mutu yang berbeda sehingga tidak dapat dibandingkan. Kandungan mineral menyebabkan air mineral memiliki kemampuan untuk menghantarkan listrik karena mineral adalah sumber elektrolit yang mempunyai sifat penghantar listrik. Sedangkan air demineral tidak akan menghantarkan listrik karena kandungan mineralnya telah dihilangkan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8169) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ribuan Santri Tak Sadarkan Diri Usai Ikut Rapid Test Covid-19 dari RS Cina?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/07/2020

    Berita


    Sebuah gambar dengan logo CNN Indonesia yang berisi klaim bahwa ada ribuan santri di Kudus, Jawa Tengah, yang tak sadarkan diri usai ikut rapid test Covid-19 dari rumah sakit Cina beredar di media sosial. Gambar itu memuat sebuah tulisan pendek yang berjudul "Sehari Setelah Dilakukan Rapid Test Covid-19 Kepada Para Santri di Kudus, 1.000 Santri Tak Sadarkan Diri".
    Gambar tersebut bertanggal 24 Juni 2020. Adapun tulisan pendek itu berbunyi: "Lebih dari 1.000 Para Santriawan & Santriawati di Kudus dalam keadaan lemah, sebagian tak sadarkan diri, setelah di lakukan Rapid Test Covid-19 oleh Tim Dokter gabungan dari Rs. Indonesia dan RS. Swasta dari China. Tim Dokter dari China di ketuai oleh Lie Kong Nyen, dan dari Indonesia oleh Ringgo Silalahi. Kini ke-2 Tim Dokter tersebut sedang di mintai keterangan oleh Menteri Kesehatan terkait kejadian tersebut."
    Untuk mendukung narasi tersebut, dimuat juga empat foto dalam gambar itu. Dua di antaranya memperlihatkan sebuah prosedur rapid test. Sementara foto lainnya menampakkan tim medis yang sedang membawa pasien dan seorang polisi yang berada di antara sejumlah santri yang terlihat dalam kondisi lemah.
    Di Facebook, gambar tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Nhickey Mhedhiola, yakni pada 3 Juli 2020. Akun itu pun menulis, "Rezim ini mau menghabisi Islam." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 100 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Nhickey Mhedhiola.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi keempat foto di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolGoogle. Berikut ini hasilnya:

    Fakta:
    Foto ini tidak terkait dengan rapid test para santri di Kudus. Dalam artikelnya, kantor berita Antara menulis keterangan bahwa foto ini adalah foto saat tim medis Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Magetan menggelar rapid test Covid-19 untuk para santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Fatah di Desa Temboro, Kecamatan Karas, Magetan, pada 21 April 2020. 
    Sumber: Antara

    Fakta:
    Sama halnya dengan foto pertama, foto ini adalah foto saat Dinas Kesehatan Jawa Timur dan Magetan melakukan rapid test Covid-19 terhadap 305 santri Ponpes Al-Fatah Magetan pada 21 April 2020. Sebanyak 31 santri dinyatakan reaktif dari rapid test tersebut. 
    Sumber: Antara

    Fakta:
    Foto ini adalah foto kegiatan simulasi penanganan pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Loekmono Hadi, Kudus, Jawa Tengah, pada 1 Februari 2020. Dalam simulasi ini, tim medis mengevakuasi seorang pasien ke ruang isolasi khusus. Foto ini adalah foto jepretan forografer Antara, Yusuf Nugroho, yang dimuat di situs Suara.com.
    Sumber: Suara.com

    Fakta:
    Foto ini bukan foto santri di Kudus yang tak sadarkan diri setelah rapid test, melainkan foto puluhan santri Ponpes Syafaatul Quran di Dukuh Rimbu Lor, Desa Rejosari, Kecamatan Karangawen, Demak, yang mendadak mual dan pusing diduga akibat keracunan makanan pada 25 Januari 2018.
    Sumber: Okezone.com
    Terkait klaim ribuan santri Kudus tak sadarkan diri
    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo memasukkan kata kunci “rapid test santri Kudus” di kolom pencarian situs CNN Indonesia. Lewat cara ini, ditemukan bahwa CNN Indonesia tidak pernah menerbitkan berita dengan judul sebagaimana yang tercantum dalam gambar berlogo CNN Indonesia di atas. Demikian juga di media lain, tidak terdapat pemberitaan soal ribuan santri di Kudus yang tak sadarkan diri karena ikut rapid test Covid-19.
    Pada Juni-Juli 2020, Pemerintah Kabupaten Kudus memang memfasilitasi rapid test Covid-19 bagi para santri yang akan kembali ke ponpesnya masing-masing. Hasil non-reaktif rapid test menjadi syarat bagi para santri untuk bisa kembali ke ponpes. Dikutip dari Radio Suara Kudus, hasil rapid test terhadap ratusan santri Kudus ini semuanya non-reaktif.
    Bahkan, untuk tes kesehatan secara keseluruhan, kondisi para santri cukup bagus. Setelah menjalani rapid test, para santri itu pun difasilitasi untuk kembali ke ponpes. Pada gelombang pertama, sekitar 300 santri diberangkatkan ke Ponpes Tegalrejo Magelang. Kemudian, pada 4 Juli, diberangkatkan 100 santri ke ponpes di Kediri, Jatim.
    Rapid test Covid-19 terhadap para santri Kudus tersebut tidak melibatkan rumah sakit dari Cina. Pengurus Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama ( RMINU ) Kudus menjelaskan rapid test di Pendopo Kabupaten Kudus itu adalah hasil kerja sama himpunan alumni-alumni pesantren, RMINU, dan Pemkab Kudus untuk memastikan santri bisa kembali ke ponpes dalam kondisi baik.
    Sejauh ini, tidak pernah ada laporan bahwa seseorang tak sadarkan diri karena rapid test Covid-19, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Rapid test bekerja dengan cara mengambil sampel darah dari ujung jari atau pembuluh darah vena. Kemudian, sampel darah diteteskan ke alat tes atau bisa juga ditetesi serum terlebih dulu. Setelah itu, antibodi akan mengeluarkan respons yang bisa memberikan informasi tentang kontaminasi virus Corona. Kendati demikian, hasil tes terbagi dalam tiga kategori.
    Hasil tes masuk dalam kategori reaktif saat terdapat garis yang muncul pada alat tes, yakni pada kolom kontrol dan kolom antibodi. Bila terdapat garis pada dua kolom ini, pasien direkomendasikan untuk melakukan konsultasi untuk tes dengan metode lain, sepertipolymerase chain reaction(PCR). Tes ini dilakukan agar pasien mendapatkan hasil yang lebih akurat.
    Sementara hasil tes masuk dalam kategori non-reaktif bila hanya muncul garis pada kolom kontrol. Kondisi ini terjadi karena antibodi belum terbentuk kendati virus telah terdeteksi. Pada kondisi ini, pihak rumah sakit menyarankan agar pasien berkonsultasi dengan dokter dan melakukan isolasi mandiri selama sepekan hingga dua pekan. Terakhir, bila hasil tak menunjukkan apapun pada kolom kontrol dan antibodi, berarti tidak sahih.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa ada ribuan santri di Kudus yang tak sadarkan diri usai ikut rapid test Covid-19 dari rumah sakit Cina, sebagaimana yang tercantum dalam gambar berlogo CNN Indonesia di atas, keliru. Pertama, CNN Indonesia tidak pernah menayangkan berita itu. Kedua, empat foto yang ada dalam gambar di atas sama sekali tidak terkait dengan rapid test para santri Kudus. Ketiga, tidak terdapat seribu santri Kudus yang pingsan setelah menjalani rapid test. Rapid test yang diikuti oleh pada santri Kudus pun tidak berasal dari rumah sakit Cina.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8168) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Bocah Ini Mengambil Batu untuk Balas Tentara India yang Tembak Kakeknya?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/07/2020

    Berita


    Empat foto yang diklaim sebagai foto-foto seorang bocah yang mengambil batu untuk membalas tentara India yang menembak kakeknya beredar di media sosial. Dalam sebuah foto, memang terlihat bocah tersebut mendekati seorang tentara yang membawa senjata api.
    Dalam foto itu, terlihat pula seorang pria paruh baya yang tergeletak di tanah dengan baju putih bernoda merah. Ada pula foto saat bocah itu duduk di atas dada pria tersebut, foto saat bocah itu berada di dalam sebuah mobil, serta foto pria yang sama yang tergeletak di dekat tiga tentara.
    Akun yang membagikan foto-foto dan klaim tersebut adalah akun Facebook Yed Felistinesia. Dalam unggahannya pada 1 Juli 2020 tersebut, akun itu menulis, "Tentara India membunuh kakeknya dan bocah laki-laki ini mengambil batu untuk membunuh pembunuh kakeknya. Sekarang tanyakan kepada dunia jika bocah ini mengambil senjata setelah dia besar untuk membunuh pembunuh kakeknya, akankah dunia memanggilnya teroris??? #Save_Kashmir R.Ul Islam."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yed Felistinesia.
    Apa benar bocah dalam foto-foto itu mengambil batu untuk membalas tentara India yang menembak kakeknya?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto-foto di atas denganreverse image toolSource. Hasilnya, ditemukan bahwa peristiwa dalam foto-foto itu memang ramai diberitakan oleh media-media India baru-baru ini.
    Situs News18.com misalnya, memuat foto-foto yang identik pada 1 Juli 2020 dalam artikelnya yang berjudul "Jammu dan Kashmir: Pasukan keamanan yang menyelamatkan seorang anak berusia 3 tahun masih terus menembak teroris". Artikel ini membahas tentang serangan gerilyawan pemberontak di Sopore, distrik Baramulla, negara bagian Jammu dan Kashmir, India, yang menewaskan seorang tentara dan seorang warga sipil.
    Beberapa foto unggahan akun Yed Felistinesia juga pernah dimuat dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh situs Asianetnews.com pada 2 Juli 2020. Artikel ini juga menceritakan tentang serangan teroris di Sopore yang menewaskan seorang warga sipil yang sedang bepergian bersama cucu laki-lakinya.
    Dilansir dari HW News, foto saat bocah itu duduk di atas dada kakeknya dan mendekati seorang tentara yang membawa senjata api merupakan foto momen-momen ketika bocah berusia 3 tahun tersebut diselamatkan oleh seorang polisi Jammu dan Kashmir dari lokasi baku tembak di Sopore.
    Sebelumnya, Ayad diketahui menangis tersedu-sedu dan berusaha membangunkan kakeknya yang bersimbah darah. Seorang polisi pun mendekatinya, mengambil Ayad dari lokasi baku tembak itu, lalu menggendongnya untuk diantarkan kepada orang tuanya.
    Dalam laporannya, HM News juga memuat foto ketika Ayad digendong oleh polisi yang menyelamatkannya. Foto tersebut berasal dari unggahan akun Twitter resmi Polisi Zona Kashmir, @KashmirPolice, yang diberi keterangan, "JKP (Jammu and Kashmir Police) menyelamatkan seorang bocah laki-laki berusia 3 tahun dalam serangan teroris di Sopore."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @KashmirPolice.
    Menurut laporan HM News, anak itu sedang bepergian bersama kakeknya dengan mobil dari Srinagar ke Handwara. Mereka terjebak dalam baku tembak ketika melintasi Sopore, kota yang berada di distrik Baramulla, sekitar 50 kilometer dari Srinagar.
    Penjelasan yang sama juga dimuat oleh Outlook India, bahwa foto yang viral itu merupakan foto saat bocah laki-laki tersebut dijemput oleh anggota tentara dan polisi dari lokasi baku tembak di Sopore pada 1 Juli 2020 yang menewaskan kakek bocah itu.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa bocah dalam foto-foto di atas mengambil batu untuk membalas tentara India yang menembak kakeknya menyesatkan. Foto-foto tersebut memperlihatkan momen-momen saat bocah laki-laki berusia tiga tahun tersebut diselamatkan oleh polisi India dari lokasi baku tembak antara polisi India dengan gerilyawan Jammu dan Kashmir di Sopore. Dalam peristiwa itu, kakek bocah tersebut tewas tertembak.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan