• (GFD-2020-8176) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Bocah Laki-laki yang Disalami Bung Karno Ini adalah Barack Obama?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/07/2020

    Berita


    Sebuah foto yang memperlihatkan Presiden Sukarno tengah memegang tangan dua bocah, laki-laki dan perempuan, beredar di media sosial. Menurut narasi yang menyertai foto itu, bocah laki-laki yang disalami oleh Bung Karno tersebut merupakan mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
    Di Facebook, foto itu dibagikan salah satunya oleh akun Zuriel Bram Lisangan. Akun ini menulis narasi, "Presiden Pertama RI Soekarno pasti tdk menyangka kalau anak SD Menteng yg disalaminya kelak menjadi Presiden Amerika Serikat selama 2 Periode."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Zuriel Bram Lisangan.
    Apa benar bocah laki-laki yang disalami Bung Karno dalam foto di atas adalah Barack Obama?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto di atas dengan reverse image tool. Hasilnya, ditemukan sejumlah media yang pernah memuat foto itu dalam artikelnya. Situs Brilio.net misalnya, pernah memakai foto tersebut pada 1 Juli 2017 dalam artikelnya yang berjudul "Beredar foto mirip Obama kecil bersalaman dengan Bung Karno, benarkah?". Pada Juni 2017, Obama memang sempat berkunjung ke Indonesia.
    Namun, dikutip dari akun Twitter @SejarahRI, kedua anak yang tengah bersalaman dengan Bung Karno itu adalah Adi Nasution dan Ida Nasution, anak dari Mualif Nasution, sekretaris pribadi Bung Karno yang juga penyusun buku "Sarinah" dan "Di Bawah Bendera Revolusi". Foto tersebut diyakini dijepret saat Hari Raya Idul Fitri 1962. Sementara Obama mulai tinggal di Indonesia lima tahun sesudahnya, yakni pada 1967.
    Situs Suara.com, pada 2 Juli 2017, juga pernah memuat foto tersebut dalam artikelnya yang berjudul "Heboh Foto Obama Cilik Disalami Bung Karno, Benarkah?". Seperti yang dijelaskan dalam artikel di situs Brilio.net di atas, kedua bocah dalam foto itu merupakan Adi Nasution dan Ida Nasution, anak sekretaris pribadi Bung Karno, Mualif Nasution.
    Dikutip dari situs Cekfakta.com, Ida Nasution pun membenarkan bahwa foto itu merupakan foto dirinya bersama kakak kembarnya, Adi Nasution. "Itu foto saya bersama kakak kembar, Adi Nasution. Foto yang sedang viral itu diambil saat lebaran tahun 1962, bertempat di ruang depan Istana Negara," ujar Ida pada 2 Juli 2017.
    Ketika itu, menurut Ida, mereka berusia 9 tahun. Dia pun bercerita, lebaran di Istana Negara pada 1962 itu dihadiri oleh seluruh pegawai Istana dan masyarakat umum. "Itu hanya acara bersalaman, tidak ada angpau, tidak ada bingkisan, apalagi acara makan-makan,” tuturnya. “Kami tinggal di kompleks Istana Negara sejak 1950 hingga 1965," ujar Ida.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa bocah laki-laki yang disalami Bung Karno dalam foto di atas adalah Barack Obama keliru. Foto tersebut merupakan foto saat Bung Karno menyalami Adi Nasution dan Ida Nasution, anak Mualif Nasution, sekretaris pribadi Bung Karno yang juga penyusun buku "Sarinah" dan "Di Bawah Bendera Revolusi".
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8175) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Putusan MA Batalkan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/07/2020

    Berita


    Klaim bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 Tahun 2019 membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 beredar di media sosial. Klaim itu salah satunya dibagikan oleh akun Facebook Navias Tanjung, yakni pada 7 Juli 2020. Akun ini pun menulis bahwa Jokowi-Ma'ruf harus segera melepaskan jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden karena putusan itu.
    Di bagian awal unggahannya, akun Navias Tanjung menulis, "RE: BREAKING NEWS....!!! Keputusan MA No.44 Tahun 2019 Sifatnya Mengikat (Binding) Secara Hukum, JOKOWI-MA'RUF Harus Segera Melepas Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, Keputusan dan Ketetapan KPU Pilpres 2019 Batal Demi HUKUM, Kemenangan JKW-MA'RUF Tidak Memenuhi Syarat Yang Ditetapkan Oleh UU Nomer 7 Tahun 2017."
    Akun ini juga menulis agar Jokowi-Ma’ruf membentuk pemerintahan transisi dan menyerahkan kekuasaannya kepada Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Luar Negeri. “Pemerintahan transisi menyiapkan PILPRES ulang (revoting) antara JKW-MA'RUF Vs. PS-SANDI atau menyiapkan special presidential election dalam waktu 3 bulan dan tidak lebih dari 6 bulan dari pemerintahan transisi dimulai.”
    Unggahan itu pun dilengkapi dengan gambar tangkapan layar dokumen Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 yang di dalamnya memuat enam poin putusan. Di poin pertama, MA mengabulkan permohonan pengujian hak materiil dari tujuh pemohon, salah satunya politikus Partai Gerindra Rachmawati Soekarnoputri.
    Adapun di poin ketiga, yang dalam gambar itu dilingkari merah, MA menyatakan ketentuan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Navias Tanjung.
    Apa benar Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula mengunduh Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 yang terbit pada 28 Oktober 2019 itu dari situs Direktori Putusan Mahkamah Agung. Putusan ini baru diunggah di situs tersebut pada Juli 2020. Dokumen itu bisa diunduh di tautan ini.
    Poin-poin putusan dalam dokumen tersebut sama dengan poin-poin putusan dalam gambar unggahan akun Navias Tanjung, termasuk poin 3 bahwa ketentuan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 yang digugat itu berbunyi: "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyaksebagai Pasangan Calon terpilih."
    Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 3 Ayat 7 ini bertentangan dengan Pasal 416 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 416 Ayat 1 ini mengatur bahwa paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia.
    Akan tetapi, Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tersebut tidak berlaku surut sehingga tidak mempengaruhi penetapan hasil Pilpres 2019. Putusan itu terbit setelah Jokowi-Ma’ruf Amin dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019.
    Berikut ini alasan mengapa Putusan MA ini tidak mempengaruhi penetapan Pilpres 2019:
    Hasil Pilpres 2019 sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945
    Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945 telah mengatur bahwa paslon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
    Kemudian, Pasal 6A Ayat 4 mengatur bahwa, dalam hal tidak ada paslon terpilih, dua paslon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
    Komisioner KPU Hasyim Asy'ari mengatakan hasil Pilpres 2019 sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan yang ditetapkan Pasal 6A UUD 1945 itu. Jokowi-Ma'ruf mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres. Suara sah pasangan ini berjumlah 85.607.362 suara atau 55,5 persen.
    Selain itu, Jokowi-Ma'ruf mendapatkan suara sedikitnya 20 persen di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. "Yaitu menang di 21 provinsi dengan perolehan suara lebih dari 50 persen di setiap provinsinya," katanya. Sementara lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menang di 13 provinsi.
    Putusan MA tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
    Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan ada ketidaksesuaian antara Putusan MA itu dengan Putusan MK Nomor 50 Tahun 2014. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 416 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 416 Ayat 1 ini mengatur bahwa paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia.
    Adapun Putusan MK Nomor 50 Tahun 2014 menafsir bahwa Pasal 416 Ayat 1 tersebut harus dimaknai jika terdapat lebih dari dua paslon dalam pilpres. MK menafsir syarat suara minimal 50 persen dengan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi itu tak berlaku jika pilpres hanya diikuti oleh dua paslon. Namun, Titi mengatakan, jika pun syarat sebaran suara tersebut diterapkan, Jokowi-Ma'ruf tetap memenuhi ketentuan untuk memenangi pemilu seperti diatur dalam Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945. Dengan demikian, Putusan MA teranyar itu tak berdampak pada hasil Pilpres 2019.
    Putusan MK bersifat mengikat
    Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menjelaskan Putusan MA tersebut tidak berimplikasi yuridis terhadap kedudukan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019. Hasil sengketa Pilpres 2019 yang telah diputuskan MK bersifat mengikat. Hasil sengketa itu menolak gugatan Prabowo-Sandi serta mengukuhkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
    Putusan MA tidak berlaku surut
    Dosen tata negara Universitas Pamulang, Tohadi, mengatakan Putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan MA itu terbit belakangan setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019 dan MPR melantik pasangan ini sebagai Presiden-Wakil Presiden Periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. Uji materi terhadap Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 ini baru diputuskan MA sekitar sepekan setelah pelantikan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 adalah klaim yang keliru. Pertama, Putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan itu terbit sekitar sepekan setelah Jokowi-Ma’ruf dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Sengketa Pilpres 2019 pun telah selesai lewat putusan MK. Putusan ini bersifat mengikat, menolak gugatan Prabowo-Sandi serta mengukuhkan kemenangan Jokowi-Ma-ruf. Selain itu, hasil Pilpres 2019 telah sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8174) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pria di Video Ini Orang Suruhan yang Bakar Bendera PDIP?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/07/2020

    Berita


    Sebuah video yang diklaim memperlihatkan peristiwa penangkapan orang suruhan yang membakar bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP beredar di YouTube. Video ini menyebar beberapa hari setelah insiden pembakaran bendera PDIP saat demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan gedung DPR, Jakarta, pada 24 Juni 2020 lalu.
    Video berdurasi 12 menit 24 detik tersebut diawali dengan cuplikan wawancara Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Krisyanto. Lalu, video itu memperlihatkan cuplikan penangkapan dan interogasi terhadap seorang pria berbaju hitam. Salah satu pria yang berada di depannya mengatakan, "Kau mau dibawa ke kantor polisi ini."
    Di YouTube, video tersebut diunggah salah satunya oleh kanal Official News Update, yakni pada 30 Juni 2020. Video itu diberi judul "Berita Terkini~Beredar.!! Orang Suruhan yang Bakkar Bendera PDIP Ditannggkap |Viral Hari Ini News". Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 475 ribu kali dan disukai lebih dari 6.700 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan kanal YouTube Official News Update.
    Apa benar pria dalam video di atas merupakan orang suruhan yang membakar bendera PDIP?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi beberapa gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa video di atas merupakan gabungan dari tujuh video yang berbeda yang tidak terkait dengan pembakaran bendera PDIP.
    Video pertama, yang memperlihatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, bersumber dari video yang diunggah kanal YouTube Kumparan pada 5 Januari 2018. Video yang logo Kumparan di sisi kanan atasnya telah diburamkan ini berjudul “Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Menangis Azwar Anas Mundur”. Ketika itu, Anas mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur. Namun, Anas mundur setelah foto mesum yang memperlihatkan seorang pria mirip dirinya beredar.
    Video kedua, yang memperlihatkan penangkapan dan interogasi terhadap seorang pria berbaju hitam, telah beredar sejak 2018, sebelum terjadinya insiden pembakaran bendera PDIP saat demonstrasi menolak RUU HIP di depan gedung DPR pada 24 Juni 2020 lalu. Video itu merupakan video penangkapan seorang pria yang diduga sebagai pelaku perusakan atribut Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau. Video ini pernah diunggah oleh kanal YouTube Riau Andalas pada 15 Desember 2018 dengan judul “Pelaku perusakan Baliho Partai Demokrat di kota Pekanbaru tertangkap”.
    Video ketiga, yang memperlihatkan wawancara politikus PDIP Ribka Tjiptaning, juga merupakan video lama. Video ini bersumber dari kanal YouTube Indonesia Morning Show NET, sebuah program di stasiun televisi NET, yang diunggah pada 3 Oktober 2016.
    Video keempat, yang memperlihatkan sebuah rapat di ruangan dengan bendera berlogo Partai Komunis Indonesia (PKI), merupakan salah satu adegan film tentang Gerakan 30 September 1965. Video ini pernah diunggah oleh kanal YouTube Review Media pada 30 September 2017 dengan judul "Dialog Paling Populer Aidit di Film G30S/PKI".
    Video kelima merupakan cuplikan dari video yang diunggah oleh kanal YouTube KompasTV pada 20 Oktober 2019 berjudul “Ini Bunyi Sumpah Pelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin”. Video ini dimanipulasi dengan cara diperbesar sehingga logo dan judul tidak terlihat.
    Video keenam merupakan cuplikan dari video debat antara politikus PDIP Aria Bima dengan Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 Ahmad Maarif yang diunggah oleh kanal YouTube tvOneNews pada 25 Juni 2020 dengan judul “Debat Panas! Fraksi PDIP vs Ketua PA 212, Soal Kontroversi Konsep Trisila & Ekasila”.
    Adapun video ketujuh merupakan video pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di hadapan kader PDIP yang diunggah oleh kanal YouTube KompasTV pada 10 Januari 2017 dengan judul "Megawati Jelaskan Arti Ketuhanan di HUT ke-44 PDI-P".
    Tempo juga menemukan bahwa narasi yang dibacakan oleh pengisi suara dalam video unggahan kanal YouTube Official News Update tersebut berasal dari beberapa artikel. Salah satunya adalah artikel cek fakta Vivanews.com yang dimuat pada 30 Juni 2020 dengan judul “Video Orang Suruhan yang Bakar Bendera PDIP Ditangkap, Faktanya”.
    Artikel itu berisi pemeriksaan fakta terhadap video yang diklaim sebagai video orang suruhan yang membakar bendera PDIP. Video itu sama dengan video yang memperlihatkan cuplikan penangkapan dan interogasi terhadap seorang pria berbaju hitam yang diunggah oleh kanal YouTube Official News Update. Namun, video tersebut hanya mengambil bagian penjabaran tentang klaim yang menyertai video itu. Bagian hasil cek fakta terhadap video itu tidak dibacakan.
    Padahal, menurut artikel cek fakta Vivanews.com, yang mengutip situs Cekfakta.com, klaim yang menyertai video tersebut keliru. Sama seperti temuan Tempo lewat penelusuran jejak digital di atas, artikel itu menyebut bahwa video tersebut memperlihatkan kejadian pada 2018.
    Dilansir dari Detik.com, terduga pelaku perusak baliho penyambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga antribut Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau, telah ditangkap polisi. Pemuda yang bernama Heryd Swanto, 22 tahun, ini ditangkap di Jalan Sudirman pada 15 Desember 2018 sekitar pukul 01.45 WIB.
    Dari lokasi penangkapan, polisi menyita sejumlah barang bukti, yakni tiang bambu dan kayu, potongan sobekan baliho, dan pisaucutter. Menurut seorang saksi, Donal Zakirman, Heryd terlihat memanjat baliho penyambutan SBY dan merobeknya dengan pisau cutter. Ketika itu, Donal sedang melaju menggunakan motor di depan SPBU Sudirman yang mengarah ke bandara.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pria dalam video unggahan kanal YouTube Official News Update merupakan orang suruhan yang membakar bendera PDIP keliru. Pria yang ditangkap dan diinterogasi dalam salah satu bagian video tersebut merupakan terduga pelaku perusakan atribut Partai Demokrat di Pekanbaru, Riau, pada Desember 2018.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8173) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Presiden Jokowi Telah Berhasil Pulangkan Uang 11 Ribu T dari Swiss?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/07/2020

    Berita


    Pesan berantai yang berisi klaim bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah berhasil memulangkan uang negara hingga Rp 11 ribu triliun yang disimpan koruptor di Swiss beredar di WhatsApp. “Maaf Mas2 dan Mbak2, ini bukan politik, tapi kenyataan Pak Jokowi berhasil memulangkan 11,000 Triliun uang negara dari Swiss,” demikian narasi yang mengawali pesan berantai yang beredar sejak 7 Juli 2020 itu.
    Pesan berantai tersebut pun menyertakan tautan artikel dari situs DPR tentang Rancangan Undang-Undang (RUU)Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and The Swiss Confederation(MLA Indonesia-Swiss). Dengan pengesahan RUU ini, menurut pesan berantai itu, proses konstitusi untuk menarik dana dari Swiss sudah selesai.
    “Perjuangan yang panjang menghadapi ex koruptor yang bersenggama dengan agama. Terimakasih para kadrun yang terus nyinyirian kapan uang 11.000 triliun kembali ke Indonesia. Tanpa anda nyinyir, rasanya sulit RUU itu bisa disahkan oleh DPR. Pemilik 84 rekening gendut siap siap gigit jari . Mungkin tekanan ke Pak Jokowi makin kencang.”
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di WhatsApp.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua klaim, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan media maupun informasi dari situs pemerintah dengan memasukkan kata kunci "Jokowi pulangkan Rp 11 ribu triliun dari Swiss" ke mesin pencarian Google. Hasilnya, tidak ditemukan pemberitaan media maupun informasi dari situs pemerintah yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi telah berhasil memulangkan uang ribuan triliun itu dari Swiss.
    Dalam artikel di situs DPR tentang RUU MLA Indonesia-Swiss, tidak ditemukan pula informasi bahwa Presiden Jokowi telah berhasil menarik uang negara Rp 11 ribu triliun yang disimpan koruptor di Swiss. Artikel itu hanya menjelaskan bahwa RUU MLA Indonesia-Swiss baru disetujui untuk dibawa ke Sidang Paripurna DPR pada 14 Juli 2020 untuk disahkan.
    RUU MLA Indonesia-Swiss sendiri sebenarnya mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan, hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan bagian penting untuk mendukung proses hukum pidana di negara peminta. MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan, memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau lainnya.
    Pemerintah menduga, selama ini, banyak kekayaan warga Indonesia yang disimpan di luar negeri. Swiss menjadi salah satu negara yang tersohor karena sistem kerahasiaan perbankannya sangat ketat. Dalam sejumlah kasus tindak pidana, pemerintah kerap kesulitan mengeksekusi perkara karena tidak memiliki MLA. Salah satu contohnya ialah perkara terpidana 10 tahun kasus pengucuran kredit kepada PT Cipta Graha Nusantara, Eduardus Cornelis William Neloe.
    Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu memiliki aset sebesar 5,2 juta dolar Amerika Serikat di Bank Swiss. Pemerintah sempat berhasil meminta Swiss membekukan aset tersebut sebelum akhirnya dibuka kembali di Deutsche Bank. Pasalnya, pemerintah Swiss menilai bahwa pemblokiran tersebut tidak memiliki landasan hukum meskipun Neloe sudah divonis bersalah.
    Meskipun begitu, setelah RUU MLA Indonesia-Swiss disahkan menjadi UU, pengembalian aset belum bisa serta-merta dilakukan dalam waktu cepat. Sebab, salah satu kunci pengembalian aset di Swiss adalah pembuktian unsur pidana di pengadilan Swiss. Kepala Bidang Pemulihan Aset Transnasional Kejaksaan Agung Yusfifli Adhyaksana pada 2019 menyatakan hasil konkretnya tak bisa diharapkan dalam waktu dekat. "Belajar dari pengalaman Nigeria, dibutuhkan waktu yang panjang untuk benar-benar mendapat hasil yang nyata," ujarnya.
    Dengan demikian, tidak terdapat rujukan dari sumber resmi atas klaim "Presiden Jokowi berhasil mengembalikan uang negara hingga Rp 11 ribu triliun dari Swiss".
    Klaim uang koruptor di Swiss Rp 11 ribu T
    Tidak terdapat pula rujukan atas klaim "uang koruptor Indonesia yang disimpan di Swiss mencapai Rp 11 ribu triliun". Angka Rp 11 ribu triliun itu memang pernah disinggung oleh Presiden Jokowi, namun saat sosialisasi kebijakan amnesti pajak atau tax amnesty di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, pada 1 Agustus 2016.
    Ketika itu, Jokowi tidak menyatakan bahwa Rp 11 ribu triliun itu adalah akumulasi uang koruptor yang disimpan di Swiss, melainkan jumlah uang milik warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri berdasarkan data Kementerian Keuangan. Pemerintah pun berupaya agar uang itu bisa kembali ke Indonesia melalui kebijakan amnesti pajak.
    Peneliti Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan upaya menyembunyikan informasi harta kekayaan dari otoritas pajak dengan "memarkir" dana mereka di luar negeri memang menjadi praktik yang saat ini terjadi. Negara-negara seperti Swiss, Singapura, dan Hong Konglah yang menjadi tempat favorit untuk menyembunyikannya.
    Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga menyebut bahwa tidak larangan bagi WNI untuk menempatkan kekayaan mereka di Swiss ataupun negara lain. Namun, yang jadi masalah, ketika kekayaan itu tidak dilaporkan ke kantor Pajak sesuai dengan jumlah yang sebenarnya. "Kalau pejabat, dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Kalau Wajib Pajak, dalam SPT (Surat Pemberitahuan Pajak)," ujarnya.
    Menurut catatan CITA, sekitar 30-40 persen kekayaan yang diperoleh oleh 0,01 persen rumah tangga terkaya di dunia ditempatkan di luar negeri. Khusus untuk Swiss, pada 2001, total kekayaan luar negeri yang disimpan di negara itu mencapai 40 persen. Lalu, naik hingga 45-50 persen pada 2006-2007. Angka itu menurun menjadi 30 persen dalam beberapa tahun terakhir.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Presiden Jokowi telah berhasil memulangkan uang negara hingga Rp 11 ribu triliun yang disimpan koruptor di Swiss, keliru. Saat ini, pansus DPR baru menyetujui RUU MLA Indonesia-Swiss dibawa ke sidang paripurna pada 14 Juli 2020 untuk disahkan. Jika sudah disahkan pun, eksekusi penarikan aset di Swiss belum bisa serta-merta dilakukan dalam waktu cepat. Selain itu, klaim bahwa Rp 11 ribu triliun adalah jumlah uang koruptor yang disimpan di Swiss tidak tepat. Pada 2016, Presiden Jokowi menyatakan Rp 11 ribu triliun adalah jumlah uang WNI yang disimpan di luar negeri berdasarkan data Kementerian Keuangan.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan