• (GFD-2021-8440) Keliru, Klaim Ini Video Kemunculan Harimau Jawa di Hutan Jati Blora

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/01/2021

    Berita


    Video yang memperlihatkan seekor harimau melintasi kawasan di hutan jati beredar di media sosial. Menurut klaim yang menyertai video itu, harimau tersebut merupakan harimau Jawa yang menampakkan diri di hutan jati Blora, Jawa Tengah.
    Di Youtube, video berdurasi 30 detik itu diunggah oleh kanal Wiro Channel pada 2 Januari 2021. Video ini diberi judul "Harimau Menampakkan Diri di Hutan Jati.!!! Blora. Punyaa..". Dalam keterangannya, kanal ini menulis bahwa harimau Jawa itu muncul di hutan jati di sebuah desa.
    "Harimau jawa ini terlihat mengaung ngaung di hutan jati ..yangg kurang jelas juga siapa yang merekam menurut info harimau ini terdapat di hutan jati desa purut ato desa palang besi .." demikian narasi yang ditulis oleh kanal tersebut dalam keterangannya.
    Gambar tangkapan layar video unggahan kanal YouTube Wiro Channel dengan klaim yang keliru tentang konteks kemunculan harimau yang terlihat dalam videonya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Lalu, gambar-gambar itu ditelusuri denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa lokasi kemunculan harimau dalam video tersebut bukanlah di Blora, Jawa Tengah, melainkan di Bhadradri Kothagudem, Telangana, India.
    Video yang identik pernah diunggah ke YouTube oleh kanal berita televisi satelit India Prime9 News pada 27 November 2020 dengan judul “Tiger Enters in Bhadradri Kothagudem District | Prime9 News”. Kanal milik agensi berita India Asian News International, ANI News Official, juga pernah menggungah video kemunculan harimau itu pada 14 Desember 2020 dengan judul “Cow severely injured after tiger attack in Telangana”.
    Dalam keterangannya, ANI News Official melaporkan bahwa seekor sapi mengalami luka-luka setelah diserang oleh seekor harimau di Telangana pada 14 Desember 2020. Insiden tersebut terjadi di distrik Bhadradri Kothagudem. Berdasarkan jejak kaki yang ditemukan, diduga harimau tersebut kabur ke dalam kawasan hutan. Petugas kehutanan melakukan operasi pencarian untuk menangkap harimau itu.
    Kemunculan harimau ini juga pernah diberitakan oleh situs media India Telangana Today dengan judul "Telangana: Tiger sighted near Kothagudem". Menurut berita itu, pada 16 Desember 2020, harimau tersebut dilaporkan melintasi perempatan Regalla di Laxmidevipalli Mandal, dekat Kothagudem. Penduduk desa pun telah memberi tahu petugas kehutanan, yang bergegas ke desa tersebut untuk melancak pergerakan harimau itu.
    Menurut sumber yang diwawancarai oleh Telangana Today, harimau tersebut terlihat berada di sekitar 2 kilometer dari gedung kolektorat yang sedang dibangun. Sebelumnya, pada 14 Desember 2020, seekor harimau dilaporkan menyelinap ke Desa Gundlamadugu, Tekulapalli Mandal, Kothagudem, dan menyerang seekor anak sapi. Kemunculan harimau ini menimbulkan kepanikan di kalangan warga desa.
    Harimau Jawa
    Dilansir dari Mongabay, harimau Jawa yang dijuluki sebagai harimau loreng ini secara ilmiah telah dinyatakan punah sejak 1980-an. Hal itu juga telah ditegaskan dalam International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List, bahwa Panthera tigris sondaica bersatus "extinct" atau punah.
    Pertemuan Conservation on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) di Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat, pada Desember 1996 juga telah menyatakan bahwa harimau jenis ini benar-benar tidak ditemukan lagi di bumi.
    Sebagaimana namanya, harimau Jawa merupakan karnivor terbesar yang pernah menjadi penghuni Pulau Jawa. Hewan ini pernah ditemukan di Jampang Kulon, Sukabumi; Taman Nasional Ujung Kulon; Taman Nasional Meru Betiri; Gunung Pangrango; Yogyakarta; Probolinggo; Blitar; Banyuwangi; dan Tulungagung.
    Peneliti Mamalia dan Pengelolaan Satwa Liar Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gono Semiadi menuturkan suatu jenis satwa dikatakan punah apabila dalam kurun waktu 50 tahun setelah perjumpaan terakhir tidak pernah dilihat lagi di alam liar.
    Kini, menurutnya, konsep punah secara ilmiah telah bergeser dari suatu kategori generik yang berlaku umum menjadi suatu konsep yang lebih menekankan pada keyakinan ilmiah. Tentunya, hal ini diputuskan setelah memperhitungkan berbagai pertimbangan.
    Meski telah dinyatakan punah, Didik Raharyono, pemerhati harimau Jawa, tetap mencari bukti-bukti keberadaan harimau itu. Kepada Mongabay Indonesia pada 26 Februari 2020, Didik bercerita bahwa dia bersama Peduli Karnivor Jawa terus mendalami kesaksian warga tepi hutan yang pernah “berjumpa” harimau Jawa.
    Didik mengatakan, sejak 1997, dia memperkuat analisis tanda kehadiran harimau Jawa melalui taksimetri. Ini dikarenakan hutan Jawa juga dihuni macan tutul Jawa. Selain itu, dilakukan juga metode penjaringan, pengujian, dan penilaian informasi langsung dari para saksi melalui ‘perekaman video’.
    “Wilayah penelusuran yang saya lakukan bersama PKJ meliputi Jawa Timur hingga Banten, tapi sifatnya sporadis. Jika ada informasi dari suatu kawasan yang memenuhi kriteria kuat perjumpaan harimau Jawa, akan kami kaji dan dedah lebih lanjut,” ujar Didik.
    Bukti yang dimiliki adalah sosok harimau Jawa yang difoto pada September 2018 oleh warga tepi hutan jati di Jawa saat “nyanggong” babi hutan. Untuk perkiraan habitat harimau Jawa, yang relatif aman adalah Ujung Kulon (berdasarkan catatan 1999, 2002, 2009, 2010, dan 2017), sementara di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak ada jaminan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas adalah video kemunculan harimau Jawa di hutan jati Blora, keliru. Video tersebut menunjukkan seekor harimau (tidak diketahui jenisnya) yang muncul di distrik Bhadradri Kothagudem, Telangana, India pada November-Desember 2020.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8439) Keliru, Terjadi Penyebaran Penyakit Baru di Kodi NTT Lewat Ikan Tembang dan Tongkol

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/01/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah status di aplikasi pesan WhatsApp yang berisi foto dua pria yang terbaring di sebuah ruang perawatan beredar di Facebook. Gambar ini dibagikan bersama klaim bahwa telah terjadi penyebaran penyakit baru lewat konsumsi ikan, terutama ikan tembang dan tongkol.
    "Ksia tau smua para keluarga kitaaa... Jgn beli ikan dluuu soalnya ad penyebaran penyakit yg mengandung mkanan ikannn....terkhususnya ikan tongkol dan tembangggg... Pkox smau ikannnnn. Smogaaa di sampaikann di kluarga kita smuaaaaa," demikian narasi yang tertulis dalam gambar tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan gambar tangkapan layar itu adalah akun Nona Radja, tepatnya pada 4 Januari 2021. Akun ini pun menulis, "Untuk keselamatan n kebaikan kita. Kita stop beli ikan dulu. Karena Ada pexakit Baru sekarang." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 4.100 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Nona Radja yang memuat klaim keliru terkait peristiwa keracunan ikan di Kodi, NTT.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memasukkan kata kunci "keracunan ikan tembang" di mesin pencari gambar Google. Hasilnya, ditemukan sebuah petunjuk dari video yang diunggah oleh kanal YouTube Anselrufus Channel pada 5 Januari 2021 terkait warga Kodi, Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur, yang keracunan ikan.
    Dalam video ini, tepatnya pada menit 5:28, terlihat seorang pria yang mengenakan jaket merah dengan tulisan berwarna putih. Pria tersebut sama dengan yang terlihat dalam foto yang terdapat dalam gambar tangkapan layar di atas. Baik dalam video ini maupun dalam foto di atas, pria itu sedang menemani pria yang sedang terbaring, yang mengenakan kaos coklat-kuning.
    Foto dalam gambar tangkapan layar yang diunggah oleh akun Facebook Nona Radja (kiri) dan gambar tangkapan layar salah satu cuplikan dalam video milik kanal YouTube Anselrufus Channel (kanan).
    Berbekal petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan tentang warga Kodi yang keracunan ikan. Menurut berita Kumparan.com yang berjudul "Keracunan Ikan, 1 Warga SBD Tewas, 12 Kritis", pada 4 Januari 2021, memang terdapat belasan warga Dusun Homba Karamboyo, Kodi Balaghar, yang keracunan ikan tembang. Akibat peristiwa ini, satu warga, yakni Hona Rehi, 60 tahun, meninggal dan 12 warga lainnya kritis. Mereka dirawat di Puskesmas Kodi Bangedo.
    Kepala Polsek Kodi Bangedo, Ajun Komisaris Agus Supriyanto, membenarkan peristiwa itu. Awalnya, seorang warga bernama Hendrikus Ndara Milla membeli 40 ikan seharga Rp 20 ribu dari pedagang yang bernama Hendrikus Hona Kandi. Ikan ini juga dibagikan kepada anggota keluarga di kampung yang sama.
    Kemudian, ikan tersebut dimasak oleh Paulina Capa, kerabat dekat Hona Rehi. Keduanya pun menyantap ikan itu. "Setelah makan, korban sempat ke kebun, namun pulang sekitar pukul 13.30. Saat itulah, Hona Rehi muntah-muntah dan lemas," ujar Agus.
    Melihat hal itu, kerabat korban memberinya air minum. Namun, nyawa Hona Rehi tak tertolong sebelum dilarikan ke rumah sakit. "Tepat pukul 19.00, korban meninggal di rumahnya,” kata Agus. Ia pun mengimbau warga agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi ikan yang mereka beli.
    Peristiwa tersebut juga diberitakan oleh Pos Kupang pada 5 Januari 2021 dengan judul "Di Sumba Barat Daya - NTT, Satu Warga Tewas Saat Konsumsi Ikan, 12 Warga Lainya Dirawat, TRAGIS". Menurut berita ini, belasan warga lain yang mengkonsumsi ikan yang sama mengalami pusing dan lemas.
    Keracunan Ikan
    Kasus keracunan ikan pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Pada 3 Januari 2020 misalnya, dilansir dari Kompas.com, sebanyak 350 warga Jember keracunan setelah menyantap sajian ikan tongkol di malam Tahun Baru 2020. Para korban mengalami gejala keracunan antara lain mual, muntah, pusing, wajah memerah dan bengkak, bahkan pingsan.
    Plt Kepala Dinas Perikanan Jember Murtadlo mengatakan keracunan ikan tongkol dipicu oleh proses penyimpanan yang tidak benar. Akibatnya, kandungan histamin pada ikan meningkat. Ikan itu diduga disimpan di atas suhu 6 derajat Celcius dengan durasi melebihi batas aman. Padahal, daya tahan ikan ini di tempat terbuka hanya empat jam selang didapat nelayan dari laut.
    Dilansir dari American Academy of Allergy Asthma and Immunology, keracunan histamin (scombrotoxin fish poisoning) merupakan salah satu jenis keracunan makanan. Beberapa jenis ikan secara alami memiliki zat kimia bernama histidin dan berkadar tinggi, di antaranya tongkol, makarel, sarden (salah satu spesiesnya adalah ikan tembang), tuna, teri, haring, dan lain-lain.
    Asam amino esensial di beberapa ikan dapat berubah menjadi histamin saat terkontaminasi bakteri. Bakteri tersebut adalah bagian dari mikroflora alami kulit, insang, dan usus ikan yang baru ditangkap. Menurut laman resmi Centre for Food Safety Hong Kong, tingginya kandungan histamin dalam ikan dan produk ikan tergantung jenis ikan, kontrol suhu, dan waktu.
    Pembentukan histamin dapat terjadi di sepanjang rantai pasokan ikan dan produk ikan, mulai dari ikan yang baru ditangkap nelayan, dibawa berlayar sampai ke pelabuhan, dijajakan pedagang, sampai ke dapur. Dari hasil penelitian, keracunan histamin terdeteksi di sampel ikan yang dibiarkan di suhu ruangan selama 24 jam. Namun, histamin tidak terdeteksi saat sampel ikan disimpan di suhu 2 derajat Celcius sepanjang 7 hari.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, pakar pangan Universitas Jember Nurhayati menuturkan keracunan ikan bisa terjadi karena beberapa hal, yakni bahan baku, histamin, dan toksin atau racun. Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember itu menjelaskan, terkait bahan baku, hasil tangkapan yang tidak segera disimpan pada suhu rendah (ruang pendingin es) menyebabkan kerusakan fisiologis dan mikrobiologis pada ikan.
    Seiring dengan kerusakan fisiologis rigor mortis jaringan ikan, disarankan untuk segera menyimpan ikan segar pada ruang pendingin seperti kulkas maupun freezer, karena jika tidak disimpan di kondisi dingin atau beku, bakteri kontaminan dapat tumbuh berkembang cepat. "Rata-rata masa ganda bakteri adalah 20-30 menit, yaitu dari satu jadi dua, dua jadi empat, empat jadi 16, dan seterusnya," katanya.
    Selain itu, keracunan juga bisa disebabkan oleh histamin, senyawa yang dihasilkan oleh aktivitas mikroba, terutama bakteri yang tumbuh setelah lebih dari 5 jam ikan ditangkap. "Histamin dihasilkan dari perombakan asam amino histidin oleh enzim mikroba menjadi histamin. Senyawa itu yang akan menimbulkan alergi pada tubuh manusia sesaat setelah mengonsumsi produk ikan tongkol, seperti gatal-gatal di sekujur kulit," katanya.
    Jika alergi terjadi pada pembuluh darah di jaringan kulit maka dampaknya akan gatal-gatal. Akan tetapi, jika alergi menyerang pembuluh darah daerah organ dalam, terutama jantung, maka akan menyebabkan serangan jantung yang berakibat fatal, yakni kematian mendadak.
    "Keracunan ikan juga dapat disebabkan oleh toksin atau senyawa racun. Keberadaan racun bisa disebabkan perairan yang tercemar oleh logam berat, seperti timbal maupun merkuri dan lain sebagainya akibat aktivitas manusia, seperti industri yang membuang limbah cairnya ke laut," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa telah terjadi penyebaran penyakit baru di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT lewat konsumsi ikan, terutama ikan tembang dan tongkol, keliru. Foto yang digunakan untuk menyebarkan klaim itu merupakan foto yang menunjukkan warga Kodi yang keracunan ikan tembang pada 4 Januari 2021. Di Indonesia, kasus keracunan ikan pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Peristiwa itu pun tidak terkait dengan penyebaran penyakit baru.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8438) Keliru, Vaksin Sinovac Mengandung Bahan Berbahaya dan Virus Hidup yang Dilemahkan

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri beredar di Facebook. Klaim itu juga menyebut bahwa vaksin ini mengandung virus hidup yang telah dilemahkan serta berasal dari sel vero dari kera hijau Afrika. 
    Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Juliana Humaira Ummu Syifa, yakni pada 4 Januari 2021. Dia menulis bahwa warga yang akan disuntik vaksin Sinovac hanya kelinci percobaan, karena kemasan vaksin tersebut bertuliskan "Only for Clinical Trial" atau "hanya untuk uji coba klinis".
    "Dan perhatikan 'Composition and Description' Yaitu berasal dariVero Cellatau berasal dari jaringan Kera hijau Afrika (Jelas tidak halal), kemudian mengandung Virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks,formaline, aluminium, merkuri, dll). Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah di vaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban Vaksin," demikian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
    Akun ini pun melengkapi klaim tersebut dengan foto yang memperlihatkan vaksin Sinovac beserta kemasannya. Dalam kemasan itu tertulis "SARS-CoV-2 Vaccine (Vero Cell)". Di bawah tulisan ini, terdapat teks yang berbunyi "Only for Clininal Trial". Terdapat pula daftar bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan vaksin Sinovac dalam kemasan tersebut.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Juliana Humaira Ummu Syifa yang memuat klaim keliru terkait vaksin Covid-19 Sinovac.

    Hasil Cek Fakta


    Hasil pemeriksaan Tim CekFakta Tempo menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 Sinovac tidak mengandung bahan berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri. Vaksin ini pun tidak mengandung virus hidup yang dilemahkan. Dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero memang digunakan, namun hanya untuk menumbuhkan virus yang nantinya akan diinaktivasi. Dalam produk finalnya, tidak ada lagi sel kera yang terlibat.
    Untuk memeriksa klaim di atas, Tempo menghubungi ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo serta menelusuri informasi dari beberapa pemberitaan dan jurnal medis. Berikut hasil cek fakta atas beberapa klaim tersebut:
    Klaim 1: Vaksin Sinovac mengandung virus hidup yang dilemahkan
    Menurut Ahmad Rusdan Utomo, yang juga dijelaskan dalam kanal YouTube  miliknya, vaksin Sinovac menggunakan partikel virus SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, yang telah dimatikan, atau genomnya telah dirusak, bukan dilemahkan seperti yang terdapat dalam klaim di atas.
    Sejumlah literatur menyebut metode yang dikenal dengan namainactivatedvirus ini sudah lama digunakan, setidaknya sejak 1950-an. Partikel virus SARS-CoV-2 yang digunakan tersebut diisolasi dari berbagai tempat, seperti Cina, Swiss, Spanyol, Italia, dan Inggris. “Ini untuk memastikan partikel virus yang ada dalam vaksin itu mewakili beberapa tempat secara independen,” kata Ahmad pada 4 Januari 2021.
    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebut metodeinactivatedvirus sebagai salah satu dari tujuh teknologi pengembangan vaksin. Menurut WHO, kelebihan dari teknologi ini adalah dapat menginduksi respon antibodi yang kuat. Sebelum digunakan untuk memproduksi vaksin Covid-19, metode ini digunakan untuk mengembangkan vaksin influenza, rabies, dan hepatitis A.
    Klaim 2: Sel vero dari kera hijau Afrika dan tidak halal
    Ahmad Rusdan Utomo menjelaskan, dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero memang digunakan untuk menumbuhkan virus. Sel vero adalah galur sel yang berasal dari sel epitel ginjal yang diekstrak dari kera hijau Afrika. “Jadi, bukan seperti monyetnya yang diambil,” kata Ahmad.
    Setelah sel tumbuh, kata Ahmad, partikel-partikel virus yang berjumlah jutaan akan diinaktivasi denganbeta propiolactonesehingga genom dari virus tersebut rusak dan tidak bisa berkembang biak. Lalu, proses selanjutnya adalah filtrasi sehingga terjadi delusi.
    “Jadi, dalam produk finalnya, tidak ada lagi hal-hal yang dikhawatirkan, seperti sel kera. Dan tidak mungkin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan memberikan otorisasi, digunakan dalam vaksinasi, tanpa diuji keamanannya,” tutur Ahmad.
    Dilansir dari Detik.com, juru bicara vaksin Covid-19 PT Bio Farma Bambang Herianto menyatakan, dalam produksi vaksin Sinovac, sel vero hanya digunakan dalam pengembangan kultur virus untuk proses perbanyakan virus. "Kalau tidak ada media kultur, maka virus akan mati dan tidak bisa digunakan untuk pembuatan vaksin," ujarnya.
    Menurut Bambang, dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero tidak akan terlibat hingga proses akhir. "Vaksin Covid-19 Sinovac saat ini sedang dalam proses aspek kehalalannya oleh LP POM MUI untuk mendapatkan sertifikasi halal," ujar Bambang.
    Dikutip dari The New York Times, vaksin Sinovac dikembangkan dengan menumbuhkan SARS-CoV-2 dalam jumlah yang besar di sel ginjal monyet. Kemudian, mereka menyiram virus itu dengan bahan kimia yang disebutbeta propiolactone. Senyawa ini menonaktifkan virus Corona yang terikat pada gennya. Virus Corona yang tidak aktif tidak akan bisa lagi bereplikasi. Tapi, protein mereka, termasuk protein Spike, tetap utuh.
    Peneliti kemudian mengambil virus yang tidak aktif itu dan mencampurkannya dengan sejumlah kecil senyawa berbasis aluminium yang disebut adjuvan. Adjuvan merangsang sistem kekebalan untuk meningkatkan responsnya terhadap vaksin. Karena virus Corona dalam vaksin sudah mati, mereka dapat disuntikkan ke lengan tanpa menyebabkan Covid-19. Begitu masuk ke dalam tubuh, beberapa virus yang tidak aktif ditelan oleh sejenis sel kekebalan yang disebut sel pembawa antigen.
    Klaim 3: Mengandung bahan dasar berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri
    Nama kimia boraks adalah Natrium Tetraborat (Na4B2O7), Natrium Tetraborat Pentahidrat (Na4B2O7.5H2O), dan Natrium Tetraborat Dekahidrat (Na2B4o7.10H2O). Formalin merupakan senyawa kimia formaldehida yang juga kerap disebut metanal. Sementara merkuri punya nama lain air raksa atauhydrargyrum.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, nama-nama ketiga bahan tersebut tidak tertulis dalam kemasan vaksin Sinovac sebagaimana yang terlihat dalam foto di atas. Bahan yang tertera dalam kemasan yakni aluminium hydroxide, disodium hydrogen phosphate, sodium dihydrogen phosphate, dan sodium chloride.
    Menurut penjelasan Ahmad Rusdan Utomo, empat bahan kimia yang tertera dalam kemasan tersebut digunakan sebagai penstabil tingkat keasaman (pH) agar pH vaksin tetap berada dalam kisaran pH darah, yakni sekitar 7,3-7,4.
    Klaim 4: Vaksin Sinovac untuk kelinci percobaan
    Lewat reverse image tool Google, Tempo menemukan bahwa foto di atas pernah diterbitkan oleh situs media Nikkei pada 7 September 2020. Nikkei memberikan keterangan bahwa foto itu bersumber dari Associated Press (AP) dengan penjelasan: "Vaksin uji coba dari Sinovac Biotech sebelum diberikan kepada sukarelawan di Brasil bulan lalu. Perusahaan juga memberikan vaksin yang diusulkan kepada karyawannya di Cina."
    Dilansir dari Reuters, pada akhir Juli 2020, beberapa kandidat vaksin Covid-19, termasuk dari Sinovac, menjalani uji klinis besar di Brasil. Negara ini mencatatkan lebih dari 2,7 juta kasus Covid-19 dan hampir 95 ribu kematian, menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat.
    Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS ( CDC ) menjelaskan ada enam tahap dalam pengembangan vaksin, yakni eksplorasi, pra-klinis, pengembangan klinis, tinjauan peraturan dan persetujuan, produksi, dan kontrol kualitas. Pengembangan klinis meliputi tiga fase. Selama fase I, sejumlah orang menerima vaksin percobaan. Pada fase II, studi klinis diperluas dan vaksin diberikan kepada orang yang memiliki karakteristik (seperti usia dan kesehatan fisik) yang mirip dengan orang yang menjadi sasaran vaksin.
    Pada fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang serta diuji efikasi dan keamanannya. Pelibatan warga Indonesia dalam uji coba vaksin Sinovac termasuk dalam fase III ini. Selain Indonesia, Brasil dan Bangladesh berpartisipasi dalam uji klinis fase III vaksin Sinovac. Vaksin Covid-19 lain pun diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Inggris. Sama halnya dengan Sinovac, perusahaan-perusahaan itu menerapkan prosedur yang mengujicobakan vaksin buatannya kepada warga negara lain.
    Sebelum diujicobakan ke luar Cina, vaksin Covid-19 Sinovac itu telah terlebih dahulu menjalani uji coba fase I dan fase II yang melibatkan sejumlah warga Cina. Sinovac memulai pengembangan kandidat vaksin dari virus yang tidak aktif pada 28 Januari. Pada 13 April, Administrasi Produk Medis Nasional Cina (NMPA) memberikan persetujuan untuk uji klinis fase I dan fase II yang dimulai pada 16 April di Provinsi Jiangsu. Uji klinis fase I dan fase II itu melibatkan orang dewasa sehat berusia 18-59 tahun. Mereka diberi vaksin selama 14 hari.
    Penggunaan vaksin Sinovac

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri serta virus hidup yang dilemahkan, keliru. Meskipun begitu, hingga artikel ini dimuat, vaksinasi warga dengan vaksin Sinovac belum dilakukan karena masih menunggu izin pengunaan darurat atauemergency use authorization(EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8437) Keliru, Brigjen Hendra Kurniawan Anak Kandung Presiden Cina Xi Jinping

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan adalah anak kandung Presiden Cina Xi Jinping viral di media sosial. Klaim itu juga menyebut bahwa Hendra yang merupakan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri ini kemungkinan telah dipersiapkan untuk menjadi Kapolri.
    "Hendra kurniawan Anak kandung jie ping (presiden china) ia brigjen polisi yg tdk tertutup kemungkinan kedepannya dipersiapkan tuk menjadi kapolri... jika saat itu telah tiba maka binasalah umat islam indonesia krn negri ini sdh total dibawah kkekuasaan china komunis... JADI APAKAH KALIAN MSH BERDIAM DIRI SAJA SAMBIL MENUNGGU KEHANCURAN ITU TIBA....? Apakah umat Islam akan selama nya diam...???" demikian narasi yang dilengkapi dengan foto Hendra tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Nia Herawati, tepatnya pada 2 Januari 2021. Akun ini menulis, "Kalau kita diyam brrt kita mendukung kehancuran nkri dan rezikonya pada anak cucukita kelak..!!!" Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 55 reaksi dan 18 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Niat Herawati yang memuat klaim keliru tentang Brigjen Hendra Kurniawan dan Presiden Cina Xi Jinping.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan dari media kredibel tentang anak Presiden Cina Xi Jinping. Hasilnya, ditemukan informasi bahwa Xi Jinping hanya memiliki satu anak, yakni anak perempuan yang bernama Xi Mingze.
    Dilansir dari situs media Taiwan News, Xi Mingze lahir pada 1992 dan merupakan anak tunggal dari Xi Jinping dan istrinya yang merupakan penyanyi folk Tiongkok, Peng Liyuan. Xi Mingze menempuh studi sarjana dan pascasarjana di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
    Dikutip dari situs media New Zealand Herald, selain beberapa detail biografi dasar, sangat sedikit yang diketahui tentang Xi Mingze. Anak satu-satunya Xi Jinping ini lahir pada 27 Juni 1992. Ia belajar bahasa Prancis di sekolah menengahnya, Sekolah Bahasa Asing Hangzhou.
    Menurut China Times, Xi Mingze dijuluki "Xiao Muzi" oleh kakeknya, revolusioner komunis dan mantan pejabat Cina Xi Zhongxun, "menganggapnya sebagai orang yang polos dan sopan yang berguna bagi masyarakat". Dia "terkenal sebagai gadis yang rendah hati dan santai, yang menyebut membaca dan fesyen sebagai hobinya," menurut profil di surat kabar Taiwan.
    Pada 2008, setelah gempa bumi Sichuan yang cukup dahsyat, Xi Mingze yang ketika itu berusia 16 tahun meminta cuti sekolah selama seminggu untuk membantu upaya penanganan bencana dan merawat korban yang terluka, kata ibunya kepada media setempat pada saat itu.
    Xi Jinping melindungi Xi Mingze dengan ketat dari mata-mata. Xi Mingze pergi ke AS pada 2010 untuk kuliah di Universitas Harvard, dengan nama samaran. Baru pada 2012 banyak orang mendengar tentang hal ini. Xi Mingze disebut mempelajari psikologi dan bahasa Inggris, yang lulus dengan gelar Bachelor of Arts pada 2014.
    Brigjen Hendra Kurniawan dan polisi keturunan Tionghoa
    Brigjen Hendra Kurniawan menjadi sorotan setelah digelarnya konferensi pers polisi terkait penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Rizieq Shihab. Ketika itu, ia hadir bersama Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran dan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurrachman.
    Dilansir dari Viva.co.id, Hendra adalah Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hendra dilantik sebagai jenderal bintang satu pada 16 Oktober 2020 lalu. Sebelumnya, Hendra menjabat sebagai Kepala Bagian Pembinaan dan Pengamanan Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
    Dikutip dari Tribun Batam, Hendra memang berdarah Tionghoa. Namun, seperti dilansir dari Medcom.id yang mengutip BBC Indonesia, telah banyak keturunan Tionghoa yang menjadi polisi, setidaknya sejak Orde Lama. Sejak 1960-an, polisi atau militer dari etnis Tionghoa bukan lagi sesuatu yang aneh.
    Bahkan, hingga 1970-an dan 1980-an, masih banyak ditemukan polisi berdarah Tionghoa, salah satunya di Bangka Belitung. Namun, jumlah polisi keturunan Tionghoa mulai berkurang ketika Orde Baru berkuasa dan membuat sejumlah kebijakan politik terkait etnis Tionghoa.
    Dilansir dari Merdeka.com, warga Tionghoa kembali mendapatkan kesempatan menjadi aparatur negara, termasuk polisi, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Kapolri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sutarman, pun pernah menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi warga Tionghoa untuk menjadi polisi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Brigjen Hendra Kurniawan adalah anak kandung Presiden Cina Xi Jinping, keliru. Xi Jinping hanya memiliki satu anak, yakni anak perempuan yang bernama Xi Mingze. Hendra sendiri merupakan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hendra memang berdarah Tionghoa. Namun, telah banyak keturunan Tionghoa yang menjadi polisi, setidaknya sejak Orde Lama.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan