• (GFD-2021-8437) Keliru, Brigjen Hendra Kurniawan Anak Kandung Presiden Cina Xi Jinping

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/01/2021

    Berita


    Klaim bahwa Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan adalah anak kandung Presiden Cina Xi Jinping viral di media sosial. Klaim itu juga menyebut bahwa Hendra yang merupakan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri ini kemungkinan telah dipersiapkan untuk menjadi Kapolri.
    "Hendra kurniawan Anak kandung jie ping (presiden china) ia brigjen polisi yg tdk tertutup kemungkinan kedepannya dipersiapkan tuk menjadi kapolri... jika saat itu telah tiba maka binasalah umat islam indonesia krn negri ini sdh total dibawah kkekuasaan china komunis... JADI APAKAH KALIAN MSH BERDIAM DIRI SAJA SAMBIL MENUNGGU KEHANCURAN ITU TIBA....? Apakah umat Islam akan selama nya diam...???" demikian narasi yang dilengkapi dengan foto Hendra tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Nia Herawati, tepatnya pada 2 Januari 2021. Akun ini menulis, "Kalau kita diyam brrt kita mendukung kehancuran nkri dan rezikonya pada anak cucukita kelak..!!!" Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 55 reaksi dan 18 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Niat Herawati yang memuat klaim keliru tentang Brigjen Hendra Kurniawan dan Presiden Cina Xi Jinping.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan dari media kredibel tentang anak Presiden Cina Xi Jinping. Hasilnya, ditemukan informasi bahwa Xi Jinping hanya memiliki satu anak, yakni anak perempuan yang bernama Xi Mingze.
    Dilansir dari situs media Taiwan News, Xi Mingze lahir pada 1992 dan merupakan anak tunggal dari Xi Jinping dan istrinya yang merupakan penyanyi folk Tiongkok, Peng Liyuan. Xi Mingze menempuh studi sarjana dan pascasarjana di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
    Dikutip dari situs media New Zealand Herald, selain beberapa detail biografi dasar, sangat sedikit yang diketahui tentang Xi Mingze. Anak satu-satunya Xi Jinping ini lahir pada 27 Juni 1992. Ia belajar bahasa Prancis di sekolah menengahnya, Sekolah Bahasa Asing Hangzhou.
    Menurut China Times, Xi Mingze dijuluki "Xiao Muzi" oleh kakeknya, revolusioner komunis dan mantan pejabat Cina Xi Zhongxun, "menganggapnya sebagai orang yang polos dan sopan yang berguna bagi masyarakat". Dia "terkenal sebagai gadis yang rendah hati dan santai, yang menyebut membaca dan fesyen sebagai hobinya," menurut profil di surat kabar Taiwan.
    Pada 2008, setelah gempa bumi Sichuan yang cukup dahsyat, Xi Mingze yang ketika itu berusia 16 tahun meminta cuti sekolah selama seminggu untuk membantu upaya penanganan bencana dan merawat korban yang terluka, kata ibunya kepada media setempat pada saat itu.
    Xi Jinping melindungi Xi Mingze dengan ketat dari mata-mata. Xi Mingze pergi ke AS pada 2010 untuk kuliah di Universitas Harvard, dengan nama samaran. Baru pada 2012 banyak orang mendengar tentang hal ini. Xi Mingze disebut mempelajari psikologi dan bahasa Inggris, yang lulus dengan gelar Bachelor of Arts pada 2014.
    Brigjen Hendra Kurniawan dan polisi keturunan Tionghoa
    Brigjen Hendra Kurniawan menjadi sorotan setelah digelarnya konferensi pers polisi terkait penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Rizieq Shihab. Ketika itu, ia hadir bersama Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran dan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurrachman.
    Dilansir dari Viva.co.id, Hendra adalah Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hendra dilantik sebagai jenderal bintang satu pada 16 Oktober 2020 lalu. Sebelumnya, Hendra menjabat sebagai Kepala Bagian Pembinaan dan Pengamanan Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
    Dikutip dari Tribun Batam, Hendra memang berdarah Tionghoa. Namun, seperti dilansir dari Medcom.id yang mengutip BBC Indonesia, telah banyak keturunan Tionghoa yang menjadi polisi, setidaknya sejak Orde Lama. Sejak 1960-an, polisi atau militer dari etnis Tionghoa bukan lagi sesuatu yang aneh.
    Bahkan, hingga 1970-an dan 1980-an, masih banyak ditemukan polisi berdarah Tionghoa, salah satunya di Bangka Belitung. Namun, jumlah polisi keturunan Tionghoa mulai berkurang ketika Orde Baru berkuasa dan membuat sejumlah kebijakan politik terkait etnis Tionghoa.
    Dilansir dari Merdeka.com, warga Tionghoa kembali mendapatkan kesempatan menjadi aparatur negara, termasuk polisi, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Kapolri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sutarman, pun pernah menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi warga Tionghoa untuk menjadi polisi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Brigjen Hendra Kurniawan adalah anak kandung Presiden Cina Xi Jinping, keliru. Xi Jinping hanya memiliki satu anak, yakni anak perempuan yang bernama Xi Mingze. Hendra sendiri merupakan Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hendra memang berdarah Tionghoa. Namun, telah banyak keturunan Tionghoa yang menjadi polisi, setidaknya sejak Orde Lama.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8436) Keliru, WHO Bandingkan Efektivitas 10 Vaksin Covid-19 dan Sebut Sinovac yang Terendah

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/12/2020

    Berita


    Akun Instagram @wawsehat membagikan informasi yang berisi klaim bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang paling lemah. Kesimpulan itu diambil setelah WHO disebut melakukan perbandingan efektivitas 10 vaksin Covid-19 yang siap diedarkan.
    Klaim itu diunggah oleh akun @wawsehat pada 24 Desember 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah disukai lebih dari 1,5 ribu kali. Akun ini pun menulis bahwa informasi tersebut berasal dari situs media Aljazeera. Namun, akun ini tidak menyertakan tautan berita Aljazeera itu.
    Sinovac buatan China menjadi vaksin yang memiliki pengaruh paling rendah atau efektivitasnya paling rendah dibandingkan dengan 9 vaksin lainnya. Sementara itu, vaksin moderna dan vaksin Pfizer menjadi vaksin yang disebut-sebut lebih efektif dibandingkan vaksin lainnya. Karena itu, sejumlah negara di dunia rata-rata memesan vaksin Moderna dan vaksin Pfizer,” demikian sebagian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @wawsehat yang memuat klaim keliru terkait WHO dan vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, tidak ditemukan penjelasan di situs resmi WHO maupun pemberitaan di Aljazeera bahwa organisasi kesehatan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyebut vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang paling lemah.
    Lewat pencarian di situs resmi WHO dengan kata kunci “Covid-19 vaccine”, Tempo menemukan 39 artikel terkait dengan vaksin Covid-19. Namun, dari semua artikel tersebut, tidak satu pun berisi informasi bahwa WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah dibanding sembilan kandidat vaksin Covid-19 lainnya.
    Dalam artikel berjudul "COVAX Announces additional deals to access promising COVID-19 vaccine candidates; plans global rollout starting Q1 2021" yang terbit pada 21 Desember 2020, WHO hanya menjelaskan tentang 10 kandidat vaksin yang melibatkan investasi Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Dari 10 kandidat vaksin itu, sembilan di antaranya masih dalam pengembangan, di mana tujuh di antaranya dalam tahap uji klinis.
    Sepuluh kandidat vaksin tersebut adalah AstraZeneca/University of Oxford (Tahap 3); Clover Biopharmaceuticals, Cina (Tahap 1); CureVac, Jerman (Tahap 2B/3); Inovio, Amerika Serikat (Tahap 2); Institut Pasteur/Merck/Themis, Prancis/AS/Austria (Tahap 1); Moderna, AS (Tahap 3); Novavax, AS (Tahap 3); SK bioscience, Korea Selatan (Praklinis); University of Hong Kong, Hong Kong (Praklinis); University of Queensland/CSL, Australia (Tahap 1, program dihentikan).
    CEPI sendiri merupakan kemitraan inovatif antara publik, swasta, filantropi, dan organisasi sipil, yang diluncurkan di Davos, Swiss, pada 2017 untuk mengembangkan vaksin guna menghentikan epidemi di masa depan. CEPI telah bergerak dengan sangat mendesak dan berkoordinasi dengan WHO dalam menanggapi munculnya Covid-19.
    Adapun lewat penelusuran di Google dengan memasukkan kata kunci yang sama, “Covid-19 vaccine”, juga tidak menemukan berita bahwa WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah. Dalam sebuah berita di Aljazeera pada 18 November 2020 yang berjudul "Where are we in the Covid-19 vaccine race?", pejabat WHO Swaminathan menyatakan belum bisa mengambil kesimpulan tentang perlindungan jangka panjang dan efek samping dari seluruh vaksin yang sedang diuji coba.
    “Semua hasil yang kami lihat sejauh ini didasarkan pada tiga atau empat bulan analisis tindak lanjut, yang berarti bahwa kami belum bisa mengatakan apapun tentang perlindungan jangka panjang (dari vaksin), atau tentang efek sampingnya,” kata Swaminathan. “Dalam kondisi yang lain, Anda tidak akan pernah menggunakan vaksin dalam waktu terbatas. Tapi, karena berada di tengah pandemi, kita harus menyeimbangkan antara risiko dan kebutuhan.”
    Menurut arsip berita Tempo, pada 21 Desember 2020, juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia juga telah membantah bahwa vaksin Sinovac memiliki kualitas paling lemah di antara kandidat vaksin lainnya. "Hingga saat ini, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respons imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah," ujarnya.
    Dia menambahkan, sampai saat ini, belum ada pengumuman tingkat efikasi vaksin Sinovac, baik dari pihak produsen maupun badan pengawas obat di negara tempat dilakukannya uji klinis. Selain itu, kata Lucia, informasi bahwa hanya Indonesia yang memesan vaksin Sinovac tidak tepat. "Sejumlah negara telah melakukan pemesanan vaksin Covid-19 dari Sinovac, seperti Brasil, Turki, Chili, Singapura, dan Filipina. Bahkan, Mesir juga sedang bernegosiasi untuk bisa memproduksi vaksin Sinovac di negaranya," ujar dia.
    Efikasi vaksin Covid-19
    Tempo merangkum beberapa pemberitaan media mengenai efikasi vaksin Covid-19 yang diuji coba di sejumlah negara. Efikasi vaksin adalah kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang mendapatkan vaksinasi.
    Dikutip dari Aljazeera, hasil terbaru dari uji coba vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca dan University of Oxford menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan sekitar 70 persen efektif, walaupun tetap muncul pertanyaan tentang seberapa baik vaksin itu dapat membantu melindungi mereka yang berusia di atas 55 tahun.
    Vaksin lainnya, vaksin Pfizer, menunjukkan kemanjuran 95 persen dalam mencegah infeksi Covid-19 yang bergejala, diukur sejak tujuh hari setelah dosis kedua diberikan. Vaksin terlihat kurang lebih sama protektifnya di seluruh kelompok usia serta kelompok ras dan etnis.
    Untuk vaksin Moderna, dilansir dari Stat News, diklaim 94,1 persen efektif mencegah gejala Covid-19, diukur sejak 14 hari setelah dosis kedua diberikan. Kemanjuran vaksin kemungkinan sedikit lebih rendah pada orang berusia 65 tahun ke atas. Namun, saat presentasi di depan komite penasihat Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), perusahaan menjelaskan bahwa angka tersebut dapat dipengaruhi oleh fakta bahwa muncul beberapa kasus pada kelompok usia tersebut dalam uji coba. Di sisi lain, vaksin ini kemungkinan sama efektifnya di berbagai kelompok etnis dan ras.
    Sementara vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac, dikutip dari Straits Times, ditemukan lebih dari 50 persen efektif dalam uji klinis Brasil, meskipun para peneliti menunda merilis lebih banyak informasi terkait itu atas permintaan perusahaan. Tingkat kemanjuran 50 persen adalah standar minimum yang ditetapkan oleh regulator AS untuk otorisasi darurat vaksin Covid.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa WHO membandingkan efektivitas 10 vaksin Covid-19 dan menyebut vaksin Sinovac yang terendah, keliru. Informasi itu disebut berasal dari Aljazeera. Namun, berdasarkan penelusuran, Aljazeera tidak pernah mempublikasikan berita yang mengutip perbandingan efektifitas 10 vaksin Covid-19 oleh WHO.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8435) Sesat, Klaim Ini Video Eksekusi Mati Para Koruptor di Cina

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/12/2020

    Berita


    Sebuah video yang diklaim sebagai video eksekusi mati para koruptor di Cina beredar di media sosial. Video tersebut memperlihatkan sejumlah orang yang sedang digiring oleh polisi berseragam hitam dari dalam sebuah bangunan ke lokasi eksekusi di sebuah halaman. Selanjutnya, setelah terdengar suara aba-aba, para polisi menembak orang-orang itu.
    Dalam video ini, terdapat pula tulisan yang berbunyi: "Ini lah para koruptor2 di CINA. Tembak MATI koruptor di CINA. Kapan indonesia juga begini. Semua koruptor tembak mati. Agar ada efek jera pd yg lain. Koruptor harus di bunuh. Jangan di hukum. KORUPTOR TEMBAK MATI. INDONESIA KAPAN? Korupror makan uang rakyat. KORUPTOR GAK PUNYA MALU."
    Di Facebook, video berdurasi 1 menit 12 detik tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Rudi Hartono, tepatnya pada 27 Desember 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari 300 reaksi dan 90 komentar serta dibagikan sebanyak 379 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Rudi Hartono yang memuat video dengan narasi yang keliru.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video di atas menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image tool Source, Yandex, dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa orang-orang yang dieksekusi mati dalam video tersebut bukanlah terpidana korupsi.
    Video yang identik dengan durasi yang lebih panjang dan kualitas gambar yang lebih baik pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Malaikat Maut pada 12 Mei 2020. Video itu diberi judul dalam bahasa Cina dan Inggris yang jika diterjemahkan berarti "Tempat eksekusi Cina Hukuman mati dan eksekusi penembakan Cina pada 2005".
    Video tersebut juga pernah diunggah oleh kanal Hello Telegram pada 12 Juni 2020 dengan judul berbahasa Inggris dan Cina yang jika diterjemahkan berarti “Di dalam arena tembak Cina (bocor 2005) | hukuman mati di CN | Cina 2005 Sebuah film dokumenter tentang terpidana mati yang direkam pada 2005 baru-baru ini beredar”.
    Gambar tangkapan layar salah satu cuplikan dalam video itu pun pernah dimuat oleh situs media Jepang, Tocana, pada 18 Juni 2020. Menurut situs ini, video tersebut diambil di Cina pada 2005. Video ini merupakan film dokumenter tentang seorang perempuan yang membunuh suaminya, yang dijatuhi hukuman mati dengan ditembak.
    Berita tentang video ini juga pernah dimuat oleh situs media Taiwan, Liberty Times, pada 12 Juni 2020. Menurut laporan Liberty Times, video itu memperlihatkan perempuan Cina yang merupakan seorang terpidana mati yang menerima wawancara eksklusif sebelum dieksekusi. Dia dijatuhi hukuman mati oleh hakim karena membunuh suaminya.
    Setelah berbicara ke kamera, perempuan itu dibawa petugas untuk mengkonfirmasi kejahatannya dan memeriksa apakah hukumannya telah sesuai dengan prosedur hukum Cina. Setelah memastikan bahwa itu benar, dia menandatangani dokumen, dan petugas membawa perempuan tersebut untuk diikat bersama narapidana mati lainnya.
    Namun, di depan kamera, perempuan itu meyakini bahwa dia tidak bisa dieksekusi karena kejahatannya. "Tapi saya telah mencapai titik ini. Apa gunanya mengatakan sesuatu?" ujarnya. Ia juga mengaku tidak menyesali perbuatannya. "Ingin mendengar kebenaran? Cina bukanlah negara yang diatur oleh hukum, tapi negara yang diatur oleh manusia!"
    Hukuman bagi koruptor di Cina
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 13 Desember 2019, terdapat beberapa negara yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor atau kasus penyuapan lain. Dilansir dari Rappler, yang mengutip laporan Death Penalty Database of the Cornell Center on Death Penalty Worldwide, beberapa negara yang menerapkan hukuman tersebut adalah Cina, Korea Utara, Irak, Iran, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, Maroko, dan Indonesia.
    Cina masuk dalam daftar tiga negara teratas yang telah melakukan eksekusi pada 2015, bersama Iran dan Pakistan. Namun, eksekusi itu dianggap sangat rahasia, sehingga sulit untuk menghitung jumlahnya. Tahanan dilaporkan tidak akan menunggu lama untuk menjalani hukuman mati, dieksekusi segera atau diberi waktu dua tahun penjara sebelum dieksekusi.
    Pemerintah Cina mengeksekusi mereka karena tindakannya merupakan kejahatan ekonomi dan politik. Pada 2011, Cina menjatuhkan hukuman mati kepada Xu Maiyong, mantan Wakil Wali Kota Hangzhou, dan Jiang Renjie, mantan Wakil Wali Kota Suzhou. Para pejabat itu dinyatakan bersalah melakukan suap sebesar US$ 50 juta atau Rp 700 miliar.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video eksekusi mati para koruptor di Cina, menyesatkan. Video tersebut merupakan video yang menyorot seorang perempuan Cina yang menjadi terpidana mati karena membunuh suaminya. Ia dieksekusi mati bersama tujuh narapidana lainnya.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8434) Sesat, Klaim Ini Foto Tentara Jerman-Inggris yang Main Bola Bersama saat Gencatan Senjata Natal 1914

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/12/2020

    Berita


    Foto hitam-putih yang memperlihatkan sejumlah pria berseragam sedang bermain bola beredar di Facebook. Foto itu diklaim sebagai foto tentara Jerman dan Inggris yang bermain bola bersama saat kedua negara yang sedang berperang tersebut melakukan gencatan senjata, tepatnya pada hari Natal 25 Desember 1914 di Ypres dan Comines-Warneton, Belgia.
    Salah satu akun yang membagikan foto beserta klaim tersebut adalah akun Ustadi Ahmad, tepatnya pada 27 Desember 2020. Berikut narasi yang ditulis oleh akun tersebut:
    “25 Desember 1914 - Tentara Jerman dan Inggris yang sedang berperang melanggar komando atasan, mereka melakukan gencatan senjata selama sehari dan justru main bola bareng saat Natal. Gencatan senjata Natal atau Christmas Truce, begitulah orang-orang Eropa Barat mengenang momen 25 Desember 1914. Berdasarkan semangat perang, gencatan senjata saat itu tidak resmi dan melanggar komando. Namun toh kemanusiaan yang menang, meski sementara waktu. Dalam pertandingan sepakbola itu, Jerman menang atas Inggris dengan skor 3-2. Menurut situs UEFA, lokasi pertandingannya ada di Ypres dan Comines-Warneton, Belgia.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ustadi Ahmad yang memuat klaim menyesatkan terkait foto yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri sumber foto tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa sejumlah pria berseragam yang bermain bola dalam foto itu merupakan para aktor yang memerankan kembali adegan bermain sepak bola saat Christmas Truce atau gencatan senjata Natal.
    Foto yang sebenarnya berwarna itu, bukan hitam-putih, diabadikan oleh fotografer kantor berita Associated Press (AP), Virginia Mayo. Foto itu pernah dimuat oleh situs media News.com.au pada 24 Desember 2014 dengan keterangan: "Para aktor memerankan kembali pertandingan sepak bola saat gencatan senjata Natal, sebuah peristiwa yang menurut sejarawan kemungkinan besar tidak terjadi."
    Foto yang sama juga pernah dimuat situs pemeriksa fakta Hoaxeye.com pada 26 Desember 2016. Menurut situs ini, narasi yang menyertai foto itu, bahwa “Tentara Inggris dan Jerman dalam Perang Dunia I mengumumkan gencatan senjata informal dan memainkan pertandingan sepak bola di antara parit, Natal 1914", tidak benar.
    Kontroversi sepak bola saat Christmas Truce
    Dilansir dari situs resmi Imperial War Museums (IWM), Christmas Truce atau gencatan senjata Natal merupakan salah satu peristiwa paling terkenal dari Perang Dunia I. Menjelang malam Natal 1914, tentara Inggris mendengar pasukan Jerman di parit seberang mereka menyanyikan lagu-lagu pujian dan lagu-lagu patriotik serta melihat lentera dan pohon cemara kecil di sepanjang parit pasukan Jerman. Pesan pun diteriakkan di antara parit.
    Keesokan harinya, tentara Inggris dan Jerman bertemu di tanah tak bertuan atauno man's landserta bertukar hadiah, mengambil foto, dan beberapa di antaranya bermain sepak bola dadakan. Mereka juga mengubur korban jiwa serta memperbaiki parit dan galian.
    Beberapa pihak meragukan terjadinya pertandingan sepak bola dalam peristiwa Christmas Truce atau gencatan senjata Natal pada 1914 tersebut. Namun, beberapa saksi menyatakan bahwa permainan sepak bola antara tentara Inggris dan Jerman dalam peristiwa itu memang terjadi.
    Menurut laporan News.com.au, Peter Stanley, profesor dari University of New South Wales Canberra, Australia, menganggap bahwa para tentara itu memang melakukannya, tapi kemungkinan hanya di antara mereka sendiri dan di belakang garis mereka sendiri. Hal itu pun, menurut Stanley, jelas tidak seperti yang sering didokumentasikan sebagai pertandingan penuh antar pasukan dengan kerumunan yang bersorak-sorai di hamparanno man's land.
    Stanley mengatakan para tentara itu tidak mungkin memiliki bola sepak. Selain itu, alasan utama pertandingan sepak bola tersebut tampak meragukan adalah karena bukti sejarahnya sangat samar. "Koran pada hari itu memiliki gambar gencatan senjata, dengan banyak foto pria yang merokok, tapi tidak ada foto pertandingan sepak bola," ujar Stanley.
    Dilansir dari Kompas.com, beberapa sumber menyatakan bahwa permainan sepak bola itu terjadi di garis perbatasan Belgia. Seorang prajurit berusia 19 tahun di Batalion Cheshire ke-6, Ernie Williams, yang ditempatkan di dekat Belgia, menggambarkan bagaimana sepak bola menyatukan kedua pihak. Williams juga menceritakan kisahnya yang direkam pada 1983.
    Menurut Williams, bola muncul dari suatu tempat. Tak ada yang tahu dari mana asalnya bola itu. Namun, kedua belah pihak berkumpul dan saling memberikan umpan untuk bermain sepak bola. Semua orang tampaknya menikmati permainan sepak bola itu.
    Dalam jurnal yang ditulis oleh Letnan Charles Brockbank yang merupakan anggota Batalion Cheshire ke-6, permainan berlangsung tidak lama setelah Jerman berteriak dan keluar dari parit. Kerumunan besar pun terbentuk. Salah satu dari kedua belah pihak kemudian menemukan bola karet kecil dan pertandingan sepak bola menyatukan mereka, meskipun itu hanya berlangsung satu jam dan dan tidak memakai wasit.
    Dikutip dari Historia.id, wilayah Ypres di Belgia adalah medan pertempuran paling intens antara Jerman dan Sekutu yang dipimpin Inggris dan Prancis pada awal Perang Dunia I. Serangkaian pertempuran yang terjadi pada 19 Oktober–22 November 1914 memakan puluhan ribu korban tewas, diikuti perang parit yang statis.
    Peperangan berhenti pada malam Natal, 24 Desember. Prajurit Jerman dan Inggris mendekorasi parit masing-masing dengan pohon Natal dan menyanyikan lagu-lagu Natal. Suasana jadi bersahabat ketika mereka bertemu di tanah tak bertuan atau no man’s land, lahan kosong yang memisahkan parit kedua belah pihak. Mereka bertegur sapa, bertukar hadiah dan kebahagiaan Natal.
    Di beberapa wilayah, gencatan senjata digunakan para prajurit untuk bertanding sepak bola. Seperti disaksikan Letnan Kurt Zehmisch dari Resimen Saxony ke-134. “Prajurit-prajurit Inggris membawa bola sepak dari parit mereka, dan tak lama pertandingan seru terjadi. Pemandangan ini sangat menakjubkan, juga aneh. Para opsir Inggris merasakan hal yang sama tentang ini. Natal, momen perayaan rasa cinta dan kasih sayang, mampu membuat musuh bebuyutan menjadi kawan untuk sementara,” katanya dalam catatan harian yang dipublikasikan pada 1999.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas adalah foto tentara Jerman dan Inggris yang bermain bola bersama saat gencatan senjata pada hari Natal 25 Desember 1914, menyesatkan. Foto itu hanyalah foto para aktor yang memerankan kembali adegan bermain bola saat Christmas Truce atau gencatan senjata Natal. Benar atau tidaknya pertandingan sepak bola saat Christmas Truce 1914 itu sendiri masih menjadi perdebatan. Beberapa pihak meragukan, namun sejumlah saksi menyatakan bahwa permainan sepak bola itu benar-benar terjadi.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan