• (GFD-2024-22225) [SALAH] Raffi Ahmad Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan Pesawat di Bali

    Sumber: Youtube.com
    Tanggal publish: 28/08/2024

    Berita

    Aktor Sekaligus Model Yang dijuluki Sultan Andara Meninggal Akibat Kecelakaan Pesawat di Bali

    Hasil Cek Fakta

    Beredar unggahan di kanal Youtube Ega TV pada 18 Agustus 2024 yang menyatakan bahwa Raffi Ahmad meninggal dunia mengalami kecelakaan pesawat di Bali.

    Dilansir dari akun instagram @infobali.viral, gambar helicopter tersebut telah disunting dibalik ke kiri dan ke kanan. Faktanya tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan tersebut. Helicopter tersebut hanya membawa 3 orang penumpang WNA asal Australia dan 2 awak heli (cnnindonesia.com).

    Setelah dilakukan penelusuran, ternyata informasi tersebut tidaklah benar.Tidak ada bukti valid terkait hal tersebut. Lebih lanjut, dilihat dari Instagram pribadinya @raffinagita1717, Raffi Ahmad saat ini masih mengunggah aktivitas sehari-hari dan terlihat sehat. Dengan demikian, berita yang menyatakan Raffi Ahmad meninggal akibat kecelakaan pesawat merupakan informasi yang salah.

    Kesimpulan

    Informasi tersebut tidaklah benar. Hingga saat ini (27/8/2024) melalui akun Instagram pribadinya, Raffi Ahmad masih mengunggah aktivitas sehari-harinya.

    Rujukan

  • (GFD-2024-22224) [SALAH] Video Tsunami Jepang Agustus 2024

    Sumber: Facebook.com
    Tanggal publish: 28/08/2024

    Berita

    Tsunami jepang Agustus 202

    Hasil Cek Fakta

    Beredar video di media sosial Facebook membagikan video dengan klaim Jepang diterjang tsunami besar pada Agustus 2024. Video tersebut menampilkan gelombang besar menerjang sejumlah kendaraan. Terdengar juga suara sirine peringatan tsunami.

    Namun, setelah ditelusuri menggunakan Google Lens, ditemukan video serupa di kanal Youtube TBS NEWS DIG Powered by JNN. Video tersebut menampilkan momen ketika tsunami besar menerjang pesisir Kota Miyako, Prefektur Iwate pada 2011.

    Dari temuan tersebut dapat disimpulkan jika Jepang diterjang tsunami pada Agustus 2024 adalah tidak benar. Video tersebut merupakan tsunami di Jepang pada tahun 2011.

    Kesimpulan

    Klaim yang mengatakan Jepang diterjang tsunami pada Agustus 2024l adalah salah. Video tersebut merupakan tsunami Jepang pada 2011.

    Rujukan

  • (GFD-2024-22223) Salah, WHO Meminta Persiapan Mega Lockdown Akibat Mpox

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/08/2024

    Berita

    tirto.id - Wabah Mpox menjadi perbincangan ramai di publik belakangan. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) menetapkan keadaan darurat terkait wabah Mpox pada pekan kedua Agustus 2024.

    Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, termasuk di Indonesia. Di media sosial, Mpox menjadi perbincangan hangat di antara beberapa akun lokal.

    Salah satunya adalah unggahan akun "Jefri Papahnya Aqiela" pada 18 Agustus 2024 lalu (arsip).

    "Tuh baca sendiri, bukan mega thrust yang akan terjadi yang akan menghancurkan dan memporak porandakan, tapi "MEGA LOCKDOWN"," begitu isi pesan unggahan tersebut.

    Konten tersebut juga menyertakan sebuah gambar tangkapan layar dari sebuah cuitan di X, yang menyoroti sebuah artikel berjudul "WHO Meminta Pemerintah untuk Bersiap terhadap 'Mega Lockdowns' Akibat Jenis 'Cacar Monyet Mematikan'," dalam Bahasa Inggris.

    Hingga Selasa (27/8/2024), unggahan tersebut telah mengumpulkan 67 impresi (likes dan emoticons), 11 komentar, dan telah dibagikan ulang sebanyak 17 kali.

    Kami juga menemukan unggahan yang mendukung narasi soal akan dilakukannya mega lockdown dari akun "Susan N"(arsip). Di sejumlah unggahan akun luar negeri, seperti akun X @AlertChannel dan akun "The Truth About Cancer", gambar yang serupa banyak digunakan untuk mendukung narasi akan terjadinya pembatasan sosial total dalam skala besar tersebut akibat wabah Mpox.

    Lalu bagaimana faktanya? Apakah benar WHO meminta persiapan mega lockdown akibat wabah Mpox?

    Hasil Cek Fakta

    Sebelum membahas tentang isu hoaks soal mega lockdown, perlu diketahui sekilas soal Mpox sejenak.

    Berdasar informasi dari artikel WHO, wabah Mpox sempat ditetapkan WHO sebagai Penyakit Darurat Kesehatan Global (PHEIC) pada tahun 2022 lalu. Seiring dengan melandainya kasus, pada Mei 2023, status tersebut dicabut.

    Pada 14 Agustus 2024, status PHEIC kembali diumumkan terkait Mpox, setelah terjadi peningkatan kasus dan kematian akibat mpox di negara-negara Afrika. Peningkatan kasus dan kematian baru-baru ini disebabkan oleh virus Mpox klad 1b. WHO melaporkan peningkatan kasus akibat klad 1b terjadi di Kongo dan negara Afrika lainnya. Hingga awal Agustus 2024, kasus Mpox sudah tercatat lebih dari 15.600 kasus dan menyebabkan 537 kematian.

    Penyakit Mpox sebelumnya dinamakan cacar monyet. Belakangan, nama itu dihapus WHO karena terkesan rasis dan berbau stigma, sehingga resmi diganti menjadi Mpox pada tahun 2022 lalu.

    Kembali ke klaim soal mega lockdown akibat wabah Mpox yang beredar di media sosial. Kami mencoba mencari sumber informasi terkait artikel dalam tangkapan layar tersebut. Namun, penulisan judul artikel di mesin pencarian tidak mengarahkan ke artikel yang dimaksud.

    Hasil pencarian justru mengarahkan ke artikel informasi resmi dari WHO soal peningkatan kasus Mpox di Kongo dan negara-negara Afrika, yang mendorong organisasi tersebut untuk menetapkan status penyakit darurat kesehatan global.

    Dalam artikel tersebut, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan, koordinasi respon internasional perlu dilakukan untuk menghentikan penyebaran wabah dan menyelamatkan banyak nyawa.

    Pekan sebelumnya, Ghebreyesus sudah memproses penggunaan darurat vaksin Mpox. Proses ini akan mempercepat akses vaksin ke negeri-negeri berpendapatan rendah dan memberi kesempatan bagi rekanan WHO untuk membantu distribusi vaksin.

    Namun, di artikel tersebut, tidak ada informasi apapun mengenai permintaan WHO ke negara-negara untuk melakukan mega lockdown.

    Mengutip USA Today, menurut Juru Bicara WHO, Tarik Jasarevic, organisasi tempatnya bernaung itu tidak meminta persiapan untuk lockdown.

    "WHO tidak bisa dan tidak memerintahkan pemerintah (negara-negara) untuk mempersiapkan 'mega lockdown' atau lockdown apapun terkait Mpox," terangnya dalam keterangan tertulis.

    Kami kemudian mencoba mencari artikel soal mega lockdown ke situs The People's Voice. Nama situs tersebut terpapar di dalam tangkapan gambar.

    Kami menemukan artikel tersebut dengan judul, tanggal publikasi, dan nama penulis yang sama. Sehingga tidak ada modifikasi dari konten tersebut.

    Namun, kami menemukan informasi kalau situs tersebut punya reputasi buruk sebagai penyebar disinformasi.

    "The People's Voice, sebelumnya dikenal sebagai NewsPunch adalah sebuah situs disinformasi yang pro-Kremlin," begitu rangkuman informasi dari Conspiracy Watch. Disebutkan juga kalau situs ini sempat menyandang nama "YourNewsWire".

    Poynter, sebuah lembaga non-profit yang berfokus dengan mis/disinformasi, juga memberi label "salah satu halaman misinformasi paling populer" kepada situs tersebut.

    Kesimpulan

    Hasil pemeriksaan fakta menunjukkan, klaim bahwa WHO meminta negara-negara mempersiapkan mega lockdown akibat wabah Mpox bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).

    Informasi tersebut bersumber dari sebuah situs dengan reputasi buruk sebagai penyebar disinformasi. Pada 14 Agustus 2024, WHO memang kembali memberi status PHEIC bagi wabah Mpox, namun tidak ada himbauan untuk melakukan lockdown dalam bentuk apapun.

    Rujukan

  • (GFD-2024-22222) [KLARIFIKASI] Tidak Benar Mahasiswa Bisa Minta Didampingi TNI Saat Demo

    Sumber:
    Tanggal publish: 27/08/2024

    Berita

    KOMPAS.com - Beredar narasi bahwa mahasiswa dapat meminta pengawalan TNI ketika berunjuk rasa.

    Narasi tersebut mencantumkan nama Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi.

    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi tersebut perlu diluruskan.

    Narasi soal mahasiswa dapat meminta pengawalan TNI saat unjuk rasa dibagikan oleh akun Facebook ini, ini, ini, pada 23 Agustus 2024.

    Berikut narasi yang dibagikan:

    *KAPUSPEN MABES TNI MAYJEN SISRIADI*SALAM KOMANDO !!!!!

    MAHASISWA bisa minta BANTUAN ke KODAM jika ingin di dampingi saat gelar UNJUK RASA. Kewenangan itu sudah bukan lagi milik PANGLIMA TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

    KAMI DILATIH .... Untuk BERPERANG Untuk melumpuhkan LAWAN Untuk membunuh LAWAN tapi Kami punya hati nuraniKami TIDAK DILATIH ..... Untuk membunuh RAKYAT Untuk membunuh MAHASISWA

    KAMI ADA karena Kami menjaga RAKYAT Kami menjaga NKRI TNI adalah anak kandung RAKYAT RAKYAT adalah Ibu Kandung TNI

    BRAVO TNI

    Hasil Cek Fakta

    Setelah ditelusuri, narasi itu merupakan penafsiran keliru dari pernyataan Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi dalam pemberitaan CNN Indonesia, pada 26 September 2019.

    Dalam pemberitaan tersebut, Sisriadi menanggapi aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa di dekat Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

    Para mahasiswa meminta bertemu Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menyampaikan permintaan agar TNI mengawal mahasiswa saat demonstrasi di Gedung DPR/MPR.

    Menanggapi permintaan tersebut, Sisriadi mengatakan, Panglima TNI tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pengawalan demonstrasi.

    Pengawalan demonstrasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1989 adalah kewenangan Polri. TNI bisa ikut membantu apabila dibutuhkan Kepolisian.

    Tugas pengawalan tersebut akan diserahkan ke Komando Daerah Militer (Kodam) di daerah yang bersangkutan, bukan Mabes TNI.

    "TNI membantu polisi jika memang tenaga polisi tidak cukup. Prosedurnya begitu. Dan itu sudah pada level di lapangan, dan bukan pada Panglima TNI lagi," kata Sisriadi.

    Kesimpulan

    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi bahwa mahasiswa dapat meminta pengawalan TNI saat unjuk rasa perlu diluruskan.

    Narasi itu merupakan penafsiran keliru dari pernyataan Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi dalam pemberitaan CNN Indonesia, 26 September 2019.

    Dalam artikel itu, Sisriadi menanggapi permintaan mahasiswa agar TNI mengawal unjuk rasa di Gedung DPR/MPR pada 2019.

    Rujukan