• (GFD-2021-8532) Keliru, Tersangka Kasus KM 50 dari Laskar FPI Dihukum Gantung

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa tersangka kasus KM 50 dari Laskar FPI dijatuhi hukuman gantung beredar di Facebook. Kasus KM 50 yang dimaksud adalah kasus yang melibatkan enam anggota Laskar FPI (Front Pembela Islam) dan petugas kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 pada 7 Desember 2020.
    Belakangan, oleh polisi, enam anggota Laskar FPI itu dinyatakan sebagai tersangka kasus penyerangan polisi dalam insiden tersebut. Akun ini membagikan klaim tersebut pada 5 Maret 2021. Akun itu menulis, "Viral..... Tersangka penyerangan polisi di km 50 dijatuhi hukuman gantung."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait enam anggota Laskar FPI yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait dengan memasukkan kata kunci "tersangka kasus KM 50 dihukum gantung" ke mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan berita yang memuat informasi bahwa para anggota Laskar FPI yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi terkait insiden itu dihukum gantung.
    Pada 3 Maret 2021, seperti dilansir dari Detik.com, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memang menetapkan enam anggota Laskar FPI yang tewas dalam insiden di Tol Cikampek KM 50 tersebut sebagai tersangka. Keenamnya diduga melakukan kekerasan. Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, enam anggota Laskar FPI itu tetap bisa dinyatakan sebagai tersangka meskipun sudah meninggal.
    Namun, sehari setelahnya, pada 4 Maret 2021, Bareskrim resmi menghentikan penyidikan kasus penyerangan polisi terhadap enam anggota Laskar FPI yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu. Dengan demikian, seluruh penyidikan perkara dan status tersangka pada enam anggota Laskar FPI tersebut sudah tidak berlaku di mata hukum.
    Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan penghentian penyidikan kasus ini mengacu pada Pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena tersangka sudah meninggal. "Kasus penyerangan di Tol Jakarta-Cikampek dihentikan. Dengan begitu, penyidikan serta status tersangka sudah gugur," ujar Argo.
    Kasus penembakan Laskar FPI
    Pada 8 Januari 2021, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memaparkan hasil akhir investigasinya terkait insiden tewasnya enam anggota Laskar FPI di Tol Cikampek KM 50. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan dua mobil Laskar FPI sebenarnya bisa kabur dari pengintaian polisi sebelum terjadinya insiden di Tol Cikampek KM 50. Dua mobil itu sempat berkejaran dengan polisi yang membuntuti rombongan pimpinan FPI Rizieq Shihab.
    "Kedua mobil FPI tersebut berhasil membuat jarak dan memiliki kesempatan untuk kabur dan menjauh, namun mengambil tindakan menunggu," kata Anam. Akibatnya, kedua mobil tersebut bertemu kembali dengan mobil petugas. Kemudian, terjadi kejar-mengejar, saling serempet dan seruduk, yang berujung saling serang dan kontak tembak antara mobil FPI dan mobil petugas. Insiden ini terjadi di Jalan Internasional Karawang Barat dan diduga hingga Tol Cikampek KM 49.
    Dari penelusuran, Komnas HAM menemukan beberapa barang bukti seperti selongsong peluru dan pecahan bagian mobil. Mereka lantas menggelar uji balistik. Dari temuan ini, Komnas HAM menyebut ada dua selongsong peluru yang diduga merupakan senjata rakitan milik anggota Laskar FPI. Selain itu, ada juga tiga selongsong peluru yang diduga milik polisi.
    Anam mengatakan empat dari enam anggota Laskar FPI masih hidup ketika berada di Tol Cikampek KM 50. Dua orang lainnya meninggal diduga karena luka tembak saat mobil mereka berkejaran dengan mobil polisi dan saling serang. Empat orang itu kemudian diturunkan dari mobil ke jalan. Mereka diduga mendapatkan kekerasan dari petugas. Penelurusan Komnas HAM juga menemukan bahwa petugas ditengarai mengambil CCTV dari sebuah warung dan menghapus jejak darah.
    Menindaklanjuti temuan Komnas HAM itu, kepolisian menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai terlapor terkait kasus unlawful killing terhadap empat anggota Laskar FPI tersebut. Pada 10 Maret 2021 besok, Bareskrim berencana menggelar gelar perkara soal penentuan status dalam kasus unlawful killing ini.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tersangka kasus KM 50 dari Laskar FPI dijatuhi hukuman gantung, keliru. Tidak ditemukan berita yang memuat informasi bahwa enam anggota Laskar FPI yang tewas dalam insiden di Tol Cikampek KM 50 dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dihukum gantung. Pada 3 Maret 2021, Bareskrim Polri memang menetapkan enam anggota Laskar FPI tersebut sebagai tersangka kasus penyerangan polisi. Namun, pada 4 Maret 2021, Bareskrim resmi menghentikan penyidikan kasus itu dengan alasan tersangka sudah meninggal. Dengan demikian, seluruh penyidikan perkara dan status tersangka pada enam anggota Laskar FPI tersebut sudah tidak berlaku.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8531) Sesat, Pria Oregon Ini Dipenjara Karena Kumpulkan Air Hujan untuk Kehidupan Sehari-hari

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 09/03/2021

    Berita


    Klaim bahwa seorang pria asal Oregon, Amerika Serikat, dipenjara dan didenda sebesar US$ 1.500 karena mengumpulkan air hujan untuk dipakai di kehidupan sehari-harinya beredar di Facebook pada 4 Maret 2021. Klaim itu terdapat dalam sebuah gambar yang juga berisi foto yang memperlihatkan seorang pria berusia lanjut yang sedang melambaikan tangannya sebelum memasuki sebuah ruangan.
    Teks yang tertulis dalam gambar itu adalah sebagai berikut: "Pria asal Oregon, AS ini dipenjara dan didenda $1500 karena mengumpulkan air hujan untuk dipakai di kehidupan sehari-harinya, alasan polisi menangkap dia adalah 'air hujan adalah properti milik negara'." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari seribu respons dan 117 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim menyesatkan terkait kasus yang menjerat seorang pria asal Oregon, Amerika Serikat, terkait pemanfaatan air.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan hasil verifikasi Tim CekFakta Tempo, peristiwa yang dijabarkan dalam unggahan tersebut merupakan peristiwa pada 2012. Pria itu menerima hukuman seperti yang telah disebutkan tidak hanya karena telah mengumpulkan air hujan, tapi juga membuat tiga waduk ilegal yang memblokir aliran air menuju sebuah sungai yang digunakan pemerintah untuk memasok air.
    Untuk memeriksa klaim itu, Tempo menelusuri berita terkait dari sejumlah media asing. Dikutip dari berita CNS News pada 26 Juli 2012, pria yang bernama Gary Harrington, yang berasal dari Eagle Point, Ore, dijatuhi hukuman 30 hari penjara dan denda sebesar US$ 1.500 karena membangun "tiga waduk ilegal" di propertinya untuk menampung dan memanfaatkan air hujan dan limpasan salju.
    Kasus itu pertama kali mencuat pada 2002, ketika pengelola air negara bagian memberi tahu Harrington bahwa ada keluhan tentang tiga waduknya yang dibuat di atas tanah seluas lebih dari 170 hektare. Menurut undang-undang air Oregon, semua air dimiliki oleh publik. Karena itu, siapa pun yang ingin menyimpan air jenis apa pun di propertinya harus mendapat izin dari pengelola air.
    Awalnya, Departemen Sumber Daya Air negara bagian menyetujui izin yang sempat diajukan oleh Harrington pada 2003. Namun, izin tersebut kemudian dibatalkan oleh pengadilan negara bagian. Menurut Harrington, kasusnya berpusat pada undang-undang 1925 yang menyatakan Kota Medford memiliki hak eksklusif atas "semua sumber inti air" di Daerah Aliran Sungai (DAS) Big Butte Creek dan anak-anak sungainya.
    Harrington mengatakan undang-undang 1925 ini sama sekali tidak menyinggung pengumpulan air hujan atau pencairan salju. Dia pun menolak tuduhan yang dijatuhkan kepadanya tersebut. "Mereka mencoba untuk mengembangkan (kasusnya) dengan memasukkan masalah air hujan itu, dan mereka menggunakan saya sebagai kambing untuk melakukannya," ujar Harrington.
    Tom Paul, administrator Departemen Sumber Daya Air Oregon, menyatakan bahwa Harrington telah melanggar undang-undang penggunaan air negara bagian dengan mengalihkan air dari aliran yang mengalir ke Big Butte Creek. "Undang-undang yang sebenarnya dia langgar bukanlah ketentuan tahun 1925, tapi undang-undang yang menyatakan bahwa semua air di negara bagian Oregon adalah air publik."
    Menurut Paul, jika ingin menggunakan air itu, untuk mengalihkan atau menyimpannya, warga harus mendapatkan izin dari negara bagian Oregon sebelumnya. Namun, Paul juga mengakui bahwa ketentuan tahun 1925 diberlakukan karena Harrington membangun bendungan untuk memblokir anak sungai Big Butte Creek, yang digunakan Kota Medford untuk memasok air.
    Pada 2007, hakim Pengadilan Sirkuit Jackson County menolak izin Harrington dan menemukan bahwa dia telah "menarik air yang dipermasalahkan dari pengambilan selain untuk Kota Medford" secara ilegal. Menurut Paul, ketika itu, Harrington mengaku bersalah. Ia menerima konsekuensi untuk menjalani masa percobaan selama tiga tahun dan diperintahkan untuk membuka pintu air.
    Namun, tak beberapa lama setelah masa percobaannya berakhir, Harrington kembali menutup pintu air dan mengisi waduknya. "Jadi, ini telah berlangsung selama beberapa waktu, dan saya pikir pengadilan merasa bahwa Tuan Harrington tidak menerima pesan mereka. Jadi, saya pikir pengadilan ingin, rasanya perlu, memberikan hukuman yang lebih keras untuk menarik perhatiannya," ujar Paul.
    Dikutip dari AOL.com, Harrington telah mengumpulkan hampir 13 juta galon air di waduknya. Jumlah ini cukup untuk mengisi 20 kolam renang ukuran Olimpiade. Harrington pun dinyatakan bersalah karena telah melanggar undang-undang Oregon yang melarang pengumpulan air pribadi. Dia dijatuhi hukuman 30 hari penjara dan dikenai denda sebesar US$ 1.500.
    Departemen Sumber Daya Air Oregon mengatakan, meskipun memasang tong penampung air hujan di atap atau permukaan buatan lainnya adalah legal, waduk yang dibuat Harrington jauh melampaui itu dan membutuhkan izin. "Tuan Harrington telah mengoperasikan tiga waduk ini dengan pelanggaran mencolok terhadap hukum Oregon selama lebih dari satu dekade," kata Tom Paul.
    Organisasi pemeriksa fakta Amerika Serikat, Snopes, juga telah memverifikasi klaim serupa pada 13 April 2015. Siaran pers yang diterbitkan oleh Departemen Sumber Daya Air Oregon pada 29 Juli 2012 menyatakan "legal untuk mengumpulkan air hujan dari permukaan seperti atap atau terpal, (tapi) pemilik properti membutuhkan izin sebelum mengubah atau mengumpulkan aliran air".
    Kasus Harrington, menurut Snopes, jauh melebihi kumpulan sederhana air hujan. Harrington menyimpan dan menggunakan air secara ilegal dengan menempatkan bendungan yang melintasi saluran di propertinya dan mencegah aliran air keluar dari waduk tersebut. Hal ini dilakukan oleh Harrington tanpa izin hak atas air dari negara bagian Oregon.
    Ketinggian setiap bendungan berbeda-beda. Dua bendungan tingginya sekitar sepuluh kaki, dan yang ketiga tingginya sekitar 20 kaki. Jumlah air yang terkumpul di bendungan-bendungan ini sekitar 40 hektare kaki. Waduk buatan tersebut juga memiliki dermaga dan perahu, serta diisi dengan ikan trout dan bluegill untuk rekreasi memancing.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Gary Harrington, warga Oregon, Amerika Serikat, dipenjara dan didenda sebesar US$ 1.500 karena mengumpulkan air hujan untuk dipakai di kehidupan sehari-harinya, menyesatkan. Pria itu menerima hukuman tersebut tidak hanya karena telah mengumpulkan air hujan, tapi juga membuat tiga waduk ilegal yang memblokir aliran air menuju sebuah sungai yang digunakan pemerintah untuk memasok air. Jika ingin menggunakan air tersebut, warga harus mendapatkan izin sebelumnya.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8530) Keliru, Video yang Sebut Anies Korupsi Rp 100 Miliar dari Saham Miras DKI

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/03/2021

    Berita


    Video yang berisi klaim bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan korupsi Rp 100 miliar dari saham minuman keras (miras) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beredar di media sosial. Dalamthumbnail video itu, terdapat narasi "Terebongkarrrr..!! Korupsi 100 Miliar Miras DKI Ternyata Anis Baswedan Gunakan untuk Hal Ini".
    Selain itu, dalam thumbnail video tersebut, terdapat foto yang memperlihatkan Anies sedang memegang tumpukan uang. Di YouTube, video tersebut diunggah oleh kanal ini pada 4 Maret 2021 dengan judul,“Berita Terkini ~ Terbongkar, Gubenur korupsi Bisnis Haram.?”. Hingga artikel ini dimuat, video itu telah ditonton lebih dari 350 ribu kali dan disukai sebanyak 3.500 kali.
    Gambar tangkapan layar video di YouTube yang berisi klaim keliru terkait Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri foto Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sedang memegang tumpukan uang dalamthumbnail video tersebut denganreverse image toolSource dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu merupakan hasil suntingan. Pria dalam foto ini bukan Anies. Bagian wajah pria dalam foto tersebut ditempeli dengan foto wajah Anies.
    Foto aslinya pernah dimuat oleh situs media Bisnis.com dalam artikelnya pada 3 Desember 2020. Foto itu diberi keterangan sebagai berikut: “Petugas memasukan uang pecahan rupiah ke dalam mobil untuk didistribusikan dari Cash Center Mandiri, Jakarta, Senin (11/5/2020). - Antara Foto/Muhammad Adimaja.” Foto yang sama juga pernah dimuat oleh situs media Tirto.id dalam artikelnya pada 18 Juni 2020 dengan keterangan serupa.
    Tempo kemudian menonton secara keseluruhan video yang beredar tersebut. Namun, dalam video itu, tidak ditemukan penjelasan bahwa Anies melakukan korupsi Rp 100 miliar dari saham miras milik Pemprov DKI Jakarta. Video tersebut hanya berisi pembahasan soal polemik rencana Pemprov DKI menjual sahamnya di perusahaan bir PT Delta Djakarta. Pembahasan itu diambil dari beberapa artikel dari situs yang berbeda.
    Bagian awal video berisi narasi yang berasal dari artikel di situs opini Seword.com yang dimuat pada 4 Maret 2021. Setelah itu, narator membacakan kutipan dari dosen Universitas Indonesia Ade Armando yang pernah dimuat dalam artikel di situs Netralnews.com pada 3 Maret 2021. Lalu, narasi di bagian akhir bersumber dari artikel di situs Indonesiakininews.com yang dimuat pada 3 Maret 2021.
    Saham bir Pemprov DKI
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 4 Maret 2021, penjualan saham bir milik Pemprov DKI Jakarta di PT Delta hingga saat ini masih mandek. Padahal, penjualan saham bir tersebut adalah janji kampanye Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI 2017 lalu.
    Langkah Anies menjual saham di perusahaan pembuat merek bir Anker itu terantuk aturan yang mensyaratkan adanya persetujuan DPRD. Hingga kini, DPRD DKI belum menunjukkan lampu hijau penjualan saham bir tersebut. Untuk diketahui, saham milik Pemprov DKI di PT Delta sebesar 26,25 persen.
    "Saham Delta itu memang kami akan upayakan jual kembali," kata Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria di Balai Kota pada 1 Maret 2021. Hingga kini, restu dari DPRD DKI baru jelas diberikan oleh Fraksi PKS dan PAN. Kedua partai itu mendukung rencana Pemprov DKI menjual saham bir tersebut.
    Sementara tentangan justru datang dari Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi. Ia tegas mengatakan akan mempertahankan saham bir milik DKI di PT Delta. Politikus PDIP itu beralasan selama ini perusahaan tersebut menguntungkan DKI, dan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di Ibu Kota.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video yang berisi klaim bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan korupsi Rp 100 miliar dari saham miras milik Pemprov DKI itu keliru. Foto yang memperlihatkan Anies sedang memegang tumpukan uang dalam thumbnail video tersebut merupakan hasil suntingan. Selain itu, dalam video itu, tidak ditemukan penjelasan bahwa Anies melakukan korupsi Rp 100 miliar dari saham miras. Video tersebut hanya berisi pembahasan terkait polemik rencana Pemprov DKI menjual sahamnya di perusahaan bir PT Delta Djakarta.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8529) Keliru, Video Penganiayaan Bayi oleh Ibu Ini Terjadi di Bulukumba Sulsel

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 08/03/2021

    Berita


    Sebuah video yang memperlihatkan peristiwa penganiayaan terhadap seorang bayi beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Dalam video ini, terlihat bahwa penganiayaan anak itu dilakukan oleh seorang wanita. Peristiwa dalam video tersebut diklaim terjadi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
    Dalam video yang diambil di dalam sebuah rumah itu, terlihat bahwa bayi ini dipukuli oleh wanita berdaster kuning tersebut dengan sebuah tongkat kecil. Bayi itu pun diseret ke dalam sebuah kamar. Sejak awal video, terdengar bahwa bayi tersebut menangis begitu keras.
    "Ini kejadiannya desa tungondeng kabupaten Bulukumba, mungkin ada yg dekat dari daerah itu dan punya keluarga polisi atau TNI segera tangkap binatang yg satu ini...??" demikian narasi yang melengkapi video yang beredar sejak 7 Maret 2021 malam tersebut.
    Gambar tangkapan layar pesan berantai di WhatsApp yang berisi klaim keliru terkait video penganiayaan anak yang disebarkannya.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Kemudian, gambar-gambar ini ditelusuri denganreverse image tool Google. Hasilnya, ditemukan bahwa video itu telah beredar sejak awal Maret 2021 lalu. Namun, peristiwa kekerasan terhadap anak dalam video tersebut terjadi di Jaffna, Sri Lanka, bukan di Kabupaten  Bulukumba, Sulawesi Selatan.
    Gambar tangkapan layar video itu pernah diunggah salah satunya oleh situs media Sri Lanka, Newswire, pada 2 Maret 2021 dalam artikelnya yang berjudul "Seorang wanita ditangkap karena memukuli balita dengan tongkat di Jaffna". Menurut artikel ini, Otoritas Perlindungan Anak Nasional Sri Lanka (NCPA) menyatakan insiden itu terjadi di sebuah rumah di daerah Ariyalai, Jaffna.
    Investigasi diluncurkan setelah rekaman video penganiayaan anak itu viral di media sosial dan mendapatkan perhatian dari NCPA. Wanita tersebut dilaporkan telah ditangkap pada 2 Maret 2021, sementara anaknya yang menjadi korban berada di bawah perlindungan polisi. Hingga kini, kepolisian Ariyalai sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut atas insiden tersebut.
    Video itu juga pernah dimuat oleh situs media Sri Lanka Capital News pada 2 Maret 2021 dalam artikelnya yang berjudul "Seorang ibu ditangkap karena menganiaya bayi berusia 9 bulan di Jaffna". Menurut artikel ini, juru bicara kepolisian Wakil Inspektur Polisi Ajith Rohana menyatakan bahwa wanita tersebut berusia 24 tahun.
    Menurut investigasi, wanita itu baru saja kembali bersama anaknya tersebut dari Kuwait sebulan yang lalu. Beberapa tahun belakangan, wanita ini bekerja di sana. Polisi pun menyatakan si anak telah dibawa ke kantor polisi, dan wanita itu bakal dihukum. Dalam video Capital News, terlihat momen ketika wanita tersebut didatangi oleh polisi dan dibawa untuk proses penyelidikan.
    Video penganiayaan anak serta penangkapan wanita tersebut juga pernah diunggah oleh situs media Sri Lanka Daily Mirror di kanal YouTube resminya pada 2 Maret 2021. Dalam keterangannya, Daily Mirror menulis bahwa penganiayaan bayi oleh ibunya yang berusia 24 tahun ini terjadi di Velankanni Lane, Navalady, Ariyalai, Jaffna.
    Juru bicara kepolisian Ajith Rohana mengatakan, "Ada kecenderungan meningkatnya pelecehan dan kekerasan terhadap anak, dan diskriminasi terhadap mereka di masyarakat. Tindakan tegas akan diambil terhadap para pelaku, termasuk para orang tua jika mereka gagal memperlakukan anak-anak mereka dengan rasa kemanusiaan."
    Petugas NCPA Nallur pun mengatakan bahwa ibu bayi tersebut mengklaim diperlakukan dengan buruk oleh suaminya di Kuwait dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Sri Lanka. Bayi itu dipukuli menyusul pertengkaran sengit yang terjadi antara ibu tersebut dengan suaminya yang masih berada di Kuwait. Adapun video itu direkam oleh saudara laki-laki wanita tersebut.
    Dilansir dari Daily Mirror, Rohana menuturkan dakwaan dapat diajukan terhadap wanita itu atas upaya pembunuhan dan kekerasan terhadap anak berdasarkan Pasal 300, 308, dan 308A KUHP. Dia pun mengatakan pengadilan bisa menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara terhadap wanita itu jika terbukti bersalah. Sementara anak wanita tersebut akan ditempatkan di Child Care and Probation Service Sri Lanka.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa peristiwa penganiayaan anak yang dilakukan oleh seorang ibu dalam video di atas terjadi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, keliru. Peristiwa kekerasan terhadap seorang bayi itu terjadi di Jaffna, Sri Lanka. Polisi Jaffna telah menangkap ibu bayi tersebut. Sementara bayi itu berada di bawah lindungan polisi untuk mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan