• (GFD-2021-8566) Sesat, Klaim Indonesia Dapat Kuota Haji 2021 Sebanyak 64 Ribu Orang

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/03/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisi klaim bahwa Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 64 ribu orang untuk penyelenggaraan Haji 2021 beredar di Facebook. Pesan berantai itu diawali dengan kalimat "Breaking News: Penyelenggaraan Haji 1442 H". Menurut pesan berantai ini, setiap negara diberi kuota maksimal 30 persen dari kuota yang didapatkan dalam kondisi normal.
    "Diperkirakan setiap negara akan diberikan kuota maksimal 30 persen dari total kuotanya. InsyaAllah Indonesia akan menerima 64.000 kuota yang terdiri dari 60.000 kuota Haji Reguler dan 4.000 Kuota PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus)," demikian narasi dalam pesan berantai itu.
    Akun ini membagikan pesan berantai tersebut pada 29 Maret 2021. Pesan berantai itu disertai dengan sebuah poster yang berisi narasi serupa dengan yang tertulis dalam pesan berantai tersebut. Poster ini juga memuat informasi "Otoritas di Arab Saudi akan memastikan hotel manapun yang sudah disewa tahun lalu tetap dapat digunakan di musim Haji tahun 1442 H ini."
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim sesat terkait kuota Haji 2021 bagi Indonesia.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri informasi resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama maupun pemberitaan di media-media kredibel mengenai penyelenggaraan Haji 2021 beserta kuota bagi Indonesia. Hasilnya, ditemukan penjelasan di situs resmi Kemenag terkait pesan berantai itu.
    Menurut Konsul Haji Konsulat Jenderal RI atau KJRI Jeddah Endang Jumali, pesan berantai mengenai kuota haji reguler dan khusus, beserta kapasitas kamar dan masa tinggal di Madinah, untuk penyelenggaraan Haji 2021 tersebut bukanlah informasi resmi. Hingga kini, belum ada informasi resmi dari Kerajaan Arab Saudi mengenai penyelenggaraan Haji 2021 atau 1442 H.
    "Sampai saat ini, Arab Saudi belum mengumumkan kebijakannya terkait Haji 2021. Semua negara masih menunggu, termasuk soal kuota. Sampai saat ini, belum ada info resmi terkait kuota, reguler maupun khusus," kata Endang pada 29 Maret 2021.
    Endang menduga informasi yang beredar itu bersumber dari rumusan hasil pertemuan antara KJRI Jeddah dengan sekitar 50 calon penyedia layanan akomodasi di Mekah yang berlangsung pada 24-27 Maret 2021. Endang pun memastikan bahwa itu bukan informasi resmi atau bersifat kebijakan, melainkan sebatas rencana mitigasi.
    "Sebagai wakil pemerintah, Teknis Urusan Haji KJRI Jeddah juga mempersiapkan operasional haji. Salah satunya, kami melakukan komunikasi dan koordinasi dengan para calon penyedia layanan, baik di Mekah dan Madinah. Kegiatan tersebut tidak bersifat pengambilan kebijakan, melainkan bagian dari mitigasi terhadap berbagai kemungkinan yang harus dipersiapkan ketika ada kepastian penyelenggaraan haji dari Arab Saudi," katanya.
    Tujuan pertemuan itu, menurut Endang, adalah memastikan dan melakukan inventarisasi sejauh mana kesiapan para calon penyedia layanan, baik dari sisi administrasi dokumen, sumber daya manusia, maupun kemungkinan jika terdapat perubahan kebijakan mengenai protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19.
    Karena itu, disusunlah skenario penyelenggaraan dengan pengandaian pembatasan kuota haji dan penerapan protokol kesehatan. "Skenario ini dibahas bersama sebagai gambaran awal untuk menyusun langkah-langkah yang harus dipersiapkan," kata Endang. "Jadi, rumusan yang dihasilkan bersifat sementara, hanya sebagai rencana mitigasi," ujarnya.
    Endang menambahkan para calon penyedia akomodasi yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang sudah mencapai kata sepakat dalam proses negosiasi yang berlangsung pada 2020. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 494 Tahun 2020, semua layanan di Arab Saudi yang sudah sepakat dalam proses negosiasi pada 2020 akan digunakan pada 2021.
    "Dari pertemuan ini, seluruh calon penyedia akomodasi menyatakan kesiapannya jika ada kepastian haji. Dari calon penyedia yang hadir, hampir 80 persen sudah memperbarui tasreh (dokumen resmi) untuk penggunaan hotel pada 2021," ujar Endang.
    Penjelasan Endang tersebut juga dimuat oleh sejumlah media massa. Salah satunya adalah Tirto.id, yang memuat artikel mengenai hal tersebut pada 29 Maret 2021 dengan judul "KJRI: Belum Ada Informasi Resmi Haji 2021 dari Pemerintah Saudi".
    Sebelumnya, pada 18 Maret 2021, beredar pula klaim bahwa Raja Arab Saudi, Raja Salman, telah memastikan Haji 2021 berlangsung seperti biasa tanpa batasan. Klaim itu terdapat dalam sebuah pesan berantai yang mengutip sebuah artikel yang berjudul "Hajj 2021 To Take Place As Usual With No Limits, Saudi King Assures".
    Tim CekFakta Tempo telah memverifikasi klaim itu dan menyatakannya keliru. Artikel sumber menyebut bahwa informasi itu berasal dari Reuters. Namun, tidak ditemukan artikel yang berisi informasi semacam itu di Reuters. Demikian pula di situs media-media lain, tidak ditemukan artikel yang mengenai hal tersebut. Kemenag pun telah menyatakan informasi tersebut hoaks. Hingga kini, belum ada informasi resmi dari Kerajaan Arab Saudi terkait penyelenggaraan Haji 2021.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 64 ribu orang untuk penyelenggaraan Haji 2021, menyesatkan. Hingga kini, belum ada informasi resmi dari Kerajaan Arab Saudi mengenai penyelenggaraan Haji 2021 atau 1442 H, termasuk soal kuota haji bagi setiap negara. Klaim itu diduga bersumber dari pertemuan antara KJRI Jeddah dengan calon penyedia layanan akomodasi di Mekah beberapa waktu lalu. Namun, KJRI Jeddah memastikan bahwa itu sebatas rencana mitigasi, bukan informasi resmi atau bersifat kebijakan.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Catatan Redaksi: Artikel ini diubah pada 31 Maret 2021 pukul 13.55 WIB di bagian kesimpulan. Redaksi mohon maaf.
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8565) Keliru, Gambar Artikel yang Klaim Mahfud MD Ungkap Pelaku Bom Gereja Katedral Makassar adalah Polisi

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/03/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar artikel yang berjudul “ Mahfud MD : Pelaku Bom Gereja Katedral Makassar 3 Oknum Polisi suku Batak, hobi Mabuk Miras, beragama Protestan, yang sakit hati karena di pecat" beredar di Facebook. Artikel itu dimuat pada 28 Maret 2021 pukul 11.45.
    Artikel tersebut dilengkapi dengan foto Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Dalam gambar itu, terdapat pula logo situs media Kompas.com. Akun ini membagikan gambar tersebut pada 30 Maret 2021.
    Gambar tersebut beredar setelah terjadinya bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral di Jalan Kajaolalido, MH Thamrin, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada 28 Maret 2021 pukul 10.30 WITA. Menurut polisi, pelaku adalah pasangan suami-istri yang berinisial L dan YSF.
    Gambar tangkapan layar artikel hasil suntingan yang memuat klaim keliru terkait Menkopolhukam Mahfud MD dan pelaku aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, Kompas.com tidak pernah mempublikasikan berita dengan judul “Mahfud MD: Pelaku Bom Gereja Katedral Makassar 3 Oknum Polisi suku Batak, hobi Mabuk Miras, beragama Protestan, yang sakit hati karena di pecat” pada 28 Maret 2021.
    Fakta ini didapatkan setelah Tempo memeriksa indeks berita Kompas.com pada 28 Maret 2021. Dalam indeks tersebut, tidak ada berita yang diturunkan pada pukul 11.45 seperti yang terlihat dalam gambar tangkapan layar yang beredar.
    Berita Kompas.com yang tayang pada rentang pukul 11.41 hingga pukul 11.46 antara lain:
    Menkopolhukam Mahfud MD juga tidak pernah menyatakan bahwa pelaku bom Gereja Katedral Makassar adalah tiga polisi yang bersuku Batak, beragama Kristen Protestan, dan hobi mabuk miras yang sakit hati karena dipecat.
    Pada 28 Maret 2021, Kompas.com mempublikasikan beberapa pernyataan Mahfud MD, bahwa pemerintah akan mengejar jaringan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. Selain itu, Mahfud menyatakan bahwa jumlah korban yang terluka akibat aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar bertambah menjadi 20 orang.
    Tempo kemudian menelusuri foto Mahfud MD yang tercantum dalam gambar tangkapan layar yang beredar denganreverse image tool Google. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut adalah dokumentasi Kemenkopolhukam saat Mahfud MD memberikan pernyataan terkait situasi terkini pasca pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020. Foto yang identik pernah dimuat oleh sejumlah media. Namun, foto itu tidak ditemukan di Kompas.com.
    Pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Polri menyebut bahwa pelaku aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar adalah pasangan suami-istri. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan pelaku diduga merupakan bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Mereka ditengarai terhubung dengan kelompok Abu Sayyaf di Filipina bagian selatan.
    Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli juga mengatakan dua pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar terafiliasi dengan kelompok teroris di Filipina. Kedua pelaku bom Makassar ini merupakan anggota JAD.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, gambar tangkapan layar artikel yang berjudul "Mahfud MD: Pelaku Bom Gereja Katedral Makassar 3 Oknum Polisi suku Batak, hobi Mabuk Miras, beragama Protestan, yang sakit hati karena di pecat" tersebut keliru. Gambar itu merupakan hasil suntingan. Kompas.com tidak pernah mempublikasikan berita dengan judul tersebut, termasuk pada 28 Maret 2021. Menkopolhukam Mahfud MD pun tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti yang diklaim dalam judul itu.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8564) Keliru, Klaim Ini Foto Petugas yang Seret Rizieq Shihab saat Sidang dan Kini Sakit Parah

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/03/2021

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah video di YouTube yang memperlihatkan seorang pria berbaju dan berserban putih yang dibawa oleh seorang pria berkemeja kotak-kotak ke dalam sebuah ruangan beredar di Facebook. Video ini disebut sebagai video ketika seorang petugas sidang menyeret mantan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab ke dalam ruangan sidang.
    Dalam gambar tersebut, terdapat pula foto lain yang ditempelkan yang memperlihatkan seorang pria yang sedang terbaring. Pria ini disebut sebagai petugas sidang yang menyeret Rizieq, yang kini sakit parah. Adapun judul video tersebut adalah "Berita Terkini!!! - Dibayar Kontan | Petugas yang Menganiaya dan Menyeret HRS Langsung Sakit Parah".
    Akun ini mengunggah gambar tangkapan layar itu pada 22 Maret 2021. Akun tersebut pun menulis, "Semuga menyusul pada risem penhianat para ulamak kita." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 214 reaksi dan 140 komentar serta dibagikan sebanyak 223 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait foto yang diunggahnya seputar persidangan kasus Rizieq Shihab.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri sumber dari gambar tangkapan layar itu di YouTube. Hasilnya, ditemukan bahwa gambar tersebut berasal dari video yang diunggah oleh kanal YouTube Titik Tumpu pada 21 Maret 2021 dengan judul "Berita Terkini!!! - Dibayar Kontan | Petugas yang Menganiaya dan Menyeret HRS Langsung Sakit Parah".
    Tempo kemudian memfragmentasi video itu menjadi sejumlah gambar dengan toolInVid. Gambar-gambar tersebut pun ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image tool Google. Hasilnya, ditemukan bahwa pria yang sedang terbaring dalam foto yang ditempelkan dalam gambar tangkapan layar video itu bukanlah petugas yang membawa pemimpin FPI Rizieq Shihab ke ruangan sidang.
    Pria tersebut merupakan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Medan Timur, Medan, Sumatera Utara, yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Surfina Ajis akibat kelelahan selama melaksanakan rekapitulasi suara dalam Pemilu 2019.
    Video yang menampilkan anggota KPPS Medan Timur yang sedang dirawat di rumah sakit itu pernah diunggah ke YouTube oleh kanal milik stasiun televisi iNews pada 26 April 2019 dengan judul “KPU Catat 225 Anggota KPPS Meninggal dan 1.470 Dirawat Akibat Kelelahan Pemilu - iNews Pagi 26/04”.
    Video yang sama juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Panwaslih Medan Timur pada 27 Desember 2019 dengan judul “Komisioner Panwaslih Medan Timur Jalani Rawat Inap”. Dalam video ini, dijelaskan bahwa, akibat kelelahan selama pelaksanaan rekapitulasi suara dalam Pemilu 2019, tiga anggota KPPS Medan Timur dirawat di RS Surfina Ajis. Anggota KPPS Medan Timur yang diklaim sebagai petugas sidang Rizieq Shihab itu bernama Soegeng Afriadi.
    Sementara cuplikan yang memperlihatkan Rizieq Shihab dibawa oleh seorang pria berkemeja kotak-kotak ke dalam sebuah ruangan pernah diunggah ke YouTube oleh kanal milik stasiun televisi Kompas TV pada 19 Maret 2021 dengan judul “Terdakwa Kasus Kerumunan Rizieq Shihab Tetap Tolak Sidang Online”. Dalam video ini, tidak terlihat bahwa Rizieq diseret oleh pria tersebut.
    Menurut keterangan Kompas TV, dalam sidang pada 19 Maret 2021, Rizieq menolak sidang tersebut digelar secara online. Ia meminta sidang digelar secara offline. Namun, hakim tetap menggelar sidang dengan agenda pembacaan dakwaan. Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa berulang kali memberi penjelasan soal pentingnya kehadiran Rizieq dalam sidang ini.
    Dalam sidang tersebut, jaksa mendakwa Rizieq bersama sejumlah terdakwa lainnya dalam kasus ini sengaja tidak mengindahkan perintah dan imbauan dari polisi serta Wali Kota Jakarta Pusat untuk tidak membuat kerumunanan saat menggelar acara pernikahan anaknya. Jaksa mengatakan pemberitahuan soal aturan larangan membuat kerumunan sudah disampaikan polisi dalam sejumlah kesempatan kepada Rizieq.
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 19 Maret 2021, Rizieq Shihab menolak sidang pembacaan dakwaan untuknya yang digelar secara virtual. Mantan pimpinan FPI itu ngotot hadir secara langsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, bukan mengikuti sidang telekonferensi dari Rumah Tahanan Mabes Polri. "Saya tidak rida dunia akhirat," kata Rizieq dalam siaran langsung sidang di YouTube Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
    Atas penolakan itu, majelis hakim yang dipimpin oleh Suparman Nyompa menjelaskan alasan sehubungan dengan kondisi pandemi Covid-19. Permintaan Rizieq untuk hadir langsung, kata hakim ketua Suparman, tidak bisa dipenuhi untuk menjaga protokol kesehatan pencegahan Covid-19. "Saya berharap Habib bisa mengikuti persidangan," katanya.
    Rizieq tetap menolak bujukan hakim Suparman. Menurut dia, sidang virtual hanya bisa dilakukan jika ada persetujuan dari terdakwa. Jaksa penuntut umum pun meminta hakim untuk melanjutkan sidang. Rizieq memilih keluar dari persidangan. "Kalau memang dipaksakan sidang online, silakan Yang Mulia melanjutkan sidang ini dengan jaksa tanpa kehadiran saya bersama pengacara. Saya ikhlas, saya rida, saya tunggu berapa pun vonisnya," katanya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pria dalam foto di atas adalah petugas yang menyeret mantan pemimpin FPI Rizieq Shihab saat sidang dan kini sakit parah, keliru. Pria yang terlihat sedang terbaring itu bernama Soegeng Afriadi, anggota KPPS Medan Timur, Medan, Sumatera Utara. Soegeng, bersama dua rekannya, dirawat di RS Surfina Ajis akibat kelelahan selama pelaksanaan rekapitulasi suara dalam Pemilu 2019.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8563) Keliru, Inggris Nyatakan Covid-19 Penyakit Menular Biasa karena Konspirasi dan Bisa Diobati Parasetamol

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/03/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisi klaim bahwa pemerintah Inggris mengubah klasifikasi Covid-19 dari penyakit menular parah menjadi penyakit menular biasa beredar di grup-grup percakapan Whatsapp sejak Minggu, 28 Maret 2021. Klaim itu dilengkapi dengan artikel dari situs resmi pemerintah Inggris terkait Covid-19.
    Menurut pesan tersebut, pemerintah Inggris menyatakan bahwa virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, adalah virus yang umum. Virus itu, menurut pesan ini, bisa dilawan dengan parasetamol. Pesan tersebut pun mengklaim bahwa perubahan itu dilakukan oleh pemerintah Inggris karena Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) secara resmi terlibat dalam konspirasi.
    "Organisasi Kesehatan Dunia mencapai kesimpulan akhir bahwa pembawa virus Covid-19 dianggap orang yang tidak menular kepada orang lain, kecuali dalam kasus gejala, yang terpenting adalah suhu! Oleh karena itu, tidak disarankan untuk memeriksa yang tidak terinfeksi atau menyimpannya untuk karantina," demikian narasi dalam pesan tersebut.
    Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di WhatsApp yang berisi klaim keliru terkait pemerintah Inggris dan Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, pemerintah Inggris memang mengeluarkan Covid-19 dari daftar penyakit menular dengan konsekuensi tinggi atauhigh consequence infectious diseases(HCID). Meskipun begitu, pandemi Covid-19 tetap dinyatakan sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang serius dan tidak bisa disembuhkan dengan parasetamol.
    Dalam artikel di situs resmi pemerintah Inggris yang tautannya tercantum dalam pesan berantai itu menjelaskan, awalnya, Covid-19 ditetapkan sebagai HCID pada Januari 2020. Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, saat itu, dalam tahap awal pandemi, informasi mengenai virus dan penyakit tersebut belum tersedia secara mencukupi.
    Di Inggris, HCID ditetapkan dengan sejumlah kriteria, yakni penyakit infeksi akut dengan tingkat fatalitas (keparahan) kasus yang tinggi, tidak memiliki pengobatan yang efektif, dan seringkali sulit untuk dikenali serta dideteksi dengan cepat. Kriteria lain adalah kemampuan untuk menyebar di komunitas dan, dalam pengaturan perawatan kesehatan, memerlukan respons individu, populasi, serta sistem yang mesti ditingkatkan untuk memastikan penyakit tersebut dikelola secara efektif, efisien, dan aman.
    Beberapa penyakit yang termasuk HCID dengan tingkat kematian yang sangat tinggi antara lain virus Ebola, Middle East Respiratory Syndrom (MERS), dan Severe Acute Respiratory Syndrome ( SARS ).
    Kebijakan pemerintah Inggris terkait Covid-19 diubah dengan mengeluarkannya dari daftar HCID pada 19 Maret 2020. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa lebih banyak hal yang telah diketahui tentang Covid-19. Badan kesehatan masyarakat di Inggris telah menemukan lebih banyak informasi yang tersedia tentang angka kematian, serta terdapat kesadaran klinis yang lebih besar dan tes laboratorium yang spesifik dan sensitif, yang ketersediaannya terus meningkat.
    Dalam artikel di situs resmi pemerintah Inggris tersebut, tidak terdapat penjelasan bahwa pencabutan Covid-19 dari daftar HCID dilakukan karena bisa dilawan dengan paracetamol. Tidak disebutkan pula bahwa WHO telah mengambil kesimpulan di mana pembawa virus Covid-19 dianggap sebagai orang yang tidak menularkan penyakti tersebut kepada orang lain.
    Dikutip dari BuzzFeed, Brendan Wren, profesor dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, menjelaskan virus Corona memang sangat mudah menular antar manusia, seperti yang ditunjukkan oleh kecepatan pandemi. Akan tetapi, Covid-19 bukanlah patogen paling mematikan.
    Menurut Wren, hanya 1 persen dari orang yang terkena Covid-19 meninggal karena infeksi tersebut. Angka ini lebih rendah dibandingkan tingkat kematian SARS sebesar 11 persen dan virus Ebola sebesar 50 persen. Karena itu, status Covid-19 diturunkan untuk tujuan penelitian ilmiah.
    Namun, Wren melanjutkan, "Penurunan tersebut tidak mengurangi keseriusan infeksi Covid-19." Dia mengatakan mudahnya penyebaran virus ini menandakan bahwa Covid-19 telah menginfeksi dan membunuh lebih banyak orang daripada SARS dan Ebola.
    Juru bicara pemerintah Inggris juga menjelaskan kepada BuzzFeed, “HCID adalah klasifikasi teknis tanpa implikasi terkini tentang bagaimana pemerintah menanggapi wabah virus Corona."
    Mereka melanjutkan, “Kami selalu mengatakan bahwa kami akan mengambil tindakan yang tepat pada waktu yang tepat, berdasarkan bukti ilmiah terbaru, untuk memperlambat penyebaran virus, melindungi orang yang rentan, mengurangi permintaan pada Layanan Kesehatan Nasional (NHS) kami dan menyelamatkan nyawa.”
    Inggris menjadi salah satu negara dengan kematian akibat Covid-19 tertinggi di dunia. Berdasarkan data Worldometer hingga 29 Maret 2021, kasus Covid-19 di sana telah mencapai 4.333.042 orang dengan kematian 126.592 orang. Jumlah ini menempatkan Inggris di posisi ke-6 sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak setelah Amerika Serikat, Brasil, India, Prancis, dan Rusia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pemerintah Inggris mengubah klasifikasi Covid-19 dari penyakit menular parah menjadi penyakit menular biasa karena hanya konspirasi dan bisa disembuhkan dengan parasetamol, keliru. Pemerintah Inggris memang mengeluarkan Covid-19 dari daftar penyakit menular dengan konsekuensi tinggi atauhigh consequence infectious diseases(HCID). Namun, kebijakan itu diambil karena telah semakin banyak informasi yang tersedia terkait Covid-19. Meskipun begitu, perubahan klasifikasi ini tidak memengaruhi keseriusan infeksi Covid-19.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan