Calon Presiden Anies Baswedan mengatakan Mega Suryani Dewi, seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) telah melaporkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya, namun tidak ditindaklanjuti hingga akhirnya terbunuh.
Hal itu dikatakan Anies pada debat perdana calon presiden 2024 akan diselenggarakan Selasa malam, 12 Desember 2023 di Kantor KPU, Jakarta.
“Kita menyaksikan pada saat ini, peristiwa seperti peristiwa Ibu Mega. Ibu Mega Suryani Dewi, seorang ibu rumah tangga yang mengalami kekerasan rumah tangga. Lapor pada negara.Tidak diperhatikan. Dan dia meninggal korban kekerasan,” Kata Anies.
(GFD-2023-14470) Benar, Klaim Anies Soal Laporan Kasus KDRT Mega Suryani Dewi Tidak Ditindaklanjuti Hingga Akhirnya Terbunuh
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/12/2023
Berita
Hasil Cek Fakta
Dikutip dari situs berita Suara.com, sebelum tewas, Mega Suryani diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak lama. Ia pun sempat melaporkan tindakan sang suami, Nando (25) ke pihak kepolisian.
Sayangnya, laporan KDRT yang dilakukan awal Agustus itu, tidak ditindaklanjuti oleh polisi. Padahal, ia turut membawa bukti. Pelaporan yang tidak diproses rupanya berujung pahit.
Dilansir Liputan6.com, Kapolsek Cikarang Barat AKP mengatakan bahwa pelaku mengaku sakit hati lantaran korban sering memakinya saat cekcok lantaran kebutuhan ekonomi. "Motifnya sakit hati karena korban sering memaki tersangka disebabkan kebutuhan ekonomi," kata Rusnawati saat konferensi pers, Senin, 11 September 2023.
Menurut Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar, kekerasan seksual menjadi salah satu kasus yang rentan tidak mendapatkan penyelesaian.
Mengacu pada data INFID & IJRS (2020), sebesar 57.3% dari 1586 responden tidak melapor kasus Kekerasan Seksual yang dialaminya, karena mayoritas dari mereka mengalami ketakutan. Responden juga menyatakan tidak mendapatkan penyelesaian atas kasusnya.
Lentera Sintas Indonesia (2015) menyebutkan 93 persen penyintas perkosaan tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum.
“Temuan-temuan ini menunjukkan, bahwa masyarakat masih ketakutan untuk melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Keengganan korban untuk melapor disebabkan oleh stigma negatif dan perilaku yang menyalahkan korban. Alasan lain adalah munculnya ketidakpercayaan terhadap aparat hukum dalam menangani pelaku sekaligus pemulihan psikologis korban,” jelas Dio.
Sayangnya, laporan KDRT yang dilakukan awal Agustus itu, tidak ditindaklanjuti oleh polisi. Padahal, ia turut membawa bukti. Pelaporan yang tidak diproses rupanya berujung pahit.
Dilansir Liputan6.com, Kapolsek Cikarang Barat AKP mengatakan bahwa pelaku mengaku sakit hati lantaran korban sering memakinya saat cekcok lantaran kebutuhan ekonomi. "Motifnya sakit hati karena korban sering memaki tersangka disebabkan kebutuhan ekonomi," kata Rusnawati saat konferensi pers, Senin, 11 September 2023.
Menurut Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar, kekerasan seksual menjadi salah satu kasus yang rentan tidak mendapatkan penyelesaian.
Mengacu pada data INFID & IJRS (2020), sebesar 57.3% dari 1586 responden tidak melapor kasus Kekerasan Seksual yang dialaminya, karena mayoritas dari mereka mengalami ketakutan. Responden juga menyatakan tidak mendapatkan penyelesaian atas kasusnya.
Lentera Sintas Indonesia (2015) menyebutkan 93 persen penyintas perkosaan tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum.
“Temuan-temuan ini menunjukkan, bahwa masyarakat masih ketakutan untuk melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Keengganan korban untuk melapor disebabkan oleh stigma negatif dan perilaku yang menyalahkan korban. Alasan lain adalah munculnya ketidakpercayaan terhadap aparat hukum dalam menangani pelaku sekaligus pemulihan psikologis korban,” jelas Dio.
Kesimpulan
Berdasarkan verifikasi Tempo, klaim bahwa laporan kasus KDRT Mega Suryani Dewi tidak ditindaklanjuti hingga akhirnya terbunuh adalahbenar.
Sebelum tewas, Mega diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) sejak lama. Ia pun sempat melaporkan tindakan sang suami, Nando (25) ke pihak kepolisian.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
Sebelum tewas, Mega diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) sejak lama. Ia pun sempat melaporkan tindakan sang suami, Nando (25) ke pihak kepolisian.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
Rujukan
- https://www.suara.com/news/2023/09/13/163422/kronologi-laporan-kdrt-mega-suryani-dewi-dikacangi-polisi-kini-tewas-di-tangan-suami
- https://www.liputan6.com/citizen6/read/5395282/kronologi-pembunuhan-sadis-mega-suryani-dewi-oleh-sang-suami-sempat-cekcok-karena-masalah-ekonomi?page=3
- https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Laporan-Studi-Kuantitatif-INFID-IJRS.pdf
- https://www.suara.com/tag/kdrt
(GFD-2023-14469) Benar, Klaim Anies Baswedan soal Penyelenggara Pemerintah Tidak Sesuai Prinsip Hukum
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/12/2023
Berita
Calon Presiden Nomor Urut 2, Anies Baswedan menyampaikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai prinsip hukum.
"Kita menyaksikan betapa pada hari-hari ini, tatanan penyelenggara pemerintahan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang kita pegang. Karena itulah kami melihat perubahan ini harus kita kembalikan. Negara ini adalah negara hukum bukan negara kekuasaan,” kata Anies dalam acara Debat Capres-Cawapres Pemilu 2024 yang di gelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa, 12 Desember 2024.
“Dalam negara hukum, kekuasaan diatur oleh hukum. Dalam negara kekuasaan hukum diatur oleh penguasa. Dan kita tidak menginginkan itu terjadi. Pada saat ini kalau kita lihat itu hukum itu harusnya tegak. Begini. Inilah hukum. Dalam kenyataannya dia bengkok, dia tajam ke bawah, dia tumpul ke atas dan kondisi ini tidak boleh didiamkan," lanjutnya.
"Kita menyaksikan betapa pada hari-hari ini, tatanan penyelenggara pemerintahan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang kita pegang. Karena itulah kami melihat perubahan ini harus kita kembalikan. Negara ini adalah negara hukum bukan negara kekuasaan,” kata Anies dalam acara Debat Capres-Cawapres Pemilu 2024 yang di gelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa, 12 Desember 2024.
“Dalam negara hukum, kekuasaan diatur oleh hukum. Dalam negara kekuasaan hukum diatur oleh penguasa. Dan kita tidak menginginkan itu terjadi. Pada saat ini kalau kita lihat itu hukum itu harusnya tegak. Begini. Inilah hukum. Dalam kenyataannya dia bengkok, dia tajam ke bawah, dia tumpul ke atas dan kondisi ini tidak boleh didiamkan," lanjutnya.
Hasil Cek Fakta
Executive Director at Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar mengatakan selama sembilan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indeks Negara Hukum Indonesia mengalami stagnasi. Hasil ini menjadi rapor merah di penghujung kepemimpinan Presiden Jokowi karena menunjukkan keadilan dan reformasi hukum yang tidak pernah menjadi prioritas kebijakan pemerintah.
Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/ROL) Tahun 2023 yang disusun oleh World Justice Project, indeks negara hukum Indonesia berada pada skor 0,53 dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi. Skor ini menunjukkan stagnasi dalam perkembangan pembangunan hukum di Indonesia. Sejak 2015–2023 atau selama pemerintahan Jokowi, lanjutnya, skor Indonesia konsisten di angka 0,52–0,53.
Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/ROL) Tahun 2023 yang disusun oleh World Justice Project, indeks negara hukum Indonesia berada pada skor 0,53 dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi. Skor ini menunjukkan stagnasi dalam perkembangan pembangunan hukum di Indonesia. Sejak 2015–2023 atau selama pemerintahan Jokowi, lanjutnya, skor Indonesia konsisten di angka 0,52–0,53.
Kesimpulan
Benar, penyelenggara pemerintah tidak sesuai prinsip hukum. Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/ROL) Tahun 2023 yang disusun oleh World Justice Project, indeks negara hukum Indonesia berada pada skor 0,53 dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
(GFD-2023-14468) Benar, Klaim Anies Baswedan bahwa Masalah di Papua karena Ketidakadilan
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/12/2023
Berita
Calon Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan mengatakan bahwa masalah utama Papua, bukanlah soal kekerasan namun karena tidak ada keadilan. Menurut Anies, ada tiga pandangan terkait isu Papua yakni terorisme, separatisme, kriminal.
“Masalahnya bukan kekerasan. Karena ketika bicara kekerasan di Jakarta juga ada. Ada 3 pandangan soal Papua. Ada yang menganggap ini terorisme, ada yang menganggap ini separatisme, ada yang menganggap ini kriminal.
“Masalahnya bukan kekerasan. Karena ketika bicara kekerasan di Jakarta juga ada. Ada 3 pandangan soal Papua. Ada yang menganggap ini terorisme, ada yang menganggap ini separatisme, ada yang menganggap ini kriminal.
Hasil Cek Fakta
Menurut Zuhairan Yunmi Yunan, Dosen Ekonomi dan peneliti untuk isu korupsi dan Good Governance UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kasus kekerasan di Papua justru paling banyak korbannya adalah masyarakat sipil. Selama ini konflik di Papua direspons sebagai bagian terorisme, padahal hal itu merupakan pembelokan atas isu Papua yang sebenarnya, yaitu pelanggaran HAM, bebas dari diskriminasi dan bebas dari kekerasan.
Berdasarkan data penelitian The Conversation, sejak 2015 hingga akhir Juni 2023, dari seluruh tindak kekerasan di Papua, kekerasan yang pelakunya berasal dari masyarakat menempati peringkat kedua terbanyak (76 kasus) setelah kekerasan oleh kelompok bersenjata (241 kasus) dari total 378 kasus.
Hal itu mengonfirmasi bahwa ketidakadilan sosial menjadi salah satu penyebab utama masih terjadinya kekerasan di Papua. Ini mencakup persoalan pengakuan identitas, modernitas yang dipaksakan, dan SDM yang lemah.
Kriminalitas di Papua harus dilihat dari berbagai aspek. Persoalan Hukum dan Sistem Hukum Pidana yang disporpotional karena kenetralan hukum dan ketidak berpihakan atas kelompok marginal merupakan akar dari tingginya angka tindka pidana. Melihat kasus kriminalitas di Papua harus dilhat lebih kompleks, dan bukan semata-mata angka. Hukum Indonesia yang tidak berpihak kepada kelompok marginal (terutama kelompok miskin) maka dia akan menutup akses keadilan. Disporposionalitas penghukuman bagi mereka yang miskin, buta hukum, tidka mendapat bantuan hukum berkualitas menjadi persoalan penegakan hukum dan kemampuan pengurangan angka kriminalitas (tindak pidana).
Berdasarkan data penelitian The Conversation, sejak 2015 hingga akhir Juni 2023, dari seluruh tindak kekerasan di Papua, kekerasan yang pelakunya berasal dari masyarakat menempati peringkat kedua terbanyak (76 kasus) setelah kekerasan oleh kelompok bersenjata (241 kasus) dari total 378 kasus.
Hal itu mengonfirmasi bahwa ketidakadilan sosial menjadi salah satu penyebab utama masih terjadinya kekerasan di Papua. Ini mencakup persoalan pengakuan identitas, modernitas yang dipaksakan, dan SDM yang lemah.
Kriminalitas di Papua harus dilihat dari berbagai aspek. Persoalan Hukum dan Sistem Hukum Pidana yang disporpotional karena kenetralan hukum dan ketidak berpihakan atas kelompok marginal merupakan akar dari tingginya angka tindka pidana. Melihat kasus kriminalitas di Papua harus dilhat lebih kompleks, dan bukan semata-mata angka. Hukum Indonesia yang tidak berpihak kepada kelompok marginal (terutama kelompok miskin) maka dia akan menutup akses keadilan. Disporposionalitas penghukuman bagi mereka yang miskin, buta hukum, tidka mendapat bantuan hukum berkualitas menjadi persoalan penegakan hukum dan kemampuan pengurangan angka kriminalitas (tindak pidana).
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan Tempo, klaim bahwa Masalah utama Papua, tidak ada keadilan adalah BENAR.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
Rujukan
(GFD-2023-14467) Benar, Ribuan Anak Bangsa Mengkritik Pemerintah Dihadapi dengan Kekerasan
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/12/2023
Berita
Ribuan anak bangsa yang mengkritik pemerintah, mereka justru menghadapi dengan kekerasan. Hal tersebut disampaikan Anies Baswedan pada forum Debat Pertama Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2024, Selasa, 12 Desember 2023
“Tapi ada ribuan anak bangsa yang mengkritik pemerintah mereka justru dihadapi dengan kekerasan, dihadapi dengan benturan bahkan gas air mata,” kata Anies Baswedan,.
Hasil Cek Fakta
Dikutip dari BBC, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan 662 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian dalam setahun terakhir. Mereka menyebutnya sebagai “kultur kekerasan“ yang masih kental di jajaran kepolisian.
Menurut Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Asmin Fransiska, kasus kebebasan berekspresi dan berbicara memang mengalami tantangan sebagai bagian dari hak asasi.
Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Angka tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari pemantauan media yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.
“Dalam konteks ruang, dari 44 kasus tersebut, setidaknya satu kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi terjadi di ruang digital. Hal ini mendominasi dengan angka (52%),” kata Asmin.
Pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi, katanya, juga terjadi pada karya jurnalistik (19%), opini publik (17%), diskusi ilmiah (10%), dan kesaksian di pengadilan (2%).
Sedangkan Kontras pada 2020 menerima 1.500 pengaduan kekerasan aparat saat demonstrasi selama demo tolak UU Cipta Kerja.
Kesimpulan
Benar, ribuan anak bangsa yang mengkritik pemerintah justru dihadapi dengan kekerasan. Catatan Komnas HAM sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia
—----------------------------------------------
Rujukan
Halaman: 3105/6116