Makassar – Sebanyak 31 jurnalis dari 31 media di wilayah Indonesia Timur, yakni provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo dan Papua tengah mengikuti pelatihan Cek Fakta Melawan Disinformasi dan Misinformasi Jelang Pemilu 2024.
Pelatihan ini merupakan seri keempat (4) dari lima (5) seri pelatihan yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bekerjasama dengan koalisi Cek Fakta, Mafindo, AJI, dan mendapat dukungan penuh Google News Initiative.
Pada pelatihan hari pertama dan kedua, para peserta mendapat pelatihan tentang jurnalisme prebunking dan debunking, dengan memanfaatkan teori dan aneka tools OSINT (Open Source Intelligence) yang menjadi alat dan standar kerja jurnalisme cek fakta. Pada hari ketiga, peserta akan berkesempatan praktik produksi prebunking dan debunking, serta mengenal gangguan informasi pemilu yang banyak ditemukan pada media sosial serta bagaimana memanfaatkan media sosial untuk distribusi konten cek fakta.
Pelatihan cek fakta seri Makassar digelar 14-16 November 2023, dibuka oleh Wakil Ketua Umum AMSI sekaligus CEO KGI Network, Upi Asmaradhana. Menurut Upi, Gerakan cek fakta merupakan salah satu program andalan AMSI yang diinisiasi sejak 2018 yang didalamnya ada AJI dan Mafindo, Karena tahapan inti pemilu serentak 2024 sudah sangat dekat, maka pelatihan ini menjadi sangat penting.
“Pelatihan ini bertepatan dengan peristiwa politik 2024. Sangat penting ini pelatihan karena memberi bekal teori dan kemampuan teknis bagaimana kita memproduksi pre dan debunking untuk melawan misinformasi dan disinformasi,” ujar Upi.
AMSI menghadirkan dua trainer cek fakta yakni Ronny Adolof Buol yang juga Pemimpin Redaksi Zona Utara dan Fact Checker Tempo Zainal Abidin. Sementara materi media sosial dan multimedia production disampaikan jurnalis multimedia yang juga direktur eksekutif AMSI, Adi Prasetya.
“Kita perlu mengenalkan media sosial dengan karakteristik dan audien spesifiknya, untuk meluaskan distribusi konten cek fakta, karena faktanya selama ini hoaks, mis dan disinformasi beredar dan di repost di media sosial. Jadi ,kita juga perlu berada di gelanggang yang sama untuk melakukan prebunking dan debunking melawan persebaran hoaks,” ujar direktur eksekutif AMSI, Adi Prasetya.
(GFD-2023-14580) Pelatihan Cek Fakta 31 Media Kawasan Indonesia Timur, Perlu Perluas Distribusi ke Medsos
Sumber:Tanggal publish: 15/11/2023
Berita
Hasil Cek Fakta
Rujukan
(GFD-2023-14579) Jelang Pemilu 2024, AMSI Gelar Pelatihan Cek Fakta di Sumbar
Sumber:Tanggal publish: 08/11/2023
Berita
Padang – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menggelar pelatihan cek fakta di Kota Padang, Sumatera Barat. Pelatihan yang melibatkan 30 jurnalis dari berbagai daerah di sumatera ini berlangsung selama tiga hari sejak Selasa 7 November hingga Kamis 9 November 2023.
Pelatihan cek fakta ini merupakan kegiatan kolaborasi antara AMSI, AJI, dan MAFINDO yang didukung oleh Google News Initiative dalam upaya melawan hoaks dan membersihkan ruang digital dari disinformasi dan misinformasi.
Peserta pelatihan adalah jurnalis dan editor dari Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Selain di Sumatera Barat, pelatihan Cek Fakta juga digelar di beberapa wilayah lain seperti di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Bali.
Kegiatan kali ini dihadiri wasekjen AMSI, Yuli Sulistiawan, koodinator wilayah AMSI Sumatera Muhammad Zuhri, dan ketua AMSI Sumatera Barat Andri El Faruqi. Dua trainer berlisensi google, Nila Ertina (Pemimpin Redaksi Wongkito) dan Andre Yuris (Jurnalis Tempo) menjadi fasilitator dalam kegiatan ini.
Wakil sekjen AMSI Yuli Sulistiawan mengatakan, pelatihan cek fakta adalah salah satu komitmen AMSI dalam membersihkan ruang-ruang digital dari disinformasi dan misinformasi. Ini adalah bagian dari komitmen koalisi cek fakta yang sudah ada sejak 2018.
“Cek fakta ini, bagaimana teman-teman bisa menggunakan tools dan menghasilkan karya cek fakta dalam melawan disinformasi dan misinformasi,” terangnya.
Wasekjen AMSI menjelaskan, pelatihan cek fakta juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan para peserta untuk dapat menghasilkan karya berkualitas yang bisa melawan hoaks, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi yang sehat, terutama dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Dengan upaya kolaboratif ini mudah-mudahan kita bisa berkontribusi supaya pemilu betul-betul menjadi tempat pertarungan ide yang substantif, sebuah kompetisi demokrasi yang memungkinan warga memilih dan mendapatkan informasi yang akurat dan kredibel,” tegasnya.
Dalam pelatihan cek fakta, para jurnalis memperoleh pelatihan utk mengenali teknik produksi prebunking serta debunking dalam upaya membendung hoaks.
“Tentu tidak hanya di pemilu, di luar pemilu, sampah-sampah digital ini juga banyak. Jadi ini perlu kita bersihkan dengan cek fakta,” tegas Yuli.
Membersihkan ruang digital dari hoaks, disinformasi, dan misinfirmasi terutama jelang pemilu 2024 menjadi krusial, karena demokrasi yang sehat dan pemilu yang berkualitas diharapkan akan memunculkan para pemimpin yang tepat untuk memimpin negeri.
Pelatihan cek fakta ini merupakan kegiatan kolaborasi antara AMSI, AJI, dan MAFINDO yang didukung oleh Google News Initiative dalam upaya melawan hoaks dan membersihkan ruang digital dari disinformasi dan misinformasi.
Peserta pelatihan adalah jurnalis dan editor dari Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Selain di Sumatera Barat, pelatihan Cek Fakta juga digelar di beberapa wilayah lain seperti di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Bali.
Kegiatan kali ini dihadiri wasekjen AMSI, Yuli Sulistiawan, koodinator wilayah AMSI Sumatera Muhammad Zuhri, dan ketua AMSI Sumatera Barat Andri El Faruqi. Dua trainer berlisensi google, Nila Ertina (Pemimpin Redaksi Wongkito) dan Andre Yuris (Jurnalis Tempo) menjadi fasilitator dalam kegiatan ini.
Wakil sekjen AMSI Yuli Sulistiawan mengatakan, pelatihan cek fakta adalah salah satu komitmen AMSI dalam membersihkan ruang-ruang digital dari disinformasi dan misinformasi. Ini adalah bagian dari komitmen koalisi cek fakta yang sudah ada sejak 2018.
“Cek fakta ini, bagaimana teman-teman bisa menggunakan tools dan menghasilkan karya cek fakta dalam melawan disinformasi dan misinformasi,” terangnya.
Wasekjen AMSI menjelaskan, pelatihan cek fakta juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan para peserta untuk dapat menghasilkan karya berkualitas yang bisa melawan hoaks, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi yang sehat, terutama dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Dengan upaya kolaboratif ini mudah-mudahan kita bisa berkontribusi supaya pemilu betul-betul menjadi tempat pertarungan ide yang substantif, sebuah kompetisi demokrasi yang memungkinan warga memilih dan mendapatkan informasi yang akurat dan kredibel,” tegasnya.
Dalam pelatihan cek fakta, para jurnalis memperoleh pelatihan utk mengenali teknik produksi prebunking serta debunking dalam upaya membendung hoaks.
“Tentu tidak hanya di pemilu, di luar pemilu, sampah-sampah digital ini juga banyak. Jadi ini perlu kita bersihkan dengan cek fakta,” tegas Yuli.
Membersihkan ruang digital dari hoaks, disinformasi, dan misinfirmasi terutama jelang pemilu 2024 menjadi krusial, karena demokrasi yang sehat dan pemilu yang berkualitas diharapkan akan memunculkan para pemimpin yang tepat untuk memimpin negeri.
Hasil Cek Fakta
Rujukan
(GFD-2023-14578) Diskusi Bulanan Koalisi Cek Fakta: Tren Hoaks di Seputar Pendaftaran Capres
Sumber:Tanggal publish: 27/10/2023
Berita
Jakarta – Selama Oktober 2023 isu politik terkait pemilu menjadi topik hangat yang menjadi perbincangan public. Mulai dari soal putusan Mahkamah Konstitusi terkait Batasan umur calon, menkopolhukam Mahfud MD yang resmi menjadi cawapres mendampingi Ganjar Pranowo, hingga soal Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden Jokowi yang akhirnya juga resmi menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Jumlah perbincangan terkait isu tersebut bahkan hampir mencapai 900 ribu di media social.
Dari banyaknya isu yang menjaid perbincangan hangat di public ada beberapa isu yang terindikasi misinformasi dan disinformasi, yang menyerang para kandidat bahkan penyelanggara pemilu seperti soal tidak akan adanya tahapan debat capres-cawapres dan desain surat suara pilpres yang beredar.
Menurut pemimpin redaksi liputan6.com Irna Gustiawati dalam diskusi bulanan koalisi cek fakta, meski sudah terlihat banyak hoaks, namun saat ini belum ada hoaks yang dampaknya bisa menimbulkan permusuhan di masyarakat atau persekusi bagi kelompok minoritas.
“Permasalahan itu pernah terjadi di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 atau pilpres 2019, dan pilkada di masa pandemik,” kata Irna.
Dikatakan pula, upaya media dan pemeriksa fakta dalam memerangi hoaks jauh lebih baik dengan sajian verifikasi data dan fakta secara sistematis melalui berbagai platform. Turunnya jumlah produksi hoaks juga disinyalir karena kesadaran netizen dan masyarakat akan risiko, jika mereka memproduksi atau menyebarkan hoaks.
Namun, Irna mengingatkan agar waspada, karena dampak buruk dari hoaks yang sangat dahsyat berpotensi muncul di masa kampanye dan jika ada putaran ke-2 pilpres.
Dalam diskusi bulanan cek fakta, Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas juga mengingatkan bahwa politisasi identitas dengan memproduksi misinformasi dan disinformasi sudah menjadi senjata atau cara sejak pemilu 2014 dan 2019.
“Jika itu digunakan untuk menyerang kelompok minoritas ini menjadi misinformasi/disinformasi yang paling berbahaya,” tegasnya.
Menurut Ika Ningtyas, berbagai bentuk monitoring informasi dan hoaks perlu diperbanyak agar menjadi alert awal untuk mengetahui apakah ada potensi narasi misinformasi/disinformasi yang membahayakan publik.
Di pemilu 2024 yang sudah di depan mata, jumlah pemlih pemula dan generasi muda memiliki peran penting karena jumlahnya menjadi mayoritas pemilik suara. Mereka yang disebut digital native sangat rentan terpapar hoaks yang memang banyak beredar di media sosial. Menurut direktur riset Poltracking Indonesia Arya Budi, berdasarkan riset yang dilakukan di bulan September, konten media sosial menjadi faktor penentu yang paling mempengaruhi pilihan. Facebook, Instagram, dan TikTok dianggap 3 platform yang paling berpengaruh diikuti youtube dan twitter.
Kerja-kerja media, kolaborasi dan peningkatan literasi sudah banyak dilakukan. Namun, satu hal yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana membongkar jaringan para buzzer atau produsen hoaks. Kerja-kerja nyata yang dilakukan media dan pemeriksa fakta harus berkelanjutan dan relevan untuk melindungi publik dari hoaks. Seperti kata ketua umum AMSI Wahyu Dhyatmika dalam sambutannya,”tujuan besar dari program cek fakta adalah memastikan proses pemilu yang sudah berjalan ini tidak diganggu oleh disinformasi dan misinformasi”.
Diskusi bulanan cek fakta merupakan kegiatan koalisi cek fakta yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), MAFINDO, dan 25 media yang tergabung dalam koalisi.
Dari banyaknya isu yang menjaid perbincangan hangat di public ada beberapa isu yang terindikasi misinformasi dan disinformasi, yang menyerang para kandidat bahkan penyelanggara pemilu seperti soal tidak akan adanya tahapan debat capres-cawapres dan desain surat suara pilpres yang beredar.
Menurut pemimpin redaksi liputan6.com Irna Gustiawati dalam diskusi bulanan koalisi cek fakta, meski sudah terlihat banyak hoaks, namun saat ini belum ada hoaks yang dampaknya bisa menimbulkan permusuhan di masyarakat atau persekusi bagi kelompok minoritas.
“Permasalahan itu pernah terjadi di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 atau pilpres 2019, dan pilkada di masa pandemik,” kata Irna.
Dikatakan pula, upaya media dan pemeriksa fakta dalam memerangi hoaks jauh lebih baik dengan sajian verifikasi data dan fakta secara sistematis melalui berbagai platform. Turunnya jumlah produksi hoaks juga disinyalir karena kesadaran netizen dan masyarakat akan risiko, jika mereka memproduksi atau menyebarkan hoaks.
Namun, Irna mengingatkan agar waspada, karena dampak buruk dari hoaks yang sangat dahsyat berpotensi muncul di masa kampanye dan jika ada putaran ke-2 pilpres.
Dalam diskusi bulanan cek fakta, Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas juga mengingatkan bahwa politisasi identitas dengan memproduksi misinformasi dan disinformasi sudah menjadi senjata atau cara sejak pemilu 2014 dan 2019.
“Jika itu digunakan untuk menyerang kelompok minoritas ini menjadi misinformasi/disinformasi yang paling berbahaya,” tegasnya.
Menurut Ika Ningtyas, berbagai bentuk monitoring informasi dan hoaks perlu diperbanyak agar menjadi alert awal untuk mengetahui apakah ada potensi narasi misinformasi/disinformasi yang membahayakan publik.
Di pemilu 2024 yang sudah di depan mata, jumlah pemlih pemula dan generasi muda memiliki peran penting karena jumlahnya menjadi mayoritas pemilik suara. Mereka yang disebut digital native sangat rentan terpapar hoaks yang memang banyak beredar di media sosial. Menurut direktur riset Poltracking Indonesia Arya Budi, berdasarkan riset yang dilakukan di bulan September, konten media sosial menjadi faktor penentu yang paling mempengaruhi pilihan. Facebook, Instagram, dan TikTok dianggap 3 platform yang paling berpengaruh diikuti youtube dan twitter.
Kerja-kerja media, kolaborasi dan peningkatan literasi sudah banyak dilakukan. Namun, satu hal yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana membongkar jaringan para buzzer atau produsen hoaks. Kerja-kerja nyata yang dilakukan media dan pemeriksa fakta harus berkelanjutan dan relevan untuk melindungi publik dari hoaks. Seperti kata ketua umum AMSI Wahyu Dhyatmika dalam sambutannya,”tujuan besar dari program cek fakta adalah memastikan proses pemilu yang sudah berjalan ini tidak diganggu oleh disinformasi dan misinformasi”.
Diskusi bulanan cek fakta merupakan kegiatan koalisi cek fakta yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), MAFINDO, dan 25 media yang tergabung dalam koalisi.
Hasil Cek Fakta
Rujukan
(GFD-2023-14577) Seri #2 Diskusi Koalisi Cek Fakta : Jurnalis dan Media Bisa Terjebak Hoaks Jika Tak Patuhi Elemen Kerja Jurnalisme
Sumber:Tanggal publish: 28/09/2023
Berita
Jakarta, Hoaks, disinformasi dan misinformasi selama ini bertebaran di media sosial dan acapkali disebarkan oleh orang awam, tidak sengaja, tidak tahu, atau pun loyalis maupun kelompok yang disebut buzzer. Namun, sejumlah hoaks, atau kabar bohong belakangan juga diproduksi, dipublikasi, dan direduplikasi oleh jurnalis. Penyebabnya karena adanya pelanggaran atau ketidaktaatan jurnalis terhadap kode etik dan kepatuhan pada elemen peran jurnalisme. Padahal, tugas dasar jurnalis sebenarnya adalah kerja memeriksa fakta. Kenyataan ini tentu saja memprihatinkan karena dapat menurunkan kepercayaan publik kepada media.
Demikian benang merah diskusi bulanan seri kedua yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang tergabung dalam koalisi cek fakta, serta didukung penuh oleh Google News Initiative, pada Rabu 27 September 2023.
Diskusi secara daring ini menghadirkan FX LIlik Dwi Mardjianto, kandidat doktor dari Universitas Canberra, Australia yang juga peneliti media Universitas Multimedia Nusantara Banten, Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDNTimes, Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo, serta diawali pemaparan hasil media monitoring berbasis Artificial Intelligence (AI) oleh Oleg Widijoko, GM lembaga riset dan media monitoring Binokular.
“Banyak hoaks diproduksi bahkan dari jurnalis sendiri, penyebabnya adalah pelanggaran terhadap elemen peran jurnalisme. Inkonsistensi penerapan peran-peran jurnalistik ini akan membuat tingkat kepercayaan terhadap jurnalisme turun,” ujar FX Lilik Dwi Mardjianto kandidat doktor Universitas Caberra yang juga peneliti media dari Universitas Multimedia Nusantara, UMN Banten pada diskusi bulanan yang digelar secara daring.
Menurut Lilik,dari riset yang dilakukan, publik sebenarnya punya harapan yang sangat tinggi terhadap peran jurnalis dan media sebagai penjernih ruang informasi publik sekaligus sumber berita yang kredibel menjadi rujukan. Karena adanya sejumlah praktik ketidakakuratan reportase, penjagaan editorial yang lengah,pelanggaran elemen tren kepercayaan terhadap jurnalisme saat ini jadi turun.
“Harapan publik terhadap peran jurnalistik sangat tinggi. Kritik saya ini adalah bagian dari kecintaan saya kepada jurnalisme, khususnya jurnalisme di Indonesia ,” tambah Lilik,
GM Product lembaga riset dan media monitoring Binokular, Oleg Widyoko dalam pemaparannya menyebutkan temuan Binokular terkait isu hoaks yang terjadi dalam kurun waktu Juli hingga September 2023. Menurut Oleg, hoaks yang ditemukan pada periode ini masih mengarah pada kandidat capres, khususnya Ganjar Pranowo dan Prabowo. Selain itu, Anggota Tim 8 Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Sudirman Said juga menjadi sasaran hoax terkait batalnya penunjukan AHY sebagai Cawapres Anies Baswedan.
“Ada enam tipe hoaks yang tercapture berdasar media monitoring berbasis kecerdasan buatan Binokular seputar bacapres.Tipe-tipe itu berupa kabar palsu. foto editan, informasi keliru, narasi foto, narasi video, dan pemotongan video,” jelas Oleg.
Menurut Oleg, Disinformasi yang bersumber dari platform media sosial merembes ke forum-forum personal seperti whatsapp group dan lainnya Upaya yang dilakukan koalisi cek fakta sudah baik dilaksanakan, namun sebagai filter hoaks di ranah personal di pemilu 2024 tentunya masih banyak tantangannya,” tambah Oleg
Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia) menyebut monitoring berbasis kecerdasan buatan Binokular mirip dengan yang data Mafindo. Wajah penyebaran hoaks di negeri kita semakin masif, upaya penanganan dan pencegahan sangat krusial dan penting dalam konteks pemilu 2024.
“Data Mafindo tahun 2022 menunjukan 1.500 temuan hoaks, Tahun 2023 terdapat 1.600 hoaks, dan 2024 ini diprediksi akan meningkat hingga di atas 2.000 hoaks. Bahkan saat melakukan webinar ini produksi hoaks terus berlangsung. Ada Kanal yang kami pantau dapat memproduksi 1-45 video hoaks setiap harinya” Ungkap Septiaji
“Ketimpangan penanganan cek fakta saat ini makin melebar. Tahun 2019 kita optimis dapat menangkap banyak konten hoaks. Tapi kenyataannya di Youtube, Tiktok, Snack, bahkan Shopee video banyak sekali konten hoaks dan produksi video-video pendek itu saat ini semakin murah dibandingkan dengan biaya fackchecknya. Ketidakseimbangan ini menjadi PR kita hari ini untuk bisa ditangani bersama, ” tambah Septiaji.
Uni lubis, Pemimpin Redaksi IDNTimes yang menjadi pembicara terakhir pada diskusi bulan September ini menggarisbawahi pentingnya kerja terpenting jurnalis terkait kewajiban disiplin verifikasi dan klarifikasi data dalam setiap proses jurnalisme; mulai dari gathering, proses produksi hingga distribusi beritanya. Uni Lubis mengaku, sejak masih jadi reporter, dalam menjalankan kerja jurnalistiknya selalu tak pernah melupakan inti kerja jurnalis yakni mengklarifikasi kebenaran suatu informasi
“Tugas jurnalis adalah fack checking dan menyajikan kebenaran yang merupakan kumpujlan informasi-informasi yang sudah diverifikasi. Termasuk isu yang belum lama ini ramai soal penganiayaan wakil menteri oleh seorang menteri di kabinet Jokowi. Kerja jurnalistik dalam hal seperti itu adalah wajib mengklarifikasi, memverifikasi,” tegas Uni Lubis, dalam diskusi yang dipandu pemimpin redaksi MNC Radio Network Gaib Marudo Sigit,
Menurut Uni, tidak jaminan media besar luput dari kemungkinan lalai jika disiplin verifikasinya ada yang terlewat. Ia mencontohkan media besar seperti New York Times di Amerika, dan TEMPO di Indonesia pun pernah mengalaminya.
“Meski narasumber terpercaya kadang kerap menyampilkan data salah yang kemudian harus diverifikasi oleh para jurnalis. Contoh kasus Tempo yang harus meminta maaf karena salah memuat quotation dari narasumber yang keliru, merupakan hal yang sudah benar dilakukan. Kesalahan ini bahkan juga terjadi pada portal media internasional New York Times dan lainnya,” tambah Uni Lubis.
Direktur Eksekutif AMSI, Adi Prasetya saat membuka diskusi seri kedua menyatakan, diskusi bulanan ini menjadi bagian penting kampanye antihoaks dan sumbangan koalisi cak fakta mendukung pemilu 2024 berkualitas dan bebas dari hoaks. Juga untuk mengukur dan memonitor kerja-kerja pemeriksa fakta di sepanjang setahun ke depan.
“Asosiasi Media Siber Indonesia bersama mitra koalisi Cek Fakta, AJI, Mafindo dan didukung Google News Initiative menggandeng lembaga riset berbasis artificial Intelligence Binokular untuk mendapatkan data percakapan secara riil dan presisi tentang persebaran, tipologi, korban, dan bahkan actor mapping hoaks. Dari situ kita bisa mengkaji apa yang harus dilakukan,” ujar Adi.
Demikian benang merah diskusi bulanan seri kedua yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang tergabung dalam koalisi cek fakta, serta didukung penuh oleh Google News Initiative, pada Rabu 27 September 2023.
Diskusi secara daring ini menghadirkan FX LIlik Dwi Mardjianto, kandidat doktor dari Universitas Canberra, Australia yang juga peneliti media Universitas Multimedia Nusantara Banten, Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDNTimes, Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo, serta diawali pemaparan hasil media monitoring berbasis Artificial Intelligence (AI) oleh Oleg Widijoko, GM lembaga riset dan media monitoring Binokular.
“Banyak hoaks diproduksi bahkan dari jurnalis sendiri, penyebabnya adalah pelanggaran terhadap elemen peran jurnalisme. Inkonsistensi penerapan peran-peran jurnalistik ini akan membuat tingkat kepercayaan terhadap jurnalisme turun,” ujar FX Lilik Dwi Mardjianto kandidat doktor Universitas Caberra yang juga peneliti media dari Universitas Multimedia Nusantara, UMN Banten pada diskusi bulanan yang digelar secara daring.
Menurut Lilik,dari riset yang dilakukan, publik sebenarnya punya harapan yang sangat tinggi terhadap peran jurnalis dan media sebagai penjernih ruang informasi publik sekaligus sumber berita yang kredibel menjadi rujukan. Karena adanya sejumlah praktik ketidakakuratan reportase, penjagaan editorial yang lengah,pelanggaran elemen tren kepercayaan terhadap jurnalisme saat ini jadi turun.
“Harapan publik terhadap peran jurnalistik sangat tinggi. Kritik saya ini adalah bagian dari kecintaan saya kepada jurnalisme, khususnya jurnalisme di Indonesia ,” tambah Lilik,
GM Product lembaga riset dan media monitoring Binokular, Oleg Widyoko dalam pemaparannya menyebutkan temuan Binokular terkait isu hoaks yang terjadi dalam kurun waktu Juli hingga September 2023. Menurut Oleg, hoaks yang ditemukan pada periode ini masih mengarah pada kandidat capres, khususnya Ganjar Pranowo dan Prabowo. Selain itu, Anggota Tim 8 Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Sudirman Said juga menjadi sasaran hoax terkait batalnya penunjukan AHY sebagai Cawapres Anies Baswedan.
“Ada enam tipe hoaks yang tercapture berdasar media monitoring berbasis kecerdasan buatan Binokular seputar bacapres.Tipe-tipe itu berupa kabar palsu. foto editan, informasi keliru, narasi foto, narasi video, dan pemotongan video,” jelas Oleg.
Menurut Oleg, Disinformasi yang bersumber dari platform media sosial merembes ke forum-forum personal seperti whatsapp group dan lainnya Upaya yang dilakukan koalisi cek fakta sudah baik dilaksanakan, namun sebagai filter hoaks di ranah personal di pemilu 2024 tentunya masih banyak tantangannya,” tambah Oleg
Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia) menyebut monitoring berbasis kecerdasan buatan Binokular mirip dengan yang data Mafindo. Wajah penyebaran hoaks di negeri kita semakin masif, upaya penanganan dan pencegahan sangat krusial dan penting dalam konteks pemilu 2024.
“Data Mafindo tahun 2022 menunjukan 1.500 temuan hoaks, Tahun 2023 terdapat 1.600 hoaks, dan 2024 ini diprediksi akan meningkat hingga di atas 2.000 hoaks. Bahkan saat melakukan webinar ini produksi hoaks terus berlangsung. Ada Kanal yang kami pantau dapat memproduksi 1-45 video hoaks setiap harinya” Ungkap Septiaji
“Ketimpangan penanganan cek fakta saat ini makin melebar. Tahun 2019 kita optimis dapat menangkap banyak konten hoaks. Tapi kenyataannya di Youtube, Tiktok, Snack, bahkan Shopee video banyak sekali konten hoaks dan produksi video-video pendek itu saat ini semakin murah dibandingkan dengan biaya fackchecknya. Ketidakseimbangan ini menjadi PR kita hari ini untuk bisa ditangani bersama, ” tambah Septiaji.
Uni lubis, Pemimpin Redaksi IDNTimes yang menjadi pembicara terakhir pada diskusi bulan September ini menggarisbawahi pentingnya kerja terpenting jurnalis terkait kewajiban disiplin verifikasi dan klarifikasi data dalam setiap proses jurnalisme; mulai dari gathering, proses produksi hingga distribusi beritanya. Uni Lubis mengaku, sejak masih jadi reporter, dalam menjalankan kerja jurnalistiknya selalu tak pernah melupakan inti kerja jurnalis yakni mengklarifikasi kebenaran suatu informasi
“Tugas jurnalis adalah fack checking dan menyajikan kebenaran yang merupakan kumpujlan informasi-informasi yang sudah diverifikasi. Termasuk isu yang belum lama ini ramai soal penganiayaan wakil menteri oleh seorang menteri di kabinet Jokowi. Kerja jurnalistik dalam hal seperti itu adalah wajib mengklarifikasi, memverifikasi,” tegas Uni Lubis, dalam diskusi yang dipandu pemimpin redaksi MNC Radio Network Gaib Marudo Sigit,
Menurut Uni, tidak jaminan media besar luput dari kemungkinan lalai jika disiplin verifikasinya ada yang terlewat. Ia mencontohkan media besar seperti New York Times di Amerika, dan TEMPO di Indonesia pun pernah mengalaminya.
“Meski narasumber terpercaya kadang kerap menyampilkan data salah yang kemudian harus diverifikasi oleh para jurnalis. Contoh kasus Tempo yang harus meminta maaf karena salah memuat quotation dari narasumber yang keliru, merupakan hal yang sudah benar dilakukan. Kesalahan ini bahkan juga terjadi pada portal media internasional New York Times dan lainnya,” tambah Uni Lubis.
Direktur Eksekutif AMSI, Adi Prasetya saat membuka diskusi seri kedua menyatakan, diskusi bulanan ini menjadi bagian penting kampanye antihoaks dan sumbangan koalisi cak fakta mendukung pemilu 2024 berkualitas dan bebas dari hoaks. Juga untuk mengukur dan memonitor kerja-kerja pemeriksa fakta di sepanjang setahun ke depan.
“Asosiasi Media Siber Indonesia bersama mitra koalisi Cek Fakta, AJI, Mafindo dan didukung Google News Initiative menggandeng lembaga riset berbasis artificial Intelligence Binokular untuk mendapatkan data percakapan secara riil dan presisi tentang persebaran, tipologi, korban, dan bahkan actor mapping hoaks. Dari situ kita bisa mengkaji apa yang harus dilakukan,” ujar Adi.
Hasil Cek Fakta
Rujukan
Halaman: 2877/5913