• (GFD-2024-20135) [SALAH] “Potret Ribuan Mahasiswa Demonstrasi Kuasai Jalan Pada Tahun 1989”

    Sumber: Twitter.com
    Tanggal publish: 28/05/2024

    Berita

    “Potret Ribuan Mahasiswa Demonstrasi Kuasai Jalan Pada Tahun 1989”

    Hasil Cek Fakta

    Sebuah postingan di Twitter membagikan potret sekumpulan orang yang diklaim merupakan ribuan mahasiswa yang demonstrasi pada tahun 1989. Terlihat sekumpulan orang tersebut membawakan spanduk yang bertuliskan 1989.

    Setelah ditelusuri klaim tersebut menyesatkan. Ketika diperhatikan tulisan 1989 pada spanduk yang dipegang tersebut merupakan logo dari album Taylor Swift yang berjudul ‘1989’. Penelusuran menggunakan mesin pencarian Google dengan menggunakan kata kunci “parade album 1989 Taylor Swift” ditemukan video TikTok yang identik dengan potret yang diklaim diambil pada tahun 1989 saat mahasiswa melakukan demonstrasi.

    Video tersebut baru beredar pada 29 Oktober 2023 melalui akun TikTok @swiftindonesia_, tertulis pada captionnya “FUNWALK BY TAYLOR SWIFT INDONESIA”. Mereka yang berada dalam video tersebut merupakan penggemar Taylor Swift yang sedang melakukan funwalk sembari menyanyikan lagu-lagu dari album ‘1989’, bukan mahasiswa yang sedang demonstrasi di jalanan pada tahun 1989.

    Dengan demikian, potret mahasiswa sedang demonstrasi pada tahun 1989 adalah tidak benar dengan kategori Satire/Parodi.

    Kesimpulan

    Hasil periksa fakta Moch. Marcellodiansyah

    Faktanya foto tersebut merupakan cuplikan dari video parade penggemar Taylor Swift di Jakarta yang baru beredar di TikTok pada 29 Oktober 2023.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20134) [SALAH] Bahaya Terkait WHO Pandemic Treaty

    Sumber: Facebook.com
    Tanggal publish: 28/05/2024

    Berita

    Masalahnya jika

    Tanggal 27 Mei 2024 WHO Pandemy Treaty di tandatangani oleh Pejabat Indonesia

    Herbal, bekam, pijat, pengobatan alami, di larang.

    Di anggap melanggar hukum

    Bisa di penjara atau denda Rp 500 juta

    Tidak bisa menolak vaksinasi, kalau menolak masuk penjara atau denda Rp 500 juta

    Berlaku 30 hari setelah penandatanganan WHO Pandemy Treaty

    Jadi kedaulatan kesehatan Rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi

    Hasil Cek Fakta

    Beredar unggahan di media sosial Facebook yang menampilkan video dari purnawirawan Polri, Dharma Porengkun membagikan klaim mengenai bahaya terkait WHO Pandemic Treaty.

    Melansir dari unggahan Kemenkes RI di akun Instagram @kemenkes_ri pada 22 Mei 2024, Pandemic Agreement atau Pandemic Treaty adalah inisiasi global dari WHO untuk atasi persoalan kesiapsiagaan dan respons pandemi.

    Perjanjian Pandemi Treaty disusun untuk mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Dalam perjanjian tersebut, tidak ada sama sekali pembahasan tentang pelarangan maupun penerapan denda pada pengobatan alternatif. Kementerian Kesehatan RI juga menghimbau agar masyarakat lebih bijak dalam menyampaikan informasi kepada publik.

    Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim bahaya terkait WHO Pancemic Treaty adalah tidak benar. Faktanya Pandemic Treaty disusun untuk mencegah potensi terjadinya pandemi di masa depan.

    Kesimpulan

    Klaim bahaya terkait WHO Pancemic Treaty adalah tidak benar. Faktanya Pandemic Treaty disusun untuk mencegah potensi terjadinya pandemi di masa depan.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20133) [SALAH] Pemasangan Microchip Melalui Vaksinasi di Indonesia

    Sumber: Youtube.com
    Tanggal publish: 28/05/2024

    Berita

    Sudah sampai TV Indonesia. Perhatikan baik2 jangan mau sampai anda dipasang ya. Apalagi anda ditakut2i Covid dan virus. Semua itu hoax. Jangan mau sampai di VAKSIN ya!

    Semua didesain untuk TOTAL CONTROL penuh terhadap populasi agar anda tidak punya apa2 dimasa mendatang. Alias rumah, mobil, motor, sertifikat rumah semua akan mereka ambil.

    Karena pada dasarnya dimasa depan yang mereka cangangkan didalam chip tersebut ada, vaksin pasport, rekam medik sedunia alias di rs se indonesia cm anda sama, ditambah kk, ktp, uang bank anda, bpkb, stnk motor serba digitalisasi.

    Semua demi teeciptanya tatanan dunia baru (THE NEW WORLD ORDER).

    Hasil Cek Fakta

    Beredar unggahan di media sosial Facebook yang mengklaim penyuntikan microchip ke tubuh manusia melalui vaksin. Dalam unggahan tersebut juga mengklaim bahwa Covid-19 dan virus yang menyebabkannya, SARS-CoV-2, adalah tidak benar sehingga tidak ada kebutuhan untuk mendapatkan vaksin.

    Namun, berdasarkan dari hasil pencarian gambar dengan Google Lens, ditemukan hasil jika foto tersebut berasal dari video Youtube CBS Evening News yang berjudul “Wisconsin company offers to implant microchips in employees”. Foto yang digunakan dalam unggahan yang tersebut dapat kita lihat pada detik ke 0:48.

    Video tersebut menjelaskan bahwa perusahaan di Wisconsin, Amerika Serikat memiliki inovasi terbaru dengan menanamkan microchip di tangan untuk menggantikan kunci tradisional untuk membuka pintu, menggunakan mesin fotokopi, dan bahkan membeli makanan di kafetaria. Pemilik Three Square Market di Wisconsin mengatakan setidaknya 50 dari 80 karyawannya telah mendaftar menjadi bionik.

    Melansir dari artikel Republika, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman saat itu, Amin Soebandrio, mengatakan bahwa vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia tidak mengandung chip elektronik. Masyarakat diminta tidak perlu khawatir untuk menjalani vaksinasi.

    Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim yang mengatakan Indonesia mulai memasang microchip melalui vaksin adalah tidak benar. Faktanya vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia tidak mengandung chip elektronik.

    Kesimpulan

    Klaim yang mengatakan Indonesia mulai memasang microchip melalui vaksin adalah tidak benar. Faktanya vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia tidak mengandung chip elektronik.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20132) UKT naik atas perintah Jokowi ke Mendikbud, benarkah?

    Sumber:
    Tanggal publish: 27/05/2024

    Berita

    Jakarta (ANTARA/JACX) – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk calon mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi sorotan publik karena dianggap terlalu signifikan.

    Akibat kebijakan tersebut, sejumlah calon mahasiswa baru mengundurkan diri. Sebuah unggahan video YouTube menarasikan bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengaku kenaikan UKT yang tinggi merupakan perintah Presiden RI, Joko Widodo.

    Berikut narasi dalam unggahan tersebut:

    “SIDANG DPR RICUH NADIEM BABAK BELUR DICECAR DPR, NGAKU UKT NAIK DISURUH J0K0WI”

    Namun, benarkah UKT naik atas perintah Jokowi ke Mendikbudristek?

    Hasil Cek Fakta

    Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Tjitjik Tjahjandarie, mengatakan kenaikan UKT di PTN terjadi karena peningkatan mutu pendidikan.

    Ia menjelaskan proses belajar di perguruan tinggi harus lebih kolaboratif dengan memanggil dosen praktisi, melakukan magang dalam waktu satu semester dan dapat diperpanjang, biaya ujian, hingga menyelesaikan proyek dalam suatu tugas. Tidak hanya sebatas di kampus dan melakukan praktikum di laboratorium.

    Namun, pemerintah memutuskan untuk membatalkan kebijakan kenaikan besaran UKT, yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 itu.

    Menurut Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait isu yang belakangan menjadi sorotan publik ini.

    “Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN (perguruan tinggi negeri),” kata Nadiem usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, dilansir dari ANTARA.

    Dia menjelaskan untuk tahun ini, tidak ada mahasiswa yang akan terdampak kebijakan kenaikan UKT. Sementara itu, pemerintah akan mengevaluasi satu per satu permintaan dari perguruan tinggi untuk peningkatan UKT pada tahun depan.

    Pewarta: Tim JACX

    Editor: Indriani

    Copyright © ANTARA 2024

    Rujukan