(GFD-2024-19719) Keliru, Perubahan Iklim Hasil Rekayasa dan Hoax
Sumber:Tanggal publish: 10/05/2024
Berita
Sebuah akun di Instagram [ arsip ] mengunggah video perbincangan dua orang yang mengklaim perubahan iklim tidak terjadi sendiri tapi hoax alias hasil rekayasa.
Berikut isi perbincangan dalam video tersebut:
“......saya pikir perubahan iklim adalah tipuan sebagai sebuah premis umum dan saya pikir lembaga-lembaga besar menggunakannya sebagai bentuk kontrol. Namun saya pikir kita sedang berada di titik di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju hingga ke titik di mana orang mungkin mulai berperan sebagai Tuhan. Di luar sana sudah semakin gila. Kami memiliki miliaran dolar untuk penelitian dan pengembangan, semacam main-main. Kita mulai melakukan penyemaian awan, mulai melakukan beberapa hal gila dengan vaksin dan mulai melakukan beberapa hal gila dengan bereksperimen pada kloning dan semua hal aneh semacam ini”
Benarkah perubahan iklim (climate change) merupakan hasil rekayasa? Berikut pemeriksaan faktanya.
Hasil Cek Fakta
Tim Cek Fakta Tempo memeriksa pernyataan ini dengan menelusuri pernyataan otoritas, peneliti dan pemberitaan media kredibel serta sumber asli video.
Sumber Video
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, video tersebut merupakan cuplikan pembicaraan dari akun YouTube CapitalClubCuts tanggal 30 April 2023 dan kembali diunggah di akun YouTube lain. Video ini merupakan obrolan Luke Belmar dengan seseorang tentang perubahan iklim. Belmar dalam video ini mengatakan perubahan iklim adalah hoax yang dibuat institusi besar.
Luke Belmar merupakan seorang influencer dan pendiri Capital Club. Ia banyak membuat konten seputar investasi, digital marketing dan mata uang kripto.
Tentang Perubahan Iklim
Secara sederhana, perubahan iklim dipahami sebagai perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Perubahan ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, sejak penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim.
Laman UN Indonesia menuliskan, pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit Bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu. Contoh emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim di antaranya karbon dioksida dan metana. Ini berasal dari penggunaan bensin untuk mengendarai mobil atau batu bara untuk listrik dan sebagainya. Pembukaan lahan dan hutan juga dapat melepaskan karbon dioksida.
Data menunjukkan konsentrasi gas rumah kaca berada pada level tertinggi dalam kurun waktu 2 juta tahun dan emisi terus meningkat. Akibatnya, suhu bumi 1,1°C lebih hangat daripada di akhir tahun 1800-an. Dekade 2011-2020 adalah rekor terpanas.
Konsekuensi perubahan iklim saat ini antara lain, kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai dahsyat dan penurunan keanekaragaman hayati.
Dilansir NASA, penelitian menunjukkan bahwa "97 persen atau lebih" ilmuwan iklim aktif percaya bahwa pemanasan yang sedang terjadi disebabkan oleh manusia. Badan ini menyebut fakta bahwa "iklim bumi memanas" sebagai "konsensus ilmiah".
"Pengamatan di seluruh dunia memperjelas bahwa perubahan iklim sedang terjadi, dan penelitian ilmiah yang ketat menunjukkan bahwa gas rumah kaca yang dipancarkan oleh aktivitas manusia adalah penyebab utamanya," dikutip NASA dari Pernyataan tentang Perubahan Iklim dari 18 Asosiasi Ilmiah.
Dalam Climate Change 2014 Synthesis Report Summary for Policymakers yang dibuat U.N.’s Intergovernmental Panel on Climate Change, menyebutkan probabilitas antara 95 dan 100 persen, bahwa sebagian besar peningkatan suhu permukaan rata-rata global antara tahun 1951 dan 2010 disebabkan oleh aktivitas manusia.
Solusi Menghadapi Perubahan Iklim
Dalam laporan PBB tahun 2018, ribuan ilmuwan dan peninjau pemerintah sepakat bahwa membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C dapat meminimalkan dampak iklim terburuk dan mempertahankan iklim yang layak huni.
Para ilmuwan menawarkan solusi perubahan iklim yang dapat memberikan manfaat ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan dan melindungi lingkungan. Salah satunya tertuang dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dan Perjanjian Paris. Kerangka yang disepakati adalah mengurangi emisi, beradaptasi dengan dampak iklim, dan mendanai proyek-proyek yang terkait usaha pengurangan resiko.
Selain itu, koalisi negara-negara berkomitmen untuk mencapai nol emisi bersih pada tahun 2050. Sekitar setengah dari pengurangan emisi harus dilakukan pada tahun 2030 untuk menjaga pemanasan di bawah 1,5°C. Dan produksi bahan bakar fosil harus turun sekitar 6 persen per tahun antara 2020 dan 2030.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim perubahan iklim adalah rekayasa dan hoax adalah keliru.
Perubahan iklim pada mulanya terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, sejak penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak gas, dan aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim.
Rujukan
- https://www.instagram.com/p/C6kIrlQyZ0m/
- https://web.archive.org/web/20240510142002/
- https://www.instagram.com/p/C6kIrlQyZ0m/
- https://www.youtube.com/watch?v=dZJ6KfQcfxI
- https://www.youtube.com/watch?v=st-OIvwKsa8
- https://www.linkedin.com/pulse/what-luke-belmars-net-worth-capital-club-founder-stocksreviewed-ozyve/
- https://indonesia.un.org/id/172909-apa-itu-perubahan-iklim
- https://science.nasa.gov/climate-change/scientific-consensus/#*
- https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/02/AR5_SYR_FINAL_SPM.pdf
- https://wa.me/6281315777057 mailto:cekfakta@tempo.co.id
(GFD-2024-19718) Menyesatkan, Konten yang Menghubungkan Pandemic Treaty untuk Mendukung Vaksin yang Berisiko pada Kesehatan
Sumber:Tanggal publish: 10/05/2024
Berita
Sebuah akun Facebook [ arsip ] mengunggah konten yang mengaitkan bahwa pandemic treaty mendukung vaksin Covid-19 yang berisiko pada kesehatan. Konten tersebut memuat beberapa tangkapan layar pemberitaan yang salah satunya berjudul “Menlu RI Dukung Pandemic Treaty untuk pemerataan vaksin”.
Beberapa cuplikan pemberitaan online lainnya mengenai efek samping vaksin yang dapat menyebabkan pembekuan darah dan menyebabkan kematian.
Benarkah pandemic treaty mendukung vaksin yang berisiko pada kesehatan? Berikut pemeriksaan faktanya.
Hasil Cek Fakta
Pandemic treaty merupakan istilah lain dari WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) atau konvensi WHO, terkait perjanjian internasional tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi.
Dilansir WHO dalam Zero Draft 21 Februari 2023, WHO CA+ on PPPR merupakan evaluasi dan pengakuan atas kegagalan komunitas internasional menunjukkan solidaritas dan kesetaraan untuk menangani pandemi penyakit virus corona (COVID-19).
Dalam draft tersebut, WHO CA+ on PPPR bertujuan melindungi generasi sekarang dan yang akan datang dari pandemi dan konsekuensinya yang menghancurkan, serta meningkatkan standar kesehatan semua orang atas dasar kesetaraan, hak asasi manusia serta solidaritas. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan kerjasama nasional dan internasional untuk mencegah, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi.
Draf tersebut juga mengatur tentang akses ke teknologi produksi dan distribusi berkelanjutan serta transfer teknologi, peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan, pembagian manfaat, memperkuat dan mempertahankan tenaga kesehatan yang terampil dan kompeten, jaringan pasokan dan logistik global, serta pembiayaan.
Dilansir laman WHO, negara-negara anggota WHO sepakat untuk melanjutkan negosiasi yang bertujuan untuk merampungkan perjanjian tersebut dalam masa sidang 29 April hingga 10 Mei 2024.
"Negara-negara Anggota kami sepenuhnya menyadari betapa pentingnya perjanjian pandemi ini untuk melindungi generasi mendatang dari penderitaan yang kita alami selama pandemi COVID-19," kata Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dan menyepakati perjanjian tersebut. Dilansir Kementerian Luar Negeri RI, Indonesia merupakan negara yang ikut mempelopori penyelenggaraan High Level Meeting (HLM) on Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (PPPR) tahun 2023 di Markas Besar PBB New York.
Dilansir Antara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia mendukung pembentukan perjanjian internasional baru tentang pandemi (Pandemic Treaty) yang saat ini sedang dinegosiasikan di bawah kerangka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Retno Marsudi, yang juga Ketua Bersama COVAX AMC Engagement Group, mengatakan bahwa peran CORVAX adalah memastikan persebaran vaksin secara merata di seluruh dunia cukup berhasil dengan lebih dari 7 miliar dosis vaksin telah diberikan di seluruh dunia.
Namun menurut Indonesia for Global Justice, perjanjian pandemi ini tidak memberikan kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakan apa yang tertulis di dalam WHO CA+ on PPPR. Juga tidak memberikan solusi nyata pada persoalan kekayaan intelektual terkait riset vaksin.
Selain itu, perjanjian ini dianggap masih belum adil. Dalam editorial The Lancet berjudul “ The Pandemic Treaty: shameful and unjust ”, menyoroti Pasal 12 yang menetapkan bahwa WHO hanya memiliki akses terhadap 20% produk terkait pandemi untuk didistribusikan berdasarkan risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat. Sementara 80% sisanya tidak diatur dengan jelas, sehingga akan menimbulkan pergolakan, dan menguntungan penawar tertinggi.
Dengan demikian, pandemic treaty bukan bertujuan mendukung vaksin yang dapat membahayakan bagi kesehatan. Namun secara umum untuk merespon pandemi dan akses yang lebih adil bagi vaksin.
Vaksin yang disebut memiliki efek samping menyebabkan pembekuan darah dan kematian adalah astrazeneca, setelah mereka mengakui dalam dokumen di Pengadilan Tinggi Inggris tentang temuan kasus itu, meski digolongkan jarang terjadi. Astrazeneca telah mengumumkan untuk menarik vaksinnya setelah lebih dari tiga miliar dosis didistribusikan.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim Pandemic Treaty mendukung vaksin yang berisiko pada kesehatan adalah menyesatkan.
Pandemic treaty atau WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) justru bertujuan memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Serta upaya kolektif untuk keadilan akses dalam penyelesaian masalah kesehatan dan teknolog khsusnya vaksini untuk negara berkembang.
Rujukan
- https://web.facebook.com/marasan.lubis.5/posts/pfbid02ThWmFjtwZ11BnyHNdZJsSXXU9BGrLBRRrjdnzzVahZpqvD43wUCSt7T6XNQQsZV1l
- https://web.archive.org/web/20240510135410/
- https://www.facebook.com/marasan.lubis.5/posts/pfbid02ThWmFjtwZ11BnyHNdZJsSXXU9BGrLBRRrjdnzzVahZpqvD43wUCSt7T6XNQQsZV1l?_rdc=1&_rdr
- https://apps.who.int/gb/inb/pdf_files/inb4/A_INB4_3-en.pdf
- https://www.who.int/news/item/28-03-2024-who-member-states-agree-to-resume-negotiations-aimed-at-finalizing-the-world-s-first-pandemic-agreement
- https://www.kemlu.go.id/newyork-un/id/news/20839/indonesia-siapkan-jalan-untuk-agenda-pencegahan-kesiapsiagaan-dan-respon-pandemi-di-perserikatan-bangsa-bangsa
- https://www.antaranews.com/berita/2489517/menlu-ri-dukung-pandemic-treaty-untuk-pemerataan-vaksin
- https://igj.or.id/2024/02/10/informasi-dasar-pandemic-treaty-why-should-we-care/
- https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(24)00410-0/fulltext
- https://www.bbc.com/news/health-68977026
- https://wa.me/6281315777057 mailto:cekfakta@tempo.co.id
(GFD-2024-19717) Sebagian Benar, Vaksin AstraZeneca Berkaitan dengan Sindrom Thrombosis
Sumber:Tanggal publish: 10/05/2024
Berita
Sebuah akun di Facebook [ arsip ] mengunggah video dengan klaim bahwa vaksin AstraZeneca atau yang kini dikenal dengan vaksin Vaxzevria dapat memicu sindrom thrombosis. Di dalam narasi juga disebut bahwa Australia telah melarang vaksin untuk Covid-19 itu digunakan oleh warganya.
Narasi yang beredar selengkapnya yakni: “Tahu nggak, baru terungkap, vaksin Covid AstraZeneca punya efek samping yang berbahaya loh. Siapa yang pas Covid kemarin dapet vaksinnya merek AstraZeneca? Bahkan vaksin ini sudah di-banned di Australia, soalnya ada efek samping yang berbahaya. Efek sampingnya disebut "syndrome thrombosis dengan trombositopenia" atau disingkat TTS. Nah, TTS ini apa sih? Jadi, "syndrome thrombosis dengan trombositopenia melibatkan pembekuan darah yang dikombinasikan dengan jumlah trombosit yang rendah. Dan parahnya, TTS ini bisa menyebabkan cacat jangka panjang bahkan sampai kematian……." ujar narator dalam video ini.
Benarkah vaksin Covid-19 AstraZeneca memicu sindrom trombosis dan telah dilarang di Australia? Berikut pemeriksaan faktanya.
Hasil Cek Fakta
Menurut media Inggris, Telegraph, Perusahaan AstraZeneca sebenarnya telah mengakui untuk pertama kalinya dalam dokumen pengadilan bahwa vaksin Covid-nya dapat menyebabkan efek samping yang jarang terjadi yakni menyebabkan Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS), sindrom dimana seseorang dapat mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah yang rendah. Kasus itu bermula setelah raksasa farmasi tersebut digugat dalam gugatan class action atas klaim bahwa vaksinnya, yang dikembangkan bersama Universitas Oxford, menyebabkan kematian dan cedera serius dalam puluhan kasus.
Lima puluh satu kasus telah diajukan ke Pengadilan Tinggi Inggris, dengan korban dan keluarga yang berduka meminta ganti rugi yang diperkirakan bernilai hingga £100 juta. Kasus pertama diajukan tahun lalu oleh Jamie Scott, ayah dua anak, yang mengalami cedera otak permanen setelah mengalami pembekuan darah dan pendarahan di otak yang menghalanginya bekerja setelah menerima vaksin pada April 2021.
AstraZeneca, menurut media Inggris Independent, telah mengumumkan pihaknya memulai penarikan vaksin Covid-19 di seluruh dunia, beberapa bulan setelah raksasa farmasi itu mengakui bahwa obat tersebut dapat menyebabkan cedera yang jarang terjadi namun mengancam jiwa. Badan Obat Eropa mengeluarkan pemberitahuan bahwa vaksin tersebut tidak lagi diizinkan untuk digunakan.
Meski begitu, Beberapa penelitian yang dilakukan selama pandemi menemukan bahwa vaksin tersebut 60 hingga 80 persen efektif dalam melindungi terhadap Covid. Menurut Dewan Organisasi Ilmu Kedokteran Internasional, efek samping yang “sangat jarang” dilaporkan terjadi pada kurang dari 1 dalam 10.000 kasus. Sementara Sindrom langka terjadi pada sekitar dua hingga tiga orang per 100.000 orang yang menerima vaksinasi vaksin Vaxzevria.
“Di negara-negara dengan penularan SARS-CoV-2 yang sedang berlangsung, manfaat vaksinasi dalam melindungi Covid-19 jauh lebih besar daripada risikonya,” kata WHO.
AstraZeneca di Australia
Pemerintah Australia mengumumkan bahwa Vaksin AstraZeneca tidak lagi tersedia di Australia sejak 21 Maret 2023. Hal ini dikaitkan dengan efek samping yang jarang namun serius, trombosis dengan sindrom trombositopenia (TSS). Sejak saat itu tidak ada lagi kasus TTS terkait AstraZeneca yang dapat terjadi di Australia.
Keputusan itu setelah pada tanggal 8 April 2021, Pemerintah Australia menerima saran dan rekomendasi dari Australian Technical Advisory Group on Immunization (ATAGI) mengenai vaksin Vaxzevria (AstraZeneca) dan sindrom yang disebut Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS).
Pada 17 Juni 2021, ATAGI mengeluarkan pernyataan yang merekomendasikan alternatif pengganti AstraZeneca bagi mereka yang berusia di bawah 60 tahun.
Menurut ABC Australia, Departemen Kesehatan Australia memperkirakan tingkat TSS dari Vaxzevria adalah sekitar dua dari setiap 100.000 orang di atas 60 tahun, dan sekitar dua hingga tiga dari 100.000 orang di bawah 60 tahun. Kasus-kasus dilaporkan terjadi pada semua umur, ada yang ringan dan ada yang fatal.
Sekitar 13 juta dosis AstraZeneca diberikan di Australia, dengan 173 kasus TSS yang “mungkin” atau “dikonfirmasi” dilaporkan ke Therapeutic Goods Administration (TGA), kata juru bicara Departemen Kesehatan. TGA melaporkan 14 kematian terkait dengan vaksinasi Covid-19, delapan di antaranya terkait dengan kasus TSS, kata juru bicara tersebut. Tidak ada kematian baru yang teridentifikasi sejak tahun 2022.
AstraZeneca di Inggris dan Indonesia
Sekitar 50 juta dosis Oxford-AstraZeneca diberikan di Inggris pada musim gugur 2021. Namun, pemerintah sebagian besar telah menghentikan penggunaan vaksin tersebut dan di Inggris digantikan dengan vaksin Pfizer dan Moderna pada saat kampanye booster musim dingin dilakukan pada akhir tahun 2021.
Sementara Badan POM RI telah mengeluarkan Penjelasan Publik Nomor Hm.01.1.2.05.24.35, tanggal 5 Mei 2024 Tentang Pemantauan Jangka Panjang Keamanan Vaksin Covid-19 Astrazeneca.
Hasil kajian BPOM, Kementerian Kesehatan, dan KOMNAS PP KIPI terhadap surveilans aktif dan rutin terkait keamanan vaksin COVID-19 Astrazeneca menunjukkan bahwa manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan.
Hingga April 2024, tidak terdapat laporan kejadian TTS di Indonesia yang berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kajian WHO juga menunjukkan bahwa kejadian TTS terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang/very rare, kurang dari 1 kasus dalam 10.000 kejadian.
Dilansir BPOM,saat ini, vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak digunakan lagi dalam program vaksinasi/imunisasi di Indonesia. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dilansir Rumah Sakit Pusat Pertamina, mengatakan efek samping langka tersebut telah diketahui sejak lama, tapi sangat minimal dan langka.
"Itu sudah lama teridentifikasi dan sudah dilakukan penelitian juga oleh AstraZeneca, ada memang dampak-dampaknya soal vaksin tersebut, tapi minimal sekali." katanya
Menkes juga menegaskan penelitian tersebut telah berlangsung sejak lama dan saat ini hanya menunggu hasil untuk diambil tindakan. Namun, sampai saat ini, laporan dari Indonesia Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI) belum menunjukkan dampak tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Astrazeneca memicu Sindrom Thrombosis adalah sebagian benar.
AstraZeneca telah mengakui bahwa vaksin mereka dapat menyebabkan pembekuan darah, akan tetapi kasus tersebut jarang terjadi. Manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan. Indonesia, Australia, dan Inggris sudah tidak menggunakan lagi vaksin tersebut.
Hingga April 2024, tidak terdapat laporan kejadian TTS di Indonesia yang berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kajian WHO juga menunjukkan bahwa kejadian TTS terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang atau very rare.
Rujukan
- https://www.facebook.com/reel/998140611684531
- https://web.archive.org/web/20240510111301/
- https://www.facebook.com/reel/998140611684531
- https://www-telegraph-co-uk.translate.goog/news/2024/04/28/astrazeneca-admits-covid-vaccine-causes-rare-side-effect/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=wapp
- https://www.independent.co.uk/news/health/rare-side-effects-astrazeneca-covid-vaccine-b2541998.html
- https://www.health.gov.au/our-work/covid-19-vaccines/advice-for-providers/clinical-guidance/tts#:~:text=Symptoms%20typically%20occurred%20between%204,TTS%20can%20occur%20in%20Australia.
- https://www.abc.net.au/news/2024-05-08/astrazeneca-withdraws-covid-19-vaccine-vaxzevria/103819422
- https://www.pom.go.id/penjelasan-publik/penjelasan-publik-nomor-hm-01-1-2-05-24-35-tanggal-5-mei-2024-tentang-pemantauan-jangka-panjang-keamanan-vaksin-covid-19-astrazeneca
- https://www.rspp.co.id/artikel-detail-396-Menkes-Mengungkap-Efek-Samping-Viral-AstraZeneca.html
- https://wa.me/6281315777057 mailto:cekfakta@tempo.co.id
(GFD-2024-19716) [SALAH] SPBU Pertamina Tidak Lagi Menjual Pertalite
Sumber: Facebook.comTanggal publish: 10/05/2024
Berita
KLO cinta sudah melekat…
Melihat kecoa disangka coklat
Selamat menikmati Kemenangan
Selamat tinggal Pertalite, Selamat datang Pertamax Green…
Selamat menikmati !
Dan selamat menyaksikan!
#Pingin rasanya ada yang nangis tersedu-sedu seperti dulu sa’at BBM naik Rp 500 😅😅😅
Melihat kecoa disangka coklat
Selamat menikmati Kemenangan
Selamat tinggal Pertalite, Selamat datang Pertamax Green…
Selamat menikmati !
Dan selamat menyaksikan!
#Pingin rasanya ada yang nangis tersedu-sedu seperti dulu sa’at BBM naik Rp 500 😅😅😅
Hasil Cek Fakta
Artikel disadur dari Kompas.
Muncul sebuah klaim di Facebook pada 5 Mei 2024 mengenai klaim yang mengatakan jika stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang dikelola oleh Pertamina telah menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Penjelasan yang tertera pada narasi foto menjelaskan bahwa Pertalite yang sebelumnya ditawarkan dengan harga Rp. 10.000 per liter telah dihentikan penjualannya dan diganti dengan Pertamax Green 95 yang dipatok dengan harga Rp. 13.900 per liter.
Melansir dari artikel Cek Fakta Kompas.com, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengkonfirmasi bahwa SPBU tersebut masih menjual Pertalite. SPBU tersebut juga merupakan salah satu outlet Pertamina yang menyediakan Pertamax Green 95, sebagai bagian dari usaha Pertamina dalam mendukung pengurangan emisi karbon di Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE). Irto menjelaskan bahwa meskipun Permintaan Pertamax Green 95 terus tumbuh, Pertamina masih tetap menyalurkan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim mengenai SPBU Pertamina tidak lagi menjual pertalite adalah salah. Faktanya SPBU dalam foto tersebut masih menyediakan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.
Muncul sebuah klaim di Facebook pada 5 Mei 2024 mengenai klaim yang mengatakan jika stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang dikelola oleh Pertamina telah menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Penjelasan yang tertera pada narasi foto menjelaskan bahwa Pertalite yang sebelumnya ditawarkan dengan harga Rp. 10.000 per liter telah dihentikan penjualannya dan diganti dengan Pertamax Green 95 yang dipatok dengan harga Rp. 13.900 per liter.
Melansir dari artikel Cek Fakta Kompas.com, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengkonfirmasi bahwa SPBU tersebut masih menjual Pertalite. SPBU tersebut juga merupakan salah satu outlet Pertamina yang menyediakan Pertamax Green 95, sebagai bagian dari usaha Pertamina dalam mendukung pengurangan emisi karbon di Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE). Irto menjelaskan bahwa meskipun Permintaan Pertamax Green 95 terus tumbuh, Pertamina masih tetap menyalurkan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim mengenai SPBU Pertamina tidak lagi menjual pertalite adalah salah. Faktanya SPBU dalam foto tersebut masih menyediakan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.
Kesimpulan
Klaim mengenai SPBU Pertamina tidak lagi menjual pertalite adalah salah. Faktanya SPBU dalam foto tersebut masih menyediakan Pertalite sesuai penugasan pemerintah.
Rujukan
Halaman: 2524/6831






