• (GFD-2024-20723) [HOAKS] Pedangdut Siti Badriah Meninggal pada 23 Juni 2024

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/06/2024

    Berita

    KOMPAS.com- Penyanyi dangdut Siti Badriah dikabarkan meninggal dunia karena kecelakaan. Kabar ini beredar dalam unggahan yang tayang pada 23 Juni 2024.

    Namun, setelah ditelusuri narasi tersebut tidak benar atau hoaks.

    Narasi yang mengeklaim Siti Badriah meninggal dunia karena kecelakaan muncul di media sosial, salah satunya dibagikan oleh akun Threads ini dan Facebook ini, ini. 

    Akun tersebut membagikan gambar yang menampilkan sejumlah orang mengerubungi keranda jenazah. Gambar tersebut diberi keterangan:

    BREAKING NEWS

    SITI BARIAH MENINGGAL AKIBAT KECELAKAAN

    Heboh Kabar Pedangdut Siti Badriah Meninggal Karena Kecelakaan, Fakta Asli pun Akhirnya Terungkap

    Kemudian, dalam unggahan juga terdapat tautan artikel di laman leslarr.my.id

    Hasil Cek Fakta

    Tim Cek Fakta Kompas.com menelusuri gambar yang menampilkan sejumlah orang  mengerubungi keranda jenazah dengan teknik reverse image search.

    Hasilnya, foto keranda jenazah yang digotong itu identik dengan unggahan di laman Kodim0734.jogjakota.go.id.

    Foto yang diunggah pada tahun 2022 itu adalah momen saat Babinsa Kelurahan Wirobrajan Koramil 10/Wirobrajan, Kodim 0734/Kota Yogyakarta, Serda Distanta Sanday, takziah di tempat salah satu warga bernama Mujirah (68).

    Setelah tautan dalam unggahan dibuka, tidak ditemukan infromasi valid yang mengabarkan Siti Badriah meninggal.

    Tautan justru berisi artikel yang memuat wawancara Siti Badriah dengan youtuber Denny Sumargo. Dalam wawancara, Siti Badriah menceritakan soal kabar hoaks yang sempat menyebut dirinya meninggal karena kecelakaan. 

    Pada Minggu (23/6/2024), Siti Badriah masih membagikan kebersamaan dengan keluarganya melalui story di Instagram. Sehingga, informasi yang menyebut Siti Badriah meninggal dipastikan hoaks.  

    Kesimpulan

    Narasi yang mengeklaim Siti Badriah meninggal dunia karena kecelakaan tidak benar atau hoaks.

    Foto dalam unggahan merupakan momen ketika Babinsa Kelurahan Wirobrajan, Yogyakarta takziah ke salah satu warga yang meninggal. Sampai saat ini  juga tidak ditemukan informasi valid Siti Badriah meninggal dunia.

    Siti Badriah juga pernah menceritakan kabar hoaks yang menyebut dirinya meninggal karena kecelakaan.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20722) Sebagian Benar, Klaim tentang Dana Pendidikan Negara-negara Nordik Lewat Pajak Tinggi

    Sumber:
    Tanggal publish: 25/06/2024

    Berita



    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi permintaan publik yang sering muncul terkait dana pendidikan, seperti fasilitas pendidikan hingga kuliah gratis seperti di negara-negara Nordik atau Eropa Utara. Baru-baru ini, perbincangan publik menghangat akibat biaya kuliah mahal.

    Menurutnya, negara-negara Eropa Utara, atau biasa disebut negara Nordik, dapat memberikan kuliah gratis karena pajaknya 70%.

    “Aku pernah teman di Bank Dunia, dia dari Finlandia. Saya tanya, how much tax you pay? Oh, around 70%. Jadi kalau kamu dapet (US$)100.000, kamu cuma dapet US$30.000? Iya, tutur dia,” ujar Sri Mulyani dalam seminar nasional Jesuit Indonesia, di Jakarta, Kamis (30/5/2024), sebagaimana dilansir Kompas.com.

    Benarkah pernyataan Sri Mulyani soal pajak tinggi di negara-negara Nordik sehingga biaya kuliah bisa terjangkau?

    Hasil Cek Fakta



    Dosen Universitas Paramadina, Benni Yusriza Hasbiyalloh, menilai pernyataan Sri Mulyani itu pada umumnya akurat tetapi berlebihan. Secara umum, memang tingginya tarif pajak di negara-negara Nordik untuk mendanai layanan sosial mereka yang luas, termasuk pendidikan gratis.

    “Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia, tarif pajak penghasilan pribadi teratas memang tinggi, tetapi biasanya berkisar antara 38% hingga 56%, tidak mencapai 65-70% seperti yang disebutkan,” ujarnya. 

    Benni merujuk data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mencatat pajak marginal negara-negara Skandinavia itu. Misalnya, Denmark memiliki tarif pajak marginal teratas sekitar 55,5% dan Swedia 52,2%. Sedangkan Finlandia berada di ranking 19 negara OECD dalam sistem perpajakan dan memiliki PPh sebesar 51,4%, jauh di atas rata-rata OECD sebesar 42,5% pada tahun 2023.

    Negara-negara ini, kata Benni, memang mendanai negara kesejahteraan komprehensif mereka, termasuk pendidikan tinggi gratis, melalui tarif pajak tinggi ini yang digabungkan dengan kontribusi signifikan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan kontribusi jaminan sosial. Rata-rata PPN untuk negara-negara Nordik adalah 25%, dan kontribusi yang beragam sesuai dengan di kota mana pekerja menetap. 

    Alumnus Universitas Lund, Swedia itu menggambarkan bagaimana pengenaan pajak di Swedia. Jika seseorang bekerja di sana, pekerja yang mendapatkan pendapatan di bawah ambang batas SEK 598.500 akan dikenakan pajak penghasilan berkisar antara 29-35%, sesuai dengan tempat tinggal dari pekerja. “Apabila melebihi ambang batas, akan dikenakan tambahan 20% pajak penghasilan yang ditarik ke negara,” jelasnya. 

    Begitu pula dengan potongan lain seperti potongan gereja jika seseorang menganut agama Kristen maupun Katolik, dan potongan pemakanan dengan jumlah yang bervariasi di setiap kota. “Beban pajak keseluruhan di negara-negara ini memang besar, dan memungkinkan mereka untuk menawarkan layanan publik yang luas, menciptakan tingkat kepercayaan sosial dan efisiensi institusional yang tinggi,” ujar Benni.

    Sementara itu peneliti Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, pernyataan Sri Mulyani tersebut benar jika dilihat dari sisi pajak progresif, bukan rasio dari pajaknya sendiri.

    Negara-negara Eropa Utara memang mendanai kesejahteraan sosial, termasuk pendidikan tinggi gratis, melalui tarif pajak tinggi yang digabungkan dengan kontribusi signifikan dari pajak pertambahan nilai (PPn) dan kontribusi jaminan sosial. Rata-rata PPn untuk negara-negara Nordik adalah 25%, dan kontribusi yang beragam sesuai dengan kota tempat pekerja menetap.

    Apalagi, tarif pajak di Eropa Utara cukup besar dan kebanyakan negara mendapatkan pendapatan dari PPh. “Sedangkan di Indonesia, terlalu banyak sektor informal yang tidak masuk dalam pemasukan negara berupa pajak,” katanya.

    Di sisi lain, pajak pendapatan bukan satu-satunya bagian dari struktur pajak yang ada. Terdapat beragam sumber pembiayaan negara yang lain. PPh hanya mencakup 29% dari penerimaan utama Finlandia. Salah satu sumber lainnya adalah PPn yang mencakup 33,7%.

    Finlandia juga memiliki rasio pajak sebesar 43% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sedangkan Indonesia hanya 10,9% terhadap PDB. Finlandia juga memiliki proporsi pendapatan 30% terhadap pendapatan seluruh pajak, sedangkan Indonesia hanya 9%.

    “Artinya, beban pajak keseluruhan di negara-negara Eropa Utara memang besar. Ini memungkinkan mereka untuk menawarkan layanan publik yang luas, menciptakan tingkat kepercayaan sosial dan efisiensi institusional yang tinggi,” jelasnya.

    Namun Michael menegaskan bahwa kita perlu lebih jeli dalam menilai argumen dari Sri Mulyani, terutama mengenai pajak. “Memang sistem pajak negara yang lebih maju tidak bisa dibandingkan dengan yang masih memiliki sektor informal yang besar, seperti Indonesia,” pungkasnya.

    Kesimpulan



    Pernyataan Sri Mulyani soal pajak tinggi di negara-negara Nordik sehingga biaya kuliah bisa terjangkau, adalah sebagian benar.

    Pajak pendapatan bukan satu-satunya bagian dari struktur pajak mereka, tetapi ada beragam sumber pembiayaan negara yang lain. Contohnya Finlandia, PPh hanya mencakup 29% dari penerimaan utama Finlandia. Salah satu sumber lainnya adalah PPn yang mencakup 33,7%.

    Berbeda dengan Indonesia yang hanya 10,9% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), rasio pajak Finlandia sebesar 43% terhadap PDB. Finlandia juga memiliki proporsi pendapatan 30% terhadap pendapatan seluruh pajak, sedangkan Indonesia hanya 9%.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia

    Rujukan

  • (GFD-2024-20721) Sebagian Benar, Klaim Mengenai Indonesia Alami Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I Tertinggi Sejak Tahun 2015

    Sumber:
    Tanggal publish: 25/06/2024

    Berita



    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I-2024 merupakan pertumbuhan triwulan I tertinggi sejak tahun 2015.

    "Solidnya pertumbuhan ekonomi di triwulan I tersebut juga dikonfirmasi oleh berbagai lembaga rating yang memberikan asesmen positif bahwa ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil," ujar Airlangga dalam keterangannya, Selasa, 7 Mei 2024.

    Benarkah pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I-2024 yang tercatat 5,11 persen secara tahunan (year-on-year) merupakan pertumbuhan triwulan I tertinggi sejak tahun 2015?

    Hasil Cek Fakta



    Peneliti Intelligence Unit Lead and Sustainable Growth Lab, Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, membenarkan pernyataan Airlangga Hartarto. Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun ini merupakan yang tertinggi sejak 2019 dalam periode yang sama secara tahunan (yoy). 

    Namun, capaian pertumbuhan ekonomi tersebut tak terlepas dari faktor pemilihan umum (pemilu). Dikutip dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, pemilu berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pemilu serentak untuk pertama kalinya dari level nasional hingga kabupaten/kota ini juga mendorong terjadinya injeksi likuiditas dalam jumlah besar ke perekonomian akibat adanya pengeluaran kampanye dan belanja publik.

    Tak hanya itu, besarnya dampak pengganda di perekonomian akan memicu konsumsi domestik selama tahun 2024. Sebab, pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diperkirakan akan terjadi menjelang akhir tahun. 

    Michael menambahkan, korelasi positif ini terlihat dari komponen lembaga nonprofit rumah tangga (LNPRT) yang pertumbuhannya 23%. Adapun lembaga nonprofit mencakup organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, lembaga keagamaan, organisasi profesi dan serikat buruh, organisasi kebudayaan, olahraga, dan rekreasi, serta partai politik. “Dari list itu, kemungkinan partai politik (sebagai penyumbang terbesar),” tuturnya.

    Meski begitu, klaim positif pertumbuhan ekonomi perlu diperiksa secara mendetail, terutama dari sektor yang menjadi penopang pertumbuhan selama ini: konsumsi rumah tangga.

    Dalam periode yang sama pada tahun politik, dia menyoroti pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada Pemilu 2024 adalah yang terendah: 4,91%. Bandingkan dengan triwulan I 2014 dan 2019 yang masing-masing 5,23% dan 5,02%. 

    “Pemerintah sepatutnya mencermati tren konsumsi rumah tangga yang menurun selama pemilu, tak hanya mengumbar angka pertumbuhan secara umum,” ujar Michael.

    Panjangnya periode transisi kekuasaan hingga pemerintahan baru menjabat juga diperkirakan memperpanjang periode sentimen wait-and-see oleh sektor swasta. Artinya, ini berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan investasi.

    Kesimpulan



    Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I-2024 adalah pertumbuhan triwulan I tertinggi sejak tahun 2015, adalah sebagian benar.

    Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun ini merupakan yang tertinggi sejak 2019 dalam periode yang sama secara tahunan (yoy). Bukan sejak tahun 2015.

    Namun, capaian pertumbuhan ekonomi tersebut tak terlepas dari faktor pemilihan umum, terutama partai politik (sebagai penyumbang konsumsi terbesar). Pemerintah sepatutnya mencermati tren konsumsi rumah tangga yang justru menurun selama pemilu.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui ema

    Rujukan

  • (GFD-2024-20720) Menyesatkan, Klaim Jokowi Sebut Indonesia Lampaui Target Penurunan Emisi Karbon

    Sumber:
    Tanggal publish: 25/06/2024

    Berita



    Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumbar klaim bahwa aksi pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia sudah melampaui target. Jokowi menekankan, ke depannya, emisi tersebut dapat dikurangi dengan lebih baik apabila didukung oleh kerja sama internasional.

    “Indonesia sendiri telah melampaui target komitmen penurunan karbon dengan berhasil menurunkan emisi sejak 2020 hingga 2023, yang mana prestasi dari aksi iklim ini dapat terus dicapai dan lebih baik dengan dukungan kerja sama internasional, terlebih melalui tata kelola dana lingkungan hidup yang baik,” ujar Jokowi, Ahad, 2 Juni 2024 saat menyambut Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia; Andreas Bjelland Eriksen, di Istana Negara.

    Benarkah klaim Jokowi soal terlampauinya target penurunan emisi karbon Indonesia tersebut?

    Hasil Cek Fakta



    Peneliti ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, UNSW Sydney, Denny Gunawan membenarkan klaim Jokowi itu sesuai analisis data-data yang ada. Namun, sebenarnya target iklim yang dipatok Indonesia masih sangat kurang untuk menahan laju pemanasan suhu Bumi agar tak lebih dari 1,5°C.

    “Kebijakan pemerintah saat ini masih sangat kurang untuk mencapai target emisi nol bersih menurut analisis dari Climate Action Tracker,” ujar Denny menegaskan.

    Indonesia, dalam dokumen target iklimnya, memasang target pengurangan laju emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri, atau 43,20% dengan dukungan internasional. Dengan kata lain, supaya laju emisi dapat berkurang sesuai persentase di atas, Indonesia perlu memangkas 915-1.240 juta ton emisi setara CO2 (CO2e) pada 2030.

    Pengurangan ini merujuk pada tren emisi acuan (baseline) yang ditetapkan berdasarkan skenario kenaikan emisi di masa depan apabila Indonesia tidak melakukan upaya pengurangan.

    Berdasarkan data Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2023, sejauh ini tingkat emisi gas rumah kaca nasional pada 2022 mencapai 1.228,72 juta ton CO2e. Angka tersebut, menurut pemeriksaan Denny, 41,61% lebih rendah dibandingkan skenario emisi acuan pada 2022, yakni sebesar 2.104,46 juta ton CO2e.

    Walaupun sudah mencapai target, Denny menggarisbawahi bahwa sejatinya komitmen Indonesia masih sangat kurang. Dia merujuk pada analisis koalisi lembaga penelitian global, Climate Action Tracker (CAT) yang menemukan dokumen target iklim Indonesia tergolong “Critically Insufficient” alias amat jauh dari cukup.

    Arti dari kategori “Critically Insufficient” ini adalah kenaikan suhu global akan mencapai 4°C apabila semua negara di dunia mengikuti cara Indonesia.

    Denny berpendapat, pengurangan emisi ala Indonesia masih bertumpu pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan, yakni sekitar 60% dari target. Akibatnya, meski target pengurangan emisi dapat dengan mudah tercapai, kontribusi sektor lain menjadi lebih rendah.

    Dia mencontohkan sektor energi baru berkontribusi mengurangi emisi sebesar 123,22 juta ton CO2e per 2022. “Dengan kebijakan saat ini, emisi Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 300 juta ton CO2e pada 2030 utamanya akibat emisi dari penggunaan batu bara,” ujar Denny.

    Pemerintah, kata Denny, harus membuat target pengurangan emisi sektor energi yang lebih ambisius. Beberapa langkah yang penting dilakukan adalah pemensiunan dini PLTU, percepatan pembangunan infrastruktur pembangkit listrik energi terbarukan.

    “Pemerintah juga perlu meningkatkan efisiensi energi dan elektrifikasi di berbagai sektor, serta pengembangan bahan bakar ramah lingkungan,” kata Denny.

    Kesimpulan



    Klaim Jokowi soal terlampauinya target penurunan emisi karbon Indonesia adalah menyesatkan. 

    Walaupun sejumlah data menunjukkan capaian penurunan target emisi karbon, target iklim Indonesia tergolong “Critically Insufficient” alias amat jauh dari cukup. Pengurangan emisi ala Indonesia masih bertumpu pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan, yakni sekitar 60% dari target. Akibatnya, meski target pengurangan emisi dapat dengan mudah tercapai, kontribusi sektor lain menjadi lebih rendah.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

    Rujukan