(GFD-2025-25267) Keliru, Monkeypox Diakui Sebagai Efek Samping Vaksin Pfizer yang Tertulis di Situs VigiAccess
Sumber:Tanggal publish: 22/01/2025
Berita
Sebuah konten beredar di Facebook [ arsip ], Substack, dan X yang berisi klaim bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengakui bahwa Monkeypox atau Mpox adalah efek samping dari vaksinasi COVID-19.
Konten itu memperlihatkan tangkapan layar sebuah artikel berjudul "WHO Admits Monkeypox Is ‘Side Effect’ of Covid ‘Vaccine’" yang ditulis Frank Bergman, dan diterbitkan tanggal 11 Oktober 2024. Artikel ini yang menjadi rujukan pengunggah konten bahwa WHO mengakui Monkeypox sebagai efek samping vaksin Covid-19.
Namun, benarkah WHO mengakui Mpox adalah efek samping dari vaksinasi COVID-19?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan sumber-sumber yang dirujuk oleh Tempo, faktanya, tidak pernah ada pernyataan dari WHO bahwa mereka mengakui vaksinasi COVID-19 memberikan efek samping berupa Monkeypox atau yang dikenal sebagai cacar monyet.
Hasil penelusuran Tempo terhadap artikel "WHO Admits Monkeypox Is ‘Side Effect’ of Covid ‘Vaccine’" berasal dari website Slaynews.com. Artikel itu menyebutkan bahwa monkeypox tertulis sebagai efek samping vaksin Pizer dalam situs VigiAccess.org, sebuah situs yang dibangun WHO pada 2015 untuk menyediakan akses bagi publik tentang potensi efek samping dari produk obat.
Tangkapan layar nama “monkeypox” yang tertera dalam VigiAccess.org ditampilkan dalam artikel tersebut. Tempo juga telah mencocokkan bahwa “Monkeypox” memang tertulis di bagian efek samping vaksin Pfizer Biontech.
Namun dalam situs VigiAccess.org, WHO telah menjelaskan bahwa VigiAccess tidak bisa digunakan untuk menyimpulkan hubungan yang dikonfirmasi sebagai efek samping dari obat-obatan tertentu. Daftar potensi efek samping yang termuat dalam VigiAccess berdasarkan input dari orang yang melaporkan, namun bukan bentuk konfirmasi. Sebab untuk mengkonfirmasi adanya hubungan sebab akibat atau efek samping dari obat, adalah proses rumit yang membutuhkan penelitian ilmiah menyeluruh dan evaluasi terperinci.
Penjelasan WHO mengenai VigiAccess yang tercantum dalam situs VigiAccess.org dan telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
Dikutip dari Reuter.com, manajer VigiBase yang mengelola data VigiAccess.com, Helena Skold menyatakan narasi keliru yang menghubungkan Mpox sebagai efek samping vaksin COVID-19 Pfizer, telah beredar luas.
Namun VigiAccess.com adalah wadah untuk menampung laporan yang sebagian belum diperiksa kebenarannya. Hal itu membuat data di dalamnya tidak bisa dijadikan bukti atas efek samping suatu obat atau vaksin.
Skold juga menyatakan tidak ada laporan atau penelitian kredibel yang menemukan cacar monyet, cacar sapi, atau cacar merupakan efek samping dari vaksin COVID Pfizer atau vaksin apa pun.
Ahli mikrobiologi dan imunologi dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di AS, Kari Moore Debbink juga membantah narasi yang beredar tersebut dan membuktikannya dengan data, pada media asal Jerman, DW.
“Vaksin COVID mRNA digunakan secara global, sementara kasus Mpox biasanya ditemukan di negara-negara tertentu di Afrika, dengan beberapa kasus rendah di luar wilayah tersebut. Oleh karena itu, tidak ada hubungan geografis antara penggunaan vaksin COVID mRNA dan kasus Mpox," kata Debbink.
Profesor penyakit menular di Vanderbilt University Medical Center di Nashville, AS, William Schaffner juga sependapat: "Ini adalah dua virus yang sangat berbeda, dan tentu saja, vaksin melawan COVID tidak ada hubungannya dengan Mpox," kata dia.
Penyebab Mpox
Dilansir Tempo, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Penyakit Tropik Infeksi RS Pondok Indah, Bintaro Jaya Hadianti Adlani, menjelaskan bahwa Mpox adalah penyakit infeksi zoonosis atau penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia yang bersifat self-limiting disease atau dapat sembuh dengan sendirinya.
Penyakit Mpox disebabkan oleh sejenis virus golongan orthopox virus, yaitu virus Human Monkeypox yang dibawa oleh tikus Afrika (sebagai penyebab terbesar penyebaran virus ini) serta hewan pengerat, hewan liar lainnya, atau hewan primata (kera).
"Semua orang dari segala usia dan jenis kelamin dapat terkena penyakit ini. Namun infeksi akan lebih berat dan lebih sering terjadi pada usia anak-anak," katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 21 Agustus 2024.
Namun, pada umumnya, orang yang pernah terinfeksi virus ini akan memiliki kekebalan terhadap penyakit yang sama sebesar 85 persen.
"Namun, jika daya tahan tubuh menurun, seperti pada kondisi seseorang yang disebutimmunocompromised, maka bisa saja terserang kembali atau terkena lebih dari satu kali," katanya.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan WHO mengakui Mpox adalah efek samping vaksin Covid-19 adalah klaim yangkeliru. Narasi itu berdasarkan data yang belum diverifikasi.
Rujukan
- https://web.facebook.com/fernando.tambunan.334/posts/pfbid0oek1nDUaERbpdBfPY6gv1SMbHhtdKGEtnjfP7Z8uZQdt3AnvWZvhBsQC46JCzikkl?_rdc=1&_rdr
- https://mvau.lt/media/38746d9e-f000-4b91-b498-58c86dd04b76
- https://lionessofjudah.substack.com/p/who-admits-monkeypox-is-side-effect
- https://x.com/toobaffled/status/1844877475832356904
- https://slaynews.com/news/who-admits-monkeypox-side-effect-covid-vaccine/
- http://vigiaccess.org
- https://www.reuters.com/fact-check/who-didnt-admit-monkeypox-is-side-effect-pfizers-covid-vaccine-2024-10-30/
- https://www.dw.com/en/fact-check-no-link-between-mpox-and-covid-vaccination/a-69977565
- https://www.tempo.co/gaya-hidup/mengenal-mpox-dan-kenali-gejalanya-ini-kata-dokter-378370 /cdn-cgi/l/email-protection#93f0f6f8f5f2f8e7f2d3e7f6fee3fcbdf0fcbdfaf7
(GFD-2025-25266) Menyesatkan, Pemerintahan Donald Trump Ingin Pindahkan Warga Gaza ke Indonesia
Sumber:Tanggal publish: 22/01/2025
Berita
Sebuah konten yang beredar di Instagram [ arsip ] dan YouTube memuat klaim bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ingin memindahkan dua juta warga Gaza ke Indonesia.
Konten itu berbentuk poster dengan foto Donald Trump dan narasi: Viral! Donald Trump ingin pindahkan 2 juta warga Gaza ke negara Indonesia
Benarkah Trump ingin memindahkan dua juta warga Gaza ke Indonesia?
Hasil Cek Fakta
Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa wacana memindahkan 2 juta warga Gaza ke Indonesia memang diucapkan oleh utusan Trump. Namun wacana ini telah dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia. Sejumlah pengamat menyatakan bahwa wacana itu tidak mungkin terjadi dan bukan bagian dari hasil kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Wacana memindahkan warga Gaza ke Indonesia pertama kali disebutkan dalam berita NBCnews.com edisi 19 Januari 2025. Berita itu mengulas informasi bahwa utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff yang mempertimbangkan untuk mengunjungi Gaza setelah gencatan senjata. Ia juga menyinggung rencana kelanjutan dari kesepakatan gencatan senjata tersebut, termasuk relokasi sementara 2 juta warga Palestina yang saat ini berada di pengungsian. Indonesia disebut menjadi salah satu negara yang dikaji untuk menjadi tujuan pemindahan sementara tersebut.
Namun gagasan relokasi itu sangat kontroversial karena diyakini menjadi cara Israel menguasai tanah warga Palestina.
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Jannus TH Siahaan, dalam opininya yang diterbitkan The Times of Israel, menyatakan, perkataan Witkoff bukan pernyataan resmi Trump.
Namun menurutnya, pernyataan itu menggambarkan pemerintahan Trump tidak menyukai sikap Indonesia yang aktif memojokkan Israel dalam forum-forum internasional.
Menurut Jannus, secara teknis rencana itu sulit direalisasikan, mengingat warga Palestina sangat setia mempertahankan tanah air mereka, Indonesia juga bukan tujuan utama pengungsi dari Timur Tengah. Wacana itu berpotensi menjauhi agenda solusi dua negara.
Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) UGM, Nur Rachmat Yuliantoro, mengatakan Trump beberapa kali memperlihatkan kedekatannya dengan Witkoff. Trump beberapa kali melontarkan pujian kepada Witkoff. Meski begitu pernyataan Witkoff masih wacana.
“Dilihat dari sisi ini, bisa saja kita mengatakan bahwa pernyataan Witkoff adalah resmi, tetapi ia masih merupakan wacana, belum menjadi kebijakan,” kata Nur Rachmat pada Tempo melalui pesan, Rabu, 22 Januari 2025.
Menurutnya kalimat itu bisa dilihat sebagai pernyataan resmi, meskipun wacana memindahkan dua juta warga Gaza ke Indonesia adalah sesuatu yang "nyeleneh" dan tidak masuk akal.
“Itu sama sekali bukan solusi yang cerdas, tapi lebih sekedar sensasi saja. Secara logika, secara teknis, wacana itu akan sangat sulit dan tidak akan diterima baik oleh warga Gaza maupun pemerintah dan rakyat Indonesia,” ujar Nur Rachmat.
Tanggapan Indonesia
Dilansir Tempo, Juru Bicara Kemlu RI Rolliansyah Soemirat menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah mendapat usulan dari pihak manapun terkait rencana relokasi besar-besaran warga Gaza ke Indonesia.
“Pemerintah RI tidak pernah mendapatkan informasi apapun mengenai hal ini,” kata Rolliansyah, 20 Januari 2025.
Artinya bila pun benar ada rencana tersebut, hal itu belum dibahas secara resmi dengan pemerintah Indonesia. Selama ini pemerintah Indonesia aktif mengirimkan berbagai bentuk bantuan kepada Palestina, namun tak ada di antaranya yang berupa penerimaan relokasi warga.
Sementara Menlu RI Sugiono menyatakan siap mendukung rekonstruksi Gaza dan menambah pengiriman bantuan kemanusiaan, serta siap mengirim pasukan perdamaian ke wilayah Palestina jika diminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang diucapkannya pada Jumat, 17 Januari 2025.
Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan tertulis bertanggal 21 Januari 2025, juga menegaskan Indonesia tetap dengan posisi bahwa segala upaya untuk memindahkan warga Gaza tidak dapat diterima.
Dalam pernyataan resmi yang diterima Tempo itu, Kemlu RI menyatakan berbagai upaya pengurangan warga Palestina di gaza bisa berujung pada perluasan pendudukan ilegal oleh Israel.
"Gencatan senjata di Gaza harus menjadi momentum untuk memulai dialog dan negosiasi guna mewujudkan solusi dua negara, sesuai hukum internasional dan parameter internasional yang telah disepakati," isi keterangan tersebut.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang menyatakan pemerintahan Trump ingin memindahkan dua juta penduduk Gaza ke Indonesia adalah klaim yangmenyesatkan.
Wacana relokasi tersebut sulit direalisasikan dan bukan bagian dari hasil kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Rujukan
- https://www.instagram.com/p/DFCwzDmyxwN/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading
- https://mvau.lt/media/7ebede77-2c81-4366-b2b8-3e2f70caf21e
- https://www.youtube.com/watch?v=rcj2rfsbZmg
- https://www.nbcnews.com/politics/donald-trump/trump-middle-east-steve-witkoff-consider-visit-gaza-strip-rcna188274
- https://blogs.timesofisrael.com/how-indonesia-should-interpret-steve-witkoffs-statement/
- https://www.tempo.co/internasional/kemlu-ri-tanggapi-usulan-pejabat-trump-soal-relokasi-warga-gaza-ke-indonesia--1196601
- https://www.tempo.co/internasional/kementerian-luar-negeri-pastikan-tak-punya-rencana-menampung-sementara-2-juta-warga-gaza-ke-indonesia--1196774
(GFD-2025-25265) Cek Fakta: Vaksin Covid Mengandung Sebagian Virus HIV
Sumber:Tanggal publish: 22/01/2025
Berita
Suara.com - Laporan tentang wabah Human Metapneumovirus (HMPV) di Tiongkok telah memunculkan kembali teori konspirasi seputar COVID-19 di media sosial. Misalnya, cuplikan Instagram yang diunggah oleh @haybags73 mengklaim bahwa vaksin COVID-19 mengandung sebagian dari virus imunodefisiensi manusia atau HIV. Video tersebut telah ditonton hampir 10 juta kali di platform media sosial tersebut, dan lebih dari 22.000 kali disukai, dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Video tersebut menampilkan dua segmen: satu menampilkan komentar tentang zat yang mengikat permukaan virus corona, diikuti oleh narasi yang membahas struktur protein lonjakan vaksin dan respons antibodi.
Narasi tersebut menunjukkan bahwa penstabil protein lonjakan dalam vaksin tersebut mengandung "fragmen HIV."
Protein lonjakan adalah struktur yang ditemukan pada permukaan virus tertentu, termasuk virus corona. Lonjakan ini memungkinkan virus menempel dan memasuki sel manusia. Saat virus berada di dalam sel, virus dapat mulai bereplikasi dan menyebabkan penyakit. Dalam kasus COVID-19, protein lonjakan adalah target vaksin, yang mengajarkan sistem imun kita cara mengenali dan melawan virus.
"Bentuk protein lonjakan virus corona sebelum virus bertemu sel-sel kita adalah yang memicu respons antibodi yang paling protektif," kata narator dalam video tersebut. "Jadi, Keith (merujuk pada ahli virologi Australia, Profesor Keith Chappell, yang sebelumnya sedang mengerjakan vaksin COVID) harus membuat protein lonjakan di lab, menguncinya ke dalam bentuk yang persis sama dengan menambahkan protein lain yang bertindak seperti penjepit, dan protein itu adalah fragmen kecil HIV. Ini terlihat sangat rumit, bukan? Dan jika memang demikian, itu bagus karena setiap panah merah ini menunjukkan HIV dalam protein lonjakan."
Video diakhiri dengan rekaman Dr. Richard M Fleming, seorang pria yang sebelumnya dihukum karena penipuan layanan kesehatan dan surat dan dikenal menyebarkan teori konspirasi tentang pandemi COVID-19, juga membahas dugaan komponen HIV dalam protein lonjakan COVID.
Lantas benarkah narasi tersebut?
Video tersebut menampilkan dua segmen: satu menampilkan komentar tentang zat yang mengikat permukaan virus corona, diikuti oleh narasi yang membahas struktur protein lonjakan vaksin dan respons antibodi.
Narasi tersebut menunjukkan bahwa penstabil protein lonjakan dalam vaksin tersebut mengandung "fragmen HIV."
Protein lonjakan adalah struktur yang ditemukan pada permukaan virus tertentu, termasuk virus corona. Lonjakan ini memungkinkan virus menempel dan memasuki sel manusia. Saat virus berada di dalam sel, virus dapat mulai bereplikasi dan menyebabkan penyakit. Dalam kasus COVID-19, protein lonjakan adalah target vaksin, yang mengajarkan sistem imun kita cara mengenali dan melawan virus.
"Bentuk protein lonjakan virus corona sebelum virus bertemu sel-sel kita adalah yang memicu respons antibodi yang paling protektif," kata narator dalam video tersebut. "Jadi, Keith (merujuk pada ahli virologi Australia, Profesor Keith Chappell, yang sebelumnya sedang mengerjakan vaksin COVID) harus membuat protein lonjakan di lab, menguncinya ke dalam bentuk yang persis sama dengan menambahkan protein lain yang bertindak seperti penjepit, dan protein itu adalah fragmen kecil HIV. Ini terlihat sangat rumit, bukan? Dan jika memang demikian, itu bagus karena setiap panah merah ini menunjukkan HIV dalam protein lonjakan."
Video diakhiri dengan rekaman Dr. Richard M Fleming, seorang pria yang sebelumnya dihukum karena penipuan layanan kesehatan dan surat dan dikenal menyebarkan teori konspirasi tentang pandemi COVID-19, juga membahas dugaan komponen HIV dalam protein lonjakan COVID.
Lantas benarkah narasi tersebut?
Hasil Cek Fakta
Investigasi First Check mengungkapkan bahwa video tersebut secara menyesatkan menggabungkan konten yang tidak terkait, untuk menarik kesimpulan yang salah. Segmen pembuka berasal dari dokumenter tentang kandidat vaksin yang tidak berhasil, sementara bagian terakhir mempromosikan teori yang tidak berdasar tentang asal-usul COVID-19 sebagai senjata biologis, yang tidak terkait dengan pengembangan vaksin.
Melalui analisis gambar terbalik dan tanda air BBC yang terlihat, First Check melacak rekaman awal kembali ke dokumenter yang mencatat upaya lima tim global untuk mengembangkan vaksin COVID-19, berjudul "Horizon Special: The Vaccine" dan disiarkan pada bulan Juni 2021. Orang tertentu yang ditampilkan dalam klip tersebut adalah Profesor Keith Chappell, seorang ahli virologi molekuler dan arsitek vaksin COVID yang saat itu dikembangkan oleh Universitas Queensland Australia. Vaksin tersebut kemudian dihentikan setelah uji coba menghasilkan hasil HIV positif palsu. Vaksin tersebut tidak pernah berkembang melampaui uji coba Fase 1 awal dan tidak pernah didistribusikan ke publik.
Bagian kedua dari video tersebut tidak ada hubungannya dengan diskusi vaksin di segmen pertama atau keberadaan HIV dalam vaksin COVID.
Pencarian gambar terbalik dan pencarian sederhana di YouTube, memanfaatkan isyarat visual dalam video, membantu First Check memastikan bahwa itu adalah bagian dari presentasi yang dilakukan pada bulan Oktober 2021 oleh Dr. Richard M Fleming, yang mengidentifikasi dirinya sebagai ahli jantung nuklir dan preventif. Pembicaraan itu untuk mempromosikan bukunya, "Apakah COVID-19 Senjata Biologis?: Investigasi Ilmiah dan Forensik."
Namun, Dr. Fleming telah lama didiskreditkan sebagai ilmuwan serius dan bahkan dilarang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk berpartisipasi dalam studi obat apa pun.
Berdasarkan bukti ini, First Check menentukan bahwa video viral ini secara menipu menggabungkan rekaman untuk secara keliru menyiratkan vaksin COVID mengandung HIV. Segmen pertama merujuk pada vaksin yang dihentikan produksinya dan gagal dalam uji coba Fase 1 karena hasil positif palsu HIV, sedangkan segmen kedua mempromosikan klaim konspirasi yang tidak terkait tentang asal-usul COVID-19.
Melalui analisis gambar terbalik dan tanda air BBC yang terlihat, First Check melacak rekaman awal kembali ke dokumenter yang mencatat upaya lima tim global untuk mengembangkan vaksin COVID-19, berjudul "Horizon Special: The Vaccine" dan disiarkan pada bulan Juni 2021. Orang tertentu yang ditampilkan dalam klip tersebut adalah Profesor Keith Chappell, seorang ahli virologi molekuler dan arsitek vaksin COVID yang saat itu dikembangkan oleh Universitas Queensland Australia. Vaksin tersebut kemudian dihentikan setelah uji coba menghasilkan hasil HIV positif palsu. Vaksin tersebut tidak pernah berkembang melampaui uji coba Fase 1 awal dan tidak pernah didistribusikan ke publik.
Bagian kedua dari video tersebut tidak ada hubungannya dengan diskusi vaksin di segmen pertama atau keberadaan HIV dalam vaksin COVID.
Pencarian gambar terbalik dan pencarian sederhana di YouTube, memanfaatkan isyarat visual dalam video, membantu First Check memastikan bahwa itu adalah bagian dari presentasi yang dilakukan pada bulan Oktober 2021 oleh Dr. Richard M Fleming, yang mengidentifikasi dirinya sebagai ahli jantung nuklir dan preventif. Pembicaraan itu untuk mempromosikan bukunya, "Apakah COVID-19 Senjata Biologis?: Investigasi Ilmiah dan Forensik."
Namun, Dr. Fleming telah lama didiskreditkan sebagai ilmuwan serius dan bahkan dilarang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk berpartisipasi dalam studi obat apa pun.
Berdasarkan bukti ini, First Check menentukan bahwa video viral ini secara menipu menggabungkan rekaman untuk secara keliru menyiratkan vaksin COVID mengandung HIV. Segmen pertama merujuk pada vaksin yang dihentikan produksinya dan gagal dalam uji coba Fase 1 karena hasil positif palsu HIV, sedangkan segmen kedua mempromosikan klaim konspirasi yang tidak terkait tentang asal-usul COVID-19.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa narasi yang menyebut HIV merupakan bagian dari komposisi vaksin COVID-19 merupakan narasi yang salah atau hoax.
Vaksin eksperimental yang dikembangkan oleh Profesor Keith Chappell, seorang ahli virologi molekuler, pada tahun 2020 menggabungkan segmen protein HIV kecil tetapi tidak menimbulkan risiko penularan HIV. Vaksin tersebut tidak pernah berkembang melampaui uji coba Fase 1 awal dan tidak pernah didistribusikan ke publik.
Vaksin eksperimental yang dikembangkan oleh Profesor Keith Chappell, seorang ahli virologi molekuler, pada tahun 2020 menggabungkan segmen protein HIV kecil tetapi tidak menimbulkan risiko penularan HIV. Vaksin tersebut tidak pernah berkembang melampaui uji coba Fase 1 awal dan tidak pernah didistribusikan ke publik.
(GFD-2025-25264) Cek Fakta: Elon Musk Pamer Robot Pemotong Rambut
Sumber:Tanggal publish: 22/01/2025
Berita
Suara.com - Beredar di media sosial sebuah video dengan narasi yang menyebut bahwa Elon Musk tengah memamerkan robot yang bisa memotong armbut.
Video tersebut diunggah oleh akun Instagram “kaisar_tv” pada Selasa (24/12/2024) lengkap dengan narasi sebagai berikut:
“Elon Musk Pamerkan Robot Tesla Pemotong Rambut”
Terpantau pada Rabu (22/1/2025), konten tersebut telah disukai sebanyak 2.776 orang dan 339 kali dibagikan ulang.
Lantas benarkah klaim tersebut?
Video tersebut diunggah oleh akun Instagram “kaisar_tv” pada Selasa (24/12/2024) lengkap dengan narasi sebagai berikut:
“Elon Musk Pamerkan Robot Tesla Pemotong Rambut”
Terpantau pada Rabu (22/1/2025), konten tersebut telah disukai sebanyak 2.776 orang dan 339 kali dibagikan ulang.
Lantas benarkah klaim tersebut?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan hasil penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com yang memverifikasi video tersebut dengan melakukan penelusuran di Google Search menggunakan kata kunci “elon musk haircut robot”, ditemukan video yang sama.
Video itu telah diunggah oleh akun Instagram @aismartzone pada 17 Desember 2024. Pada keterangan yang dicantumkan, akun itu menyebutkan bahwa video tersebut dihasilkan menggunakan perangkat AI.
Video itu telah diunggah oleh akun Instagram @aismartzone pada 17 Desember 2024. Pada keterangan yang dicantumkan, akun itu menyebutkan bahwa video tersebut dihasilkan menggunakan perangkat AI.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa unggahan berisi klaim “Elon Musk pamerkan robot pemotong rambut” merupakan konten yang menyesatkan (misleading content).
Halaman: 184/5861