• (GFD-2024-19857) Keliru, Klaim Surya Paloh soal Hak Angket Sudah Tidak Relevan Lagi Usai Putusan MK

    Sumber:
    Tanggal publish: 15/05/2024

    Berita



    Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, mengklaim bahwa penggunaan hak angket sudah tidak relevan lagi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pilpres 2024.

    “Progres perjalanan waktu sejujurnya membuat hak angket sudah tidak up to date lagi. Satu proses perjalanan minute by minute, jam by jam, waktu ke waktu, hari ke hari, saya ini mengira esensi dari pada keberadaan hak angket sudah jauh dari pada harapan kita bersama,” ujar Surya Paloh saat menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) kepada awak media di Nasdem Tower, Jakarta, pada 22 April 2024.

    Harapan soal hak angket yang sempat digulirkan, kata dia sudah padam. Sebab MK telah memutus perkara hasil Pemilu 2024 yang intinya menegaskan kemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sah secara hukum.

    Benarkah pernyataan Surya Paloh itu?

    Hasil Cek Fakta



    Pernyataan bahwa Surya Paloh hak angket DPR yang digulirkan usai pembacaan putusan MK tentang perselisihan hasil pemilu sudah tidak lagi relevan, tidak benar. Sebab Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jamaludin Ghafur, menilai masing-masing lembaga negara memiliki fungsi dan tugas yang berbeda.

    Misalnya, dalam konteks pemilu terdapat beberapa lembaga yang terlibat di dalamnya dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Antara lain Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk menangani perkara tindak pidana pemilu. Sedangkan MK, berfungsi dan bertugas untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.

    Artinya, muara akhir dari sengketa pemilu memang berada di MK. Sehingga ketika MK selesai membacakan putusan dengan amar putusan menolak permohonan para pemohon terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), maka sejak saat itu pemenang pemilu sudah permanen atau definitif.

    “Namun, terkait pelanggaran hukum terutama yang melibatkan kekuasaan eksekutif—termasuk pelanggaran hukum pemilu—tidak hanya lembaga yudisial (pengadilan) saja yang berwenang memeriksa dan mengadili,” ujar Jamaluddin.

    Dalam kondisi tertentu, pengawasan dapat pula dilakukan oleh DPR melalui sejumlah kewenangan yang ia miliki, termasuk hak angket —hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah.

    Hak angket untuk mengungkap kecurangan Pilpres

    Dalam sengketa hasil pemilu di MK kemarin, salah satu poin gugatan para pemohon adalah dugaan adanya intervensi Jokowi memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan cara-cara melanggar hukum. Lebih spesifik, melalui kekuasaan yang dimilikinya. Misalnya dengan pengerahan aparatur pemerintahan dan penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan elektoral Paslon 02.

    Meski lima hakim MK menyatakan dalil tersebut tidak beralasan karena dianggap tidak ada bukti yang kuat dan meyakinkan, tiga hakim MK lainnya menyatakan pendapat berbeda (dissenting). Ketiganya yakin bahwa pengerahan aparatur pemerintahan dan penyalahgunaan bansos adalah terbukti sehingga memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

    “Artinya, putusan MK mengenai penyalahgunaan bansos dan netralitas aparatur pemerintahan masih diperdebatkan,” kata Jamaluddin.

    Oleh sebab itu, DPR dengan hak angketnya dapat menjadikan putusan MK itu sebagai pintu masuk untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai kebenaran atas dugaan intervensi presiden menyalahgunakan kewenangannya guna memenangkan paslon tertentu. Apalagi diperkuat pendapat hakim yang berbeda pendapat.

    Jamaluddin mengingatkan, apabila hak angket DPR pada akhirnya menemukan bukti yang kuat adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi dalam pelaksanaan pemilu kemarin, memang tidak akan membatalkan hasil Pilpres. Prabowo-Gibran tetap menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang sah sesuai putusan MK.

    “Namun, hasil angket DPR tersebut dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Jokowi di tengah masa jabatannya dengan mekanisme pemakzulan (impeachment),” tegasnya. Termasuk, jika pelanggaran hukum presiden tersebut terbukti menguntungkan Prabowo-Gibran. 

    Sekalipun keduanya telah dilantik sebagai presiden-wakil presiden, hal itu dapat dimakzulkan juga oleh DPR dengan alasan kemenangannya dalam pilpres cacat secara hukum.

    Kesimpulan



    Klaim Surya Paloh bahwa penggunaan hak angket sudah tidak relevan lagi pasca putusan Mahkamah Konsitusi (MK) tentang sengketa hasil Pilpres 2024, adalah keliru.

    Dalam konteks pemilu, terdapat beberapa lembaga yang terlibat di dalamnya dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Muara akhir dari sengketa pemilu memang berada di MK. Namun, tidak hanya lembaga yudisial (pengadilan) saja yang berwenang memeriksa dan mengadili pelanggaran hukum yang melibatkan kekuasaan eksekutif, termasuk pelanggaran hukum pemilu.

    Dalam kondisi tertentu, pengawasan dapat pula dilakukan oleh DPR melalui sejumlah kewenangan yang ia miliki, yaitu hak angket–hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co

    Rujukan

  • (GFD-2024-19856) Belum Ada Bukti, Pernyataan soal Kecurangan Pilpres 2024 akan Terjadi di Pilkada Serentak

    Sumber:
    Tanggal publish: 15/05/2024

    Berita



    Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menduga bahwa kecurangan Pilpres 2024 dapat kembali terjadi pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 serentak.

    Kecurangan pada Pilpres lalu, kata dia, seperti intimidasi yang dilakukan aparat penegak hukum kepada para kepala daerah sepekan sebelum Pilpres 2024 berlangsung. 

    "Apakah itu harus kita diamkan? Lalu bagaimana tanggung jawab kita terhadap masa depan, karena nanti kalau ini direplikasi di dalam Pilkada sama saja pemilu tidak ada gunanya kembali," kata Hasto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 12 April 2024 seperti yang terekam dalam unggahan Instagram.

    Hasto juga merespons ajakan kubu capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang mau merangkul seluruh pihak tanpa ada oposisi. Menurutnya, rangkulan itu seharusnya ditujukan pada hal-hal yang fundamental untuk menjaga demokrasi. Bukan merangkul agar mendapat dukungan atas kecurangan yang dilakukan selama proses Pilpres 2024.

    Benarkah pernyataan Hasto Kristiyanto itu?

    Hasil Cek Fakta



    Dirangkum Tempo.co, terdapat 6 dugaan kecurangan selama Pilpres 2024 yang digelar Februari lalu. Mulai dugaan intimidasi kepada pemilih dan petugas penyelenggara di berbagai daerah Indonesia, masalah pemungutan dan penghitungan suara, penggelembungan dalam sistem Sirekap, surat suara sudah tercoblos, penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, hingga pejabat yang tidak netral.

    Menurut dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani, Yohanes Sulaiman menilai bahwa kecurangan saat pemilihan umum bukan barang baru. “Serangan fajar sudah ada dari awal reformasi. Intimidasi aparat sudah ada bahkan waktu Pemilu 1955,” ujarnya merujuk data di Bisnis.com.

    Tahun 2020, KontraS menyusun laporan atau catatan kritis yang menekankan adanya masalah dan kecurangan dalam pilkada saat itu. Selama Pilkada tahun 2020, KontraS menemukan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.

    Berdasarkan pemantauan KontraS sejak  September hingga Desember 2020, tercatat 29 peristiwa kekerasan yang berkaitan dengan kampanye Pilkada 2020. Peristiwa kekerasan ini didominasi praktik intimidasi, penganiayaan, provokasi, dan perusakan alat peraga kampanye. Dari peristiwa tersebut, tercatat 19 orang luka-luka yang sebagian besar adalah panitia pengawas pemilu.

    Tuduhan kecurangan juga terjadi pada tahun 2016. Dilansir laman resmi Mahkamah Konstitusi RI,  tercatat dugaan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) saat Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri pada 9 Desember 2015 dan kasus Pilkada Karimun.

    Intimidasi pemilu juga sudah jelas terjadi tahun 2017 di DKI Jakarta. Kala itu, ada dugaan intimidasi dan pemaksaan terhadap pemilih menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran dua. Intimidasi dan pemaksaan dilakukan kedua kubu, yakni pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

    Sikap Hasto yang baru menyerukan hal ini sebagai masalah, kata dia, memang bukan pernyataan yang salah setelah terlihat jelas ada perpecahan antara Presiden Jokowi dengan PDIP. Tapi lebih bernada “maling teriak maling”.

    “Jadi ini bukan barang baru, dan malah terjadi di era yang mana PDI Perjuangan merupakan partai yang memegang posisi sebagai partai penguasa,” ujar Yohanes. 

    Namun karena tahapan Pilkada 2024 baru dimulai hingga hari coblosan serentak akan berlangsung pada November 2024, belum ada bukti mengenai dugaan kecurangan yang terjadi. 

    Kesimpulan



    Pernyataan Hasto Kristiyanto soal dugaan kecurangan Pemilu Presiden akan terulang pada Pilkada 2024 adalah belum ada bukti.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

    Rujukan

  • (GFD-2024-19855) [SALAH] Akun WhatsApp Kabag 3 Biro PBJ Prov Kaltim Sayid Awaluddin

    Sumber: WhatsApp.com
    Tanggal publish: 16/05/2024

    Berita

    “0857 6591 8011

    Hasil Cek Fakta

    Beredar akun WhatsApp bernomor 0857 6591 8011 memasang nama dan foto profil Kepala Bagian III, Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Prov. Kaltim, Sayid Awaluddin.

    Faktanya akun WhatsApp tersebut bukan milik Sayid Awaluddin. Akun Instagram Biro PBJ Kaltim mengimbau untuk tidak merespon dan melaporkan langsung pada akun Instagram @biro.pbj.provkaltim, “Bersikap Smart dalam menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal ya Sobat Pengadaan.

    Tetap Waspada, Sobat Pengadaan!!!”

    Berdasarkan penjelasan di atas akun WhatsApp yang mengatasnamakan Kepala Bagian III, Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Prov. Kaltim, Sayid Awaluddin adalah akun tiruan.

    Kesimpulan

    Biro PBJ Setda Prov Kaltim menegaskan nomor yang beredar bukan milik Sayid Awaluddin

    Rujukan

  • (GFD-2024-19854) [SALAH] Panggilan Telepon WhatsApp Mengatasnamakan Kadis PUPR Serang

    Sumber: WhatsApp.com
    Tanggal publish: 16/05/2024

    Berita

    (Narasi Tidak Ditampilkan)

    Hasil Cek Fakta

    Ditemukan nomor WhatsApp 0853 7008 5842 mengatasnamakan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Serang. Akun yang memasang foto profil menelepon salah satu pengguna WhatsApp.

    Melalui akun Instagram @diskominfosatik.serangkab menjelaskan nomor tersebut bukan milik Kadis PUPR Serang. Pihaknya juga memberikan langkah-langkah untuk mewaspadai modus penipuan yang serupa, “Awas Penipuan yang mengatasnamakan Kepala Dinas PUPR Kabupaten Serang, apabila dapat pesan atau telfon dari nomor di atas mohon dapat mengabaikan informasi tersebut..!!”

    Maka dari itu nomor WhatsApp 0853 7008 5842 mengatasnamakan Kepala Dinas PUPR merupakan konten tiruan.

    Kesimpulan

    Diskominfo Kabupaten Serang menyatakan nomor tersebut bukan milik Kepala Dinas PUPR Serang.

    Rujukan