Dalam salah satu sesi Debat Pilpres 2019, Kamis (17/1) malam, Capres Prabowo Subianto mengeluhkan soal aparat hukum yang dinilainya berat sebelah. Prabowo pun mengungkapkan contoh soal seorang kepada desa di Jawa Timur yang harus menjalani hukuman pidana.
"Sebagai contoh kalau ada kepala daerah, gubernur-gubernur yang mendukung paslon 01 itu, menyatakan dukungan tidak apa-apa. Tapi ada kepala desa Jawa Timur menyatakan dukungan kepada kami, sekarang ditahan Pak, ditangkep. Jadi saya kira, ini juga suatu perlakuan tidak adil ya, juga menurut saya pelanggaran HAM karena menyatakan pendapat itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar Pak," kata Prabowo dalam sesi debat tersebut.
(GFD-2019-1070) Kades di Jatim Dipenjara karena Menyatakan Dukungan pada Prabowo?
Sumber: Debat Pilpres Live 17 Januari 2019Tanggal publish: 17/01/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran, Kades Sampangagung, Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Jatim, bernama Suhartono, akhirnya dijebloskan ke Lapas Klas IIB. Suhartono memang benar pendukung pasangan Prabowo – Sandiaga.
Namun, Suhartono dijebloskan ke penjara bukan karena pernyataan dukungannya kepada Prabowo - Sandiaga.
Ia dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim PN Mojokerto, karena terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dengan terlibat aktif melakukan kampanye berupa acara penyambutan Cawapres Sandiaga Uno ke daerahnya.
Acara penyambutan Sandiaga ini, sebagaimana diberitakan sejumlah media, termasuk di antaranya Detik.com, diawali dengan rapat di rumah Suhartono, Jumat (19/10). Rapat ini melibatkan terdakwa, istrinya, Ketua Karang Taruna Desa Sampangagung Sunardi dan sejumlah warga lainnya.
Esoknya setelah pertemuan, Sunardi memesan spanduk dan banner bertuliskan ucapan selamat datang dan dukungan untuk Sandiaga, juga memesan musik patrol untuk meramaikan. Suhartono sendiri mendikte istrinya untuk mengirim pesan di grup WhatsApp PKK Desa Sampangagung, berisi ajakan untuk hadir di acara penyambutan Sandiaga, sekaligus menjanjikan uang saku Rp 20 ribu bagi setiap ibu-ibu yang hadir.
Minggu (21/10) sekitar pukul 16.00 WIB, sekitar 200 orang yang digalang Suhartono menghadang rombongan Sandiaga di Jalan Raya Pacet, Desa Sampangagung. Saat itu Cawapres nomor urut 02 tersebut datang dalam rangka berkampanye di wisata air panas Padusan, Pacet, Mojokerto.
Suhartono sendiri juga aktif di acara penyambutan Sandiaga itu. Memakai kemeja putih bertuliskan Sapa Prabowo, dia lantas sempat mendekati Sandiaga untuk berfoto sembari mengacungkan dua jari.
Belakangan, Suhartono juga mengakui menghabiskan Rp 20 juta untuk menggelar acara penyambutan Sandiaga. Uang itu antara lain dibagikan kepada ibu-ibu yang datang sesuai undangan, dengan nilai Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, hingga Rp 100 ribu per orang.
Dari konteks peraturan perundangan, dalam Pasal 1 angka 3 huruf B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan: kepala desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu.
Pelanggaran terhadap hal ini bisa berujung pada sanksi administratif. Namun, ada juga sanksi pidana yang bisa diberlakukan, khususnya jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 490 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi:
"Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)."
Adapun vonis (amar putusan) dari hakim PN Mojokerto pada 13 Desember 2018, antara lain berbunyi:
1. Menyatakan Terdakwa Suhartono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "dengan sengaja melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye";
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Suhartono, dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp 6.000.000 (enam juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana Kurungan selama 1 (satu) bulan.
Suhartono sendiri melalui kuasa hukumnya langsung menyatakan banding seusai pembacaan vonis tersebut. Namun selang beberapa hari kemudian, Suhartono justru mencabut permohonan banding tersebut dan akhirnya memutuskan menjalani hukuman yang dijatuhkan.
Namun, Suhartono dijebloskan ke penjara bukan karena pernyataan dukungannya kepada Prabowo - Sandiaga.
Ia dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim PN Mojokerto, karena terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dengan terlibat aktif melakukan kampanye berupa acara penyambutan Cawapres Sandiaga Uno ke daerahnya.
Acara penyambutan Sandiaga ini, sebagaimana diberitakan sejumlah media, termasuk di antaranya Detik.com, diawali dengan rapat di rumah Suhartono, Jumat (19/10). Rapat ini melibatkan terdakwa, istrinya, Ketua Karang Taruna Desa Sampangagung Sunardi dan sejumlah warga lainnya.
Esoknya setelah pertemuan, Sunardi memesan spanduk dan banner bertuliskan ucapan selamat datang dan dukungan untuk Sandiaga, juga memesan musik patrol untuk meramaikan. Suhartono sendiri mendikte istrinya untuk mengirim pesan di grup WhatsApp PKK Desa Sampangagung, berisi ajakan untuk hadir di acara penyambutan Sandiaga, sekaligus menjanjikan uang saku Rp 20 ribu bagi setiap ibu-ibu yang hadir.
Minggu (21/10) sekitar pukul 16.00 WIB, sekitar 200 orang yang digalang Suhartono menghadang rombongan Sandiaga di Jalan Raya Pacet, Desa Sampangagung. Saat itu Cawapres nomor urut 02 tersebut datang dalam rangka berkampanye di wisata air panas Padusan, Pacet, Mojokerto.
Suhartono sendiri juga aktif di acara penyambutan Sandiaga itu. Memakai kemeja putih bertuliskan Sapa Prabowo, dia lantas sempat mendekati Sandiaga untuk berfoto sembari mengacungkan dua jari.
Belakangan, Suhartono juga mengakui menghabiskan Rp 20 juta untuk menggelar acara penyambutan Sandiaga. Uang itu antara lain dibagikan kepada ibu-ibu yang datang sesuai undangan, dengan nilai Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, hingga Rp 100 ribu per orang.
Dari konteks peraturan perundangan, dalam Pasal 1 angka 3 huruf B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan: kepala desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu.
Pelanggaran terhadap hal ini bisa berujung pada sanksi administratif. Namun, ada juga sanksi pidana yang bisa diberlakukan, khususnya jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 490 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi:
"Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)."
Adapun vonis (amar putusan) dari hakim PN Mojokerto pada 13 Desember 2018, antara lain berbunyi:
1. Menyatakan Terdakwa Suhartono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "dengan sengaja melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye";
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Suhartono, dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp 6.000.000 (enam juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana Kurungan selama 1 (satu) bulan.
Suhartono sendiri melalui kuasa hukumnya langsung menyatakan banding seusai pembacaan vonis tersebut. Namun selang beberapa hari kemudian, Suhartono justru mencabut permohonan banding tersebut dan akhirnya memutuskan menjalani hukuman yang dijatuhkan.
Kesimpulan
Prabowo benar bahwa ada kepala desa pendukungnya di Jatim yang diproses hukum dan dipenjara. Namun, Prabowo salah bahwa kades itu dipenjara karena pernyataan dukungannya, melainkan karena menyelewengkan wewenang sebagai aparat desa, atau sebagaimana amar putusan hakim "dengan sengaja melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye". Oleh karenanya, klaim Prabowo dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai misinformasi.
Rujukan
(GFD-2019-1068) Jokowi Sebut Enam Caleg Eks Koruptor dari Gerindra
Sumber: Debat CapresTanggal publish: 17/01/2019
Berita
Dalam debat Pilpres 2019, Paslon No 01 duet Jokowi-Ma’ruf Amin dalam sesi pertanyaan ke Paslon 02, duet Prabowo-Sandi, mempertanyakan soal jumlah caleg eks koruptor dari Partai Gerindra.
Jokowi mengutip daftar caleg eks koruptor yang dikumpulkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Versi ICW, ada 40 caleg mantan napi korupsi yang berlaga di kontestasi Pemilu 2019. Enam di antarannya dari Gerindra.
Jokowi mengutip daftar caleg eks koruptor yang dikumpulkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Versi ICW, ada 40 caleg mantan napi korupsi yang berlaga di kontestasi Pemilu 2019. Enam di antarannya dari Gerindra.
Hasil Cek Fakta
ICW mengungkapkan ada enam caleg dari Gerindra yang pernah menjadi napi kasus tipikor. Yakni, Mohamad Taufik (dapil DKI 3), Herry Jones Kere (dapil Sulut), Husen Kausaha (dapil Malut), Al Hajar Syahyan (dapil Tanggamus), Ferizal (dapil Belitung Timur), dan Mirhammuddin (dapil Belitung Timur).
Data yang disebar lewat Twitter dicuitkan pada 5 Januari 2019 lalu. "40 caleg MANTAN NAPI KORUPSI yang sedang berlaga mendapatkan bangku wakil rakyat. Catat ya tweeps! #koruptorkoknyaleg," cuit akun resmi ICW (@antikorupsi)
Data yang disebar lewat Twitter dicuitkan pada 5 Januari 2019 lalu. "40 caleg MANTAN NAPI KORUPSI yang sedang berlaga mendapatkan bangku wakil rakyat. Catat ya tweeps! #koruptorkoknyaleg," cuit akun resmi ICW (@antikorupsi)
Kesimpulan
Data yang disampaikan ICW diungkapkan ke publik lewat akun @antikorupsi. Data ICW inilah yang dikutip oleh Jokowi untuk menanyakan perihal pemberantasan kasus korupsi kepada Prabowo Subianto yang juga Ketum Partai Gerindra. (*)
Rujukan
(GFD-2019-1067) Malaysia Lebih Luas dari Jawa Tengah
Sumber: Debat CapresTanggal publish: 17/01/2019
Berita
Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto menyebut wilayah Jawa Tengah lebih luas dari Malaysia saat sesi debat Pilpres perdana di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, tadi.
Awalnya, Prabowo berbicara soal kesejahteraan gubernur di Indonesia yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang dipimpinnya.
"Sebagai contoh, bagaimana bisa seorang gubernur gajinya hanya Rp 8 juta? Kemudian dia mengelola provinsi umpamanya Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia dengan APBD yang begitu besar," kata Prabowo, Kamis (17/1/2019).
Awalnya, Prabowo berbicara soal kesejahteraan gubernur di Indonesia yang tidak sebanding dengan luas wilayah yang dipimpinnya.
"Sebagai contoh, bagaimana bisa seorang gubernur gajinya hanya Rp 8 juta? Kemudian dia mengelola provinsi umpamanya Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia dengan APBD yang begitu besar," kata Prabowo, Kamis (17/1/2019).
Hasil Cek Fakta
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, bahwa luas wilayah Jawa Tengah seluas 32.544,12 kilometer persegi, dengan wilayah paling luas adalah Cilacap sebesar 2.138,51 kilometer persegi dan terkecil Magelang seluas 18,12 kilometer persegi.
Sementara, dilansir dari Britanica, Malaysia terdiri dari dua wilayah, yaitu Semenanjung Malaysia atau Malaysia Barat dan Malaysia Timur, yang berada di Pulau Kalimantan. Luas Malaysia seluruhnya adalah 330.323 km persegi.
Adapun data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, tercatat luas wilayah Malaysia, yaitu 329.847 kilometer persegi yang terdiri dari luas daratan 328.657 kilometer persegi dan lautan 1.190 kilometer persegi.
Sementara, dilansir dari Britanica, Malaysia terdiri dari dua wilayah, yaitu Semenanjung Malaysia atau Malaysia Barat dan Malaysia Timur, yang berada di Pulau Kalimantan. Luas Malaysia seluruhnya adalah 330.323 km persegi.
Adapun data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, tercatat luas wilayah Malaysia, yaitu 329.847 kilometer persegi yang terdiri dari luas daratan 328.657 kilometer persegi dan lautan 1.190 kilometer persegi.
Kesimpulan
Berdasarkan data di atas, maka pernyataan Prabowo Subianto soal wilayah Jawa Tengah lebih luas dari Malaysia pada saat sesi debat Pilpres 2019, yang mengusung tema hukum, HAM, korupsi dan terorisme TIDAK BENAR. (*)
Rujukan
(GFD-2019-1066) Prabowo Bilang Gaji Gubernur Kecil Cuma Rp 8 Juta, Ini Aslinya
Sumber:Tanggal publish: 17/01/2019
Berita
Prabowo Subianto, Capres nomor urut 2, mengklaim gaji pejabat negara sekelas gubernur terbilang sedikit, yakni Rp 8 juta.
Menurutnya, gaji yang sedikit tersebut memengaruhi kinerja pejabat negara, termasuk berpotensi melakukan korupsi.
” Gaji gubernur hanya Rp 8 juta. Misalnya, gubernur yang mengelola Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia, dengan APBD begitu besar. Jadi saya kira, kalau benar-benar niat, berani melakukan terobosan supaya penghasilan pejabat publik besar.” ”Saya akan meningkatkan kualitas penghasilan pejabat negara, memperbaiki gaji-gaji semua birokrat secara signifikan, jamin kebutuhannya, sehingga tak ada korupsi. Kalau masih korupsi harus ditindak.”
Menurutnya, gaji yang sedikit tersebut memengaruhi kinerja pejabat negara, termasuk berpotensi melakukan korupsi.
” Gaji gubernur hanya Rp 8 juta. Misalnya, gubernur yang mengelola Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia, dengan APBD begitu besar. Jadi saya kira, kalau benar-benar niat, berani melakukan terobosan supaya penghasilan pejabat publik besar.” ”Saya akan meningkatkan kualitas penghasilan pejabat negara, memperbaiki gaji-gaji semua birokrat secara signifikan, jamin kebutuhannya, sehingga tak ada korupsi. Kalau masih korupsi harus ditindak.”
Hasil Cek Fakta
Gaji gubernur, wakil gubernur, dan kepala daerah diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu.
Dalam kepres itu, terdapat aturan gaji pokok dari kepala daerah tingkat I atau gubernur sebesar Rp 3 juta. Selain gaji, gubernur mendapatkan tunjangan jabatan yang diatur melalui Keppres No 59 Tahun 2003 sebesar Rp 5,4 juta.
Sedangkan untuk gaji pokok wakil gubernur diatur sebesar Rp 2,4 juta dan tunjangan sebesar Rp 4,32 juta. Tapi, penghasilan gubernur per bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sebab, penghasilan gubernur dan wagub yang besar ternyata datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan.
Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP No 109 Tahun 2000.
Sebagai contoh, tahun 2013, LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis data pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur dalam sebulan. Ada 10 gubernur dan wagub dengan penghasilan tertinggi.
Gubernur DKI Jakarta kala itu memunyai penghasilan per bulan mencapai Rp 1.759.303.048; Gubernur Jabar Rp 710.026.578; Gubernur Jawa Timur Rp 670.843.873; Gubernur Jawa Tengah Rp 489.701.560; Gubernur Kalimantan Timur Rp 395.644.500; Gubernur Sumatera Utara Rp 376.185.564; Gubernur Banten Rp 299.222.125; Gubernur Kalimantan Selatan Rp 239.185.623; Gubernur Sulawesi Selatan Rp 228.940.362; dan, Gubernur Riau Rp 217.271.662.
Dalam kepres itu, terdapat aturan gaji pokok dari kepala daerah tingkat I atau gubernur sebesar Rp 3 juta. Selain gaji, gubernur mendapatkan tunjangan jabatan yang diatur melalui Keppres No 59 Tahun 2003 sebesar Rp 5,4 juta.
Sedangkan untuk gaji pokok wakil gubernur diatur sebesar Rp 2,4 juta dan tunjangan sebesar Rp 4,32 juta. Tapi, penghasilan gubernur per bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sebab, penghasilan gubernur dan wagub yang besar ternyata datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan.
Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP No 109 Tahun 2000.
Sebagai contoh, tahun 2013, LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis data pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur dalam sebulan. Ada 10 gubernur dan wagub dengan penghasilan tertinggi.
Gubernur DKI Jakarta kala itu memunyai penghasilan per bulan mencapai Rp 1.759.303.048; Gubernur Jabar Rp 710.026.578; Gubernur Jawa Timur Rp 670.843.873; Gubernur Jawa Tengah Rp 489.701.560; Gubernur Kalimantan Timur Rp 395.644.500; Gubernur Sumatera Utara Rp 376.185.564; Gubernur Banten Rp 299.222.125; Gubernur Kalimantan Selatan Rp 239.185.623; Gubernur Sulawesi Selatan Rp 228.940.362; dan, Gubernur Riau Rp 217.271.662.
Kesimpulan
Prabowo benar bahwa gaji gubernur kurang lebih Rp 8 juta. Namun, Prabowo salah kalau mengatakan pendapatan gubernur di Indonesia terbilang sedikit, karena angka gaji pokok dan tunjangan utama itu belum digabungkan dengan tunjangan biaya operasional yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Dengan demikian, Prabowo bisa dikatakan menyebarkan disinformasi.
Dengan demikian, Prabowo bisa dikatakan menyebarkan disinformasi.
Rujukan
Halaman: 5618/5760