• (GFD-2021-8668) Keliru, Vaksin Covid-19 Mengandung Bahan Berbahaya Seperti Aluminium, Formalin, MSG, dan Merkuri

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/06/2021

    Berita


    laim bahwa vaksin Covid-19 mengandung bahan-bahan berbahaya seperti aluminium, formalin, MSG, dan merkuri beredar di Instagram. Klaim ini disertai dengan foto yang menunjukkan tangan seseorang yang memegang botol vaksin Covid-19 buatan Sinovac, CoronaVac.
    Menurut klaim yang diunggah oleh akun ini pada 13 Juni 2021 tersebut, vaksin Covid-19 biasanya berisi bahan-bahan seperti fenoksietanol, aluminium, formalin, MSG, polisorbat 20 dan 80, thimerosal atau merkuri, serta jaringan hewan dan sel diploid manusia dari janin.
    Akun itu pun menulis efek dari masing-masing bahan tersebut. Aluminium misalnya, menurut akun tersebut, menyatakan bahwa terdapat riset yang mengaitkan paparan tubuh terhadap aluminium tingkat tinggi dengan kejadian neurotoksisitas, penyakit alzheimer, dan kanker payudara.
    Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim keliru terkait kandungan vaksin Covid-19.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai informasi dan pemberitaan terkait kandungan vaksin Covid-19 secara umum dan juga kandungan vaksin Sinovac.
    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, vaksin Covid-19 umumnya mengandung fragmen-fragmen kecil dari organisme penyebab penyakit yang disasar oleh vaksin tersebut. Vaksin juga mengandung bahan-bahan lain yang menjaga keamanan dan efektivitas vaksin.
    Ada enam jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan vaksin Covid-19, yaitu:
    Terkait bahan yang terkandung dalam vaksin Sinovac, dikutip dari CNN Indonesia, Corporate Secretary Bio Farma Bambang Herianto mengatakan vaksin Sinovac hanya mengandung beberapa unsur. Pertama, virus yang sudah dimatikan (inactivated). Kedua, aluminium hidroksida (aluminium hydroxide) yang berfungsi meningkatkan kemampuan vaksin tersebut.
    Ketiga, larutan fosfat sebagai stabilizer. Dan keempat, kandungan larutan garam atau natrium klorida (NaCl) sebagai isotonis guna memberikan kenyamanan dalam penyuntikan. Larutan garam yang digunakan pun merupakan garam dapur yang telah memenuhi standar pharmaceutical atau farmasi.
    Karena komposisi itulah, Bambang meminta masyarakat diminta tidak khawatir dengan vaksin Covid-19 dari Sinovac. Menurut Bambang, pihaknya juga selalu memastikan bahwa vaksin terkait tidak mengandung bahan-bahan lain seperti boraks, formalin, ataupun merkuri.
    Pada 5 Januari 2021, sempat pula beredar klaim serupa, bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya, seperti boraks, formalin, dan merkuri. Tim CekFakta Tempo telah memverifikasi klaim tersebut, dan menyatakannya keliru.
    Nama kimia boraks adalah Natrium Tetraborat (Na4B2O7), Natrium Tetraborat Pentahidrat (Na4B2O7.5H2O), dan Natrium Tetraborat Dekahidrat (Na2B4o7.10H2O). Formalin merupakan senyawa kimia formaldehida yang juga kerap disebut metanal. Sementara merkuri punya nama lain air raksa atau hydrargyrum.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, nama-nama ketiga bahan tersebut tidak tertulis dalam kemasan vaksin Sinovac. Bahan yang tertera dalam kemasan yakni aluminium hydroxide, disodium hydrogen phosphate, sodium dihydrogen phosphate, dan sodium chloride.
    Menurut penjelasan ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo, empat bahan kimia yang tertera dalam kemasan tersebut digunakan sebagai penstabil tingkat keasaman (pH) agar pH vaksin tetap berada dalam kisaran pH darah, yakni sekitar 7,3-7,4.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 mengandung bahan-bahan berbahaya seperti aluminium, formalin, MSG, dan merkuri, keliru, WHO menyatakan bahwa vaksin Covid-19 secara umum mengandung fragmen-fragmen kecil dari organisme penyebab penyakit yang disasar oleh vaksin tersebut serta bahan-bahan lain untuk menjaga keamanan dan efektivitas vaksin, seperti antigen, pengawet, stabilisator, surfaktan, residu, dan Adjuvan. Vaksin Sinovac pun tidak mengandung bahan-bahan seperti yang disebutkan di atas.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8667) Keliru, Pesan Berantai yang Sebut Ivermectin Dapat Obati dan Cegah Covid-19

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/06/2021

    Berita


    Pesan berantai yang berisi klaim bahwa obat yang bernama Ivermectin dapat menyembuhkan sekaligus mencegah Covid-19 beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Klaim ini dibagikan bersama tautan sebuah artikel berita yang menyebut bahwa obat tersebut akan dibagikan di Kudus, Jawa Tengah. Beberapa pekan terakhir, kasus Covid-19 di Kudus tengah melonjak, di mana varian Delta menjadi varian virus Corona yang mendominasi penularan di sana.
    "Utk warga Jkt, skrg Ivermectin 12 mg utk Covid sdh tersedia bebas di Apotik Jkt. Jadi utk warga Jkt, andai ada saudara/teman yg Positif Covid, disarankan utk segera minum Ivermectin 12 mg, produksi PT. Harsen Farma Indonesia," demikian narasi dalam pesan berantai itu. "Beberapa studi menunjukkan aktifitas pencegahan covid. Dosis pencegahan/profilaksis tanggal 1 dan tanggal 3 satu tablet 12 mg tiap bulan."
     Gambar tangkapan layar pesan berantai di WhatsApp yang berisi klaim keliru terkait Ivermectin.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri informasi dari berbagai otoritas kesehatan terkait efektivitas obat Ivermectin terhadap Covid-19. Dilansir dari rilis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 10 Juni 2021, penggunaan Invermectin untuk pengobatan dan pencegahan Covid-19 masih membutuhkan penelitian yang lebih menyakinkan.
    Menurut BPOM, penelitian untuk pencegahan maupun pengobatan Covid-19 yang sudah dipublikasikan memang menyatakan bahwa Ivermectin memiliki potensi antiviral pada uji secara in-vitro di laboratorium. "Akan tetapi, masih diperlukan bukti ilmiah yang lebih meyakinkan terkait keamanan, khasiat, dan efektivitasnya sebagai obat Covid-19 melalui uji klinik lebih lanjut."
    BPOM menjelaskan Ivermectin kaplet 12 mg terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan. Ivermectin diberikan dalam dosis tunggal 150-200 mcg/kg berat badan dengan pemakaian satu tahun sekali. Ivermectin merupakan obat keras yang pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter.
    "BPOM meminta kepada masyarakat agar tidak membeli obat Ivermectin secara bebas tanpa resep dokter, termasuk membeli melalui platform online. Untuk penjualan obat Ivermectin termasuk melalui online tanpa ada resep dokter dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku," demikian pernyataan BPOM.
    Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, FDA, juga menyatakan bahwa masyarakat tidak diperkenankan mengkonsumsi obat Ivermectin untuk mencegah atau mengobati Covid-19. "Ivermectin tidak disetujui untuk pencegahan atau pengobatan Covid-19. Anda tidak boleh minum obat apa pun untuk mengobati atau mencegah Covid-19 kecuali telah diresepkan oleh penyedia layanan kesehatan Anda dan diperoleh dari sumber yang sah."
    Menurut FDA, terdapat artikel riset yang dirilis baru-baru ini yang menggambarkan efek Ivermectin terhadap SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, di laboratorium. Namun, jenis penelitian itu biasanya digunakan pada tahap awal pengembangan obat. Pengujian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah Ivermectin mungkin tepat untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
    Saat ini, tablet Ivermectin hanya disetujui untuk digunakan pada manusia dalam pengobatan beberapa penyakit akibat cacing parasit, itu pun dalam dosis yang sangat spesifik. Sementara formulasi topikal Invermectin disetujui untuk digunakan pada manusia dengan resep hanya dalam pengobatan parasit eksternal, seperti kutu rambut, dan untuk kondisi kulit seperti rosacea.
    Menurut FDA, akhir-akhir ini, terdapat peningkatan minat terhadap Ivermectin untuk mengobati seseorang yang terinfeksi Covid-19. Di AS, Ivermectin kerap digunakan untuk mengobati atau mencegah parasit pada hewan. FDA pun telah menerima banyak laporan tentang pasien yang membutuhkan pertolongan medis dan dirawat di rumah sakit setelah pengobatan mandiri dengan Ivermectin yang ditujukan untuk kuda.
    Dilansir dari situs resmi Institut Kesehatan Nasional ( NIH ) AS, tidak ada data yang cukup bagi Panel Pedoman Perawatan Covid-19 untuk merekomendasikan atau menentang penggunaan Ivermectin dalam pengobatan Covid-19. Hasil dari uji klinis yang kuat dan dirancang dengan baik diperlukan untuk memberikan panduan berbasis bukti yang lebih spesifik tentang peran Ivermectin dalam pengobatan Covid-19.
    Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) menyatakan bahwa bukti saat ini tentang penggunaan Ivermectin dalam pengobatan pasien Covid-19 tidak dapat disimpulkan. Hingga lebih banyak data tersedia, WHO merekomendasikan bahwa obat tersebut hanya digunakan dalam uji klinis. "Rekomendasi ini, yang berlaku untuk pasien Covid-19 dengan tingkat keparahan apa pun, sekarang menjadi bagian dari pedoman WHO tentang perawatan Covid-19."
    Menurut WHO, sebuah kelompok pengembangan pedoman dibentuk sebagai tanggapan atas meningkatnya perhatian internasional terhadap Ivermectin sebagai pengobatan potensial untuk Covid-19. Kelompok ini meninjau data dari 16 uji coba terkontrol secara acak, termasuk pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dengan Covid-19.
    "Mereka menentukan bahwa bukti apakah Ivermectin mengurangi kematian, kebutuhan ventilasi mekanis, kebutuhan masuk rumah sakit, dan waktu untuk perbaikan klinis pada pasien Covid-19, adalah 'kepastian yang sangat rendah', karena ukuran kecil dan keterbatasan metodologis dari data percobaan yang tersedia. Panel tidak melihat penggunaan Ivermectin untuk mencegah Covid-19," demikian penjelasan WHO.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berisi klaim bahwa Ivermectin dapat mengobati dan mencegah Covid-19, keliru. Hingga artikel ini dimuat pada 16 Juni 2021, berbagai otoritas kesehatan menyatakan bahwa Ivermectin belum terbukti dalam mengobati maupun mencegah Covid-19. Terdapat riset yang dirilis baru-baru ini yang menggambarkan efek Ivermectin terhadap SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, di laboratorium. Namun, jenis penelitian itu biasanya digunakan pada tahap awal pengembangan obat. Pengujian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah Ivermectin mungkin tepat untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2021-8665) Sesat, Klaim Foto Ini Tunjukkan Peluncuran Roket SpaceX Palsu

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/06/2021

    Berita


    Foto yang menunjukkan peluncuran roket SpaceX, perusahaan antariksa milik Elon Musk, beredar di Twitter. Dalam foto itu, terdapat bagian yang dilingkari merah, yang menunjukkan sosok seperti manusia yang berada di luar roket yang sedang meluncur ke luar angkasa tersebut.
    Akun ini membagikan foto itu pada 5 Juni 2021. Akun tersebut menulis dalam bahasa Inggris yang jika diterjemahkan berarti: "Ingat saat itu FakeX lupa untuk mem-Photoshop orang yang duduk di silo gandum mereka yang mereka coba dan luncurkan sebagai 'kapal luar angkasa'."
    Gambar tangkapan layar unggahan di Twitter yang berisi klaim menyesatkan terkait foto roket SpaceX yang diunggahnya.

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, foto tersebut tidak menunjukkan peluncuran roket SpaceX palsu. Foto itu memperlihatkan uji coba roket SpaceX pada 2013. Sosok seperti manusia yang terpasang di luar roket tersebut pun adalah manekin. Menurut CEO SpaceX Elon Musk, manekin berbentuk koboi 6 kaki itu dipasang untuk memberikan perspektif tentang ukuran SpaceX Grasshopper.
    Untuk mendapatkan fakta tersebut, Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto itu dengan reverse image tool Google dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa foto ini pernah diunggah ke media sosial Pinterest oleh akun DanSpace77. Dalam keterangannya, akun itu menulis, "SpaceX Grasshopper. Bisakah kamu menemukan dummy (boneka tiruan) sepanjang 6 kaki di pesawat itu?"
    Foto serupa juga pernah dimuat oleh Space.com dalam artikelnya pada 23 April 2013 yang berjudul "SpaceX Grasshopper, Roket Luar Biasa yang Dapat Digunakan Kembali (Foto)". Foto itu diberi keterangan sebagai berikut:
    "Pada 7 Maret 2013, SpaceX Grasshopper menggandakan lompatan tertingginya hingga saat ini untuk naik 262,8 kaki (80,1 meter), melayang selama sekitar 34 detik dan mendarat dengan aman menggunakan vektor dorong loop tertutup dan kontrol throttle."
    Foto itu pun pernah dimuat oleh Phys.org dalam artikelnya pada 12 Maret 2013 yang berjudul "SpaceX Grasshopper melompat ke 'cincin api'". Dalam keterangannya, tertulis bahwa foto itu menunjukkan uji coba terbang SpaceX Grasshopper pada 7 Maret 2013.
    Berdasarkan petunjuk-petunjuk itu, Tempo menelusuri pemberitaan tentang dummy yang terpasang pada roket SpaceX Grasshopper yang melakukan uji coba peluncuran pada 7 Maret 2013 tersebut. Dilansir dari kantor berita Reuters, sosok seperti manusia yang terpasang di luar roket tersebut adalah manekin, yang ditempatkan untuk menyediakan skala.
    Pada 24 Desember 2012, Elon Musk, CEO SpaceX yang juga merupakan CEO Tesla, mengunggah cuitan di akun Twitter pribadinya yang berisi penjelasan tentang manekin itu. "Untuk memberikan sedikit perspektif tentang ukuran Grasshopper, kami menambahkan koboi 6 kaki ke roket," ujar Musk.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto itu menunjukkan peluncuran roket SpaceX palsu, menyesatkan. Foto itu memperlihatkan uji coba roket SpaceX pada 2013. Sosok seperti manusia yang terpasang di luar roket tersebut pun adalah manekin. Menurut CEO SpaceX Elon Musk, manekin berbentuk koboi 6 kaki itu dipasang untuk memberikan perspektif tentang ukuran SpaceX Grasshopper.
    TIM CEK FAKTA TEMPO
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan