• (GFD-2020-8032) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Jumlah Anggaran Penanganan Corona di Jakarta, Jateng, Jabar, dan Musi Banyuasin?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 07/04/2020

    Berita


    Sebuah infografis yang memperlihatkan perbandingan jumlah anggaran penanganan pandemi virus Corona Covid-19 di empat wilayah beredar di media sosial. Empat wilayah itu terdiri dari Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
    Dalam infografis itu, tertulis bahwa anggaran penanganan Covid-19 DKI Jakarta paling kecil dibandingkan tiga wilayah lainnya, yakni Rp 130 miliar. Padahal, DKI Jakarta memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) paling tinggi ketimbang tiga wilayah lainnya, yakni Rp 87,9 triliun.
    Menurut infografis itu, anggaran penanganan Covid-19 paling besar dikeluarkan oleh Jawa Tengah, yakni Rp 1,4 triliun dari APBD sebesar Rp 28,3 triliun. Sementara itu, anggaran penanganan Covid-19 Jawa Barat dan Musi Banyuasin sama, yakni Rp 50 miliar. APBD Jawa Barat mencapai Rp 46 triliun dan APBD Musi Banyuasin sebesar Rp 4,1 triliun.
    Salah satu akun di Facebook yang membagikan infografis itu adalah akun Yusuf Muhammad, yakni pada 2 April 2020. Akun ini pun menulis narasi, "Kenapa banyak pendukung pak Abas yang terkejut dan mendadak bergetar melihat info grafis ini? Padahal ini masih sementara, siapa tahu nanti pak Abas berubah pikiran dan anggarkan 20 Triliun utk penanganan corona di DKI. Pak Abas kan sangat peduli warganya, betul?"
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yusuf Muhammad.
    Bagaimana kebenaran data anggaran penanganan Covid-19 dalam infografis di atas?

    Hasil Cek Fakta


    Karena tidak dicantumkan sumber yang dirujuk oleh infografis tersebut, Tim CekFakta Tempo membandingkan data dalam infografis di atas dengan jumlah anggaran penanganan pandemi virus Corona Covid-19 di keempat wilayah itu yang dipublikasikan oleh situs resmi mereka ataupun media arus utama per 2 April 2020.
    1. DKI Jakarta
    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang mengucurkan anggaran penanganan Covid-19 tahap pertama sebesar Rp 130 miliar melalui Instruksi Sekretaris Daerah DKI Nomor 24 Tahun 2020 pada 17 Maret 2020. Namun, sampai 2 April 2020, DKI Jakarta telah menambah anggaran penanganan Covid-19 hingga Rp 1,3 triliun. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun berjanji akan menambah anggaran sebesar Rp 2 triliun untuk digunakan hingga akhir Mei.
    Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta, Edi Sumantri, menjelaskan alokasi anggaran tersebut berasal dari pemanfaatan belanja tidak terduga, penundaan sejumlah Penanaman Modal Daerah khususnya anggaran infrastruktur pelaksanaan Formula E, dan penundaan pembelian tanah. Dengan begitu, anggaran tersebut dapat dimanfaatkan dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
    Sumber: Situs resmi DKI Jakarta, Tempo, dan Media Indonesia
    2. Musi Banyuasin
    Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin benar menyiapkan dana sebesar Rp 500 miliar untuk penanganan pandemi Covid-19 dari realokasi 30 persen APBD 2020. Anggaran itu ditujukan untuk bantuan tunai, bantuan sembako, pembelian alat pelindung diri (APD) serta alat kesehatan, penanganan Covid-19, dan jaring pengaman sosial lainnya.
    Sumber: Bisnis.com dan IDN Times
    3. Jawa Tengah
    Pemerintah Provinsi Jawa Tengah benar menyiapkan anggaran Rp 1,4 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19. Sekitar Rp 1 triliun akan digunakan sebagai bantuan sosial bagi masyarakat masing-masing sebesar Rp 200 ribu per bulan dalam bentuk barang atau kebutuhan pokok selama tiga bulan berturut-turut. Sedikitnya terdapat 1,8 juta warga yang belum masuk dalam daftar masyarakat miskin dan akan menerima bantuan langsung tunai. Selama ini, mereka tidak terdaftar dalam Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, maupun kelompok rentan.
    Sumber: Situs resmi Jawa Tengah dan Tempo
    4. Jawa Barat
    Pada tahap pertama, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan pergeseran alokasi anggaran sebesar Rp 48 miliar. Dana itu dialokasikan untuk memberikan sekitar 20 ribu alat pelindung diri (APD) dan 20 ribu alat rapid testl serta menambah fasilitas di berbagai rumah sakit rujukan. Pada pekan ketiga Maret 2020, Pemprov Jawa Barat kembali melakukan realokasi anggaran sebesar Rp 500 miliar untuk penanganan Covid-19. Namun, pada 3 April 2020, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan bahwa daerahnya menganggarkan Rp 16 triliun untuk mengatasi Covid-19. Jumlah tersebut terdiri dari Rp 3,2 triliun anggaran tunai dan pangan yang akan dibagikan kepada masyarakat terdampak serta Rp 13 triliun untuk proyek-proyek padat karya.
    Sumber: Detik.com, Kompas.com, dan Liputan6.com

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, data jumlah anggaran penanganan pandemi virus Corona Covid-19 DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Musi Banyuasin dalam infografis di atas sebagian benar.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8031) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Erdogan Tak Akan Tutup Masjid di Turki Selama Pandemi Corona?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 07/04/2020

    Berita


    Narasi bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan tidak akan menutup masjid di Turki selama pandemi virus Corona Covid-19 beredar di media sosial. Narasi itu terdapat dalam sebuah gambar tangkapan layar yang juga memuat foto Erdogan ketika berpidato.
    Di Facebook, narasi itu dibagikan salah satunya oleh akun Yoedha Al Ghifari, yakni pada Senin, 6 April 2020. Narasi tersebut diklaim berasal dari pidato Erdogan. Berikut isi lengkap narasi tersebut:
    "Tidak ada mesjid yang akan ditutup di Turki dari ancaman virus corona. Penutupan mesjid lebih berbahaya dari virus corona. Siapa saja yang meninggalkan mesjid hari ini, besok dia akan kehilangan iman karena dajjal. Percaya kepada Allah dan hanya Allah pemberi pertolongan," Reccep Tayyip Erdogan (Presiden Turki)
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yoeda Al Ghifari.
    Apa benar Presiden Turki Erdogan tidak akan menutup masjid di Turki selama pandemi Corona?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo terhadap pemberitaan di media-media kredibel, pemerintah Turki telah memberlakukan kebijakan berupa larangan salat berjamaah di masjid untuk memutus rantai penyebaran virus Corona Covid-19.
    Dilansir dari kantor berita Turki, Anadolu Agency, Dewan Tertinggi Urusan Agama Direktorat Agama Turki telah mengeluarkan fatwa untuk menghentikan salat berjamaah di semua masjid pada 16 Maret 2020 hingga ancaman virus berakhir, termasuk salat Jumat.
    Keputusan Direktorat Agama Turki itu pun dipasang di pintu masuk masjid-masjid. Bahkan, di Ankara, ibu kota Turki, petugas kepolisian ditempatkan di depan masjid untuk mencegah warga masuk. Meskipun begitu, azan tetap dikumandangkan.
    Setelah azan, sebuah pengumuman dibacakan, "Mari kita berdoa di rumah atau tempat kerja untuk melindungi bangsa kita dari epidemi ini. Semoga Allah melindungi kita, negara kita, bangsa kita, dan seluruh umat manusia dari penyakit dan kemalangan ini."
    Salah satu masjid yang dikunjungi oleh Anadolu Agency, Masjid Eyup Sultan di Istanbul, dikunci pada hari Jumat. Langkah-langkah keamanan juga diambil di sekitar masjid. Warga yang mendekati masjid serta makam yang berada di masjid tersebut ditolak oleh penjaga keamanan.
    Kepala Direktorat Agama Turki, Ali Erbas, mengatakan bahwa untuk menggantikan salat Jumat, warga dapat melakukan salat zuhur. Adapun pada 19 Maret 2020, karena ancaman virus semakin besar, Direktorat Agama Turki memutuskan untuk menutup masjid pada malam Isra Miraj.
    Dilansir dari Republika.co.id, Erbas mengatakan bahwa penghentian salat berjamaah di masjid ini akan dilakukan hingga risiko wabah virus Corona Covid-19 berakhir. Namun, menurut Erbas, masjid akan tetap terbuka untuk salat pribadi.
    Selain masjid-masjid, gereja dan sinagoge di Istanbul juga menghentikan layanan mereka sebagai respons atas penyebaran virus Corona. Menurut laporan media setempat, gereja dan sinagoge terlihat ditutup di distrik Beyoglu, Istanbul.
    Dikutip dari kantor berita Antara, pada 18 Maret 2020, Presiden Turki Erdogan meminta warganya tinggal di rumah untuk meminimalkan kontak sosial hingga ancaman virus Corona Covid-19 menurun. Meskipun demikian, Erdogan tidak mengatakan kepada rakyat Turki untuk meninggalkan pekerjaan mereka.
    "Tak satu pun dari warga negara kami harus meninggalkan rumah mereka atau melakukan kontak dengan siapa pun, kecuali jika benar-benar diperlukan, sampai ancaman itu hilang," kata Erdogan. "Warga kami yang akan pergi ke kantor harus langsung kembali ke rumah setelah mereka selesai bekerja."
    Kemudian, pemerintah Turki juga mengumumkan kematian kedua akibat virus Corona dan jumlah kasus Covid-19 menjadi 191 di saat pemerintah gencar memerangi Covid-19 dengan menutup kafe, melarang salat berjamaah, dan menghentikan penerbangan ke 20 negara.
    Berdasarkan arsip pemberitaan Tempo, Presiden Turki Erdogan juga memberlakukan jam malam untuk warga berusia di bawah 20 tahun mulai 3 April 2020 malam untuk mencegah penularan virus Corona Covid-19. "Kami harus memutuskan untuk memberlakukan jam malam sebagian untuk orang-orang berusia di bawah 20 pada Jumat malam ini," kata Erdogan.
    Akhir Maret lalu, pemerintah Turki telah menginstruksikan warganya yang berusia lebih dari 65 tahun serta yang menderita sakit kronis untuk tinggal di rumah. Erdogan juga memutuskan untuk menutup perbatasan di 31 kota termasuk Istanbul bagi semua kendaraan, kecuali untuk transit dan pemasokan produk pangan, kesehatan, dan sanitasi untuk mengatasi penyakit ini.
    "Penutupan perbatasan kota akan berlaku selama 15 hari. Periode ini dapat diperpanjang jika diperlukan," ujar Erdogan. Selain itu, Turki mewajibkan penggunaan masker di tempat-tempat umum, transportasi umum, toko-toko, dan tempat kerja. Seluruh penerbangan internasional juga dilarang masuk Turki, perjalanan domestik dibatasi, sekolah, bar, dan warung kopi ditutup.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan tidak akan menutup masjid di Turki selama pandemi virus Corona Covid-19 merupakan narasi yang keliru. Sejak 16 Maret 2020, pemerintah Turki telah menutup masjid untuk kegiatan salat berjamaah, termasuk salat Jumat dan Isra Miraj.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8030) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Virus Corona Covid-19 Tidak Kuat dengan Cuaca di Wilayah Seperti Indonesia?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/04/2020

    Berita


    Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini mengatakan bahwa virus Corona Covid-19 diperkirakan tidak kuat dengan kondisi cuaca Indonesia. "Dari hasilmodelling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas danhumiditytinggi maka untuk Covid-19 itu enggak kuat," kata dia dalam konferensi video pada Kamis, 2 April 2020.
    Dua hari setelah Luhut menyatakan hal tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika serta mengeluarkan siaran pers tentang pengaruh antara cuaca dan penyebaran virus Corona Covid-19. Menurut siaran pers itu, kondisi cuaca dan iklim serta geografi kepulauan di Indonesia relatif lebih rendah risikonya untuk perkembangan Covid-19.
    "Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27-30 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95 persen, dari kajian literatur, sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak Covid-19," demikian penjelasan dalam siaran pers BMKG di laman resminya.
    Dengan fakta bahwa tetap tersebar virus Corona Covid-19 di Indonesia sejak awal Maret 2020 lalu, BMKG menduga penyebaran tersebut lebih kuat dipengaruhi oleh faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial ketimbang faktor cuaca.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim itu, Tempo menggunakan tiga metode, yakni membandingkan kasus Covid-19 di negara tropis lainnya, membandingkan temuan BMKG dengan pernyataan organisasi-organisasi kesehatan, dan memeriksa jurnal yang digunakan oleh BMKG.
    1. Belum ada penelitian final
    Belum ada penelitian final yang menyimpulkan bahwa suhu yang lebih hangat akan menghambat penularan Covid-19. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC ) misalnya, belum bisa memastikan apakah cuaca dan suhu mempengaruhi penyebaran virus Corona Covid-19. Masih banyak yang harus dipelajari tentang transmisibilitas, tingkat keparahan, dan faktor-faktor lain yang terkait dengan Covid-19. Penyelidikan terkait hal itu masih berlangsung.
    Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) telah menegaskan bahwa terkena paparan sinar matahari atau suhu di atas 25 derajat Celcius tidak mencegah seseorang dari infeksivirus Corona Covid-19. Menurut WHO, negara-negara yang memiliki cuaca yang panas juga melaporkan adanya kasus Covid-19.
    Organisasi pemeriksa fakta AS, Full Fact, melaporkan bahwa saat ini tidak masuk akal untuk berspekulasi bahwa penyebaran virus Corona Covid-19 mengalami puncaknya di bulan-bulan yang lebih dingin, kemudian menghilang saat musim semi atau musim panas. Sesuai dengan pengalaman pada 2003 saat mewabahnya virus Corona SARS, sebagian besar pasien disembuhkan melalui intervensi kesehatan dari masyarakat, dan tidak menjadi virus musiman.
    Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Marc Lipsitch, profesor dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, biasanya virus baru memiliki perilaku yang berbeda dengan virus yang telah ada dalam populasi sejak lama. Virus Corona Covid-19 adalah jenis virus yang sangat baru sehingga sangat sedikit orang yang kebal terhadapnya. Artinya, ada banyak host yang rentan untuk terinfeksi dan, oleh karena itu, virus ini tidak mungkin berperilaku seperti virus musiman mapan lainnya.
    2. Kasus Covid-19 di daerah tropis
    Sejumlah negara tropis selain Indonesia telah melaporkan kasus Covid-19, antara lain di Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan Ekuador. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus Corona Covid-19 tetap terjadi di negara-negara tropis yang memiliki temperatur lebih tinggi dibandingkan negara-negara subtropis, seperti Cina dan Eropa.
    Di bawah ini, terdapat perbandingan antara jumlah kasus Covid-19 dan suhu saat terjadinya kasus di tiga negara tropis, yakni Singapura, Malaysia, dan Ekuador. Data kasus Covid-19 menggunakan grafik dari Worldometers, sedangkan data suhu diambil dari situs AccuWeather dan Weather.com.
    Singapura
    Data Worldometers menunjukkan kasus Covid-19 Singapura yang terjadi pada 15 Februari-6 April 2020 pukul 05.22 GMT telah mencapai 1.309 kasus dengan enam pasien meninggal. Rata-rata suhu di negara ini pada tanggal tersebut berada di atas 30 derajat celcius.
    Total kasus Covid-19 di Singapura menurut Worldometers.
    Data suhu di Singapura pada Maret 2020 menurut AccuWeather.
    Malaysia
    Malaysia mengindetifikasi kasus Covid-19 pertama pada 25 Januari 2020 dan angkanya melesat pada Maret 2020. Data Worldometers menunjukkan, hingga 6 April 2020 pukul 05.22 GMT, kasus Covid-19 di negara ini mencapai 3.662 kasus dan 61 pasien di antaranya meninggal. Penyebaran virus ini terjadi di Malaysia pada suhu di atas 30 derajat Celcius, sesuai data Weather.com.
    Total kasus Covid-19 di Malaysia menurut Worldometers.
    Data suhu di Malaysia pada Maret-April 2020 menurut Weather.com.
    Ekuador
    Ekuador merupakan sebuah negara di Amerika Tengah. Amerika Tengah memang terletak di khatulistiwa sehingga sebagian besar negaranya memiliki iklim tropis yang lembab. Sejak 18 Maret 2020, Ekuador mencatatkan kenaikan jumlah kasus Covid-19. Menurut data Worldometers, jumlah kasus Covid-19 di Ekuador hingga 6 April 2020 pukul 06.04 GMT mencapai 3.646 orang dengan 180 pasien meninggal. Suhu di Guayaquil, kota terbesar di Ekuador, di AccuWeather selama 18 Maret-5 April 2020 berada di atas 30 derajat celcius, kecuali 29 Maret dan 3 April.
    Total kasus Covid-19 di Ekuador menurut Worldometers.
    Data suhu Ekuador pada Maret-April 2020 menurut AccuWeather.
    3. Jurnal rujukan BMKG
    Di situsnya, BMKG memaparkan sejumlah rujukan mengenai adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran virus Corona Covid-19. Beberapa di antaranya adanya penelitian Araujo dan Naimi pada 2020, Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al. (2020), Sajadi et.al. (2020), Tyrrell et. al. (2020), dan Wang et. al. (2020).
    Tim CekFakta Tempo pun memeriksa penelitian tersebut dan menemukan bahwa beberapa di antaranya belum melaluipeer reviewatau penilaian sejawat.Peer reviewmerupakan sebuah proses pemeriksaan oleh pakar lain yang memiliki keahlian di bidang penelitian yang diperiksa.Peer reviewbertujuan untuk membuat sebuah penelitian memenuhi standar disiplin ilmiah dan standar keilmuan.
    Penelitian Miguel B. Araujo dan Babak Naimi pada 2020 berjudul “Spread of SARS-CoV-2 Coronavirus likely to be constrained by climate” yang dipublikasikan di Medrxiv belum melaluipeer review. Laporan tersebut merupakan penelitian medis baru yang belum dievaluasi sehingga tidak boleh digunakan sebagai panduan praktik klinis.
    Dua penelitian lainnya yang belum melaluipeer reviewadalah penelitian oleh Luo et. al. (2020) yang berjudul “The role of absolute humidity on transmission rates of the COVID-19 outbreak” dan oleh Tyrrell et. al. (2020) yang berjudul “Preliminary evidence that higher temperatures are associated with lower incidence of COVID-19, for cases reported globally up to 29th February 2020”.
    Ahli epidemiologi dan peneliti pandemi. Dicky Gunawan, dalam sebuah wawancara di MetroTV, menjelaskan bahwa sejumlah penelitian pendahuluan yang menyatakan kaitan antara cuaca dan penyebaran virus Corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 belum bisa dibuktikan. Apalagi, banyak fakta yang belum mendukung teori-teori bahwa cuaca panas bisa menghambat penularan virus tersebut.
    Dicky mencontohkan kasus Covid-19 yang terjadi Brasil. Di negara tropis yang terletak di Benua Amerika ini, kasus Covid-19 telah mencapai 11 ribu kasus dengan kematian sekitar 500 orang. Dalam sejarah pandemi, kata dia, tidak satu pun yang berkaitan dengan iklim. WHO pun telah mengeluarkan rekomendasi bahwa pencegahan Covid-19 tidak berkaitan dengan iklim atau suhu tertentu. “Ketika di-declare sebagai pandemi, semua negara akan berpotensi terkena,” kata Dicky pada 6 April 2020.
    Menurut Dicky, dengan adanya pandemi Covid-19, banyak penelitian pendahuluan yang diterbitkan tanpa melalui peer review. Idealnya, sebuah penelitian selesai membutuhkan waktu hingga satu tahun. Karena itu, penelitian-penelitian pendahuluan tersebut membutuhkan waktu untuk dibuktikan kebenarannya. Ia menyarankan agar setiap negara lebih berfokus melakukan intervensi langsung untuk mengatasi pandemi Covid-19. “Biarlah (teori-teori) ini nanti menjadi bonus apabila benar (ada kaitan antara cuaca panas dengan penyebaran Covid-19),” kata Dicky.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa virus Corona Covid-19 tidak kuat dengan cuaca di wilayah seperti Indonesia belum bisa dibuktikan. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kasus Covid-19 juga terjadi di sejumlah negara tropis dengan suhu lebih dari 30 derajat Celcius. Beberapa penelitian pendahuluan yang digunakan oleh BMKG juga belum melaluipeer reviewdan belum bisa dibuktikan hingga artikel ini dimuat.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8029) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Bentuk Virus Corona yang Berhasil Difoto Ilmuwan India?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 03/04/2020

    Berita


    Sebuah foto yang memperlihatkan dua tangan yang bersalaman dan dipenuhi berbagai organisme kecil dengan berbagai bentuk beredar di media sosial. Menurut narasi yang menyertainya, makhluk kecil yang menempel pada kedua tangan itu adalah virus Corona Covid-19 yang berhasil difoto dan diperbesar oleh ilmuwan India.
    Di Facebook, foto tersebut diunggah salah satunya oleh akun Fika Emelia Siahaan, yakni pada Rabu, 1 April 2020. Dalam foto tersebut, terdapat tulisan yang berbunyi, "Seperti inilah bentuk corona yang berhasil difoto dan diperbesar oleh ilmuwan India, jadi harus selalu cuci tangan." Hingga artikel ini dimuat, foto tersebut telah dibagikan lebih dari 1.300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan sebuah akun di Facebook yang memuat foto dengan narasi keliru mengenai wujud virus Corona Covid-19.
    Apa benar organisme kecil dalam foto di atas merupakan virus Corona Covid-19 yang berhasil difoto dan diperbesar oleh ilmuwan India?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, foto tersebut pernah digunakan dalam artikel di situs Tribunnews yang dimuat pada 29 Maret 2020. Artikel tersebut berjudul "Pertama Kalinya, Ilmuwan di India Publikasikan Gambar Penampakan Virus Corona".
    Namun, foto tersebut diberi keterangan, "Ilustrasi-Pertama Kalinya, Ilmuwan di India Publikasikan Gambar Penampakan Virus Corona". Pada pojok kanan bawah foto itu juga tercantum sumber foto tersebut, yakni berasal dari media sosial Twitter.
    Tempo pun menelusuri sumber foto tersebut dengan menggunakanreverse image toolTinEye. Hasilnya, ditemukan foto yang sama namun berwarna di situs stok foto Shutterstock. Foto itu dimuat pada 15 Juni 2015. Foto tersebut juga diberi tag sebagai foto ilustrasi.
    Adapun keterangannya yang ditulis dalam bahasa Polandia terjemahannya adalah sebagai berikut: "Penyakit infeksi menyebar sebagai simbol kebersihan, karena orang berpegangan tangan dengan virus yang bereproduksi dan bakteri yang menyebar bersama penyakit sebagai konsep dari risiko kesehatan ketika tidak mencuci tangan".
    Foto ilustrasi di Shutterstock tersebut telah beredar luas di internet dan digunakan oleh beberapa lembaga untuk berkampanye seputar isu kesehatan. Salah satunya adalah USAID Indonesia yang mengunggah foto ilustrasi itu di Twitter pada 12 Oktober 2018.
    Bentuk virus Corona Covid-19
    Berdasarkan arsip pemberitaan Tempo, sebuah lembaga yang menangani penyakit menular dan alergi yang berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan Amerika Serikat, National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Integrated Research Facility (IRF) merilis hasil foto mikroskop wujud virus Corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

    Foto-foto tersebut dibuat menggunakan pemindaian dan transmisi elektron mikroskop di laboratorium NIAID di Hamilton, Montana. Emmie de Wit, Kepala Unit Patogenesis Molekuler NIAID, menyediakan sampel virus itu. Elizabeth Fischer, ahli mikroskop, menghasilkan foto-foto tersebut. Sementara kantor seni visual medis laboratorium mewarnai foto-foto itu secara digital.
    NIAID mencatat bahwa foto virus tersebut tampak sedikit mirip dengan foto MERS-CoV, virus Corona sindrom pernapasan Timur Tengah yang muncul pada 2012, dan SARS-CoV, virus Corona sindrom pernafasan akut yang muncul pada 2002.
    "Ini tidak mengejutkan. Paku pada permukaan virus tersebut membuat keluarga dari virus ini diberi nama Corona, yang merupakan bahasa Latin untuk 'mahkota', dan sebagian besar virus Corona memang memiliki penampilan seperti mahkota," demikian penjelasan dari NIAID.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi yang menyertai foto di atas, bahwa organisme kecil dalam foto itu adalah virus Corona Covid-19 yang berhasil dipotret dan diperbesar oleh ilmuwan India, keliru. Foto itu merupakan foto ilustrasi virus dan bakteri yang menempel di tangan. Foto itu pun dimuat di situs Shutterstock pada 15 Juni 2015, jauh sebelum virus Corona muncul pertama kali di Wuhan, Cina, pada Desember 2019.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan