• (GFD-2020-8048) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Termometer Ini Dibuat oleh Cina dan Sudah Diatur untuk Bunuh Ulama?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/04/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan sebuah termometer yang diklaim dibuat oleh Cina dan sudah diatur untuk membunuh ulama beredar di media sosial. Video yang berasal dari YouTube itu berjudul "Waspadalah: Hati2 Alat Ini Sdh Di Setting Suhu 36-37°C Olh Komunis Cina Utk Mmbunuh Para Ulama2 Kita".
    Di Facebook, tautan video itu dibagikan salah satunya oleh akun Andre Tambhenk, yakni pada 9 April 2020. Adapun video itu berasal dari kanal Agung Mujahid yang diunggah pada 7 April. Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 135 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Andre Tambhenk.
    Dalam video yang berdurasi 39 detik itu, terdengar beberapa orang yang sedang mengobrol dengan bahasa asing. Mereka juga merekam sebuah termometer tembak yang hasil pengukuran suhunya hanya berada di angka 36-37 derajat Celcius.
    Setelah dibongkar, di dalam termometer itu tidak ditemukan sensor pendeteksi suhu bernama thermopile sebagaimana yang seharusnya terdapat dalam sebuah termometer tembak. Di bagian akhir video, terlihat kemasan termometer itu yang tercetak merek “Haeco”.
    Apa benar termometer dalam video itu dibuat oleh Cina dan sudah diatur untuk membunuh ulama?

    Hasil Cek Fakta


    Dengan tool InVID, Tim CekFakta Tempo memfragmentasi video yang berasal dari YouTube tersebut menjadi sejumlah gambar. Gambar-gambar itu kemudian ditelusuri dengan reverse image tool untuk menemukan sumber awal dari video tersebut.
    Dengan cara ini, diperoleh petunjuk bahwa video itu pernah dibagikan oleh halaman Facebook milik situs Thailand, Phuketandamannews, pada 4 April 2020. Dalam keterangannya, tertulis bahwa termometer tembak di video itu palsu. Saat dibongkar, termomer itu kosong. Hasil pengukuran suhunya pun tidak pernah melebihi angka 37 derajat Celcius.
    "Selama epidemi Covid-19, produk yang banyak diminati adalah pengukur demam. Tapi jarang yang mengetahui bahwa ada barang palsu yang dijual. Hati-hati!" demikian keterangan yang ditulis oleh Phuketandamannews dalam bahasa Thailand.
    Tempo pun menelusuri pemberitaan mengenai termometer palsu itu dan menemukan bahwa situs media yang berbasis di HongKong, HK 01, pernah memberitakan video termometer palsu yang sama dengan yang diunggah Phuketandamannews. Video itu disebut berasal dari unggahan seorang warganet asal Thailand pada 11 April 2020.
    Menurut HK 01, warganet dari Thailand bercerita bahwa mereka membeli termometer tembak di pasar. Namun, hasil pengukuran suhu termometer itu tidak pernah lebih dari 37 derajat Celcius. Mereka pun membongkar termometer tersebut dan menemukan bahwa bagian dalamnya kosong. Bahkan, setelah dibongkar, termometer itu masih bisa mengukur suhu seperti biasa.
    Ditemukannya termometer palsu itu pun dihubungkan dengan aksi polisi Thailand yang baru-baru ini membongkar sebuah gudang yang berisi sejumlah alat pelindung diri (APD) palsu yang diselundupkan dari Cina. Barang-barang yang diselundupkan itu antara lain masker, pakaian pelindung, dan termometer tembak.
    Menurut laporan situs Slovenia, Times.si, dilihat dari kemasannya, Heaco adalah perusahaan asal Ukraina yang memang menjual termometer tembak. Dalam kemasan yang terlihat di video, tertulis nomor seri termometer itu, yakni MDI-908. Namun, di sebuah toko online Ukraina, model terbaru yang dijual oleh Heaco adalah seri MDI-907. Produk Heaco yang tidak resmi dengan seri MDI-908 hanya dijumpai di toko-toko di Alibaba, marketplace terbesar di Cina.
    Tim CekFakta Tempo pun memverifikasi petunjuk yang ditemukan oleh Times.si itu. Berdasarkan penelusuran Tempo, Heaco adalah brand dari perusahaan yang bernama Heaco Medical Technology yang beralamat di Kiev, ibukota Ukraina. Di situs resminya, Heaco.ua, tidak ditemukan produk termometer tembak seri MDI-908. Perusahaan itu hanya memiliki dua seri termometer tembak, yakni MDI-901 dan MDI-907.

    Demikian pula saat Tempo melakukan pencarian di salah satu toko online produk kesehatan di Ukraina, Medtechnika, tidak ditemukan produk termometer tembak Heaco seri MDI-908. Produk yang mereka jual adalah Heaco MDI-907.

    Untuk memastikan hal tersebut, Tempo menghubungi Heaco Medical Technology lewat email. Mereka menegaskan bahwa termometer yang terlihat dalam video yang beredar itu bukan produk mereka. Produsen termometer palsu tersebut telah mencatut nama Heaco. "Itu termometer palsu. Kami tidak punya model 908, hanya 901 dan 907. Anda bisa melihatnya di situs kami. Seseorang telah mencatut nama perusahaan kami," demikian penjelasan dari Heaco Medical Technology.
    Dengan demikian, produk termometer tembak Heaco seri MDI-908 yang terlihat dalam video yang beredar itu memang bukan produk resmi dari eaco Medical Technology.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video termometer tembak palsu di atas merupakan hasil rekaman warganet asal Thailand. Namun, termometer yang diklaim bermerek Heaco dengan seri MDI-908 tersebut bukan produk asli perusahaan Heaco Medical Technology. Penjualan termomometer palsu di Thailand memang rawan terjadi di tengah pandemi virus Corona Covid-19. Polisi setempat pernah membongkar kasus penyelundupan alat-alat kesehatan palsu dari Cina.Namun, termometer palsu ini tidak ada kaitannya dengan pembunuhan ulama. Dengan demikian, narasi bahwa termometer itu dibuat oleh Cina dan sudah diatur untuk membunuh ulama adalah narasi yang keliru.
    IKA NINGTYAS
    Catatan Redaksi: Artikel ini diubah pada 17 April 2020 pukul 10.30 pada bagian pemeriksaan fakta untuk menambahkan penjelasan dari Heaco Medical Technology. Redaksi mohon maaf.
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8047) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Didatangkannya Alat Tes Corona Asal Cina Bagian dari Rencana Pembunuhan Massal Ulama Jawa Barat?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/04/2020

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah unggahan yang berisi tautan artikel dari situs Uzonews.com yang berjudul "Menteri Australia: Alat Tes Corona Asal China Berbahaya" beredar di media sosial. Gambar itu diberi narasi bahwa didatangkannya 40 ribu alat tes virus Corona Covid-19 oleh pemerintah merupakan bagian dari rencana pembunuhan massal.
    Gambar tangkapan layar tersebut dibagikan oleh akun Facebook Ali Imron Imron pada 13 April 2020. Akun ini menulis, "Hati2 org jawa barat n sekitarxa. Ada 5000 ulama d jawa bara mao d tes covid19.pki itu kejii." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah dibagikan lebih dari 1.100 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ali Imron Imron.
    Adapun artikel berjudul "Menteri Australia: Alat Tes Corona Asal China Berbahaya" di situs Uzonews.com tersebut dimuat pada 9 April 2020. Menteri Australia yang dimaksud dalam artikel itu adalah Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton.
    Menurut Dutton dalam artikel itu, pasukan perbatasan Australia telah menyita sekitar 300 unit alat pengujian Corona asal Tiongkok dan Hong Kong. "Ini termasuk 200 unit yang datang lewat kargo udara ke Kota Perth, Australia Barat, pada Maret," kata Dutton.
    Apa benar didatangkannya alat tes Corona dari Cina adalah bagian dari rencana pembunuhan massal ulama di Jawa Barat?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, sebanyak 40 ribu alat rapid test Corona memang akan didatangkan ke Indonesia. Namun, pihak yang mendatangkan alat tersebut adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan pemerintah. Menurut arsip berita Tempo pada 21 Maret 2020, alat-alat itu didatangkan dari Wuhan, Cina.
    Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan pembelian alat rapid test itu menggunakan dana patungan dari para anggota DPR, bukan dana dari pemerintah ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alat rapid test itu bakal digunakan untuk menguji anggota DPR dan keluarganya sebagai antisipasi karena banyak anggota DPR yang bepergian ke daerah.
    Menurut Dasco, anggota DPR membeli alat rapid test dalam jumlah besar karena ada jumlah minimal pembelian. "Pembelian itu ada jumlah minimalnya dan jumlah minimal itu melebihi daripada kebutuhan anggota DPR beserta keluarganya." Karena itu, alat rapid test tersebut juga akan disumbangkan ke rumah sakit-rumah sakit dan pemerintah daerah yang membutuhkan.
    Terkait klaim bahwa 5 ribu ulama di Jawa Barat akan dites Covid-19, terdapat alasan yang mendasar mengapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberlakukan kebijakan itu. Dilansir dari Kompas.com, pada 4 April 2020, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengatakan bahwa saat ini virus Corona menular melalui klaster-klaster baru.
    Beberapa di antaranya adalah klaster acara di Sukabumi di mana terdapat 300 calon perwira yang dinyatakan positif Covid-19 melalui rapid test serta klaster tempat ibadah di Bogor yang menyebabkan tokoh agama meninggal akibat Covid-19. Menurut Uu, pesantren juga berpotensi menjadi klaster baru penularan virus Corona.
    Pasalnya, para kiai atau sesepuh pesantren sering menerima tamu atau bersalaman dengan santri. Karena itu, mereka perlu dites "Kiai itu masuk kategori B, orang yang sering didatangi dan dikunjungi orang. Pak Gubernur Jabar (Ridwan Kamil) meminta saya berkoordinasi dengan ulama, MUI (Majelis Ulama Indonesia), dan pimpinan pesantren untuk tes massal ini," ujar Uu.
    Menurut Uu, seperti halnya Jawa Timur, Jawa Barat merupakan gudangnya para kiai. Dia mengakui ada beberapa kiai yang enggan dites dengan alasan malu kepada jemaah dan masyarakat jika hasilnya positif. Namun, Uu menyatakan bahwa pihaknya terus memberikan pemahaman bahwa tes Covid-19 dilakukan demi kepentingan bersama, termasuk kiai, jemaah, dan masyarakat.
    Terkait pernyataan Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton bahwa alat tes Corona dari Cina berbahaya, berdasarkan laporan The Canberra Times  serta SBS, alat tes yang dimaksud adalah alat tes Corona rumahan atau buatan sendiri yang dijual secara daring atau online.
    Dalam beberapa pekan terakhir, Pasukan Perbatasan Australia (ABF) menemukan sejumlah alat tes Corona rumahan yang cacat. Pada 16 Maret 2020, ABF mencegat 200 unit alat tes Corona rumahan dari Cina yang masuk ke Perth melalui Singapura. Alat serupa dari Hong Kong juga ditemukan di Perth (50 unit) pada 23 Maret dan Melbourne (39 unit) pada 27 Maret.
    Menurut Dutton, alat tes Corona buatan sendiri atau DIY (do-it-yourself) itu bisa menimbulkan risiko yang serius bagi kesehatan masyarakat. "Hasil yang tidak akurat dapat mencegah seseorang mencari bantuan medis yang mereka butuhkan, atau mencegah seseorang yang seharusnya mengisolasi diri untuk melakukannya," ujar Dutton pada 5 April 2020.
    Dutton pun menyatakan bahwa satu-satunya alat tes Corona yang disetujui untuk digunakan di Australia adalah alat tes berbasis laboratorium dan alat tes yang digunakan oleh para profesional kesehatan di fasilitas-fasilitas medis, seperti rumah sakit dan klinik.
    Dilansir dari CNN Indonesia, alat-alat tes Covid-19 yang didatangkan oleh pemerintah hanya bisa diakses di fasilitas kesehatan. "Pelaksanaan tes akan didesentralisasi di semua fasilitas kesehatan di setiap wilayah, misalnya puskesmas, laboratorium kesehatan daerah, atau rumah sakit yang ada di wilayah tersebut," kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, pada 24 Maret 2020.
    Terkait alat-alat tes Corona yang marak dijual secara online, Kementerian Komunikasi dan Informatika ( Kominfo ) menyatakan tengah melakukan take down terhadap produk-produk tersebut di berbagai marketplace. "Masyarakat yang menjual alat ini bisa dikenakan UU Kesehatan," kata Direktur Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Pangerapan, pada 13 April 2020.
    Sebelumnya, Achmad Yurianto mengatakan bahwa berbagai alat rapid test yang dijual secara online merupakan barang ilegal. Semuel menyatakan hal senada. "Alat ini tidak bisa dijual secara bebas, harus seijin Kementerian Kesehatan. Kami sudah meminta para marketplace untuk menertibkan pedagang mereka," tutur Semuel.
    Achmad Yurianto pun sempat mengomentari kasus yang terjadi di Spanyol, di mana alat rapid test buatan perusahaan Cina, Shenzhen Bioeasy Biotechnology, yang didatangkan oleh negara tersebut bermasalah. Alat tersebut hanya memiliki akurasi kurang dari 30 persen.
    Menurut Achmad Yurianto, pemerintah tidak akan sembarangan dalam mendatangkan alat rapid test Corona. Dilansir dari Republika, dia mengatakan bahwa pemerintah sudah menetapkan standar prosedur pengadaan alat rapid test. "Mekanisme di sini ketat agar kasus di Spanyol tak terulang di sini," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi dalam unggahan akun Ali Imron Imron, bahwa didatangkannya alat tes virus Corona Covid-19 dari Cina adalah bagian dari rencana pembunuhan massal ulama di Jawa Barat, menyesatkan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki alasan yang mendasar untuk menggelar tes Covid-19 terhadap 5 ribu ulama. Pesantren berpotensi menjadi klaster baru penularan karena para kiai atau pimpinan pesantren kerap menerima tamu dan bersalaman dengan santri.
    Terkait alat tes virus Corona Covid-19 asal Cina yang disebut berbahaya oleh Menteri Dalam Negeri Australia, alat yang dimaksud pun adalah alat tes Corona rumahan atau buatan sendiri yang dijual secara online. Alat tes Corona yang didatangkan oleh pemerintah Indonesia hanya bisa diakses di fasilitas kesehatan. Adapun terkait alat-alat tes Corona yang dijual secara online, Kementerian Kominfo menyatakan tengah melakukan take down terhadap produk-produk tersebut di marketplace.
    ZAINAL ISHAQ | ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informas

    Rujukan

  • (GFD-2020-8046) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Uji Coba tentang Virus Corona yang Takut Suara Azan?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/04/2020

    Berita


    Video yang diklaim sebagai video uji coba oleh ilmuwan tentang virus Corona Covid-19 yang takut dengan suara azan beredar di media sosial. Video yang berasal dari YouTube itu berjudul "Ooh ternyata Corona takut sama suara adzan..ini hasil uji coba kedokteran AS".
    Di Facebook, tautan video tersebut diunggah oleh akun S Riyanthi Gemini pada 13 April 2020. Akun ini menulis narasi, "Subhannallah. Allahu Akbar. Simak video nya." Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah dibagikan lebih dari 3.300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook S Riyanthi Gemini.
    Adapun di YouTube, video tersebut dibagikan oleh kanal Bima MLD pada 12 April 2020. Namun, judulnya berbeda dengan judul yang terdapat dalam unggahan akun S Riyanthi Gemini. Video itu diberi judul "AS membandingkan antara suara musik dengan suara adzan".
    Video yang telah ditonton lebih dari 250 ribu kali ini terdiri dari tiga segmen. Dalam segmen pertama, terlihat software di komputer yang menunjukkan frekuensi audio saat azan dan sebuah lagu diperdengarkan. Terdengar pula suara seorang pria yang sedang memberikan penjelasan.
    Segmen kedua memperlihatkan seorang pria yang tengah memasuki sebuah kafe. Dalam video tanpa suara ini, pria tersebut sempat berbicara dengan karyawan kafe. Adapun segmen ketiga merupakan video animasi mengenai bentuk dan struktur virus Corona covid-19.
    Apa benar video di atas merupakan video uji coba ilmuwan tentang virus Corona yang takut dengan suara azan?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, video unggahan kanal Bima MLD tersebut merupakan gabungan dari tiga video yang konteksnya berbeda-beda. Berikut ini fakta mengenai tiga video itu:
    Video Segmen I

    Video ini pernah diunggah oleh kanal YouTube Mehbooba pada 11 Oktober 2016 dengan judul "The Spiritual Healing Effects Of Adhaan (call to prayer)". Mehbooba memberikan keterangan bahwa video itu menunjukkan perbandingan efek mendengarkan musik dengan mendengarkan azan terhadap tubuh.
    Menurut Mehbooba, getaran memiliki pengaruh yang besar terhadap tubuh. Saat mendengarkan musik atau percakapan biasa, intensitas getaran suara berefek pada apa yang tubuh rasakan. Musik yang agresif bisa mengganggu, sementara suara yang lembut bisa menenangkan.
    Intensitas getaran suara itu pun dapat diukur dan divisualisasikan. Video yang diunggah Mehbooba ini menunjukkan sebuah instrumen yang bernama CymaScope yang bisa memproyeksikan pola geometris fisik dari getaran suara tertentu.
    Namun, di bagian akhir keterangannya, Mehbooba menegaskan bahwa klaim dan potensi manfaat dari instrumen ini tidak semuanya dapat dibuktikan secara ilmiah. "Pengalaman pribadi setiap orang menjadi faktor penentu," demikian keterangan yang ditulis oleh Mehbooba.
    Video Segmen II

    Video ini pernah diunggah oleh akun Twitter @Kenan_n pada 26 Maret 2020. Namun, video tersebut memiliki suara dan terdengar rekaman suara seseorang yang sedang mengaji.
    Akun itu pun menuliskan keterangan: Seorang muslim Palestina berjalan melewati toko milik orang Yahudi dan bertanya kepada orang Yahudi itu, "Mengapa Anda mendengarkan Al Quran padahal Anda bukan seorang muslim?" Orang Yahudi itu pun berkata, "Kata-kata terberkati ini berasal dari Allah. Saya berharap bahwa kata-kata ini akan dihormati oleh Allah."
    Video Segmen III

    Di YouTube, video animasi mengenai bentuk dan struktur virus Corona Covid-19 tersebut pernah diunggah oleh kanal Elara Systems pada 18 Maret 2020 dengan judul "Coronavirus - COVID-19". Video berdurasi 1 menit 12 detik itu diberi keterangan:
    "Elara berkolaborasi dengan Jason McLellan, Associate Professor of Molecular Biosciences di University of Texas di Austin, dan dengan National Institutes of Health (NIH) dalam membuat animasi tentang Coronavirus Spike Protein MoA ini.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video uji coba ilmuwan tentang virus Corona Covid-19 yang takut dengan suara azan, keliru. Video segmen pertama dan kedua tidak terkait dengan virus Corona. Video segmen pertama mengenai perbandingan suara azan dengan sebuah lagu pun telah beredar di YouTube pada 2016, jauh sebelum munculnya virus Corona Covid-19 di Wuhan, Cina, pada Desember 2019.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8045) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Minum Teh Panas yang Dicampur Perasan Lemon Bisa Bunuh Corona?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/04/2020

    Berita


    Pesan berantai dengan narasi bahwa minum teh panas yang yang dicampur dengan perasan lemon dapat membunuh virus Corona Covid-19 beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Menurut pesan berantai tersebut, informasi itu berasal dari Palestina.
    Berikut narasi lengkap pesan berantai tersebut:
    "KABAR ISTIMEWAPalestina Covid-19 tidak ada yang matiBerita Super...Obat virus Covid-19 tercapai
    Informasi dari Negara Islam Palestina... Virus Covid-19 tidak menyebabkan kematian.
    Ternyata resepnya sangat sederhana tapi sangat ampuh.1. Lemon2. Teh
    Minumlah teh panas setelah dicampur dengan perasan lemon.
    Dapat segera membunuh virus covid-19 dan dapat sepenuhnya menghilangkan virus dari tubuh."
    Gambar tangkapan layar pesan berantai mengenai teh panas dan lemon yang beredar di WhatsApp.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Klaim bahwa teh panas serta lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19 pernah menyebar sebelumnya dalam dua pesan berantai yang berbeda. Pada akhir Maret 2020, beredar pesan berantai yang menyarankan pasien Covid-19 untuk minum teh panas. Sementara pesan berantai yang mengklaim makanan alkali, termasuk lemon, dapat membunuh virus Corona beredar pada awal April 2020.
    Tim CekFakta Tempo telah memeriksa dua klaim itu. Terkait teh panas, informasi tersebut berasal dari para peneliti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Zhejiang, Cina. Dalam sebuah percobaan dengan sel yang dikultur secara in vitro, mereka menemukan bahwa teh, yang kaya polifenol, bekerja dengan baik dalam membunuh virus Corona secara ekstraseluler dan menekan proliferasi intraselulernya.
    Namun, hal itu telah dibantah oleh seorang ahli imunologi yang diwawancara oleh China Daily. Menurut dia, virus Corona menginfeksi sel epitel alveolar di paru-paru. Sementara teh yang diminum tidak akan mencapai paru-paru. Bahkan, jika percobaan in vitro menunjukkan bahwa teh dapat membunuh virus Corona, tidak berarti bahwa minum teh bisa menghasilkan efek yang sama.
    Menurut ahli tersebut, setelah tes in vitro pun, uji coba pada hewan harus dilakukan, kemudian dipertimbangkan untuk uji klinis pada manusia. Hasil tes in vitro tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa minum teh dapat membantu mencegah penularan Covid-19.
    Saat ini, artikel yang dipublikasikan lewat akun WeChat CDC Zhejiang tersebut sudah dihapus. Staf CDC Zhejiang mengatakan temuan dari penelitian terbaru akan dipublikasikan melalui WeChat setelah prosedur-prosedur yang diperlukan diselesaikan.
    Sementara terkait lemon, narasi yang beredar ketika itu menyatakan virus Corona memiliki derajat keasaman (pH) 5,5-8,5. Dengan derajat keasaman tersebut, virus Corona bisa dibunuh dengan konsumsi makanan alkali, termasuk lemon, yang mengandung pH lebih tinggi ketimbang pH virus.
    Sebagai informasi, semakin rendah pH, suatu unsur akan semakin bersifat asam. Adapun makanan alkali adalah makanan yang mengandung pH basa atau pH di atas 7 (pH yang dianggap netral). Lemon memiliki pH sekitar 2, bukan 9,9 seperti yang disebut dalam pesan berantai itu.
    Menurut Euronews, mengkonsumsi makanan tertentu yang memiliki pH di bawah ataupun di atas 7 tidak akan mengubah derajat keasaman dalam tubuh. Pasalnya, tubuh telah mengatur derajat keasamannya dalam kisaran yang sangat sempit, terbatas pada pH 7,37-7,43, agar sel-sel tetap berfungsi.
    Ahli virus Shaheed Jameel pun mengatakan virus tidak memiliki derajat keasaman. Karena itu, pernyataan yang mengaitkan makanan yang diklaim memiliki pH tinggi dengan virus Corona tidak berdasar. "Tidak ada organisme hidup yang memiliki nilai pH," kata Shaheed.
    Sementara Oyewale Tomori, profesor virologi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa klaim tentang pH pada virus Corona keliru. "Virus Corona tidak ada hubungannya dengan perut. Jadi, bagaimana 'makanan alkali' mengalahkan virus? Klaim ini harus diabaikan," ujarnya.
    Menurut laporan organisasi cek fakta FactCheck, klaim "campuran teh dan lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19" juga pernah menyebar di Amerika Serikat pada awal April 2020. Pesan berantai yang beredar di sana identik dengan yang menyebar di Indonesia. Bedanya, negara yang disebut dalam pesan itu adalah Israel, bukan Palestina.
    FactCheck pun menyatakan bahwa klaim "campuran teh dan lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19" tidak berdasar. Menurut WHO, hingga saat ini, belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Sementara itu, dokter penyakit menular Krutika Kuppalli mengatakan, "Tidak ada data yang menunjukkan bahwa lemon atau teh panas akan membunuh virus."
    Menurut direktur medis Monarch Athletic Club, Ryan M. Greene, manfaat lemon yang dicampurkan pada air hangat lebih kepada menguatkan sistem imun atau kekebalan tubuh. "Serat buah lemon yang disebut pectin membantu memberi makan bakteri microbiome yang bermanfaat memperkuat sistem kekebalan tubuh," kata Greene pada 25 Maret 2020.
    Green menambahkan bahwa pectin juga bisa meningkatkan produksi enzim pencernaan, meningkatkan fungsi usus secara teratur, dan membantu menghilangkan racun dalam tubuh. Selain itu, vitamin C yang terkandung dalam lemon bisa mengurangi durasi dan tingkat keparahan infeksi saluran pernapasan atas.
    Tidak ada warga Palestina yang meninggal karena Covid-19?
    Menurut data Worldometers per 15 April 2020, warga Palestina yang meninggal akibat terinfeksi virus Corona Covid-19 berjumlah dua orang. Adapun total kasus Covid-19 di Palestina mencapai 308 kasus di mana 62 kasus di antaranya telah dinyatakan sembuh.
    Adapun per 11 April 2020, dilansir dari Bisnis.com, juru bicara pemerintah Palestina Ibrahim Milhem mengatakan bahwa total kasus Covid-19 di Palestina mencapai 268 kasus. Sebanyak 1.750 orang juga sedang berada di pusat karantina milik negara. Adapun lebih dari 12 ribu orang menjalani karantina mandiri di rumah.
    Selain itu, sejak Covid-19 merebak, dua warga Palestina meninggal akibat penyakit tersebut. Kasus pertama adalah seorang perempuan berusia 60 tahun dan kasus kedua adalah seorang pria berusia sekitar 40 tahun. Keduanya memiliki riwayat penyakit kronis sebelum tertular virus Corona Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa teh panas yang dicampur dengan perasan lemon bisa membunuh virus Corona Covid-19 keliru. Hingga kini, menurut WHO, belum ada vaksin ataupun obat khusus untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa lemon atau teh panas akan membunuh virus. Manfaat lemon yang dicampurkan pada air hangat lebih kepada menguatkan sistem imun atau kekebalan tubuh.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan