(GFD-2020-8044) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Jogging dan Bersepeda Rawan Tularkan Corona Bahkan pada Jarak 10-20 Meter?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/04/2020
Berita
Narasi bahwa seseorang yang melakukan olahraga lari atau jogging serta bersepeda rawan tertular dan menularkan virus Corona Covid-19 bahkan pada jarak 10-20 meter viral di media sosial. Informasi ini diklaim berasal dari para peneliti asal Belgia dan Belanda.
Di Facebook, narasi tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Rohadi Abu Faiz, yakni pada 10 April 2020. Akun ini menulis sebagai berikut:
"Bagi yg tetap ngotot jogging dan sepedaanTernyata anda rawan tertular dan rawan menularkan COVID-19 bahkan pada jarak 20 meter sekalipun.
Lho bukannya jarak aman 1 meter social distancing..?Tidak berlaku.Itu untuk bila sama sama diam.Ketika bergerak apalagi semakin cepat.. maka daya kibas angin akan menerbangkan luas virus ke mana.Jadi kalau ada yg bersepeda melintas di depan anda.. maka bisa jadi ada virus yg ikut terkibas anginnya ke anda.
Ini hasil studinyahttps://medium.com/@jurgenthoelen/belgian-dutch-study-why-in-times-of-covid-19-you-can-not-walk-run-bike-close-to-each-other-a5df19c77d08
Kenapa bersepeda dan lari di luar rumah menjadi tetap berbahaya... karena akan menjadikan COVID-19 aerosol terkena kibasan angin gerakan kecepatan itu."
Akun Rohadi Abu Faiz juga membagikan beberapa gambar tangkapan layar dari laporan studi yang dilakukan oleh peneliti Belgia dan Belanda itu, yakni Bert Blocken, Fabio Malisia, Thijs van Druenen, dan Thierry Marchal. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 1.700 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rohadi Abu Faiz.
Adapun tautan yang dibagikan oleh akun Rohadi Abu Faiz berisi artikel yang diunggah oleh akun Jurgen Thoelen di Medium, yang dalam profilnya mengklaim sebagai pengusaha, mengenai studi Bert Blocken dkk. Dalam artikel itu, dicantumkan pula tautan ke laporan studi Bert Blocken dkk.
Dalam laporan yang disebut white paper ini, disebutkan bahwa studi itu menyelidiki apakah jarak fisik sejauh 1,5 meter cukup aman diterapkan ketika berjalan, berlari, atau bersepeda. Penelitian ini pun menemukan bahwa jarak aman sejauh 1,5 meter hanya berlaku dalam kondisi diam. Saat berjalan, berlari, atau bersepeda, slipstream atau pergerakan udara membuat droplet terbang lebih jauh. Karena itu, penelitian ini menganjurkan untuk berjalan, berlari, atau bersepeda secara bersebelahan atau membentuk formasi diagonal, tidak membentuk formasi depan-belakang.
Studi ini juga menyatakan, tanpa adanya angin, jarak fisik sejauh 1,5 meter hanya aman bagi dua orang yang berjalan, berlari, atau bersepeda secara bersebelahan. Sementara itu, jarak aman antara satu orang dengan orang lainnya yang membentuk formasi depan-belakang ketika berjalan dengan kecepatan 4 km per jam adalah sekitar 5 meter, ketika berlari dengan kecepatan 14,4 km per jam adalah sekitar 10 meter, dan ketika bersepeda dengan kecepatan 30 km per jam adalah sekitar 20 meter.
Apa benar orang yang jogging serta bersepeda rawan tertular dan menularkan virus Corona Covid-19 bahkan pada jarak 10-20 meter?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan pemeriksaan terhadap white paper tersebut oleh Tim CekFakta, tertulis bahwa studi itu masih berstatus "preprint". Preprint merupakan dokumen ilmiah yang dipublikasikan sebelum menjalani peer-review. Peer-review adalah sebuah proses pemeriksaan oleh para pakar lain yang memiliki keahlian di bidang penelitian yang diperiksa. Peer-review bertujuan untuk membuat sebuah penelitian memenuhi standar disiplin ilmiah dan keilmuan.
Dalam sebuah tulisan yang berbentuk tanya-jawab yang diunggah oleh Blocken di akun Twitter -nya, ia mengakui bahwa studinya tersebut memang belum menjalani peer-review. Menurut Blocken, kita tengah menghadapi situasi yang luar biasa. Karena itu, studi ini penting dipublikasikan untuk membantu mengurangi risiko penyebaran Covid-19. "Prioritasnya adalah kesehatan masyarakat," katanya.
Meskipun begitu, dilansir dari Vice, ratusan ilmuwan lain telah berhasil menerbitkan penelitian tentang virus Corona Covid-19 yang telah menjalani peer-review dalam beberapa pekan terakhir. "Perlindungan atas publikasi ilmiah diberlakukan karena suatu alasan, dan kita telah melihat selama pandemi ini bahwa proses yang terburu-buru memicu terbitnya publikasi ilmiah yang tidak akurat," demikian laporan yang ditulis oleh Vice.
Kepada Vice, ahli epidemiologi dari Pusat Dinamika Penyakit Menular Harvard, William Hanage, mengatakan bahwa viralnya penelitian Blocken itu berbahaya. Hingga kini, para ilmuwan belum bisa memastikan seberapa jauh virus Corona Covid-19 dapat menyebar lewat udara. Beberapa ahli juga berspekulasi bahwa risiko penularan Covid-19 di luar ruangan kemungkinan lebih kecil.
Selain itu, droplet memang membawa virus. Tapi tidak berarti bahwa siapa pun yang terpapar droplet dari napas seseorang akan terinfeksi. Transmisi Covid-19 tergantung pada sejumlah faktor. Para ilmuwan meyakini salah satu faktor yang penting adalah "viral load", yakni ukuran dari seberapa banyak virus yang terdapat dalam tubuh seseorang.
Menurut ahli epidemiologi Dicky Budiman saat dihubungi Tim CekFakta Tempo pada 14 April 2020, hingga kini, belum ditemukan bukti adanya penularan Covid-19 melalui jogging atau bersepeda. Riset yang dilakukan oleh Blocken pun masih dalam tahap awal. Artinya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Selain itu, riset yang dilakukan oleh Blocken tersebut menyalahi etika. Pasalnya, penelitian itu tidak disampaikan melalui jurnal. "Tapi melalui media sosial sehingga dapat diterima berbeda oleh masyarakat. Riset ini belum dipublikasikan di jurnal dan belum melalui mekanisme peer-review," kata Dicky.
Riset serupa, menurut Dicky, memang pernah dilakukan, yakni di ruang tertutup seperti perpustakaan dan pusat perbelanjaan. Namun, dalam menyikapi potensi penularan Covid-19, baik di ruang terbuka maupun di ruang tertutup, prinsip utamanya adalah penyakit ini ditularkan melalui droplet, dan potensi lainnya aerosol. "Faktor lingkungan juga tentu berpengaruh."
Saat ini, kata Dicky, para peneliti masih melakukan riset mengenai sejauh mana kemungkinan penularan Covid-19 secara aerosol. Namun, para ahli epidemiologi berpandangan bahwa sejauh ini aktivitas di ruang terbuka yang tidak ramai atau tidak dipadati banyak orang masih aman.
Menurut Dicky, agar tetap hidup, virus harus senantiasa berada di dalam cairan tubuh penderita, baik ingus, bersin, ataupun batuk. Artinya, ketika keluar dari tubuh penderita, cairan itu akan terpengaruh oleh gravitasi. "Jadi, tidak beterbangan ke sana-sini," tuturnya.
Dicky juga mengatakan bahwa terinfeksinya seseorang oleh Covid-19 dipengaruhi banyak faktor. Pertama, viral load atau jumlah virus yang menyerang. Kedua, imunitas tubuh atau bagaimana tubuh merespon serangan virus. "Jadi, melihat faktor ini, rasanya jauh kemungkinan teori Blocken terpenuhi," katanya.
Meskipun begitu, Dicky mengingatkan bahwa, ketika berolahraga, masyarakat harus tetap memberlakukan jaga jarak fisik. "Kalau mau olahraga, boleh saja. Asal sendiri atau di lokasi yang memungkinkan jarak antar orang sangat longgar. Makin jauh tentu makin bagus. Pakai masker kain dan jauhi keramaian," ujar kandidat doktor di Universitas Griffith Australia tersebut.
Dikutip dari The Guardian, peneliti senior kesehatan global di Universitas Southampton, Michael Head, mengatakan bahwa seseorang yang jogging tetap harus menjaga jarak meskipun risiko penularan virus kecil. "Tetap ada risiko di sana, tapi risikonya akan sangat kecil," kata Head pada 23 Maret 2020.
Menurut Head, ketika seseorang berlari, memang ada saat di mana dia berada di belakang orang lain, lalu melewati orang tersebut. Namun, jangka waktu untuk berada di dekat orang lain itu akan minimal. "Jika Anda berlari dan melewati seseorang dalam beberapa detik, di ruang terbuka pula, risiko penularan ketika itu kecil," tuturnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa orang yang jogging serta bersepeda rawan tertular dan menularkan virus Corona Covid-19 bahkan pada jarak 20 meter belum terbukti kebenarannya. Hingga artikel ini dimuat, studi yang memuat klaim itu belum melalui peer-review sehingga belum memenuhi standar disiplin ilmiah dan keilmuan.
Saat ini, para ilmuwan belum bisa memastikan seberapa jauh penyebaran virus Corona Covid-19 lewat udara. Para peneliti pun masih melakukan riset mengenai sejauh mana kemungkinan penularan Covid-19 secara aerosol. Selain itu, banyak faktor yang mempengaruhi terinfeksinya seseorang oleh Covid-19, seperti viral load, imunitas tubuh, dan sebagainya.
IBRAHIM ARSYAD
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10207369849361012&set=pcb.10207369849601018&type=3&theater
- https://medium.com/@jurgenthoelen/belgian-dutch-study-why-in-times-of-covid-19-you-can-not-walk-run-bike-close-to-each-other-a5df19c77d08
- http://www.urbanphysics.net/COVID19_Aero_Paper.pdf
- https://twitter.com/realBertBlocken/status/1249403106259017728
- https://www.vice.com/amp/en_us/article/v74az9/the-viral-study-about-runners-spreading-coronavirus-is-not-actually-a-study
- https://amp.theguardian.com/world/2020/mar/23/coronavirus-outdoor-etiquette-no-spitting-and-keep-your-distance
(GFD-2020-8043) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Muslim Amerika yang Salat Hingga ke Jalan di Tengah Pandemi Corona?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/04/2020
Berita
Video yang memperlihatkan ribuan orang sedang menunaikan salat berjamaah di jalan raya viral di media sosial. Video itu diklaim sebagai video muslim Amerika Serikat yang berbondong-bondong salat berjamaah hingga ke jalan di tengah pandemi Corona Covid-19.
Dalam video berdurasi 45 detik ini, terlihat pula seorang jamaah yang mengibarkan bendera Amerika Serikat serta bendera Yaman. Di Facebook, video ini dibagikan salah satunya oleh akun Hafiz Okta Sanjaya, yakni 10 April 2020. Akun ini menuliskan narasi sebagai berikut:
"Situasi dan Kondisi (Sikon) Tadi Malem di Amerika Serikat... Saat Tiba Masuk Sholat Magrib Masyarakat Kaum Muslim berbondong bondong Menunaikan Sholat berjama"ah di Mesjid sampai Tumpah Ruah di Jalan Raya. Sehubungan dengan Adanya Covid 19, Pemerintah Setempat Memberi Kesempatan Ummat Islam beribadah Secara Terbuka & di boleh kan Suara Volume Mesdjid di besar kan. Tumben... Sebelum Covid 19 datang di Amerika, Suara Volume Mesjid tidak di bolehkan Keluar."
Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah direspons lebih dari 2.900 kali, dikomentari lebih dari 1.200 kali, dibagikan lebih dari 2.500 kali, dan ditonton lebih dari 39 ribu kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hafiz Okta Sanjaya.
Apa benar video di atas merupakan video muslim Amerika yang salat berjamaah hingga ke jalan di tengah pandemi Corona?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo dengan memasukkan kata kunci "muslim pray on New York street" di mesin pencari Google, ditemukan video yang sama yang pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Quran Videos pada 5 Februari 2017 dengan judul "Muslim praying in New York streets".
Video serupa juga pernah diunggah oleh situs CNN pada 3 Februari 2017 dengan judul "Bodega owners protest immigration order". Video tersebut diberi keterangan:
"Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang perjalanan dari tujuh negara mayoritas muslim, termasuk Yaman, ke Amerika. Sebagai respons atas kebijakan itu, sekitar 1.000 pemilik bodega (convenience store) asal Yaman di New York melakukan mogok kerja untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada orang-orang yang terkena dampak dan membuktikan pentingnya mereka bagi masyarakat."
Selain menelusuri dengan mesin pencari, dengantoolInVID, Tempo melakukan fragmentasi terhadap video itu menjadi beberapa gambar. Gambar-gambar itu kemudian ditelusuri denganreverse image toolTinEye.
Hasilnya, gambar yang identik pernah dimuat dalam sebuah artikel di situs berbahasa Arab yang berbasis di Palestina, Alwatanvoice.com, pada 9 Februari 2017. Artikel itu berjudul "Muslim berdoa di jalan-jalan Amerika untuk menanggapi keputusan Trump".
Tempo pun menelusuri pemberitaan mengenai peristiwa itu di media-media kredibel. Hasilnya, ditemukan bahwa berita soal unjuk rasa yang berlangsung di New York tersebut pernah dimuat oleh The New Yorker pada 4 Februari 2017 dengan judul "The Bodega Strike Against Trump's Executive Order on Immigration".
Terdapat pula foto aksi protes itu dengan latar belakang gedung yang sama dengan yang terlihat dalam video unggahan akun Hafiz Okta Sanjaya. Foto tersebut diberi keterangan, "Ribuan warga Yaman-Amerika melakukan doa malam sebagai bagian dari protes di Brooklyn (sebuah wilayah di New York) terhadap larangan perjalanan anti-Muslim Donald Trump." Foto ini diabadikan oleh fotografer Anadolu Agency, Mohammed Elshamy.
Gambar tangkapan layar berita di The New Yorker pada 4 Februari 2017 mengenai unjuk rasa warga Amerika Serikat keturunan Yaman terkait kebijakan Presiden Donald Trump soal imigrasi.
Pemberitaan mengenai unjuk rasa tersebut juga pernah dimuat oleh situs dalam negeri. Dilansir dari Detik.com, ratusan warga keturunan Yaman di New York turun ke jalan dan memenuhi bagian luar Brooklyn Borough Hall untuk memprotes kebijakan imigrasi Presiden Amerika Donald Trump. Aksi protes itu diwarnai dengan salat berjamaah di tengah kota New York.
Seperti dikutip dari Reuters dan AFP pada 3 Februari 2017, sebagian besar toko kelontong dan restoran milik warga Amerika-Yaman di New York juga tutup pada 2 Februari waktu setempat sebagai bentuk protes atas kebijakan Trump yang kontroversial. Kebijakan itu melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim, termasuk Yaman, masuk ke Amerika setidaknya selama 90 hari ke depan.
Warga yang berunjuk rasa melambaikan bendera Amerika dan Yaman sambil meneriakkan "bersatu kita bangkit melawan larangan muslim" dan "USA". Mereka juga membawa poster bertuliskan "Muslim Lives Matter" dan "kebencian tidak akan membuat kita hebat", serta "Tuan Trump, dari mana asal istri Anda?" merujuk pada Ibu Negara Melania yang lahir di Slovenia.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi bahwa video di atas merupakan video muslim Amerika yang salat berjamaah hingga ke jalan di tengah pandemi Covid-19, menyesatkan. Peristiwa dalam video tersebut terjadi pada Februari 2017, jauh sebelum munculnya virus Corona Covid-19 pada Desember 2019. Ketika itu, terjadi protes dari warga Amerika keturunan Yaman terkait kebijakan Presiden Donald Trump yang melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim, termasuk Yaman, masuk ke Amerika.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8042) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Penangkapan Para Lansia di Italia yang Berkeliaran Saat Pandemi Corona?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 14/04/2020
Berita
Akun Facebook Norman Sophan membagikan sebuah video yang memperlihatkan penangkapan sejumlah pria lansia oleh polisi pada 3 April 2020. Para pria lansia dalam video itu diklaim sebagai warga Italia berusia di atas 60 tahun yang berkeliaran di jalan.
Video ini dibagikan di tengah pandemi Covid-19 yang juga menimpa Italia. Menurut data Worldometers per 14 April 2020, Italia menempati posisi ketiga dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat dan Spanyol, yakni sebesar 159.156 kasus di mana 20.465 orang di antaranya meninggal.
Dalam video berdurasi 4 menit 52 detik itu, terlihat petugas kepolisian dengan seragam berwarna hitam yang sedang menangkap sejumlah pria dengan rambut yang sudah beruban. Setelah ditangkap, para pria lansia itu dibawa ke mobil patroli.
Akun Norman Sophan pun menulis narasi terhadap video itu, "Italia panik... Usia di atas 60 tahun dilarang berkeliaran di jalan-jalan." Hingga artikel ini dimuat, video tersebut telah ditonton lebih dari 23 ribu kali dari dibagikan lebih dari 1.900 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Norman Sophan.
Apa benar penangkapan para pria lansia dalam video di atas terjadi di Italia sebagai bagian dari penanganan Covid-19?
Hasil Cek Fakta
Untuk memeriksa klaim dalam unggahan akun Norman Sophan di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula mengidentifikasi sejumlah nama tempat yang terlihat dalam video tersebut, di antaranya Azercell, Baku Mobile, dan Mobi Center.
Dengan mengeceknya di mesin pencarian Google, diketahui bahwa Azercell dan Baku Mobile adalah perusahaan operator seluler yang berbasis di Baku, Azerbaijan. Sementara Mobi Center adalah toko aksesoris ponsel yang juga berada di Baku.
Logo Azercell, Baku Mobile, dan Mobi Center yang terlihat dalam video unggahan akun Facebook Norman Sophan.
Selain itu, Toplum TV yang logonya tercantum di pojok kiri atas video tersebut juga merupakan perusahaan media yang berpusat di Baku, Azerbaijan. Dengan demikian, video ini bukan diambil di Italia, melainkan di Baku, ibukota Azerbaijan.
Republik Azerbaijan adalah sebuah negara yang berada di wilayah Kaukasus di persimpangan Eropa dan Asia Barat Daya. Negara ini berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, Georgia dan Armenia di sebelah barat, dan Iran di selatan.
Penangkapan Demonstran
Dengan memasukkan kata kunci "penangkapan oleh polisi di Baku Azerbaijan", Tempo memperoleh beberapa video liputan dari sejumlah media tentang penangkapan demonstran oleh polisi di Baku, Azerbaijan, pada 19 Oktober 2019. Beberapa sudut dalam video itu sama dengan yang terlihat dalam video unggahan akun Norman Sophan.
Video pertama adalah video milik Radio Free Europe. Cuplikan pada detik ke-14 video ini sama dengan cuplikan pada menit 2:22 video unggahan akun Norman Sophan.
Video Radio Free Europe (kiri) dan video unggahan akun Facebook Norman Sophan (kanan).
Kemudian, cuplikan pada detik ke-35 video itu sama dengan cuplikan pada menit 2:46 video unggahan akun Norman Sophan.
Video Radio Free Europe (kiri) dan video unggahan akun Facebook Norman Sophan (kanan).
Sementara video kedua adalah video yang diunggah oleh kanal YouTube Voice of America (VoA). Cuplikan pada bagian awal video yang diunggah VoA sama dengan cuplikan pada menit 1:53 video unggahan akun Norman Sophan.
Video VoA (kiri) dan video unggahan akun Facebook Norman Sophan (kanan).
Radio Free Europe memberikan penjelasan bahwa video itu merekam tindakan polisi yang menahan belasan demonstran di ibukota Azerbaijan, Baku, pada 19 Oktober 2019. Pemimpin Partai Front Rakyat, Ali Kerimli, termasuk salah satu yang ditahan. Para pengunjuk rasa menuntut pembebasan tahanan politik dan pengurangan tarif untuk gas alam dan listrik.
Sebelumnya, terdapat sejumlah orang yang ditahan saat demonstrasi pada 8 Oktober di Baku dalam rangka mendukung hak untuk bebas berkumpul yang diselenggarakan oleh Dewan Nasional Pasukan Demokrat, sebuah kelompok payung pasukan oposisi Azerbaijan. Penjelasan yang sama juga ditulis oleh VoA yang mereka kutip dari Reuters.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi yang ditulis akun Norman Sophan, bahwa video itu adalah video penangkapan warga Italia berusia di atas 60 tahun yang berkeliaran di jalan saat pandemi virus Corona Covid-19, keliru. Video tersebut direkam di ibukota Azerbaijan, Baku, saat polisi menangkap para demonstran pada 19 Oktober 2019. Ketika itu, belum terjadi pandemi Covid-19 yang berawal di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8041) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto-foto Warga Italia yang Bersujud di Tengah Pandemi Corona?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 14/04/2020
Berita
Foto-foto yang memperlihatkan ratusan orang bersujud di lapangan sebuah kota beredar di media sosial. Foto-foto tersebut diklaim diambil di Italia. Tiga foto ini beredar di tengah pandemi virus Corona Covid-19 yang terjadi di berbagai negara, termasuk Italia.
Salah satu akun Facebook yang membagikan foto-foto itu adalah akun Mey Rianti, yakni pada 29 Maret 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Mey Rianti ini telah direspons lebih dari 1.600 kali dan dibagikan lebih dari 600 kali.
Akun Mey Rianti pun memberikan narasi terhadap foto-foto itu, "Italia 'Bersujud'. Di Italia... Mereka mulai 'Bersujud'. Meski entah kepada Siapa? Mereka Menangisi Diri. Mereka Mohon Ampun atas Dosa. Tapi entah kepada Siapa? Tapi setidaknya mereka Telah Mengakui: Manusia Tidak Berdaya Sama Sekali."
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mey Rianti.
Apa benar foto-foto di atas merupakan foto-foto warga Italia yang bersujud di tengah pandemi Corona?
Hasil Cek Fakta
Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri foto-foto unggahan akun Mey Rianti denganreverse image toolGoogle dan Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa foto-foto itu merupakan gambar tangkapan layar dari sebuah video.
Salah satu kanal YouTube, Aatif Aneeq, pernah memuat video itu, yakni pada 27 Maret 2020, dengan judul "Plaza San Martin - Lima, Peru, People are praying against corrupted people during election".
Gambar tangkapan layar unggahan kanal YouTube Aatif Aneeq.
Dalam keterangannya, kanal ini juga menulis, "Orang-orang berdoa kepada orang-orang yang korupsi selama pemilihan umum dan mendatangi Plaza San Martin - Lima, Peru. Ini di Peru, Desember 2019, tapi video ini digunakan sebagai berita palsu yang mengatakan: Orang-orang di Spanyol jatuh dalam sujud karena penyakit virus Corona."
Untuk memastikan informasi tersebut, Tempo menelusuri lokasi Plaza San Martin di Lima, Peru. Berdasarkan penelusuran dengan Google Maps, lokasi dalam video itu memang benar berada di Plaza San Martin, Lima, Peru. Hal ini terlihat dari kesamaan bentuk patung kuda dalam video tersebut dan arsitektur gedung berwarna putih yang berada di sekitar plaza tersebut.
Gambar tangkapan layar street view di Google Maps yang menunjukkan lokasi Plaza San Martin di Lima, Peru.
Dilansir dari situs Limaeasy.com, Plaza San Martin yang diresmikan pada 1921 dibangun untuk menghormati seratus tahun kemerdekaan Peru. Plaza ini juga didedikasikan untuk Jenderal Jose de San Martin, tokoh kunci perjuangan kemerdekaan di Amerika Selatan. Dia mendeklarasikan kemerdekaan Peru pada 28 Juli 1821.
Organisasi cek fakta India, Alt News, juga telah memverifikasi video tersebut dan menyatakan bahwa video itu tidak diambil di Italia maupun Spanyol, melainkan di Plaza San Martin, Lima, Peru. Video itu diunggah oleh politikus Peru, Alejandro Munante, di Facebook dengan keterangan "Prayer Vigil for Peru".
Video tersebut dibagikan pada 6 Desember 2019 waktu setempat, sebelum kasus Covid-19 pertama muncul di Peru pada 6 Maret 2020 dan sebelum Cina memberi tahu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai adanya kasus yang mirip pneumonia, yang saat ini disebut Covid-19, pada 31 Desember 2019.
Alt News juga menemukan video dari acara yang sama di Facebook yang diunggah dengan narasi, "Prayer Vigil for Peru. Plaza San Martin - Lima." Video tersebut dibagikan oleh halaman Facebook Peru, Jesucristo es la unica esperanza (Peru, Yesus Kristus adalah satu-satunya harapan), platform koordinasi nasional untuk gereja-gereja evangelis di Peru.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi dalam unggahan akun Facebook Mey Rianti keliru. Foto tersebut berasal dari sebuah video yang direkam di Plaza San Martin, Lima, Peru, pada 6 Desember 2019. Artinya, video ini tidak terkait dengan virus Corona Covid-19 karena direkam sebelum kasus Covid-19 pertama muncul di Peru pada 6 Maret 2020 dan sebelum Cina memberi tahu WHO mengenai adanya kasus yang mirip pneumonia, yang saat ini disebut Covid-19, pada 31 Desember 2019.
ANGELINA ANJAR SAWITRI
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- http://archive.vn/dSSNO
- https://www.youtube.com/watch?v=RFWCWqUr-Xs
- https://www.google.com/maps/@-12.0519408,-77.0348815,3a,75y,36.3h,96.84t/data=!3m6!1e1!3m4!1s1Bm7q1xNnBSCpHQMNQNawQ!2e0!7i13312!8i6656
- https://www.limaeasy.com/culture-guide/plazas-city-squares/san-martin-square
- https://www.altnews.in/old-video-from-peru-falsely-shared-as-mass-prayers-offered-in-italy-in-light-of-coronavirus-pandemic/
- https://web.facebook.com/story.php?story_fbid=2438362942952703&id=293679714070229&_rdc=1&_rdr
Halaman: 4470/5897