• (GFD-2020-8143) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Anies Baswedan Bakal Jual Gedung Pemerintah Pusat Jika Ibu Kota Pindah?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/06/2020

    Berita


    Narasi bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bakal menjual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah beredar dalam beberapa hari terakhir. Narasi itu terdapat dalam judul sebuah artikel yang dimuat di blog Metro TV-2020 yang berbunyi "Ibu Kota Pindah, Anies Bakal Jual Gedung Pemerintah Pusat".
    Artikel tersebut dipublikasikan pada 19 Juni 2020. Adapun isi artikel itu hanya sebanyak dua kalimat, yakni "Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, optimistis pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur takkan menghambat pertumbuhan ekonomi Jakarta. Malah, dia menyebut kota ini akan menjadi pusat bisnis global."
    Gambar tangkapan layar berita di blog Metro TV-2020.
    Apa benar Anies Baswedan bakal menjual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menyalin seluruh isi artikel unggahan blog Metro TV-2020 di atas ke mesin pencarian Google. Hasilnya, ditemukan bahwa blog tersebut menyadur berita di situs Dream.co.id yang dimuat pada 31 Agustus 2019. Namun, judul asli berita itu telah diubah oleh blog tersebut.
    Judul berita di Dream.co.id adalah "Ibu Kota Pindah, Anies Bakal Manfaatkan Gedung Pemerintah Pusat". Dalam berita tersebut, tidak ditemukan pernyataan bahwa Anies akan menjual gedung-gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah. Justru, Anies mengusulkan agar sebagian gedung-gedung itu diubah menjadi ruang terbuka hijau (RTH).
    Berikut isi lengkap berita di Dream.co.id:
    Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, optimistis pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur takkan menghambat pertumbuhan ekonomi Jakarta. Malah, dia menyebut kota ini akan menjadi pusat bisnis global.
    “Meskipun Jakarta menjadi atau tidaknya sebagai ibu kota, perekonomian di Jakarta akan tetap maju dan menjadi pusat bisnis global,” kata Anies di Jakarta, Jumat 30 Agustus 2019.
    Dia akan menunggu arahan dari pemerintah pusat, terutama untuk area perkantoran instansi pusat. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini yakin, area itu akan disulap menjadi tempat yang bermanfaat untuk perekonomian.
    “Tapi saya percaya, bahwa lahan-lahan yang semula digunakan perkantoran itu akan menjadi tempat kegiatan yang berdampak juga bagi perekonomian dan lingkungan nantinya,” kata Anies di Jakarta.
    Dia menyebut bisa saja area perkantoran diubah menjadi ruang terbuka hijau (RTH) untuk Jakarta.
    “Ini saya juga mengusulkan sebagian bisa menjadi taman kota. Sehingga satu adalah efek lingkungan hidupnya baik, yang kedua yang untuk komersial itu akan menggerakkan perekonomian,” kata dia.
    Usulan Anies terkait RTH tersebut juga dimuat di sejumlah media lain. Tirto.id misalnya, memuat pernyataan Anies itu pada 28 Agustus 2019 dalam beritanya yang berjudul "Ibu Kota Pindah, Anies akan Ubah Bekas Gedung Pemerintah Jadi RTH". Dalam berita ini, juga tidak terdapat pernyataan Anies bahwa ia bakal menjual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah.
    Anies menyatakan akan merombak gedung-gedung pemerintahan yang tidak terpakai akibat perpindahan ibu kota menjadi RTH. "Perpindahan itu, lebih banyak ruang terbuka hijau, itu bekas-bekas kantor, mudah-mudahan menjadi taman di tempat-tempat yang strategis, kan bagus taman-taman tempat strategis bisa juga sebagian jadi kantor," kata Anies pada 27 Agustus 2019.
    Ia pun memastikan kegiatan ekonomi di Jakarta akan tetap terus berjalan meskipun ibu kota negara pindah. Anies mengakui Jakarta masih memiliki pekerjaan rumah terkait pembangunan. "Jakarta punya sejarah, dan akan selalu jadi tempat tujuan wisata karena tempat ini punya sejarah yang panjang. Apapun keputusan pemindahan ibu kota, PR pembangunan diteruskan, kemajuan perekonomian jalan terus, dan pariwisata bisnis tetap jalan," katanya.
    Lebih lanjut, Anies mengatakan bahwa nantinya Jakarta diarahkan oleh pemerintah menjadi kota pusat perdagangan internasional. "Dan Jakarta diarahkan menjadi pintu gerbang Indonesia untuk kegiatan bisnis global, jadi pusatnya ke sini," ujar Anies.
    Bukan media kredibel
    Blog Metro TV-2020 bukanlah situs media kredibel karena hanya mengambil konten dari situs media lain tanpa menyebutkan sumbernya. Selain itu, blog tersebut tidak mencantumkan susunan redaksi, penanggung jawab, serta alamat perusahaan.
    Padahal, ketentuan terkait itu diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi "Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan."
    Selain itu, dalam blog Metro TV-2020, tidak ditemukan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Padahal, kewajiban untuk mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber bagi perusahaan media juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni Pasal 8.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Anies Baswedan bakal menjual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah adalah klaim yang keliru. Blog yang memuat klaim tersebut menyadur berita dari situs Dream.co.id dan mengubah judul aslinya. Judul asli berita itu adalah "Ibu Kota Pindah, Anies Bakal Manfaatkan Gedung Pemerintah Pusat". Dalam berita tersebut, tidak ditemukan pernyataan bahwa Anies akan menjual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah. Demikian pula di situs media lain, tidak terdapat berita bahwa Anies bakal menjual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8142) [Fakta atau Hoaks] Benarkah CIA Bongkar Paspor Presiden Jokowi yang Berkewarganegaraan Cina?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 19/06/2020

    Berita


    Klaim bahwa Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) membongkar paspor Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang berkewarganegaraan Cina beredar di Facebook. Klaim itu terdapat dalam gambar berlogo situs media CNN Indonesia dengan artikel yang berjudul "Di nilai Indonesia condong ke Blok China Komunis, CIA Bongkar jati diri Presiden Jokowi melalui Passport".
    Dalam gambar itu, tertera bahwa artikel tersebut dipublikasikan pada 15 Juni 2020. Berikut narasi dalam artikel itu:
    "Dalam perang dingin yang semakin memanas. Para Agen intelijen CIA yang profesional dengan alat Canggih berhasil membuka identitas Negara-negara yang di anggap antek China Komunis, termasuk identitas rahasia presiden Jokowi sebagai kepala Negara Indonesia. CIA telah berhasil membobol Pertahanan Cyber Badan Intelijen China Komunis dengan mengCopi Passport Kewarganegaraan China Komunis milik Jokowi. Ini tentu saja ada maksud yang sangat tajam dan mendalam."
    Gambar tersebut pun memuat foto Jokowi dengan teks berbahasa Mandarin serta foto sebuah paspor Cina yang berwarna merah dengan nama Herbertus Hermanus Joko Wie (Oei Hong Liong). Terdapat pula logo CIA serta teks "dokumen rahasia" dalam gambar tersebut.
    Salah satu akun Facebook yang membagikan gambar itu adalah akun Roni Situmeang, yakni pada 17 Juni 2020. Akun ini kemudian memberikan narasi yang mengaitkan gambar tersebut dengan rencana Jokowi pada 2017 untuk membuat film tentang Gerakan 30 September 1965 versi baru.
    “Kecurigaanku benar adanya selama ini kalau keturunan China Komunis Tiongkok!! Ternyata Jkw benar2 misionaris China Komunis Tiongkok bersama LBP Luhut. Makanya Jkw mau buat film G30S PKI versi baru. Nama Jokowi Yang Asli Dalam Pasport. Herbertus Hermanus Joko Wie (Oei Hong Liong),” demikian narasi yang ditulis akun tersebut. 
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Roni Situmeang.
    Artikel ini berisi pemeriksaan fakta terhadap dua hal:

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi apakah informasi tersebut bersumber dari CNN Indonesia, Tim CekFakta Tempo memasukkan kata kunci “CIA bongkar paspor Jokowi” di kolom pencarian situs CNN Indonesia. Namun, tidak ditemukan berita terkait hal itu. Demikian pula saat dilakukan pencarian di situs media dalam negeri lain, tidak ditemukan informasi bahwa CIA membongkar paspor Presiden Jokowi.
    Tempo pun melakukan pencarian di situs media asing dengan memasukkan kata kunci berbahasa Inggris, yakni "CIA revealed Indonesian president'spassport", di mesin pencarian Google. Namun, hasilnya juga nihil.
    Kemudian, Tempo membandingkan foto paspor dalam unggahan akun Roni Situmeang dengan foto paspor Cina asli, salah satunya yang pernah dimuat oleh situs media South China Morning Post (SCMP). Desain sampul paspor dalam unggahan akun Roni Situmeang ternyata berbeda dengan desain sampul paspor Cina asli.
    Gambar tangan layar berita di SCMP yang menampilkan foto sampul paspor Cina.
    Sampul paspor Cina yang asli seluruhnya berwarna merah tua. Tidak terdapat warna merah lain seperti yang terlihat dalam foto unggahan akun Roni Situmeang. Di bawah lambang negara Cina, juga tidak tercantum nama pemilik paspor, baik dalam huruf Mandarin maupun huruf alfabet. Di sampul, hanya tercetak tulisan "People's Republic of China" dan "PASSPORT", baik dalam huruf Mandarin maupun huruf alfabet.
    Selain itu, biografi Presiden Jokowi telah banyak ditulis dalam berbagai buku, salah satunya buku yang berjudul “Jokowi Menuju Cahaya” karya Alberthiene Endah yang diterbitkan pada 2018. Dalam buku itu ditulis bahwa Jokowi terlahir dengan nama Mulyono. Jokowi lahir pada Juni 1961 di Rumah Sakit Brayat Minulyo, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
    Namun, nama itu tidak lama digunakan. Karena berulang kali sakit, orang tua Jokowi mencarikan nama baru baginya. Dalam masyarakat Jawa, memang terdapat kepercayaan bahwa seorang anak yang sakit-sakitan perlu diganti namanya. Nama Mulyono pun diganti dengan Joko Widodo.
    Dalam buku itu, Jokowi diceritakan menghabiskan masa kecilnya di sebuah rumah bilik di pinggir kali, tepatnya di daerah Srambatan, pinggiran Solo. Ibu Jokowi bernama Sujiatmi. Sedangkan bapaknya, Wijiatno Notomiarjo, adalah pedagang bambu dan kayu. Ia dan keluarganya berkali-kali pindah rumah, namun selalu di pinggir sungai.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa CIA membongkar paspor Presiden Jokowi yang berkewarganegaraan Cina adalah klaim yang keliru. Artikel yang memuat klaim itu, yang dalam gambar di atas disebut berasal dari CNN Indonesia, tidak ditemukan di situs media tersebut. Demikian pula di media dalam negeri lainnya maupun di media asing, tidak ditemukan informasi bahwa CIA membongkar paspor Jokowi. Selain itu, sampul paspor Cina yang diklaim dimiliki oleh Jokowi dalam gambar di atas berbeda dengan sampul paspor Cina asli. 
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8141) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Demonstran Kasus George Floyd yang Geruduk Gedung Putih AS?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 19/06/2020

    Berita


    Sebuah video demonstrasi di halaman sebuah gedung dengan pilar-pilar yang tinggi beredar di Twitter. Di video itu, terlihat pula sejumlah demonstran yang merangsek ke dalam gedung. Video ini diklaim sebagai video demonstran kasus George Floyd, pria keturunan Afrika-Amerika yang tewas usai lehernya ditindih dengan luntut oleh polisi Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS), di Gedung Putih.
    Salah satu akun Twitter yang membagikan video itu adalah akun @hudzaifahra, yakni pada 31 Mei 2020. Akun ini pun menulis narasi sebagai berikut: "GEDUNG PUTIH DIGERUDUK PENDEMO. Amerika rusuh, gedung putih dirangsek pendemo, penjarahan di ritel. Rakyat marah atas kematian warga kulit hitam George Floyd yang lehernya diinjak polisi."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan video tersebut telah ditonton lebih dari 192 ribu kali, di-retweet sebanyak 549 kali, dan disukai lebih dari 1.300 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @hudzaifahra.
    Apa benar video tersebut merupakan video demonstran kasus George Floyd yang menggeruduk Gedung Putih AS?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video unggahan akun @hudzaifahra menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Kemudian, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image toolGoogle, Yandex, dan TinEye. Hasilnya, ditemukan bahwa demonstrasi dalam video itu bukan dilakukan di Gedung Putih AS, melainkan di Ohio Statehouse, gedung ibukota negara bagian Ohio, AS.
    Video serupa pernah diunggah oleh kanal YouTube NBC4, stasiun televisi di Columbus, Ohio, yang berafiliasi dengan perusahaan media NBC, pada 28 Mei 2020. Video yang diberi judul "Columbus protest update 12:00 a.m. cut in" tersebut memperlihatkan situasi Ohio Statehouse setelah sekitar satu jam sebelumnya digeruduk oleh para demonstran.
    Gambar tangkapan layar video berita NBC4 terkait demonstrasi di sekitar Ohio Statehouse.
    Dilansir dari situs NBC4i.com, aksi protes yang dimulai sekitar pukul 20.00 di jalanan dekat Ohio Statehouse itu awalnya berjalan damai. Namun, menurut reporter NBC4 dalam video tersebut, sekitar pukul 21.45, terjadi pelemparan berbagai benda dari gerombolan pengunjuk rasa ke arah polisi. Polisi pun menembakkan gas air mata. Namun, sejumlah demonstran berhasil merangsek ke arah Ohio Statehouse dan merusak beberapa jendela yang ada di gedung tersebut.
    Tempo pun mengecek lokasi Ohio Statehouse di Google Maps. Lewat fitur street view, terlihat bahwa gedung tersebut sama dengan gedung dalam video unggahan akun @hudzaifahra. Terdapat delapan pilar di bagian depan Ohio Statehouse. Ada pula kubah berbentuk bulat di bagian atas dengan dua tiang bendera di sisi kanan dan kirinya. Bentuk dan jumlah pintu serta jendela Ohio Statehouse pun sama dengan yang terdapat pada gedung dalam video unggahan akun @hudzaifahra.
    Gambar tangkapan layar street view Ohio Statehouse di Google Maps.
    Sementara Gedung Putih AS, dilihat dari Google Maps, hanya memiliki enam pilar di bagian depan. Bentuk bagian tengah bangunan pun melengkung, tidak rata seperti Ohio Statehouse. Di bagian atas Gedung Putih AS, juga tidak terdapat kubah berbentuk bulat. Memang terdapat tiang bendera di bagian atas Gedung Putih AS, namun jumlahnya hanya satu, bukan dua seperti yang ada di bagian atas Ohio Statehouse.
    Gambar tangkapan layar street view Gedung Putih AS di Google Maps.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video demonstran kasus George Floyd yang menggeruduk Gedung Putih AS menyesatkan. Video itu memang memperlihatkan unjuk rasa yang memprotes kematian George Floyd, namun bukan di Gedung Putih AS, melainkan di Ohio Statehouse.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8140) [Fakta atau Hoaks] Benarkah WHO Tetapkan Covid-19 Sebagai Pandemi Sehari Setelah Terima Sumbangan Bill Gates?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 18/06/2020

    Berita


    Akun Facebook Satria membagikan videotalkshowdari Fox News yang berjudul "Exposed: Bill Gates Influence on World Health Organization" pada 16 Juni 2020. Video ini menyinggung sumbangan Bill Gates Foundation ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa bulan lalu sebesar 50 juta dolar Amerika Serikat (AS).Video berdurasi 3 menit 44 detik itu menghadirkan editor opini Washington Times, Cheryl Chumley. Video tersebut kemudian diberi narasi oleh akun Satria, bahwa sumbangan Bill Gates tersebut mempengaruhi keputusan WHO untuk menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. 
    "Bill Gates 'Suntik' WHO 50 Juta Dolar Untuk Menyatakan Bahwa Covid19 Adalah 'Pandemi'. Dipublikasikan Tanggal 5 Juni 2020. Awalnya, WHO tidak ingin menyatakan Covid sebagai Pandemi. Namun Sehari Kemudian, Bill Gates menyuntikan Dana 50 juta Dolar kepada WHO. Dan Setelah Itu, Keesokan Hari, Sekretaris Jenderal WHO menyatakannya sebagai 'Pandemi'," demikian narasi yang ditulis oleh akun Satria.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Satria.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap beberapa hal:

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, narasi yang ditulis akun Satria di atas memang mengutip apa yang disampaikan oleh editor opini Washington Times, Cheryl Chumley, di bagian akhir video Fox News tersebut. Chumley mengatakan bahwa awalnya WHO tidak ingin mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi. Akan tetapi, setelah Bill Gates menyatakan bakal menyumbang 50 juta dolar AS untuk memerangi virus Corona dan membuat vaksin, keesokan harinya WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. 
    Sebelum memverifikasi klaim tersebut, Tempo memeriksa kredibilitas Washington Times tempat Chumley bekerja dan Fox News yang menayangkan wawancara itu. Menurut Media Matters of America, sebuah pusat penelitian dan informasi independen di Amerika, Washington Times adalah surat kabar harian konservatif yang diterbitkan di Washington DC. Media ini sering menampilkan konten rasis dan anti-LGBTQ serta mempromosikan teori konspirasi.
    Demikian halnya dengan Fox News, saluran televisi kabel sayap kanan yang didirikan pada 1996 oleh Rupert Murdoch dan Roger Ailes serta dimiliki oleh Fox Corporation. Fox News berfungsi sebagai media propaganda untuk Partai Republik dan menyatakan dirinya sebagai "suara oposisi" selama pemerintahan Presiden Amerika sebelumnya dari Partai Demokrat, Barack Obama.
    Sejak pemerintahan Trump, media ini secara terbuka menyatakan pro-Trump dan berfungsi sebagai penasihat presiden secara tidak resmi. Fox News juga dilaporkan sering mempromosikan teori konspirasi dan membuat laporan yang tidak akurat sehingga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat selama pandemi Covid-19.
    Berdasarkan penelusuran Tempo,talkshowFox News dengan Chumley itu dilakukan setelah Bill Gates mengkritik keras keputusan Trump yang menunda pendanaan ke WHO. Ia menyebut keputusan itu berbahaya dan menyarankan agar pendanaan tetap dilanjutkan selama pandemi Covid-19. “Halting funding for the World Health Organization during a world health crisis is as dangerous as it sounds,” ujar Bill Gates di akun Twitter -nya pada 15 April 2020.
    Dilansir dari Washington Post, Trump menunda pendanaan WHO karena ingin melakukan peninjauan terhadap peran WHO serta penutupan informasi tentang penyebaran virus Corona. "We have not been treated properly. The WHO pushed China’s misinformation about the virus," kata Trump pada 15 April 2020.
    Melihat konteks peristiwa ini dan kredibilitas kedua media tersebut, klaim yang disampaikan oleh Chumley tidak bisa sepenuhnya dipercaya. Tayangan talkshowitu memperpanjang daftar teori konspirasi yang diproduksi oleh Fox News dan Washington Time. 
    Penetapan pandemi Covid-19
    WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Keputusan ini diumumkan di Twitter dan situs resminya. Penetapan Covid-19 sebagai pandemi didasarkan pada hasil penilaian WHO berdasarkan tingkat sebaran dan jumlah korban yang kian meningkat sejak kasus pertama diumumkan di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. “WHO telah menilai wabah ini sepanjang waktu dan kami sangat prihatin dengan tingkat penyebaran dan keparahan yang semakin mengkhawatirkan,” demikian pernyataan WHO di Twitter pada 11 Maret 2020.
    Secara teori, Covid-19 pun telah memenuhi kriteria sebagai pandemi. Pandemi merujuk pada penyakit yang menyebar ke banyak orang di beberapa negara dalam waktu yang bersamaan. Kasus virus Corona meningkat secara signifikan secara global. Ciri-ciri pandemi adalah sebagai berikut: merupakan jenis virus baru, dapat menginfeksi banyak orang dengan mudah, dan bisa menyebar antar manusia secara efisien. Virus corona memiliki tiga karakteristik tersebut.
    Sebelum menaikkan status Covid-19 ke pandemi, WHO terlebih dulu menetapkan status Covid-19 sebagai wabah penyakit pada 5 Januari 2020. Kemudian, pada 30 Januari 2020, WHO memperingatkan bahwa virus Corona jenis baru ini memberi ancaman yang tinggi secara global menyusul adanya laporan bahwa kasus Covid-19 telah mencapai 7.818 kasus, baik di Cina maupun di 18 negara lainnya.
    Pada 31 Januari 2020, WHO mengumumkan penyebaran virus Corona Covid-19 sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC). Setelah adanya penetapan sebagai pandemi ini, WHO baru membuka donasi bagi individu, perusahaan swasta, maupun institusi yang bernama Covid-19 Solidarity Response Fund pada 13 Maret 2020.
    Sumbangan Bill Gates
    Bill Gates Foundation yang dimiliki oleh pendiri Microsoft, Bill Gates, menjadi salah satu donatur untuk memerangi Covid-19. Mereka mengumumkan pemberian sumbangan pertamanya pada Februari 2020. Namun, sumbangan yang mencapai 100 juta dolar AS itu tidak hanya ditujukan bagi WHO. 
    Rinciannya, 20 juta dolar AS untuk WHO dan otoritas di Cina, 20 juta dolar AS untuk operasi darurat di Afrika dan Asia Selatan, kemudian sisanya, 60 juta dolar AS, bakal dialokasikan untuk pengembangan vaksin serta perawatan lebih jitu untuk melawan wabah virus Corona. 
    Kemudian, pada April 2020, Bill Gates dan istrinya, Melinda Gates, memberikan bantuan tambahan sebesar 150 juta dolar AS kepada WHO untuk melawan Covid-19. Bantuan ini diberikan setelah Trump menghentikan pendanaan untuk WHO di tengah pandemi Covid-19. Padahal, Amerika merupakan pendonor WHO terbesar yang sebelumnya telah berkomitmen untuk memberikan dana sebesar 893 juta dolar AS selama dua tahun.
    Sebenarnya, pendanaan oleh Bill Gates Foundation kepada WHO telah dilakukan jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Washington Post menyebut bahwa Bill Gates Foundation adalah pendonor WHO terbesar kedua setelah Amerika, yang menyumbang hampir 10 persen dari dana salah satu badan PBB tersebut. 
    Bahkan, dalam situsnya, WHO menyebut bahwa Bill Gates Foundation telah bergabung sebagai mitra dalam Global Health Workforce Alliance sejak 2007. Global Health Workforce Alliance adalah aliansi yang diinisiasi WHO untuk kerja-kerja kemanusiaan di bidang kesehatan.
    Bill Gates Foundation telah berkontribusi besar dalam penanganan berbagai wabah penyakit. Pada 2012, Bill Gates Foundation menyumbang 750 juta dolar AS untuk memberantas AIDS, malaria, dan TBC. Pada 2014, Bill Gates Foundation menyumbang 5,7 juta dolar untuk upaya penyembuhan pasien Ebola.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa penetapan Covid-19 sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020 dipengaruhi oleh sumbangan Bill Gates sehari sebelumnya merupakan klaim yang keliru. Sumbangan pertama Bill Gates kepada WHO terkait Covid-19 diberikan pada Februari 2020, jauh sebelum penetapan pandemi. Adapun sumbangan kedua Bill Gates diberikan pada April 2020, setelah Presiden Amerika Donald Trump menghentikan pendanaan untuk WHO. Terkait penetapan Covid-19 sebagai pandemi, dilakukan karena tingkat sebaran dan jumlah korban kian meningkat. Secara teori, Covid-19 pun telah memenuhi kriteria sebagai pandemi.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan