(GFD-2020-8133) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya Soal Pembatalan Ibadah Haji 2020?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 15/06/2020
Berita
Klaim bahwa Menteri Agama Fachrul Razi menarik ucapannya tentang pembatalan pemberangkatan calon jemaah haji 2020 beredar di media sosial. Menurut klaim dalam judul artikel di situs Sosok.politik.us tersebut, ibadah haji 2020 bisa dilaksanakan.
Artikel yang berjudul "KABAR GEMBIRA Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya, Ibadah Haji 2020 Bisa Dilaksanakan, Ini Syaratnya" itu dimuat pada 8 Juni 2020. Dalam artikelnya, diketahui bahwa situs tersebut menyadur dari situs media Medcom.id dan Tribun Timur, jaringan Tribunnews.
Artikel itu menyebut, jika ada kepastian dari pemerintah Arab Saudi, calon jemaah haji 2020 harus dikarantina selama 28 hari. “Proses karantina yang harus dilakukan para calon jemaah haji 14 hari sebelum berangkat ke Saudi dan 14 hari setelah sampai di Saudi,” kata Fachrul.
Selain itu, jika ada kepastian dari Pemerintah Arab Saudi, kloter pertama idealnya akan diberangkatkan pada 26 Juni 2020. Kalau pun diberangkatkan, kemungkinan hanya setengah dari kuota calon jemaah haji. “Mungkin juga tidak bisa berangkat, mungkin juga hanya setengah yang diperbolehkan berangkat dan dipastikan kesehatannya,” tutur Fachrul.
Gambar tangkapan layar artikel di situs Sosok.politik.us.
Apa benar Menag Fachrul Razi tarik ucapannya soal pembatalan ibadah haji 2020?
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo denganplagiarism checker tool, artikel di atas bersumber dari situs Tribunnews yang dimuat pada 8 Juni 2020. Artikel itu berjudul “Kloter Pertama Calon Jemaah Haji Berangkat 26 Juni Jika Arab Saudi Kasih Kepastian, Wajib Karantina”.
Berita tersebut mengutip pernyataan Menag Fachrul Razi yang dimuat oleh situs Medcom.id pada 7 Juni 2020 dalam artikelnya yang berjudul "Karantina 28 Hari Jadi Pertimbangan Peniadaan Haji". Dalam artikel tersebut, Fachrul membeberkan alasan peniadaan penyelenggaraan ibadah haji 2020.
Menurut Fachrul, salah satu pertimbangannya adalah waktu karantina terkait pandemi virus Corona Covid-19. "Kalau dalam situasi sekarang, ada semacam isolasi atau karantina 14 hari pada saat sebelum ke Arab Saudi dan sampai di sana juga karantina 14 hari," kata Fachrul adlam program Crosscheck #FromHome by Medcom.id bertajuk "Untold Story di Balik Batal Haji 2020".Rentang waktu 28 hari tersebut, menurut Fachrul, tidak cukup jika menilik jadwal keberangkatan kloter pertama calon haji. Kloter pertama rencananya berangkat pada 26 Juni 2020. "Itu jadwal seharusnya. Begitu sampai di sana, (seharusnya) sudah masuk ke dalam rangkaian ibadah. Mestinya sebelum 1 Juni (diberangkatkan)," ujar Fachrul.
Dilansir dari situs resmi Kemenag, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Sekretaris Jenderal Kemenag Suhaili menegaskan bahwa berita yang menyebut Menag Fachrul Razi menarik ucapannya terkait pembatalan haji 2020 hoaks atau informasi bohong yang menyesatkan.
Menurut Suhaili, berita itu diunggah oleh Tribun Timur pada 8 Juni 2020 dengan judul "KABAR GEMBIRA Menag Fachrul Razi Tarik Ucapannya, Ibadah Haji 2020 Bisa Dilaksanakan, Ini Syaratnya". Dalam berita itu, disebutkan bahwa Fachrul memberikan klarifikasi terkait pembatalan keberangkatan calon jemaah haji 2020.
“Berita tersebut ditulis secara tidak tepat dengan mengutip dari media online lain, yaitu Medcom. Padahal, berita di Medcom sudah benar, tertulis dengan judul 'Karantina 28 Hari Jadi Pertimbangan Peniadaan Haji',” kata Suhaili pada 9 Juni 2020.
Menurut Suhaili, keputusan pembatalan keberangkatan calon jemaah haji 2020 itu sudah tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 Tahun 2020. Dalam keputusan itu, tidak terdapat pengandaian bersyarat jika pemerintah Arab Saudi memutuskan digelarnya ibadah haji.
Fachrul pun, menurut Suhaili, tidak pernah menyampaikan pengandaian bersyarat semacam itu. Fachrul justru menjelaskan alasan pembatalan keberangkatan, salah satunya terkait keharusan penerapan protokol kesehatan berupa karantina di masa pandemi yang secara waktu tidak memungkinkan lagi.
Berdasarkan arsip berita Tempo, Kemenag menyatakan meniadakan ibadah haji 2020 karena pandemi Covid-19 masih menghantui dunia, khususnya Arab Saudi. Menteri Agama Fachrul Razi, dalam konferensi pers virtual pada 2 Juni 2020, mengatakan bahwa pandemi ini berdampak pada semua aspek sosial keagamaan.
Menurut Fachrul, Kemenag sebelumnya telah membentuk Pusat Krisis Haji 2020. Pusat krisis ini diberi mandat untuk membuat mitigasi penyelenggaraan haji 2020. "Tim ini sudah membentuk kajian khusus tiga skema penyelenggaraan haji," kata Fachrul.
Ketiga skema ini adalah haji normal, dibatasi, atau dibatalkan. Masuk Mei, opsi mengerucut pada pembatasan atau pembatalan. Menurut dia, Arab Saudi tak kunjung membuka akses haji untuk negara mana pun. "Sehingga pemerintah tak punya waktu menyiapkan," katanya.
Karena itu, pemerintah memutuskan meniadakan keberangkatan ibadah haji 2020. Keluangan waktu pun tidak dimiliki pemerintah andai memaksakan pemberangkatan jemaah haji meski dengan pengurangan kuota. Alasannya, kloter pertama jemaah haji Indonesia harus sudah berangkat pada 26 Juni.
Padahal, pemerintah dan jemaah membutuhkan tambahan waktu untuk mengikuti protokol kesehatan. "Dalam skenario ini (pengurangan kuota), rentang waktu haji akan lebih lama karena ada masa tambahan karantina 14 hari sebelum berangkat, setelah tiba (di Arab Saudi), dan setelah tiba kembali (di Indonesia)," tuturnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menteri Agama Fachrul Razi tarik ucapannya soal pembatalan ibadah haji 2020 adalah klaim yang keliru. Artikel di situs Sosok.politik.us yang memuat klaim tersebut tidak tepat dalam mengutip pernyataan Fachrul. Berita di situs Medcom.id yang dirujuk oleh situs Sosok.politik.us berisi penjelasan Fachrul soal waktu karantina 28 hari yang menjadi pertimbangan dalam pembatalan ibadah haji 2020.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2020-8132) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Kuburan Massal Ulama dan Santri 1948 oleh PKI Muso?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/06/2020
Berita
Akun Facebook Zein Muttaqien Halimi membagikan sebuah foto yang disebut sebagai "kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso" pada 31 Mei 2020. Foto itu disertai dengan tulisan panjang yang berisi klaim mengenai bentuk-bentuk kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lalu.
Dalam foto hitam-putih itu, terlihat puluhan orang dalam posisi duduk di sebuah lubang parit yang panjang. Di atasnya, terdapat sejumlah pria berseragam yang membawa bedil. Adapun tulisan panjang yang menyertai foto tersebut ditutup dengan narasi sebagai berikut:
"*Pasca Reformasi 1998* Pimpinan dan Anggota PKI yang dibebaskan dari Penjara, beserta keluarga dan simpatisanya yang masih mengusung IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan, sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yang sangat panjang, dan jangan biarkan mereka menambah lagi daftar kekejamanya di negeri tercinta ini."
Unggahan akun Zein Muttaqien Halimi itu pun viral. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 5.700 kali dan dikomentari lebih dari 1.600 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Zein Muttaqien Halimi.
Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua hal:
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi apakah foto di atas adalah foto kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso, Tim CekFakta Tempo menelusuri asal-usul foto tersebut denganreverse image toolGoogle. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut pernah dipublikasikan oleh sejumlah situs. Satu di antaranya adalah situs berbahasa Inggris yang berbasis di Pakistan, Dawn.
Situs ini memuat foto tersebut pada 23 Juli 2015 dalam artikel yang berjudul "The volatile fusion: Origins, rise & demise of the ‘Islamic Left’". Keterangan foto dalam artikel itu berbunyi "Tentara menjaga parit yang penuh dengan aktivis kiri Indonesia. Mereka semua ditembak (1965).” Adapun isi artikel tersebut menyinggung sejarah Indonesia dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto yang diwarnai dengan penumpasan anggota PKI dan simpatisannya.
Tempo pun menghubungi Yohanes Andreas Iswinarto, pemilik Perpustakaan Online 1965-1966. Menurut Yohanes, foto tersebut dimuat setidaknya dalam dua buku yang berisi cerita tentang PKI. Yang pertama adalah buku "Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)" karya Hadi Kuncoro dkk yang diterbitkan oleh Media Pressindo Yogyakarta pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 562.
Foto di halaman 562-563 buku "Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971)" karya Hadi Kuncoro dkk.
Sementara yang kedua, menurut Yohanes, adalah buku "Penghancuran PKI" cetakan kedua karya Olle Tornquist yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 276. Olle memberikan keterangan "Siap dieksekusi dan dikuburkan" terhadap foto tersebut. Foto ini pun pernah dimuat dalam buku Olle yang sama namun yang berbahasa Swedia, "Marxistik Barlast", yang terbit pada 1982.
Foto di halaman 276 buku "Penghancuran PKI" cetakan kedua karya Olle Tornquist.
Dengan demikian, orang-orang dalam foto tersebut bukanlah ulama dan santri yang dibunuh oleh PKI Musso pada 1948.
Benarkah eks anggota dan simpatisan PKI memutarbalikkan fakta sejarah?
Foto puluhan orang yang berada di dalam sebuah parit menjelang eksekusi tersebut merupakan salah satu foto yang menunjukkan adanya pembantaian massal terhadap mereka yang diduga terkait dengan PKI. Pembantaian massal ini terjadi dalam rentang 1965-1966. Jauh sebelum reformasi, fakta sejarah mengenai pembantaian ini tidak banyak terungkap ke publik.
Barulah setelah pemerintahan Presiden Soeharto jatuh, upaya-upaya pengungkapan sejarah terkait peristiwa 1965 banyak dilakukan, baik oleh peneliti-peneliti, berbagai lembaga, dan para penyintas peristiwa 1965. Salah satu tujuannya adalah memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
Bahkan, setelah lebih dari empat dekade, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuka kembali kasus pembunuhan massal 1965-1966 yang sebagian besar menimpa anggota dan simpatisan PKI. Pada 2012, Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat.
"Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menemukan terjadinya sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Penyelidikan Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis, di kantor Komnas HAM pada 23 Juli 2012 seperti dilansir dari arsip pemberitaan Tempo.
Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan HAM berat.
Nur Kholis mengatakan para korban dalam peristiwa ini mengalami kejahatan berlapis. "Banyak korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujarnya. Kejahatan-kejahatan itu pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Pasalnya, kejahatan terjadi merata di seluruh Indonesia dalam kurun waktu bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa. "Misalnya, ada 15 orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir berbarengan, ada kejadian serupa di Manado, Palu, Medan, dan Palembang."
Data Komnas HAM tersebut juga diperkuat dengan sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi 1965 yang kembali dibuka ke publik pada 2017. Dilansir dari BBC, dokumen itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika terkait pembunuhan massal pasca 1965. Ketiga lembaga yang membuka dokumen tersebut adalah National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, serta lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Adapun dokumen yang dibuka berupa 39 dokumen setebal 30 ribu halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya yang berbentuk pembantaian massal. Salah satu dokumen itu berisi laporan pada 26 November 1965 dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya yang menyebut bahwa mereka terus mendapatkan informasi soal pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor.
Di Tulungagung, setidaknya 15 ribu komunis dibunuh. "Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan, jika darah korban diusapkan ke wajah, bakal lebih terjamin (masuk surga)," demikian yang tertulis dalam laporan tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas adalah foto kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso keliru. Foto itu adalah foto orang-orang yang diduga mengikuti paham komunis yang akan dieksekusi di sebuah parit. Peristiwa dalam foto itu merupakan bagian dari pembantaian massal yang menimpa anggota dan simpatisan PKI dalam rentang 1965-1966. Klaim bahwa keluarga dan simpatisan eks-PKI melakukan gerakan pemutarbalikkan fakta sejarah setelah reformasi 1998 pun keliru. Yang mereka lakukan adalah upaya pengungkapan sejarah untuk memperjuangkan keadilan buat para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif selama Orde Baru.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://web.archive.org/web/20200612065826/
- https://www.facebook.com/zein.halimi/posts/249731599639483?_rdc=1&_rdr=
- https://www.dawn.com/news/1195863/the-volatile-fusion-origins-rise-demise-of-the-islamic-left
- https://nasional.tempo.co/read/418811/komnas-ham-pembantaian-pki-adalah-pelanggaran-ham-berat/full&view=ok
- https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41649232
(GFD-2020-8131) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Presiden Jokowi yang Salah Posisi Bersedekap Saat Salat?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 12/06/2020
Berita
Akun Facebook Suhermanto Yasduri mengunggah foto Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang sedang menjalankan ibadah salat pada 8 Juni 2020. Dalam keterangannya, akun ini menulis, "Jika anda seorang Muslim, pasti tahu kesalahan yang orang ini."
Foto itu memang terlihat janggal karena, saat bersedekap, tangan kiri Jokowi berada di atas tangan kanannya. Lazimnya, posisi bersedekap ketika salat adalah tangan kanan berada di atas tangan kiri. Hingga artikel ini dimuat, foto tersebut telah dibagikan lebih dari 800 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Suhermanto Yasduri.
Apa benar foto di atas adalah foto Presiden Jokowi yang salah posisi bersedekap saat salat?
Hasil Cek Fakta
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri foto di atas denganreverse image toolSource, Google, Yandex, dan TinEye. Hasilnya, foto yang identik pernah diunggah di Facebook, yakni oleh akun Info Seputar Presiden, pada 2 Desember 2016. Foto itu berasal dari Biro Pers Sekretariat Presiden (Setpres) dan diberi keterangan sebagai berikut:
“Pertama-tama, terimakasih atas doa dan zikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan bangsa dan negara kita. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan sambutan usai pelaksanaan salat Jumat di lapangan Taman Monas, Jakarta, Jumat (2/12) siang. Pekikan takbir dari Presiden Jokowi langsung disambut dengan pekikan yang sama oleh ratusan ribu peserta doa bersama. Foto: Biro Pers Setpres.”
Foto Presiden Jokowi saat salat Jumat di Monas yang diunggah oleh akun Info Seputar Presiden pada 2 Desember 2016 yang berasal dari Biro Pers Sekretariat Presiden (Setpres).
Foto tersebut juga pernah dimuat dalam berita di situs Tribunnews.com pada tanggal yang sama. Berita itu berjudul "Foto-foto Presiden Jokowi di Aksi Damai 212 Bikin Haru, Senyum Lebar Hingga Usahanya Naik Panggung".
Namun, foto yang diunggah oleh akun Info Seputar Presiden dan Tribunnews.com sama-sama memperlihatkan posisi bersedekap yang lazim, yakni tangan kanan berada di atas tangan kiri. Rupanya, foto yang dibagikan oleh akun Suhermanto Yasduri telah mengalami suntingan, yakni dibalik secara horizontal (horizontal flip).
Posisi bersedekap Jokowi saat salat juga terlihat dalam video aksi 212 yang didokumentasikan oleh CNN Indonesia pada 2 Desember 2016. Video berdurasi sekitar 10 jam tersebut diberi judul "FULL-Jokowi dan Massa Shalat Jumat dalam Aksi 2 Desember". Adapun keterangan videonya adalah sebagai berikut:
“Aksi super damai 2 Desember 2016 merupakan aksi untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) segera ditahan dan berdoa untuk persatuan Indonesia. Agenda aksi super damai tersebut adalah salat Jumat berjamaah, istigasah, baca Al-quran, dan doa bersama. Aksi sendiri dipusatkan di Silang Monas, Jakarta yang akan dimulai pada pukul 08.00-13.00 WIB. Kehadiran Presiden Jokowi mengejutkan massa pada siang hari. Jokowi beserta sejumlah pejabat ikut bergabung untuk menunaikan shalat Jumat bersama massa aksi 2 Desember. Bahkan, Jokowi sempat menyampaikan orasi singkat. Kehadiran Jokowi menjadi kejutan tersendiri mengingat isu makar mengemuka beberapa hari terakhir ini di wacana publik. Wacana publik tentang isu makar tersebut bahkan menjadi diskusi tokoh masyarakat.”
Dalam video ini, terlihat bahwa Jokowi salat Jumat di Monas ditemani oleh beberapa pejabat, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifuddin. Pada durasi 8:17:35, Jokowi terlihat dalam posisi bersedekap dengan tangan kanan yang berada di atas tangan kirinya, sama seperti jamaah lainnya.
Aksi 212
Pada Jumat, 2 Desember 2016, massa dari berbagai daerah menggelar aksi damai di Monas. Aksi ini merupakan kelanjutan dari demonstrasi pada 4 November 2016. Demonstrasi tersebut bertujuan untuk mendesak kepolisian agar menghukum calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, terkait kasus penistaan agama. Adapun aksi 2 Desember 2016 ditujukan untuk memastikan pemerintah tidak mengintervensi pengusutan perkara penistaan agama tersebut.
Di tengah aksi ini, massa menggelar salat Jumat. Presiden Jokowi pun memutuskan untuk salat Jumat bersama massa di Monas. Jokowi menggunakan kesempatan itu untuk bertemu dengan peserta aksi yang sebelumnya ikut berdemonstrasi pada 4 November 2016. Menurut Menteri Agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, keputusan Jokowi salat Jumat di Monas diambil di saat-saat terakhir. Sebab, Jokowi mendengarkan masukan dari berbagai pihak terlebih dahulu mengenai apakah memungkinkan salat di Monas.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim yang menyertai foto unggahan akun Suhermanto Yasduri, bahwa Presiden Jokowi salah posisi bersedekap saat salat, adalah klaim yang keliru. Foto tersebut telah mengalami suntingan, yakni dibalik secara horizontal (horizontal flip). Dalam foto aslinya, terlihat bahwa posisi bersedekap Jokowi sama dengan jamaah lainnya, yakni tangan kanan berada di atas tangan kiri.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://web.facebook.com/story.php?story_fbid=3300417999977474&id=100000279204112&_rdc=1&_rdr
- https://web.facebook.com/ISPresiden/posts/pertama-tama-terimakasih-atas-doa-dan-zikir-yang-telah-dipanjatkan-untuk-keselam/1827087540902410/?_rdc=1&_rdr
- https://solo.tribunnews.com/2016/12/02/foto-foto-presiden-jokowi-di-aksi-damai-212-bikin-haru-senyum-lebar-hingga-usahanya-naik-panggung
- https://www.youtube.com/watch?v=2ooWFaP1sSg
- https://nasional.tempo.co/read/824940/begini-alasan-jokowi-akhirnya-salat-jumat-di-monas
(GFD-2020-8130) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Lima Bersaudara di Surabaya yang Menunggu Diadopsi Karena Orang Tuanya Meninggal Akibat Covid-19?
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 11/06/2020
Berita
Foto lima anak yang berdiri berjejer di sebuah ruangan yang mirip kamar jenazah beredar di grup-grup percakapan WhatsApp. Menurut narasi yang menyertai foto itu, anak-anak tersebut merupakan lima bersaudara yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19.
Dalam foto tersebut, terdapat pula foto KTP seorang pria yang beralamat di Kalijudan, Mulyorejo, Surabaya, Jawa Timur. Adapun narasi yang tertulis di bawah foto itu adalah sebagai berikut: "Papa mama meninggal krn covid 19. 5 bersaudara kandung ini nunggu diadopsi oleh para budiman".
Foto yang beredar di grup-grup WhatsApp yang memuat klaim bahwa kelima anak dalam foto tersebut menunggu diadopsi.
Apa benar kelima anak dalam foto tersebut adalah lima bersaudara di Surabaya yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19?
Hasil Cek Fakta
Informasi tersebut telah dibantah oleh Humas Kota Surabaya melalui akun resminya di Facebook dan Twitter. Menurut Humas Kota Surabaya, berdasarkan hasil koordinasi dengan Puskesmas Kalijudan, keluarga tersebut sudah tidak tinggal di Kalijudan selama dua tahun. Tetangga juga tidak mengetahui kepindahan keluarga tersebut.
Saat ini, alamat yang tercantum dalam KTP di foto yang beredar sudah ditempati oleh orang lain dan tidak memiliki hubungan dengan keluarga tersebut. “Di dalam data kami, juga tidak ditemukan pasien Covid-19 atas nama tersebut,” demikian penjelasan Humas Kota Surabaya pada 10 Juni 2020 di Facebook.
Keterangan Humas Kota Surabaya ini juga dimuat oleh Tribunnews Surabaya dalam berita yang berjudul "Foto 5 Saudara Kandung Menunggu Diadopsi karena Orang Tua Meninggal karena Covid-19 Ternyata HOAX".
Dalam kolom komentar unggahan akun Humas Kota Surabaya, sejumlah warganet pun memberikan penjelasan yang mendukung keterangan mengenai keluarga tersebut. Akun Dadung misalnya, menjelaskan bahwa keluarga tersebut adalah tetangganya. Setelah dari Kalijudan, keluarga itu tinggal di kampungnya di Tanah Kali Kedinding, Kenjeran, Surabaya.
Kemudian, akun Wicaksono Suhermanto, mengatakan bahwa anak-anak tersebut kini dirawat oleh ibu kandungnya. “Ayolur,ojo titik-titik share/ membagikanpostinganyang belum jelas adanya,” katanya memperingatkan. Hal ini juga dinyatakan oleh akun Jokodono Ring, bahwa kelima anak tersebut tinggal bersama ibunya. Dia juga membagikan foto kelima anak itu bersama mamanya. “Alhamdulillah anak anak tentram bersama mamanya,” ujarnya.
Akun Cak Mat Alb mengatakan bahwa ayah dari lima anak itu adalah kawannya di klub burung CLBK. Menurut penjelasan akun ini, pria tersebut memang meninggal, tapi bukan karena Covid-19. Penjelasan yang sama juga diberikan akun Aldo Angels Songo Songo. “WwwooiiiiiiItu teman kami bukan meninggal karena Covid-19.Nijelashoax,” katanya.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa kelima anak dalam foto di atas adalah lima bersaudara di Surabaya yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19, keliru. Ayah kelima anak itu memang dilaporkan meninggal. Namun, Humas Kota Surabaya menyatakan nama pria tersebut tidak ditemukan dalam data pasien yang meninggal karena Covid-19.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
Halaman: 4450/5900