• (GFD-2020-4900) [SALAH] E KTP Yang Diproduksi China Sudah Dipasang Chip Untuk Menyadap Pembicaraan

    Sumber: facebook.com
    Tanggal publish: 02/09/2020

    Berita

    “DI E- KTP yg di produksi China sudah di pasang CHIP, sehingga semua pergerakan pembawa E- KTP kemana saja sudah terdeteksi…bahkan semua pembicaraannya bisa di sadap…
    Pantas E- KTP berlaku seumur hidup.tdk di perpanjang/ di ganti kecuali jika rusak.
    PERTANYAANNYA….SYAPA PENGUASA DAN PENGENDALI CHIP tsb ⁉️kok hidup masyarakat semakin TDK aman dgn E- KTP ⁉️ jika mau aman saat TDK darurat…tinggalin saja KTP di dalam rumah,padat dan ketat. Lalu pergilah dgn photo Copi E-KTP saja….aman dan nyaman 👍”

    Hasil Cek Fakta

    AKun facebook bernama Ummu Salamah mengunggah sebuah video yang memperlihatkan seseorang membelah KTP elektronik dan membongkar Chip yang ada di dalam kartu tersebut. Dalam unggahannya, akun tersebut mengklaim dengan narasi bahwa E KTP yang dibuat oleh China sudah dipasangi chip dan bisa merekam segala kegiatan serta menyadap pembicaraan.

    Berdasarkan penelusuran, klaim tersebut adalah salah dan tidak berdasar. Dilansir dari medcom.id, Faktanya teknologi di dalam KTP-el tidak dapat merekam pembicaraan pemiliknya.

    Mantan Kepala Program Penelitian dan Perekayasa KTP-el BPPT, Gembong S Wibowanto, membantah isu tersebut. Ia menegaskan cip KTP-el tidak dapat merekam pembicaraan pemiliknya.

    Dilansir dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), cip KTP-el merupakan kartu pintar mikroprosessor dengan kapasitas memori sebesar 8 kilo bytes. Di dalam cip itu, tersimpan biodata pemilik, tanda tangan, pas foto, dan 2 data sidik jari dengan kualitas terbaik saat dilakukan perekaman.

    Dilansir dari tribunnews.com, Chip yang digunakan untuk eKTP di pasok dari perusahaan terkemuka dunia yaitu NXP (Belanda), STMicro (Perancis) dan Infinion (Jerman).

    NXP adalah perusahaan penemu chip contactless yang sahamnya sekarang dimiliki oleh Qualcom (USA) Untuk bisa membaca chip ini, harus menggunakan alat pembaca e-KTP yang dilengkapi dengan SAM (Secure Acces Module) atau dapat kita sebut anak kuncinya.

    Sementara itu, pada agustus 2019 lalu pria bernama Syarifudin bin Muhrozi, Warga Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ditangkap oleh pihak kepolisian karena konten video hoaks yang diunggahnya si youtube terkait soal 110 juta KTP-el palsu buatan China. Hal tersebut ia lakukan hanya demi mendongkrak jumlah subscribernya.

    Kesimpulan

    Klaim bahwa KTP Elektronik dapat menyadap gerak-gerik serta pembicaraan adalah salah dan tidak berdasar. teknologi di dalam KTP-el tidak dapat merekam pembicaraan pemiliknya.

    Rujukan

  • (GFD-2020-4899) [SALAH] “Gara-gara HTI Pertamina Rugi 11 Triliun”

    Sumber: facebook.com
    Tanggal publish: 02/09/2020

    Berita

    Akun facebook Rudy Effendi memposting status (01/09/2020) dengan narasi:

    “gara2 hti pertamina rugi 11T 😆”

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan hasil penelusuran, klaim Pertamina rugi 11T gara-gara HTI adalah salah. Pertamina mengalami kerugian karena pendapatan usaha berkurang dari USD25,55 miliar menjadi USD20,48 miliar. Hal tersebut disebabkan penjualan minyak dalam negeri seperti minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi dan produksi minyak tercatat turun 20,91 persen menjadi USD16.56 miliar. PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian USD761,23 juta atau setara dengan Rp11,1 triliun (kurs USD14.666) pada semester I/2020. Dibandingkan sebelumnya, perseroan mencatat laba tahunan berjalan sebesar USD764,68 atau setara Rp10,94 triliun.

    VP Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usaman menjelaskan sepanjang paruh pertama tahun ini, pertamina menghadapi tiga tantangan utama. Pertama yaitu, penurunan konsumsi BBM dalam negeri, adanya penurunan harga minyak mentah dunia, dan pergerakan nilai tukar dolar AS yang berdampak pada rupiah sehingga terjadinya selisih kurs yang cukup signifikan.

    “Pandemi Covid-19, dampaknya sangat signifikan bagi Pertamina. Dengan penurunan demand, depresiasi rupiah, dan juga crude price yang berfluktuasi yang sangat tajam membuat kinerja keuangan kita sangat terdampak,” tuturnya, dalam keterangan tertulis, Senin (24/8/2020). Dilansir dari kompas.com.

    Selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jumlah konsumsi BBM di beberapa kota di Indonesia menurun hingga 50-60 persen. Hal ini berdampak pada penurunan permintaan pada konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117.000 kilo liter (KL per hari atau turun 13 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019 yang tercatat 135.000 KL per hari.

    Kemudian melemahnya harga minyak mentah dunia Dated Brent yang menjadi acuan harga minyak perseroan pada 2020 sempat berada di posisi terendah hingga US$19 per barel, turun signifikan dibandingkan awal tahun yang masih di posisi sekitar US$64 per barel. Begitu pula nilai tukar rupiah, telah terjadi pelemahan dengan titik terendahnya yang terjadi pada maret 2020. Keadaan ini memberikan tekananan finansial karena pendapatan Pertamina sebagian besar dalam Rupiah (IDR), sementara pembelian Crude dalam Dolar AS (USD).

    Dengan demikian, klaim Pertamina rugi 11T gara-gara HTI termasuk dalam konten satire/parodi dalam artian tidak ada niat merugikan namun berpotensi untuk mengelabui.

    Kesimpulan

    Hasil Periksa Fakta Konaah (Anggota Komisariat MAFINDO Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta).

    Bukan gara-gara HTI, melainkan kerugian Pertamina disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama yaitu, penurunan konsumsi BBM dalam negeri, adanya penurunan harga minyak mentah dunia, dan pergerakan nilai tukar dolar AS yang berdampak pada rupiah sehingga terjadinya selisih kurs yang cukup signifikan.

    Rujukan

  • (GFD-2020-4898) [SALAH] Spanduk “Warga Nahdliyin Rindu Khilafah” Milik NU Tahun 2003

    Sumber: twitter.com
    Tanggal publish: 02/09/2020

    Berita

    “NU juga rindu Khilafah”

    “Nemu foto thn2003 sebelum SAS jadi ketua PBNU. Ayoo podho melek NU sing manut mbah Hasyim kwi iki do matla’ah ben ngerti !!”

    Hasil Cek Fakta

    Akun Twitter bernama JAMAL BOEGIS (@JamalBoegis) membalas tweet dari Ranger Pink 1453 (@apelo53) mengenai jejak khilafah di Indonesia dengan gambar spanduk bertuliskan “Warga Nahdliyah Rindu Khilafah”. Pada narasi juga disebutkan foto tersebut diambil tahun 2003 sebelum SAS (Said Aqiel Siradj) menjadi ketua PBNU.

    Setelah ditelusuri, gambar tersebut pernah di periksa faktanya oleh turnbackhoax.id pada pada tanggal 13 November 2019. Melalui artikel berjudul ‘[SALAH] Spanduk “Warga Nahdliyin Rindu Khilafah” Milik NU’ dijelaskan bahwa foto spanduk tersebut diambil pada saat Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Gelora Bung Karno tanggal 12 Agustus 2007.

    Dilansir dari antaranews.com diketahui panitia penyelenggara acara pada saat itu adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan diikuti sekitar 100 ribu peserta. Juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto kala itu menyebutkan konferensi tersebut turut serta mengundang peserta dari luar negeri seperti Australia, Singapura, Malaysia, Jepang, Inggris dan Denmark.

    Dalam arsip pemberitaan Tempo edisi 12 Agustus 2007, niat HTI untuk mengundang sejumlah tokoh dalam Konferensi Khilafah Internasional 2017 tidak terlalu sukses. Dari begitu banyak tokoh yang diundang, hanya hadir Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin; Abdullah Gymnastiar; dan Fuad Bawazier. Nama lain seperti Amien Rais, Kyai Haji Zainuddin MZ, dan Adyaksa Dault abstain tanpa alasan yang jelas.

    Disisi lain Tempo.co menghubungi Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU, Helmy Faishal Zaini, untuk mengkonfirmasi kebenaran gambar tersebut. Beliau menegaskan spanduk yang bertuliskan “Warga Nahdliyin Rindu Khilafah” itu hanya mencatut nama warga NU namun bukan resmi keluaran NU. Menurut Helmy sejak 1984, dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Situbondo, Jawa Timur, NU telah menyatakan bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final Indonesia. “Atas dorongan dari Kyai Haji Ahmad Shidiq dan Gus Dur (Kyai Haji Abdurrahman Wahid),” kata Helmy pada Rabu, 13 November 2019.

    Bukan kali itu saja nama NU dicatut. Dikutip dari situs resmi PBNU (nu.or.id), nama salah satu badan otonom NU, Pagar Nusa, dicatut dalam spanduk yang dipasang di Muktamar Khilafah 2013 yang diselenggarakan HTI pada 2 Juni 2013. Dalam spanduk itu, tercantum tulisan “Pagar Nusa Wilayah Tanjungsari-Sumedang Siap Mengawal Tegaknya Syariah dan Khilafah”.

    Menurut Sekretaris Pengurus Cabang NU Kabupaten Sumedang, Aceng Muhyi, Pagar Nusa di Sumedang hanya ada di tingkat pimpinan cabang atau kabupaten, belum ada di tingkat kecamatan. Tanjungsari merupakan salah satu kecamatan di Sumedang. Aceng pun menegaskan bahwa spanduk-spanduk itu palsu dan tidak terkait dengan Pengurus Cabang NU Kabupaten Sumedang.

    Dari penelusuran di atas, foto spanduk tersebut memang ada. Namun bukan diambil pada tahun 2003 melainkan tahun 2007 saat Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Gelora Bung Karno. Spanduk tersebut juga bukan resmi milik NU. Helmy menyebutkan spanduk tersebut hanya mencatut nama warga NU. Selain itu tidak ada tokoh NU yang menghadiri acara tersebut. Sehingga gambar tersebut masuk kategori Konten yang Menyesatkan.

    Kesimpulan

    Hasil Periksa Fakta Rizqi Abdul Azis (Anggota Komisariat MAFINDO Universitas Pendidikan Indonesia).

    Spanduk tersebut bukan milik NU walaupun mencatut nama warga NU. Tidak ada perwakilan resmi dari NU yang mengikuti acara tersebut. Foto tersebut diambil pada saat Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Gelora Bung Karno tahun 2007 bukan 2003.

    Rujukan

  • (GFD-2020-4897) [SALAH] “nama negara kita *”I N D O N E S I A”* diberi nama sesuai dgn.Akronim Para *”WALI SONGO “*?”

    Sumber: facebook.com
    Tanggal publish: 02/09/2020

    Berita

    Akun Fahri Petruxs Jamers (fb.com/tyopetruxs.selaluterseyum) mengunggah sebuah gambar dengan narasi yang berisi klaim bahwa nama Indonesia berasal dari akronim inisial para Wali Songo.

    1. *I* *Ibrahim Malik*
    _*(Sunan Gresik)*_
    2. *N* *Nawai Macdhum*
    _*(Sunan Bonang)*_
    3. *D* *Dorojatun R Khosim*
    _*(Sunan Drajat)*_
    4. *O* *Oesman R Djafar Sodiq*
    _*(Sunan Kudus)*_
    5. *N* *Ngampel R Rahmat*
    _*(Sunan Ampel)*_
    6. *E* *Eka Syarif Hidayatullah*
    _*(Sunan Gunung Jati)*_
    7. *S* *Syaid Umar*
    _*(Sunan Muria)*_
    8. *I* *Isyhaq Ainul Yaqin*
    _*(Sunan Giri)*_
    9. *A* *Aburahman R Syahid*
    _*(Sunan Kalijaga)*_

    Jumlah huruf *INDONESIA = 9*
    sesuai dgn. jumlah Wali/Alim Ulama dikala itu =
    *WaliSongo*= *9 Wali*

    Hasil Cek Fakta

    Berdasarkan hasil penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim bahwa nama Indonesia berasal dari akronim inisial para Wali Songo adalah klaim yang keliru.

    Faktanya, menurut para sejarawan, istilah Indonesia baru muncul pada abad ke-19. Nama yang berasal dari kata “Indus” (Hindia) dan “nesia” (kepulauan). Adapun para Wali Songo hidup pada abad ke-15 hingga ke-16, di mana nama Indonesia belum dikenal.

    Dilansir dari Tempo.co, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait klaim tersebut. Selain itu, Tempo menghubungi sejarawan asal Inggris yang fokus pada sejarah modern Indonesia, Peter Carey, serta sejarawan Indonesia, Didi Kwartanada.

    Dilansir dari Okezone.com, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Agus Sunyoto, nama Indonesia tidak ada kaitannya sama sekali dengan Wali Songo. Menurut dia, nama Indonesia sejatinya berasal dari bahasa Yunani Kuno, “Indo” dan “Nesos”, yang berarti “Hindia” dan “Kepulauan”.

    “Saya rasa itu hanya akal-akalan sejumlah oknum saja. Sudah jelas kok nama negara kita diambil dari bahasa Yunani Kuno. Jadi akronim-akronim itu tidak ada benarnya,” tutur Agus pada 17 Agustus 2018.

    Saat dihubungi, Peter Carey menjelaskan bahwa istilah “Indonesia” ditemukan pada pertengahan abad ke-19, sekitar 1850-an, oleh pengacara Inggris yang berbasis di Pinang, James Richardson Logan (1819-1869), dan koleganya yang ahli geografi, George Windsor Earl (1813-1865).

    Mereka kemudian mempopulerkan nama tersebut dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia yang diterbitkan di Singapura pada 1847-1863. Istilah itu juga dipopulerkan di Asia sebagai istilah akademik oleh etnografer Jerman, Adolf Philipp Wilhelm Bastian (1826-1905).

    Dikutip dari buku Earl, Logan, and “Indonesia” karya Russell Jones, kaum nasionalis Indonesia menolak nama resmi “Nederlandsch-Indie” (Hindia Belanda). “Dapat dimengerti jika mereka menolak nama ‘Hindia’ (Indie atau Indische). ‘Indonesia’ menjadi sebuah pilihan yang wajar, tidak ambigu dan tidak memiliki asosiasi kolonialis,” ujar Jones.

    Pada saat yang sama, terdapat gerakan menuju adopsi kata “Indonesia” untuk menggambarkan penduduk non-Belanda di Hindia Belanda. Mereka tidak ingin disebut “Belanda”. Mereka pun tidak ingin dikenal dengan nama etnis mereka, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, dan sebagainya. Kata dalam bahasa Belanda, “inlander” (pribumi), pun dihindari karena memiliki arti yang merendahkan.

    Kemudian, muncul gagasan dari Earl tentang nama “Indus-nesia”. “Indus” berarti Hindia, dan “nesia” berarti nusa yang berasal dari kata “nesos”, bahasa Yunani, yang berarti kepulauan. Menurut Jones, baik Earl maupun Logan menjadi yang terdepan dalam mempopulerkan penggunaan istilah “Indonesia” ketimbang “Hindia Belanda” atau “Nusantara”.

    Menurut Peter, nama Indonesia pertama kali digunakan secara politik pada 1920-an. Pada 23 Mei 1920, Indische Sociaal Democratische Vereeeniging (ISDV) atau Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia mengubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Indonesia Hindia, kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia pada akhir 1920.

    Pada 1922, organisasi pelajar Indonesia di Belanda yang berdiri pada 1908, Indische Vereeniging, juga berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia. Menurut Jones, Mohammad Hatta pernah menulis artikel pada 1929 yang menyebut, “Dengan semangat yang tak kenal lelah, sejak 1918, kami telah menjalankan propaganda untuk ‘Indonesia’ sebagai nama tanah air kami.”

    Peter menuturkan, sebelum populernya nama Indonesia, perairan di sekitar kepulauan dan Pulau Jawa dikenal oleh para navigator Cina, India, dan Arab sebagai “Nan-hai”, atau pulau-pulau di laut selatan; Dwipantara, atau pulau luar; dan Jazair al-Jawi, atau Pulau Jawa. Sebelum abad ke-15, dikenal istilah Suvarnabhumi, atau pulau emas dalam bahasa Sansekerta, untuk menggambarkan Semenanjung Melayu dan Sumatera.

    Penjelasan serupa dilontarkan oleh Didi Kwartanda. Menurut Didi, nama Indonesia baru digagas baru pada abad ke-19. “Kemudian, founding father kita membaca buku dan jurnal yang memuat tulisan-tulisan Earl dan Bastian. Jadi, di masa Wali Songo, belum ada nama Indonesia,” ujar Didi.

    Seperti diketahui, menurut berbagai sumber, Wali Songo hidup pada abad ke-15 hingga ke-16. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) wafat pada 1419. Sunan Ampel (Raden Rahmat) wafat pada 1481. Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim) wafat pada 1525. Sunan Drajat (Raden Qasim) wafat sekitar 1522.

    Kemudian, Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan) wafat pada 1550-an. Sunan Giri (Raden Paku) wafat pada abad ke-16. Sunan Kalijaga (Raden Said) wafat pada abad ke-15. Sunan Muria (Raden Umar Said) wafat pada 1551. Adapun Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) wafat pada 1570-an.

    Kesimpulan

    Menurut para sejarawan, istilah Indonesia baru muncul pada abad ke-19. Nama yang berasal dari kata “Indus” (Hindia) dan “nesia” (kepulauan). Adapun para Wali Songo hidup pada abad ke-15 hingga ke-16, di mana nama Indonesia belum dikenal.

    Rujukan