(GFD-2021-8474) Keliru, Menkumham Hapus Sanksi Pidana usai Anak Buah Megawati Tolak Vaksinasi Covid-19
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/01/2021
Berita
Gambar tangkapan layar cuitan di Twitter yang menampilkan foto Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly beredar di Facebook. Cuitan ini berisi tautan artikel dari situs Democrazy.id yang berjudul "Usai Anak Buah Megawati Tolak Divaksin, Kumham Langsung Hapus Sanksi Pidana". Beberapa waktu lalu, politikus PDIP Ribka Tjiptaning memang menyatakan menolak vaksin Covid-19.
Di Facebook, gambar tangkapan layar itu diunggah salah satunya oleh akun Muhammad Saisal, tepatnya pada 19 Januari 2021. Akun ini menulis, “Cemen.!!! Negara kalah sama seorang nenek yg merasah bangga sbagei anak peka'ih..” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 275 reaksi dan 31 komentar serta dibagikan sebanyak 30 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Muhammad Saisal yang memuat klaim keliru terkait sanksi bagi penolak vaksin Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Dilansir dari Liputan6.com, politikus PDIP Ribka Tjiptaning menyatakan penolakannya untuk disuntik vaksin Covid-19 dalam rapat kerja komisinya, Komisi IX DPR, dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 12 Januari 2021. Pada 13 Januari, seperti dikutip dari Antara, Menkumham Yasonna Laoly menegaskan tidak ada sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksin. Menurut dia, sanksi bagi penolak vaksin Covid-19 sebatas sanksi administratif.
Penjelasan tersebut dilontarkan oleh Yasonna setelah terdapat kesimpangsiuran isu terkait sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. "Ada disinformasi yang mohon untuk diluruskan. Dalam peraturan, hanya sanksi administratif. Ini sebetulnya hanya untuk mendorong supaya masyarakat mau ikut bersama-sama (divaksin)," kata Yasonna.
Sebelumnya, pada 9 Januari, seperti dilansir dari Kompas.com, Wakil Menkumham Edward Hiariej memang sempat menyatakan bahwa masyarakat yang menolak vaksinasi bisa dijatuhi hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara. "Ketika pertanyaannya apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata pria yang akrab disapa Eddie tersebut.
Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu mengatakan ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU tersebut menyatakan warga yang tidak mematuhi dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Sementara itu, Pasal 9 UU yang sama menyebut warga wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. "Jadi, ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah suatu kewajiban, maka secara mutatis mutandis, jika ada warga negara yang tidak mau divaksin, maka bisa dikenakan sanksi," kata Eddie. Namun, menurut dia, sanksi bisa berupa denda, penjara, atau keduanya sekaligus.
Pada 16 Januari, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Eddie menyebut bahwa terdapat pemahaman dan penafsiran yang keliru terkait pernyataannya soal penerapan sanksi pidana bagi penolak vaksin Covid-19. Eddie menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki niat memenjarakan penolak vaksin, apalagi jumlah narapidana sendiri sudah melebihi kapasitas penjara.
“Penjara kita sudah over capacity, sampai 149 ribu. Kalau masing-masing tidak mau vaksin kemudian dimasukkan ke dalam penjara, mau berapa lagi over capacity penjara itu. Jadi, ini adalah pemahaman yang keliru menafsirkan peryataan saya, seolah-olah begitu orang tidak mau vaksin, kemudan dia dijatuhi pidana penjara atau denda dan lain sebagainya,” kata Eddie.
Secara normatif, kata Eddie, mereka yang menolak vaksin bisa dipidana. Namun, apakah perlu dipidana atau tidak, Eddie menegaskan bahwa tindakan itu tidak diperlukan. Alasan hukumnya adalah UU Wabah Penyakit Menular, UU Kesehatan, dan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah hukum administratif yang kebetulan diberi sanksi pidana.
Fungsi sanksi pidana dalam konteks ini adalah sebagai senjata pamungkas atau, dalam doktrin hukum pidana, ultimum remedium. “Sebagai sarana yang paling akhir dalam menegakkan hukum pidana jika pranata hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Meski bisa dipidana, tapi kewajiban vaksin yang dicanangkan pemerintah sama sekali tidak ada niat atau maksud untuk mempidana atau memenjara orang yang tidak mau vaksin,” ujarnya.
Dilansir dari Kompas.com, Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Heni Susilo Wardoyo pun membantah klaim bahwa sanksi pidana dihapus setelah adanya penolakan vaksin Covid-19 dari seorang politikus PDIP. Menurut dia, sanksi pidana tercantum dalam UU. Karena itu, aturan di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri, tidak bisa menganulir sanksi pidana dalam UU tersebut.
Jika sanksi pidana ingin dihapus, pemerintah mesti merevisi UU terkait, yang harus dilakukan bersama DPR. "Itu dari sisi norma," kata Heni. Selain itu, menurut dia, tidak ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan lain di bawahnya yang menyentuh ranah pidana. Jika terdapat penerapan sanksi dalam aturan-aturan tersebut, sifatnya sebatas sanksi administrasi.
Berdasarkan arsip berita Tempo, pada 14 Januari 2021, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono juga menyebut pemerintah belum menetapkan aturan khusus terkait sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Kemenkes, ujarnya, akan mengupayakan pendekatan persuasif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang urgensi vaksinasi Covid-19.
Penerapan sanksi di daerah
Setiap daerah mempunyai kebijakan yang berbeda dalam penerapan sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Dilansir dari Kumparan.com, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengatur sanksi bagi warga yang menolak vaksin berupa denda maksimal Rp 5 juta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020.
Sementara itu, Pemprov Kalbar merujuk pada UU Wabah Penyakit Menular. Dalam UU ini, terdapat pidana maksimal 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 juta bagi yang menghalangi penanggulangan wabah. UU Wabah Penyakit Menular itu juga menjadi dasar Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dalam menerapkan sanksi bagi penolak vaksin.
Terdapat pula daerah yang tidak menerapkan sanksi bagi warga yang menolak vaksin, seperti Makassar, Bali, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemprov DIY tidak menerapkan sanksi bagi warga yang menolak vaksin demi meningkatkan kesadaran warga. Sesuai arahan Gubernur DIY, dalam menangani Covid-19, masyarakat harus bertindak sebagai subjek, bukan objek.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menkumham menghapus sanksi pidana usai anak buah Megawati menolak vaksinasi Covid-19, keliru. Sanksi pidana tercantum dalam UU. Karena itu, aturan di bawahnya, termasuk Peraturan Menteri, tidak bisa menganulir sanksi pidana tersebut. Jika sanksi pidana ingin dihapus, pemerintah mesti merevisi UU terkait, yang harus dilakukan bersama DPR. Selain itu, sanksi pidana memang dimungkinkan bagi penolak vaksin berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, terhadap penolak vaksin Covid-19, pemerintah memilih opsi sanksi administratif.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://archive.vn/nRsIA
- https://bit.ly/3iUQHzF
- https://www.tempo.co/tag/pdip
- https://bit.ly/2NEFvvf
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://bit.ly/3prEYuN
- https://bit.ly/3pskkL5
- https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/24/145000565/-hoaks-kemenkumham-hapus-sanksi-pidana-bagi-yang-tolak-vaksinasi-?page=all
- https://www.tempo.co/tag/kemenkumham
- https://bit.ly/2MeYoEC
- https://kumparan.com/kumparannews/beda-pendapat-yasonna-dan-wamenkumham-soal-pidana-bagi-warga-yang-tolak-divaksin-1uyW8T8OV8I/full
- https://www.tempo.co/tag/megawati
(GFD-2021-8473) Keliru, Vaksin adalah Senjata Biologis karena Mengandung Racun Seperti AS03 dan MF59
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/01/2021
Berita
Klaim bahwa vaksin merupakan senjata biologis untuk memusnahkan populasi karena mengandung racun seperti AS03 dan MF59, garam arsenit, dan merkuri beredar di Facebook. Klaim ini beredar di tengah pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 tahap pertama yang menyasar para tenaga kesehatan.
Akun yang mengunggah klaim itu adalah akun Lois Lois, tepatnya pada 27 Januari 2021. Akun tersebut juga menulis bahwa, selama sebulan pasca pemberian vaksin Covid-19 terhadap tenaga kesehatan, akan banyak kematian mendadak yang disebabkan oleh serangan jantung, HIV, serta kanker ganas.
Berikut narasi yang ditulis oleh akun tersebut:
“Gejala pasca Vaksinasi pada Nakes!!Hati2..dalam 1 bulan kemudian akan banyak kematian mendadak serangan jantung/stroke.HIV(+)Kanker ganas(+)Karena Vaksin FLU adalah senjata Biologis utk memusnahkan populasi suatu bangsa.Tidak ada kandungan obat di dalamnya melainkan Racun ASO3+ MF59Garam ArsenitMercury.Yg merusak syaraf2.”
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Lois Lois yang berisi klaim keliru soal vaksin.
Hasil Cek Fakta
Untuk memeriksa klaim-klaim dalam unggahan akun Lois Lois, Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai informasi dari lembaga kesehatan serta pemberitaan dari media. Berikut fakta atas klaim-klaim tersebut:
Klaim 1: Vaksin mengandung racun seperti AS03 dan MF59
Fakta:
AS03 dan MF59 bukanlah racun. Keduanya merupakan adjuvan, atau zat yang ditambahkan ke dalam vaksin untuk membantu memperkuat respons kekebalan pada orang yang menerima vaksin.
Dikutip dari Science Direct, adjuvan adalah zat yang termasuk dalam vaksin untuk meningkatkan imunogenisitas antigen dengan kemampuan imunostimulan yang tidak mencukupi. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana sistem kekebalan berinteraksi dengan patogen telah berkontribusi pada pengembangan adjuvan yang mengandung lebih dari satu molekul imunostimulan, yang disebut Sistem Adjuvan (Adjuvant Systems/AS).
AS03 adalah Sistem Adjuvan yang mengandung surfaktan, polisorbat 80, dan dua minyak yang bisa terurai secara hayati, α-tokoferol dan squalene. Studi non-klinis tidak mengungkapkan masalah keamanan terkait penggunaan AS03. Dalam uji klinis, vaksin influenza yang ditambahkan AS03 secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Data pasca-lisensi pun menunjukkan profil manfaat-risiko yang menguntungkan di berbagai populasi.
Terdapat pula bukti uji coba terkontrol secara acak tentang efikasi yang lebih tinggi pada vaksin influenza trivalen (TIV) yang mengandung AS03 dibanding pada TIV tanpa adjuvan dalam mencegah infeksi beberapa subtipe influenza, dan meningkatkan perlindungan terhadap kematian serta pneumonia pada orang yang berusia 65 tahun ke atas. Masih dari Science Direct, vaksin influenza yang ditambahkan AS03 telah digunakan secara luas di Eropa dan belahan dunia lainnya, terutama dalam kombinasi dengan vaksin H1N1.
Sementara MF59, dikutip dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC ), adalah adjuvan yang terkandung dalam fluad (vaksin influenza yang dilisensikan untuk orang berusia 65 tahun ke atas). MF59 merupakan emulsi minyak dalam air yang terdiri dari squalene, yang merupakan minyak alami yang ditemukan pada sel tumbuhan, hewan, maupun manusia. MF59 digunakan dalam vaksin flu di Eropa sejak 1997 dan di AS sejak 2016, telah diberikan kepada jutaan orang dan memiliki catatan keamanan yang sangat baik.
Klaim 2: Vaksin mengandung garam arsenit dan merkuri
Fakta:
Tidak ditemukan informasi mengenai adanya kandungan garam arsenit dalam vaksin flu maupun vaksin Covid-19. Sementara terkait kandungan merkuri, seperti dilansir dari CDC, yang terdapat dalam vaksin bukanlah jenis metil merkuri yang bisa menjadi racun bagi manusia pada tingkat paparan yang tinggi, melainkan etil merkuri, yang terdapat dalam thimerosal.
Etil merkuri bisa dibersihkan lebih cepat oleh tubuh ketimbang metil merkuri sehingga kecil kemungkinan menyebabkan kerusakan. Thimerosal pun demikian, tidak tinggal di dalam tubuh untuk waktu yang lama sehingga tidak menumpuk dan mencapai tingkat yang berbahaya. Ketika thimerosal memasuki tubuh, ia terurai menjadi etil merkuri dan thiosalicylate, yang dengan mudah dihilangkan.
Menurut CDC, beberapa vaksin mengandung thimerosal yang telah digunakan selama beberapa dekade di AS dalam botol multi-dosis obat-obatan dan vaksin. Tidak ada bukti bahaya yang disebabkan oleh dosis rendah thimerosal dalam vaksin, kecuali untuk reaksi kecil seperti kemerahan dan bengkak di tempat suntikan. Namun, pada Juli 1999, badan layanan kesehatan masyarakat AS, American Academy of Pediatrics, dan produsen vaksin setuju thimerosal harus dikurangi atau dihilangkan sebagai tindakan pencegahan.
Thimerosal berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri dalam vaksin. Thimerosal ditambahkan ke vial vaksin yang mengandung lebih dari satu dosis untuk mencegah pertumbuhan kuman, seperti bakteri dan jamur. Masuknya bakteri dan jamur berpotensi terjadi ketika jarum suntik masuk ke dalam botol. Kontaminasi kuman dalam vaksin dapat menyebabkan reaksi lokal yang parah, penyakit serius, atau kematian.
Klaim 3: Vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kematian mendadak akibat serangan jantung, HIV, dan kanker ganas.
Fakta:
Terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan serangan jantung, klaim itu telah diverifikasi Tempo dan dinyatakan sebagai klaim yang keliru. Sejak program vaksinasi Covid-19 dimulai pada 13 Januari 2021, tidak ada laporan kasus kematian yang disebabkan oleh vaksin Covid-19, termasuk akibat serangan jantung.
Adapun terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan HIV, klaim ini juga keliru. Klaim tersebut kemungkinan mengutip kejadian pasca vaksinasi Covid-19 di Australia yang menggunakan vaksin buatan The University of Queensland dan perusahaan bioteknologi lokal CSL Ltd. Pada awal Desember 2020, otoritas Australia mengumumkan bahwa beberapa peserta uji vaksin dilaporkan mengembangkan antibodi yang memicu hasil positif palsu pada beberapa tes HIV.
Vaksin tersebut memang mengandung fragmen kecil protein HIV, yang berfungsi untuk membantu menstabilkan vaksin. Akan tetapi, seperti dikutip dari Live Science, tidak ada cara vaksin dapat menyebabkan infeksi HIV, karena vaksin mengandung fragmen virus yang tidak berbahaya.
Yang terakhir, terkait vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kanker ganas, klaim tersebut pun keliru. Dikutip dari Republika, menurut dokter sekaligus vaksinolog Dirga Sakti Rambe, tidak ada vaksin yang bisa menyebabkan kanker. "Malah ada vaksin yang bisa melindungi kanker, vaksin hepatitis B yang bisa melindungi kanker hati, vaksin HPV melindungi kanker mulut rahim, jadi tidak benar vaksin sebabkan kanker," ujar Dirga.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin adalah senjata biologis untuk memusnahkan populasi karena mengandung racun seperti AS03 dan MF59, garam arsenit, dan merkuri, keliru. Klaim bahwa vaksin Covid-19 yang disuntikkan kepada tenaga kesehatan dapat menyebabkan kematian mendadak akibat serangan jantung, HIV, dan kanker ganas pun tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin
- https://archive.is/Nk16b
- https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264410X19305225
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-influenza
- https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/as03
- https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/adjuvants.html
- https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/thimerosal/index.html
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/1212/keliru-dokter-di-palembang-meninggal-karena-vaksin-covid-19-mengandung-zat-beracun
- https://www.tempo.co/tag/vaksinasi-covid-19
- https://www.livescience.com/australia-covid-19-vaccine-false-positive-hiv-tests.html
- https://republika.co.id/berita/qldhz3414/vaksinolog-vaksin-tidak-sebabkan-autisme-dan-kanker
- https://www.tempo.co/tag/senjata-biologis
(GFD-2021-8472) Sesat, Konsumsi Qusthul Hindi atau Kayu India Bisa Sembuhkan Covid-19
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 28/01/2021
Berita
Klaim bahwa mengkonsumsi qusthul Hindi atau kayu India bisa menyembuhkan Covid-19 beredar di media sosial. Menurut klaim tersebut, qusthul Hindi juga mampu membuat daya tahan tubuh lebih kuat. Di Facebook, klaim ini diunggah salah satunya oleh akun Ady Supratikto pada 25 Januari 2021.
Berikut narasi yang dibagikan oleh akun tersebut: "Mustinya Yang Sakit Covid 19 Minum 'Qusthul Hindi GOBISA HalalHerbal' Biar Cepat Sembuh. Daya Tahan Tubuh Kuat Biar Bahagia Bersama Keluarga."
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Ady Supratikto yang memuat klaim sesat terkait kayu India dan Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, penelitian yang dilakukan terhadap qusthul Hindi atau kayu India dalam pengobatan Covid-19 hanya berupa in silico atau simulasi komputer. Penelitian ini tidak cukup untuk menyatakan sebuah zat bermanfaat dalam menyembuhkan suatu penyakit. Perlu dilakukan uji klinis untuk membuktikan bahwa qusthul Hindi benar-benar bisa mengobati Covid-19.
Di akun Instagram miliknya, Adam Prabata, dokter sekaligus kandidat PhD Ilmu Medis di Kobe University, menjelaskan bahwa qusthul Hindi atau qust al Hindi memiliki nama ilmiah Saussurea costus atau Saussurea lappa. Tanaman ini kerap dipakai sebagai pengobatan tradisional sejak 2.500 tahun yang lalu untuk beberapa penyakit di Yunani, Persia, Arab, dan India.
Qusthul Hindi diklaim bisa bermanfaat untuk mengobati Covid-19 karena memiliki kandungan yang bermanfaat sebagai anti-inflamasi atau anti peradangan dan antivirus. Tanaman ini sering digunakan sebagai obat tradisional untuk mengurangi batuk-pilek. Selain itu, kandungan qusthul Hindi diduga bisa menghambat melekatnya virus Corona penyebab Covid-19 ke reseptor di dalam tubuh.
Menurut Adam, terdapat penelitian tentang zat Syrigaresinol yang terkandung dalam qusthul Hindi yang diduga memiliki kemampuan antivirus dan dianggap dapat bermanfaat untuk pengobatan Covid-19. Namun, penelitian tersebut masih dalam tahap in silico atau simulasi komputer. Karena itu, belum ada bukti ilmiah yang cukup bahwa qusthul Hindi bermanfaat dalam pengobatan Covid-19.
Adam menjelaskan bahwa penelitian in silico tidak cukup untuk menyatakan bahwa suatu zat bermanfaat dalam mengobati suatu penyakit. "Perlu ada hasil uji klinis untuk membuktikan bahwa qusthul Hindi benar-benar bisa bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19," ujar lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Menurut Adam, penelitian in silico merupakan penelitian yang dilakukan sebelum uji pra-klinis. Uji pra-klinis merupakan uji coba yang dilakukan pada sel dan hewan. Setelah uji pra-klinis, agar suatu terapi atau obat bisa disebut benar-benar bermanfaat dalam menyembuhkan penyakit tertentu, terapi atau obat tersebut harus menjalani uji klinis fase I-III pada manusia.
Saat dihubungi pada 27 Januari 2021, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban juga mengatakan bahwa standar pengobatan dalam dunia kedokteran berbasis ilmiah. Pernyataan atau testimoni dari satu orang tidak bisa digunakan untuk menyatakan bahwa suatu obat manjur dalam menyembuhkan penyakit tertentu.
“Calon obat baru bisa digunakan setelah melalui berbagai tahapan, seperti uji pra-klinis dan uji klinis. Belum ada bukti ilmiah sama sekali yang menyebutkan bahwa kayu India dapat mengobati Covid-19,” kata Zubairi yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam tersebut.
Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo, saat dihubungi pada 27 Januari 2021, juga mengatakan bahwa, secara etika dan aturan, tenaga kesehatan hanya boleh memberikan obat yang sudah teruji klinis. "Masalahnya, masyarakat tidak selalu paham logika uji klinis, sehingga yang terjadi adalah testimoni individu yang tentu sarat dengan bias. Jarang sekali ada testimoni negatif. Padahal, dalam medis, hasil negatif itu sama pentingnya dengan hasil positif."
Menurut Ahmad, penampakan Covid-19 sangat beragam, mulai dari yang tidak bergejala, bergejala ringan, bergejala sedang, hingga bergejala berat. Sementara indikasi obat sangat spesifik, sehingga tidak bisa generalisir. Ahmad mencontohkan, pemberian obat seperti dexamethasone terbukti mengurangi risiko kematian hingga 30 persen, namun hanya bagi pasien bergejala berat. Pasien bergejala ringan tidak mendapatkan manfaat dari dexamethasone itu.
Pada 10 Agustus 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) pernah mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah tergoda dan terkecoh dalam membeli produk obat herbal, apalagi jika tidak mengantongi izin BPOM. Dikutip dari Liputan6.com, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini mengatakan terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh suatu obat hingga bisa diklaim mampu mengobati suatu penyakit.
Maya menjelaskan terdapat tiga tahap pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. “Jamu adalah suatu produk dengan ramuan empiris yang turun-temurun dari nenek moyang kita, seperti beras kencur, temulawak, dan lainnya, dan klaimnya empiris kita melihat dari beberapa pustaka, tidak perlu uji klinis karena kita sudah tahu,” ujarn Maya.
Untuk obat herbal terstandar, berasal dari jamu, tapi bahan bakunya terstandar dan konsisten. Adapun keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara ilmiah melalui uji pra-klinis kepada hewan seperti tikus atau kelinci, tergantung kebutuhan yang tujuannya untuk meyakinkan bahwa produk ini aman. Setelah itu, tahapannya naik menjadi fitofarmaka, yang keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara ilmiah melalui uji klinis pada manusia.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa qusthul Hindi atau kayu India dapat menyembuhkan Covid-19, menyesatkan. Hingga kini, penelitian yang dilakukan terhadap qusthul Hindi atau kayu India dalam pengobatan Covid-19 hanya berupa in silico atau simulasi komputer. Penelitian itu tidak cukup untuk menyatakan sebuah zat bermanfaat dalam menyembuhkan suatu penyakit. Perlu dilakukan uji klinis untuk membuktikan bahwa qusthul Hindi benar-benar bisa mengobati Covid-19.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
(GFD-2021-8471) Keliru, Vaksin Covid-19 Terkait dengan Jaringan 5G dan Sebabkan Wabah Penyakit Baru
Sumber: cekfakta.tempo.coTanggal publish: 27/01/2021
Berita
Klaim bahwa vaksin Covid-19 dapat menyebabkan efek jangka pendek berupa lumpuh dan meninggal, efek jangka panjang berupa wabah penyakit baru, dan terkait dengan chip serta jaringan 5G beredar di Facebook. Narasi itu diunggah oleh akun James Bowie pada 24 Januari 2021.
Berikut isi lengkap narasi tersebut:
"Efek samping vaksin ada yg jangka pendek.. dan ada juga yg jangka panjang terjadi nyaYg jangka pendek: lumpuh dan meninggalYg jangka panjang: wabah penyakit jenis baru(Tunggu saat robot nano di dalam vaksin di gabungin dengan CHIP RFID buat alat segala transkasi yg di tanam dalam tubuh dan Jaringan hape 5G udah mulai di gunakan dengan menyeluruh)"
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook James Bowie pada 24 Januari 2021 yang memuat klaim keliru terkait vaksin Covid-19.
Hasil Cek Fakta
Untuk memeriksa klaim-klaim dalam unggahan akun James Bowie, Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai informasi dari lembaga yang kredibel serta pemberitaan dari media. Berikut fakta atas klaim-klaim tersebut:
Klaim 1: Vaksin Covid-19 menyebabkan lumpuh dan meninggal
Fakta:
Sebelum program vaksinasi Covid-19 dimulai di Indonesia, vaksin Sinovac telah terlebih dahulu menjalani uji klinis fase 3, di mana 1.620 relawan mendapat suntikan pertama dan 1.590 relawan diberi suntikan kedua. Dari penyuntikan ini, tidak ada kasus kematian maupun kelumpuhan yang dilaporkan.
Sejak vaksinasi Covid-19 dimulai pada 13 Januari 2021, lebih dari 132 ribu tenaga kesehatan kelompok pertama telah menjalani vaksinasi tersebut per 23 Januari. Jumlah ini setara dengan 22 persen dari total 598.483 tenaga kesehatan yang akan divaksinasi pada tahap pertama.
Dari mereka yang telah menjalani vaksinasi itu, tidak ada pula kasus kematian maupun kelumpuhan yang dilaporkan karena vaksin Sinovac. Berdasarkan laporan dari Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), semua reaksi yang muncul masih bersifat ringan, tidak ada yang serius.
Klaim 2: Vaksin Covid-19 menyebabkan wabah penyakit baru
Fakta:
Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 dapat menyebabkan wabah penyakit baru. Meskipun begitu, seperti dilansir dari Kompas.com, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa vaksin Covid-19 tidak bisa secara langsung menghentikan pandemi.
Namun, dilansir dari British Society for Immunology, vaksinasi sangat efektif, di mana sebagian besar vaksin pada anak efektif sekitar 85-95 persen. Vaksinasi pun diperkirakan menyelamatkan 2-3 juta jiwa setahun. Berkat vaksin, penyakit yang mengancam nyawa yang umum teradi pada anak-anak, seperti difteri, batuk rejan, dan polio, kini relatif jarang muncul.
Melihat sejarah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, terdapat penurunan yang signifikan dalam jumlah kasus penyakit setelah diperkenalkannya vaksin untuk melawannya. Cacar misalnya, jika tidak diberantas, akan menyebabkan 5 juta kematian di seluruh dunia dalam setahun. Melalui vaksinasi, beberapa penyakit bahkan sudah bisa diberantas secara tuntas, seperti cacar.
Terkait munculnya wabah penyakit baru, seperti dikutip dari Baylor College of Medicine, umumnya disebabkan oleh proses alami, seperti evolusi patogen dari waktu ke waktu, tapi banyak juga yang merupakan hasil dari perilaku manusia. Dalam satu abad terakhir, interaksi antara populasi manusia dan lingkungan telah berubah.
Faktor yang berkontribusi terhadap perubahan interaksi antara manusia dan lingkungan tersebut di antaranya adalah pertumbuhan penduduk, migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan, perjalanan udara internasional, kemiskinan, perang, dan perubahan ekologi yang merusak akibat pembangunan ekonomi dan penggunaan lahan.
Banyak penyakit muncul ketika agen infeksi pada hewan ditularkan ke manusia (disebut zoonosis). Dengan bertambahnya populasi manusia, yang kemudian memasuki wilayah geografis baru, terdapat kemungkinan terjadinya kontak dekat dengan hewan yang merupakan inang potensial dari agen infeksi. Jika faktor ini digabungkan dengan peningkatan kepadatan dan mobilitas manusia, terdapat potensi ancaman yang serius bagi kesehatan.
Dugaan lainnya adalah perubahan iklim yang menyebabkan munculnya penyakit menular. Saat iklim bumi menghangat dan habitat berubah, penyakit dapat menyebar ke wilayah geografis baru. Misalnya, suhu yang menghangat memungkinkan nyamuk, dan penyakit yang ditularkannya, memperluas jangkauannya ke wilayah yang sebelumnya belum pernah ditemukan.
Klaim 3: Vaksin Covid-19 terkait dengan chip dan jaringan 5G
Fakta:
Narasi ini juga menyebar di sejumlah negara. Sebelumnya, Tempo telah melakukan verifikasi terkait klaim soal pemasangan chip dalam vaksin Covid-19, dan menyatakannya sebagai klaim yang keliru. Penanaman microchip ke tubuh manusia lewat vaksin adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Dikutip dari Science20, kebanyakan microchip RFID (Radio Frequency Identification) terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam jarum berukuran normal yang digunakan untuk vaksin. Mungkin saja membuat chip dengan ukuran yang lebih kecil, tapi tidak berguna apabila tidak memiliki antena sebagai penerima sinyal.
Sebuah chip harus memiliki kapasitas yang cukup besar untuk mengambil daya dari gelombang mikro, yang kemudian mengirim kembali sinyal yang cukup kuat sehingga bisa diterima oleh penerima. Chip RFID terkecil yang tersedia secara komersial, lengkap dengan antenanya, hanya dapat terbaca dari jarak milimeter. Sementara chip RFID terkecil yang tidak tersedia secara komersial hanya dapat terbaca dari jarak mikron.
AFP Fact Check pun telah membantah klaim bahwa, selama vaksinasi Covid-19, microchip disuntikkan secara diam-diam ke bawah kulit seseorang, dan memungkinkan microchip itu terhubung dengan ponsel 5G milik orang tersebut.
Mischa Dohler, Ketua Profesor Komunikasi Nirkabel King's College London, mengatakan microchip di bawah kulit tidak dipakai untuk mengoperasikan ponsel 5G. "Microchip dan 5G tidak memiliki kesamaan. Ini seperti membandingkan apel dan mobil," katanya. “Microchip memang ada dan saat ini digunakan di negara-negara Nordik misalnya, di mana Anda dapat menanamkan chip (di bawah kulit) dan bepergian, lalu membayar dengan chip itu di bar.”
Perusahaan microchip telah bermunculan di Swedia dan Denmark serta Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir, menawarkan chip yang disuntikkan ke tangan, tepatnya di antara ibu jari dan jari telunjuk, yang kemudian bisa digunakan untuk membuka kunci pintu atau membeli makanan ringan dengan lambaian tangan. Ada pula perusahaan yang sedang mengembangkan chip untuk menyimpan data medis.
Namun, Dohler menepis klaim bahwa microchip yang ditanamkan di tangan tersebut memungkinkan seseorang melakukan dan menerima panggilan tanpa harus memegang ponsel mereka. “Saya tidak mengatakan ini tidak akan pernah terjadi. Tapi, saat ini, itu adalah omong kosong ilmiah. Untuk berkomunikasi, Anda perlu menghasilkan gelombang suara. Jadi, microchip itu harus sangat dekat dengan telinga Anda atau ditanamkan sangat dekat dengan otak."
Microchip bekerja dengan RFID (radio frequency identification), yang memungkinkan berbagai produk terpindai untuk mendapatkan informasi, mirip dengan kode batang di supermarket. Luyun Jiang, analis teknologi di perusahaan riset pasar IDTechEx, mengatakan teknologi ini hanya dapat menangani "data yang sangat terbatas" dan tidak dapat digunakan untuk melakukan dan menerima panggilan telepon.
“5G membutuhkan cukup banyak daya dan perangkat keras,”
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, unggahan akun Facebook James Bowie, bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan efek jangka pendek berupa lumpuh dan meninggal, efek jangka panjang berupa wabah penyakit baru, dan terkait dengan chip serta jaringan 5G, keliru.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id
Rujukan
- https://www.tempo.co/tag/vaksin-covid-19
- https://archive.is/DVOrN
- https://nasional.tempo.co/read/1401918/ketua-tim-riset-uji-klinis-vaksin-covid-19-sebut-17-relawan-drop-out
- https://nasional.tempo.co/read/1425902/kemenkes-lebih-dari-132-ribu-tenaga-kesehatan-jalani-vaksinasi-covid-19/full&view=ok
- https://www.kompas.com/global/read/2020/11/17/161018270/who-vaksin-corona-tidak-bisa-langsung-hentikan-pandemi
- https://www.immunology.org/celebrate-vaccines/public-engagement/guide-childhood-vaccinations/how-vaccines-work
- https://www.bcm.edu/departments/molecular-virology-and-microbiology/emerging-infections-and-biodefense/emerging-infectious-diseases
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/1207/keliru-vaksin-sinovac-dipasangi-gps-atau-chip-untuk-lacak-keberadaan-orang-yang-telah-divaksin
- https://www.science20.com/robert_walker/no_bill_gates_does_not_want_to_inject_us_all_with_a_microchip_in_a_vaccine_fails_basic_fact_check-250358
- https://factcheck.afp.com/experts-reject-conspiracy-theories-about-5g-microchip-implants
- https://www.tempo.co/tag/5g
- https://www.tempo.co/tag/microchip
Halaman: 4381/5916