• (GFD-2020-8086) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Imunitas adalah Kata Kunci untuk Melawan Pandemi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 14/05/2020

    Berita


    Akun Twitter Divisi Humas Polri membagikan sebuah unggahan yang berisi pernyataan ahli psikologi politik Universitas Indonesia, Profesor Hamdi Muluk, pada 11 Mei 2020. Menurut pernyataan itu, imunitas merupakan kata kunci untuk melawan pandemi, dalam hal ini pandemi Covid-19.
    Selanjutnya, terdapat pernyataan bahwa, "Jadi pandemi dampaknya tidak akan terlalu dahsyat kalau setiap orang (memiliki) imun, baik secara fisik dan psikologi. Oleh karena itu perlu ditata bagaimana setiap orang memiliki psychological well being."
    Unggahan ini mendapat banyak respons dari warganet. Beberapa di antaranya berisi kritik karena pernyataan yang dikutip berasal dari ahli psikologi politik. "Bapak mengutip ahli psikologi politik, untuk membahas pandemi Covid-19? Kejauhan lintas ilmunya, Pak. Tanggung2, sekalian pakai Roy Kiyoshi, buat menerawang?" ujar akun @DefriantaS pada 12 Mei 2020.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter Divisi Humas Polri.
    Belakangan, setelah ramai dikritik itu, unggahan tersebut tidak lagi ditemukan di akun Twitter Divisi Humas Polri. Tempo pun mengecek asal-muasal pernyataan Hamdi tersebut. Pernyataan itu memang disampaikan Hamdi Muluk dalam diskusi yang digelar oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB Jakarta pada 10 Mei 2020.
    Dikutip dari Kompas.com, Hamdi menyatakan, jika masyarakat tidak sejahtera secara psikologis, upaya untuk melandaikan kurva Covid-19 bakal terkendala. Pasalnya, kondisi psikologi sangat memengaruhi imunitas seseorang. Sementara imunitas merupakan kunci dalam melawan pandemi Covid-19. "Pandemi dampaknya tidak akan terlalu dahsyat kalau setiap orang imunnya baik secara psikologis maupun fisik karena dia punya ketahanan, ketangguhan, lawan pandemi."
    Apa benar imunitas merupakan kata kunci untuk melawan pandemi, dalam hal ini pandemi Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mewawancarai dua ahli epidemiologi, yakni peneliti epidemiologi Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Henry Surendra, serta peneliti Kebijakan dan Keamanan Kesehatan Global di Pusat Kesehatan Lingkungan dan Penduduk Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman.
    Menurut Henry, secara epidemiologi, pandemi bisa dikendalikan dengan tiga cara, yaitu menghilangkan atau mengurangi sumber infeksi, memutus rantai penularan, dan melindungi kelompok populasi yang berisiko terinfeksi. “Aspek imunitas individu ataupun herd immunity (imunitas kawanan) masuk ke dalam salah satu upaya melindungi populasi berisiko,” kata Henry pada 13 Mei 2020.
    Namun, imunitas sendiri cukup kompleks dan spesifik. Untuk mencegah penularan pada level individu saat pandemi Covid-19, jalannya adalah melalui vaksinasi. Tapi, sampai saat ini, belum ada vaksin untuk memberikan imunitas pada seseorang dalam melawan virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2.
    Vaksinasi juga sangat bermanfaat untuk mencegah penularan pada level populasi, yakni dengan memvaksin sebagian besar populasi. Untuk Covid-19, diperkirakan memerlukan 70 persen populasi yang divaksin agar tercapai herd immunity. Peningkatan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi atau suplemen tidak serta-merta bisa membuat seseorang terhindar dari penyakit ketika terpapar virus Corona. “Tentu ini keliru,” kata Henry.
    Tanpa vaksin, menurut Henry, seseorang yang terpapar virus Corona bakal terinfeksi. Pasca infeksi, kondisi tubuh kemungkinan bisa membantu mempercepat respons terhadap virus dengan cara memproduksi antibodi. Karena belum ada vaksin untuk Covid-19 dan pandemi memerlukan respons cepat, tindakan yang paling tepat adalah memutus rantai penularan dengan menjaga jarak aman, rajin mencuci tangan, menggunakan masker, dan sebagainya.
    Aspek psikologi pun berperan. Sebab, saat seseorang khawatir berlebihan, kesehatan mentalnya dapat terganggu, kemudian mengakibatkan daya tahan tubuh menurun. Namun, Henry mengingatkan bahwa aspek psikologi hanya satu dari sekian banyak aspek dalam pandemi. “Untuk saat ini, upaya-upaya memutus rantai penularanlah yang paling signifikan dampaknya dalam penanggulangan pandemi,” kata Henry.
    Sementara menurut Dicky, klaim bahwa imunitas menjadi kunci dalam melawan pandemi tidak tepat. “Kalau hanya berorientasi ke imunitas, namanya memilih strategi herd immunity. Itu berbahaya. Akan timbul banyak korban,” kata Dicky pada 13 Mei 2020.
    Dalam arsip berita Tempo, herd immunity adalah konsep epidemiologis yang menggambarkan keadaan di mana suatu populasi cukup kebal terhadap penyakit sehingga infeksi tidak akan menyebar dalam populasi tersebut. Herd immunity bakal terwujud setelah 70 persen populasi terinfeksi dan pulih, sehingga wabah mereda lantaran kebanyakan orang telah resisten terhadap infeksi. Strategi ini akan menelan banyak korban jiwa karena herd immunity baru terbentuk jika minimal 60-80 persen penduduk Indonesia terinfeksi Covid-19.
    Dalam sejarah pengendalian pandemi, kata Dicky, strategi kuncinya adalah melakukan tes, penelusuran kontak (contact tracing), penanganan atau perawatan (treating), dan isolasi yang disertai social distancing. Strategi-strategi tersebut masih relevan sejak Dicky terlibat dalam penanganan berbagai pandemi selama 20 tahun, mulai dari HIV/AIDS, swine flu dan flu burung, hingga Covid-19.
    Menurut Dicky, dalam sejarah pandemi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kondisi kesejahteraan psikologi mampu melawan pandemi. “Dalam teori epidemi, tidak pernah ditemukan faktor psikologis yang melindungi dari serangan demam berdarah misalnya, atau faktor psikologis yang melindungi dari wabah kolera,” katanya.
    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit, tutur Dicky, yakni lingkungan, manusia, dan virus. Faktor manusia yang dimaksud adalah pola hidup bersih, memakai masker, dan cuci tangan. Sejauh ini, penyakit menular seperti Covid-19 tidak dipengaruhi oleh apakah seseorang sedang dalam kondisi tenang atau optimis. “Apabila mereka lalai tidak memakai masker, tidak menjaga jarak, atau pencegahan lainnya, mau setenang atau sekuat apapun mentalnya ya bakal terinfeksi,” katanya.
    Kondisi kesehatan mental masyarakat memang menjadi perhatian di tengah pandemi Covid-19. Protokol pencegahan seperti bekerja dari rumah, pengurangan aktivitas di luar rumah, penutupan sekolah, dan tekanan ekonomi, dapat memicu seseorang khawatir berlebihan, stres, frustasi, emosional, dan berbagai kondisi yang mengancam kesehatan mental. Menjaga kesehatan mental bertujuan agar seseorang dapat tetap mengambil tindakan yang tenang dan efektif di tengah-tengah krisis global ini.
    Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, berdasarkan data 1.522 pengakses layanan swaperiksa masalah psikologis di PDSKJI.org, terdapat tiga masalah psikologis yang ditemukan di Indonesia selama pandemi Covid-19, yakni kecemasan, depresi, dan trauma. Sebanyak 63 persen pengakses mengalami kecemasan dan 66 persen mengalami depresi.
    Negara yang berhasil tangani Covid-19
    Tempo pun membandingkan pernyataan dua ahli epidemiologi itu dengan data negara-negara yang berhasil menangani Covid-19. Menurut laporan sejumlah media, Vietnam merupakan salah satu negara yang cukup berhasil memerangi virus Corona Covid-19. Pasalnya, hingga kini, tidak ada kasus kematian yang dilaporkan di Vietnam. Di seluruh Vietnam, kasus Covid-19 pun hanya sebanyak 10 kasus.
    Kunci keberhasilan Vietnam adalah melakukan kebijakan karantina yang ketat dan menelusuri serta mendokumentasikan semua warga yang diduga berkontak dengan orang yang terinfeksi virus tersebut. Langkah-langkah ini dilaksanakan jauh lebih awal daripada Cina. Sebagai contoh, pada 12 Februari 2020, Vietnam mengkarantina hampir 10 ribu kota di dekat Hanoi, ibukotanya, selama tiga minggu.
    Selain menelusuri kontak pertama, Vietnam melacak kontak kedua, ketiga, dan keempat dengan orang yang terinfeksi Covid-19. Semuanya kemudian diawasi pergerakannya dan dibatasi kontaknya dengan ketat. Sejak awal, Vietnam juga mengkarantina siapa pun yang masuk ke negaranya dari daerah berisiko tinggi selama 14 hari. Semua sekolah dan universitas pun telah ditutup sejak awal Februari 2020.
    Meskipun 95 persen penduduk Vietnam menilai bahwa pemerintahnya bekerja dengan cukup baik, tingkat ketakutan mereka untuk tertular virus ini juga cukup tinggi. Sebuah jajak pendapat yang dirilis pada 22 April 2020 menunjukkan 89 persen populasi Vietnam “sangat” atau “agak” khawatir akan tertular Covid-19.
    Sementara itu, Korea Selatan memilih tes massal untuk melawan Covid-19. Di sana, hampir 20 ribu orang menjalani tes Covid-19 setiap harinya, lebih banyak secara per kapita dibanding negara mana pun di dunia. Sampel juga langsung dikirim ke laboratorium terdekat dari lokasi tes. Di sana, para staf laboratorium bekerja bergiliran selama 24 jam untuk memprosesnya.
    Korsel memang membangun jaringan 96 laboratorium pemerintah dan swasta untuk menggelar tes Covid-19. Para pejabat kesehatan meyakini pendekatan ini menyelamatkan nyawa banyak orang. Tingkat kematian akibat Covid-19 di Korsel hanya 0,7 persen. Adapun di dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat kematian akibat Covid-19 mencapai 3,4 persen.
    Dengan demikian, pernyataan dua ahli epidemiologi yang diwawancara di atas terkonfirmasi. Menghilangkan atau mengurangi sumber infeksi serta memutus rantai penularan terbukti efektif dalam menangani pandemi Covid-19 di Vietnam dan Korsel.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa imunitas merupakan kata kunci dalam melawan pandemi, dalam hal ini pandemi Covid-19, sebagian benar. Tindakan yang paling tepat untuk melawan pandemi menurut para ahli epidemiologi adalah menghilangkan atau mengurangi sumber infeksi serta memutus rantai penularan. Hal itu dilakukan dengan cara-cara seperti tes, penelusuran kontak, menjaga jarak aman, rajin mencuci tangan, dan menggunakan masker. Meskipun menjaga kesehatan mental penting di tengah pandemi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kondisi psikologi yang prima dapat menghindari seseorang dari infeksi virus Corona Covid-19.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8085) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Lambang Presiden Diganti Bintang Seperti Logo Partai Komunis Cina di Era Jokowi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 14/05/2020

    Berita


    Narasi bahwa lambang Presiden RI diganti dari Garuda Pancasila menjadi bintang di era pemerintahan Presiden Jokowi beredar di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Menurut narasi itu, lambang kepresidenan yang baru ini mirip dengan logo Partai Komunis Cina.
    Salah satu akun di Facebook yang mengunggah narasi itu adalah akun Rahmat M, yakni pada 5 Mei 2020. Akun ini membagikan foto berisi dua lambang Presiden RI yang berbeda. Pertama, lambang dengan Garuda Pancasila yang disebut sebagai lambang kepresidenan lama. Kedua, lambang dengan bintang, padi, dan kapas yang disebut sebagai lambang kepresidenan baru.
    "Teriak-teriak dan merasa paling pancasila tapi kenapa lambang garuda perlahan digeser lambang bintang seperti komunis cina, cuma ini masih belum merah warnanya," demikian narasi yang ditulis oleh akun Rahmat M dalam unggahannya yang hingga kini telah dibagikan lebih dari 200 kali.
    Dua hari kemudian, yakni pada 7 Mei 2020, akun Akifa menyoal lambang kepresidenan yang diklaim baru itu yang dipakai pada kemasan bantuan Covid-19 dari pemerintah. Akun ini juga menyamakan logo itu dengan simbol bintang pada topi yang dipakai politikus PDIP, Rieke Dyah Pitaloka dan Ribka Tjiptaning.
    "Tolong siapa yg dpt sembako dr kepersidenan FOTO INI KANTONG NYA SEBAGAI TANDA BUKTI BUKAN HOAK, klw logo kepersidenan dah di ganti yg baru banyak yg belum tau," demikian narasi yang ditulis akun Akifa dalam unggahannya yang hingga kini telah dibagikan lebih dari 100 kali.
    Unggahan akun tersebut juga dikomentari sebanyak 46 kali oleh warganet. Beberapa di antaranya menyebut simbol bintang itu sebagai logo Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka juga menghubungkan narasi ini dengan Ribka yang pernah menulis buku berjudul "Aku Bangga Jadi Anak PKI".
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rahmat M (kiri) dan Akifa (kanan).
    Apa benar lambang Presiden RI diganti dari Garuda Pancasila menjadi bintang seperti logo Partai Komunis Cina di era pemerintahan Presiden Jokowi?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memeriksa aturan terkait penggunaan lambang Presiden RI. Ketentuan mengenai itu salah satunya termuat dalam Peraturan Menteri Sekretaris Negara (Permensesneg) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Surat Kepresidenan RI.
    Dalam Permensesneg itu dijelaskan perbedaan lambang Kepresidenan RI dengan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lambang kepresidenan adalah simbol jabatan presiden dan wakil presiden, bentuknya berupa bintang yang dilingkari padi dan kapas. Sementara lambang NKRI, yang juga disebut lambang negara, adalah Garuda Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika.
    Baik lambang kepresidenan maupun lambang NKRI, menurut Permensesneg tersebut, dapat digunakan bersama-sama dalam surat jabatan presiden (sebagai kop dan cap), seperti contoh di bawah:

    Dikutip dari laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Permensesneg Nomor 10 Tahun 2010 itu juga mengadopsi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 1958 tentang Panji dan Bendera Jabatan. Dalam PP tersebut, tercantum ketentuan bahwa lambang kepresidenan berupa bintang, padi, dan kapas.
    Pada 2019, Permensesneg Nomor 10 Tahun 2010 itu dicabut dan diperbarui dengan Permensesneg Nomor 4 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Surat Kepresidenan RI. Permensesneg terbaru itu pun mengatur lambang kepresidenan yang terdiri dari bintang, padi, dan kapas serta digunakan sebagai kop dan cap dalam surat jabatan presiden dan wakil presiden.

    Tempo pun menelusuri lambang kepresidenan dalam sejumlah lembaran negara. Hasilnya, sebelum terbitnya Permensesneg Nomor 10 Tahun 2010 yang mengadopsi PP Nomor 42 Tahun 1958, lambang kepresidenan memang berupa bintang yang dilingkari padi.
    Misalnya, dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1983 tentang Sensus Pertanian 1983. Dokumen ini pernah diunggah di Scribd oleh akun Mas’ud Rifai pada 17 Maret 2013. Ada pula Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1998 tentang Modal Asing Sawit. Dokumen ini juga diunggah di Scribd oleh akun Syahriza Riza pada 2 Juni 2017.
    Gambar tangkapan layar Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1998 (kiri) dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1983 (kanan).
    Makna simbol bintang, padi, dan kapas
    Pemakaian simbol bintang, padi, dan kapas di Indonesia juga bukanlah hal yang baru karena telah dipakai sebagai simbol Pancasila. Lima simbol Pancasila itu menjadi bagian dalam lambang negara. Simbol bintang dipakai untuk butir pertama Pancasila yang artinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius.
    Sementara itu, simbol padi dan kapas digunakan dalam butir kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Simbol ini mencerminkan sandang dan pangan. Artinya, tidak ada kesenjangan antara satu warga dengan warga yang lain.
    Topi Mao Zedong
    Bintang berwarna merah dengan lima ujung memang menjadi simbol utama Uni Soviet tak lama setelah kelompok komunis mengambil alih kekuasaan di sana. Merah merefleksikan warna revolusi dan lima ujung bintang menyimbolkan persatuan kaum proletar dari lima benua.
    Simbol bintang merah itu kemudian dipakai dalam atribut Tentara Merah Cina. Pemakaian topi dengan simbol bintang merah oleh Mao Zedong yang dikenal sebagai bapak pendiri Cina baru menjadi ikon setelah dipotret oleh jurnalis Amerika Edgar Snow pada 1936. Mao Zedong menjadi pemimpin akhir Tentara Merah Cina yang menampilkan simbol bintang merah di topi.
    Topi bintang merah itu kemudian berkembang sebagai suvenir yang lebih dikenal sebagai topi Mao Zedong. Penjualan topi Mao Zedong ini tidak terkait dengan ideologi tertentu dan banyak dijumpai di berbagai toko online, mulai dari Amazon hingga Shopee. Selain Ribka Tjiptaning dan Rieke Dyah Pitaloka, mantan menteri BUMN Dahlan Iskan juga pernah menggunakannya.
    Tentu saja, penggunaan topi bintang merah oleh ketiganya tidak berkaitan dengan PKI. Sebab, PKI telah berakhir setelah munculnya Gerakan 30 September 1965, disusul pembantaian besar-besaran pada anggota dan simpatisannya sepanjang 1966-1967. Bahkan, pembubaran PKI juga dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Sejak saat itu, tidak ada lagi aktivitas PKI di Indonesia.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, klaim bahwa lambang Presiden RI diganti dari Garuda Pancasila menjadi bintang seperti logo Partai Komunis Cina di era pemerintahan Presiden Jokowi keliru. Lambang kepresidenan berupa bintang yang dilingkari padi dan kapas sudah dikenal lewat terbitnya PP Nomor 42 Tahun 1958. Penggunaannya sebagai kop dan cap surat jabatan presiden dan wakil presiden juga sudah diatur melalui Permensesneg Nomor 10 Tahun 2010. Simbol bintang dalam lambang kepresidenan pun tidak ada kaitannya dengan simbol bintang merah yang digunakan di Cina. Di Indonesia, simbol bintang telah dipakai untuk melambangkan butir pertama Pancasila.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8084) [Fakta atau Hoaks] Benarkah 500 TKA Cina Bakal Kerjakan Proyek PLTU Morowali Seperti dalam Video Ini?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 13/05/2020

    Berita


    Narasi bahwa 500 tenaga kerja asing (TKA) asal Cina bakal mengerjakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Morowali, Sulawesi Tengah, beredar di media sosial. Narasi ini dilengkapi dengan video berdurasi 3 menit 16 detik itu yang memperlihatkan pembangunan sebuah proyek di sekitar tebing-tebing curam.
    Sebelumnya, pemerintah memang telah menyetujui rencana dua perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara untuk mendatangkan 500 TKA Cina. Sedianya, ratusan TKA Cina itu tiba pada 22 April 2020. Namun, gubernur, DPRD, hingga warga Sulawesi Tenggara menolak karena khawatir akan penyebaran virus Corona Covid-19. Kedatangan para TKA Cina itu pun ditunda.
    Di Facebook, narasi bahwa 500 TKA Cina itu bakal mengerjakan proyek PLTU di Morowali dibagikan oleh akun Mia Maryana, yakni pada 11 Mei 2020. Akun ini menulis, "500 TKA dari China untuk sebagian pekerjaan proyek di PLTU Morowali seperti ini, sudah ditawarkan ke tenaga kerja lokal, mereka tidak ada yg mau."
    Adapun dalam video yang dibagikannya, terlihat pembangunan sebuah jembatan di antara dua tebing. Terlihat pula pekerja yang baru saja keluar dari kolam lumpur dan pekerja yang ditarik keluar dari sebuah pipa. Beberapa pekerja juga terlihat melakukan pekerjaannya di atas sebuah menara serta meniti kabel di ketinggian.
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dikomentari lebih dari 200 kali, dan dibagikan lebih dari 1.800 kali. Adapun videonya telah ditonton lebih dari 51 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mia Maryana.
    Apa benar 500 TKA Cina tersebut bakal mengerjakan proyek PLTU di Morowali seperti dalam video di atas?

    Hasil Cek Fakta


    Terkait kedatangan 500 TKA Cina
    Berdasarkan arsip berita Tempo pada 10 Mei 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan bahwa 500 TKA Cina itu akan dipekerjakan di kawasan industri di Konawe, Sulawesi Tenggara. Adapun perusahaan yang menaungi para pekerja itu adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS).
    Menurut Luhut, kedua perusahaan itu tengah membangun pabrik HPAL (high pressure acid leaching) untuk membangun industri baterailithium, di mana nikel merupakan bahan baku produk tersebut. Dikutip dari Kompas.com, kedua perusahaan itu merupakan perusahaan pengolahan nikel yang berada di Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.
    Menurut Luhut, para TKA Cina itu merupakan pekerja yang memiliki kemampuan dalam bidang tersebut, yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Dia mengatakan, saat ini, Indonesia belum memiliki teknologi guna membangun industri itu. "Nanti tenaga asing yang mengerjakan dan setelah itu bersamaan tenaga kerja Indonesia masuk, teknologi kan dari dia, kami enggak bisadongngerjain semua, tetap ada asing," ujarnya.
    Setelah proyek ini selesai, kata Luhut, para TKA Cina itu akan dikurangi dan diganti dengan pekerja lokal hingga sekitar 92 persen dari total pekerja yang dibutuhkan. Dia mengatakan politeknik yang sudah dibangun bisa meningkatkan kemampuan dari anak-anak bangsa dan bisa memenuhi kebutuhan pekerja industri tersebut. "Untuk bikin lapangan kerja perlu orang dulu bikin induknya, setelah itu kita yang kerjakan semua," tuturnya.
    Dikutip dari Detik.com, External Affairs Manager PT VDNI, Indrayanto, mengatakan bahwa 500 TKA Cina itu didatangkan karena memiliki keahlian khusus. "500 TKA itu adalah karyawan kontraktor yang mempunyai skill untuk memasang alat produksi kami," katanya pada 9 Mei 2020.
    Menurut Indrayanto, 500 TKA Cina itu hanya akan bekerja paling lama enam bulan. "Setelah mereka melakukan pemasangan, mereka akan kembali lagi ke Tiongkok, mungkin sekitar tiga bulan, paling lama enam bulan, karena alat konstruksi mesin yang kita mau pasang itu sekitar 33 tungku," tuturnya.
    PT VDNI berharap pemerintah mempertimbangkan rencana kedatangan 500 TKA Cina itu karena berhubungan pula dengan nasih sekitar 3 ribu karyawan lokal. "Kami berharap TKA ini bisa diberikan masuk karena, jika tidak, karyawan yang sudah kami rekrut, sekitar 3 ribu karyawan untuk 33 tungku itu, pasti akan terus bertanya kapan mereka bekerja," ujar Indrayanto.
    Saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan telah memutuskan untuk menunda rencana kedatangan 500 TKA Cina itu dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona Covid-19. Menurut Luhut, 500 TKA Cina itu akan menuju kawasan industri di Konawe sekitar Juni atau Juli 2020. Saat ini, PT VDNI dan PT OSS sedang menyelesaikan proses perizinannya.
    Dilansir dari Kompas.com, PT VDNI merupakan perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) yang berdiri sejak Agustus 2014. Induk perusahaan ini adalah De Long Nickel Co. Ltd. di Jiangsu, Cina, dan memiliki wilayah operasi di Konawe, Sulawesi Tenggara. Pada 2015, PT VDNI menginvestasikan US$ 5 miliar untuk membangun pabrik feronikel di kawasan industri di Konawe.
    Adapun PT OSS, dilansir dari Tirto.id, berdiri pada Juni 2016 dengan area tambang seluas 398 hektare. Induk perusahaan ini adalah Hong Kong Xiangyu Hansheng Co. Ltd. dan Singapore Xiangyu Hansheng Pte. Ltd. PT OSS memproduksi pemurnian nikel dan baja nirkarat dengan kapasitas tahunan mencapai 3 juta ton.
    Terkait video
    Untuk mencari sumbernya, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut dengan tool InVID. Hasilnya, ditemukan video serupa yang pernah diunggah oleh akun Facebook milik kantor berita Cina, China Xinhua News, pada 19 Mei 2019 dengan judul "Hardworking Chinese: Watch how bridge is built between cliffs" atau "Orang Cina pekerja keras: Perhatikan bagaimana jembatan dibangun di antara tebing".
    Video pembangunan jembatan ini juga pernah diunggah ke YouTube oleh kanal milik saluran televisi Cina, CGTN, pada 14 Mei 2019 dengan judul "Chinese workers build bridge 150 meters above a canyon" atau "Pekerja Cina membangun jembatan 150 meter di atas ngarai".
    Dalam keterangannya, dijelaskan bahwa para pekerja dalam video itu sedang membangun jembatan di atas ngarai setinggi 150 meter di barat daya Cina. Video ini viral di Douyin, TikTok versi Cina, dan telah mendapatkan lebih dari 3 juta likes. Jembatan tersebut akan menghubungkan provinsi Yunnan dan Sichuan sehingga meningkatkan sistem transportasi lokal.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi bahwa 500 TKA Cina bakal mengerjakan proyek PLTU di Morowali seperti dalam video di atas menyesatkan. Ratusan TKA Cina tersebut akan dipekerjakan di kawasan industri pengolahan nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara, bukan di PLTU Morowali, Sulawesi Tengah. Video yang melengkapi narasi itu pun bukan video yang diambil di Indonesia, melainkan di Cina. Video tersebut memperlihatkan pembangunan sebuah jembatan yang menghubungkan provinsi Yunnan dan Sichuan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8083) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Refly Harun Sebut Kemenangan Jokowi Hasil Kejahatan Antek Cina?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 12/05/2020

    Berita


    Akun Facebook Alfi Laili Cholidah membagikan tautan artikel dari situs Law-justice.co berjudul "Refly Harun Ungkap Cara Curang Jokowi Menangkan Pilpres 2019" pada 7 Mei 2020. Akun ini kemudian memberikan narasi, "Apapun caranya rakyat wajib tumbangkan Jokowi, karena dia bukan pilihan rakyat, ini rezim haram hasil kejahatan antek-antek China."
    Unggahan tersebut viral dan, hingga artikel ini dimuat, telah dikomentari lebih dari 500 kali dan dibagikan lebih dari 900 kali. Sebagian besar komentar menyatakan persetujuannya mengenai adanya kecurangan dalam Pilpres 2019. Ada pula warganet yang berkomentar sebagai berikut: "Pasti untuk kepentingan Cina. Lihat sekarang."
    Adapun artikel dari situs Law-justice.co tersebut berisi pernyataan Refly Harun, ahli hukum tata negara, dalam sebuah video di kanal YouTube pribadinya pada 27 April 2020. Dalam video itu, Refly sempat menyinggung banyaknya komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ikut berkampanye dalam Pilpres 2019.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Alfi Laili Cholidah.
    Apa benar dalam videonya itu Refly Harun menyebut bahwa kemenangan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 adalah hasil kejahatan antek Cina?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk mendapatkan konteks utuh pernyataan Refly Harun, Tim CekFakta Tempo menonton hingga selesai video yang dikutip dalam artikel di situs Pojok Satu yang menjadi sumber artikel Law-justice.co. Video yang berdurasi sekitar 26 menit ini berjudul "Badan Usaha Milik Negara Bukan Badan Usaha Milik Neneklu!!!".
    Dalam video itu, Refly sebenarnya menjawab pertanyaan warganet terkait pencopotannya sebagai komisaris utama di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pelabuhan, PT Pelindo I, dan pandangannya soal kritik yang dilontarkan oleh pejabat BUMN terhadap pemerintah.
    Seperti diketahui, Refly diangkat sebagai Komisaris Utama Pelindo I oleh eks Menteri BUMN Rini Soemarno pada 2018. Seharusnya, Refly menjabat selama lima tahun atau hingga 2023. Namun, pada 20 April 2020, Refly dicopot berdasarkan Keputusan Menteri BUMN Selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia I Nomor SK-123/MBU/04/2020.
    Warganet menduga Refly dicopot karena kerap mengkritik pemerintah meskipun menduduki kursi sebagai Komisaris Utama Pelindo I. Yang terakhir, Refly mengkritik kasus Staf Khusus Presiden Andi Taufan Garuda Putra yang mengirim surat kepada camat di seluruh Indonesia agar mendukung relawan PT Amartha Mikro Fintek, perusahaan Andi, dalam penanggulangan Covid-19. Surat itu berkop Sekretariat Kabinet.
    Dalam videonya, Refly menjawab bahwa tidak ada larangan bagi komisaris BUMN untuk mengkritik pemerintah. Sebab, dia melontarkan kritik itu dalam kapasitasnya sebagai akademisi, khususnya ahli hukum tata negara. Selain itu, BUMN adalah badan usaha milik negara, bukan badan usaha milik pemerintah. BUMN adalah instrumen untuk mewujudkan tujuan negara seperti yang tertuang dalam Sila Ke-5 Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945.
    "Jadi, ketika kita bekerja di BUMN, saya merasa bukan bekerja untuk pemerintah, tapi bekerja untuk negara. Kalau misalnya ada hal-hal yang perlu kita kritisi dari kebijakan pemerintah, kita berpikir bahwa itu juga untuk kepentingan negara. Saya kan tidak mengajarkan untuk memberontak, untuk memprovokasi aksi massa, tapi saya mengajarkan sebuah ilmu pengetahuan," katanya.
    Refly pun mencontohkan dosen di perguruan tinggi negeri atau peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tetap bisa mengkritik kebijakan publik pemerintah meskipun mereka mendapatkan gaji dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
    Keterlibatan ASN dalam pilpres
    Dalam video itu, Refly menjelaskan bahwa hal yang dilarang oleh Undang-Undang adalah keterlibatan aparatur sipil negara (ASN), termasuk pengurus BUMN, terlibat sebagai anggota tim sukses kampanye dan pengurus partai politik. Pada menit 20:59, Refly menunjukkan buku yang diterbitkannya pada awal Januari 2019 yang berjudul "Politik Keledai Pemilu: Catatan Hukum Refly Harun".
    Refly pun menjelaskan isi bukunya, "Saya termasuk yang mengkritik komisaris-komisaris BUMN yang ikut berkampanye bagi incumbent. Kenapa? Bukannya saya enggak suka pemerintah, enggak. Saya ingin menegakkan aturan, konstitusi, Undang-Undang. Karena Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 menyatakan yang namanya komisaris, dewan pengawas, direksi, dan karyawan BUMN dilarang dilibatkan kampanye. Bahkan dikatakan, mereka yang dilibatkan kampanye itu bisa diancam hukuman dua tahun penjara dan atau denda Rp 24 juta. Jadi, saya tidak mau terlibat dalam kampanye. Kritis tetap, karena saya menjalankan fungsi akademik. Jadi, saya tidak nyebong atau ngampret."
    Pernyataan Refly inilah yang kemudian dikutip oleh situs Pojok Satu, yang kemudian diamplifikasi oleh situs Law-justice.co. Dengan demikian, isi artikel itu memang benar berdasarkan pernyataan Refly. Namun, dalam video Refly maupun artikel itu, tidak terdapat informasi bahwa kemenangan Jokowi adalah hasil kejahatan antek Cina.
    Dalam videonya, Refly hanya mengatakan:
    "Sudah bukan rahasia umum lagi, banyak ASN yang terlibat dalam kampanye pilpres. Misalnya, dosen-dosen perguruan tinggi negeri yang sering terang-terangan ingin memihak, bahkan berkampanye untuk salah satu pasangan calon. Lebih banyak lagi yang terlibat adalah PPPK, yaitu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. ASN juga, tapi yang non-PNS. Sering mereka tidak sadar bahwa status mereka adalah ASN yang harus netral. Karena direkrut oleh pemerintah, sering mereka merasa harus memihak kepada pemerintah. Pemikiran itu tidak keliru. Keberpihakan mereka sebatas kepada pemerintah, bukan kepada calon presiden. Dalam realitas sehari-hari, memang sukar dibedakan antara presiden dan petahana yang menjadi calon presiden. Antara menjelaskan kebijakan presiden dan mengkampanyekan calon presiden petahana memang sukar dibedakan, walaupun sebenarnya tetap saja ada garis pembatasnya.
    Di tengah kondisi seperti itu, di mana semua pihak ingin merapat dengan kekuasaan atau yang bakal berkuasa, saya mengambil sikap untuk netral terhadap kedua pasangan calon agar dapat lebih berpikir jernih dan lebih bebas dalam mengemukakan pendapat. Secara formal, saya memang harus netral karena masih tercatat sebagai Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Persero), salah satu BUMN yang bergerak di bidang kepelabuhan. Jadi, ketika netral dalam pemilu, bagi pengurus BUMN, it’s a must! Tapi kan kita tahu, banyak sekali pengurus BUMN yang berkampanye, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Yang terang-terangan, misalnya memobilisasi alumni. Nah, karena yang berkuasa tetap sama, ya aman. Tapi coba kalau yang berkuasa berbeda orangnya, ya sudah, maka politisasi BUMN ini akan senantiasa terjadi. Saya menginginkan agar BUMN itu profesional.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Refly Harun menyebut kemenangan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 adalah hasil kejahatan antek Cina keliru. Video Refly maupun artikel di situs-situs di atas sama sekali tidak menyinggung bahwa kemenangan Jokowi adalah hasil kejahatan antek Cina. Dalam video ataupun artikel-artikel itu, Refly hanya menyinggung soal banyaknya komisaris BUMN yang ikut berkampanye selama Pilpres 2019.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekf akta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan