• (GFD-2020-8254) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Foto Sekolah di Indonesia dengan Murid Berpakaian Compang-camping?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 02/09/2020

    Berita


    Sebuah foto yang memperlihatkan sejumlah siswa tengah belajar di ruang sekolah yang beralaskan tanah dan tanpa dinding beredar di media sosial. Dalam foto itu, terlihat pula seorang murid yang mengenakan pakaian compang-camping. Foto ini diklaim sebagai foto kondisi sekolah di Indonesia.
    Foto itu diunggah oleh akun Twitter @8R1774NS pada 26 Agustus 2020. Akun ini pun menuliskan narasi: "Hari kemerdekaan telah berlalu. Ada yg merayakan dng suka cita. Begitu jg pemerintah pusat meski hany seremonial tahunan biar di anggap Indonesia msh merdeka. Selogan Indonesia maju brsama dzancuk hrus terus dipoles. Kebobrokan hrus di tutupi. Yg vokal bungkam. Pada kenyataannya?"
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @8RI774NS.
    Apa benar foto tersebut adalah foto sekolah di Indonesia?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto itu dengan reverse image tool Source, Google, Yandex, dan TinEye. Hasilnya, ditemukan bahwa foto itu telah beredar di internet sejak 2015. Foto itu pun bukanlah foto yang memperlihatkan kondisi sekolah di Indonesia, melainkan di Kamboja.
    Salah satu situs yang paling awal memuat foto itu, dan dengan kualitas yang lebih tinggi, adalah situs media Kamboja Postkhmer.com. Foto tersebut dimuat dalam dua artikel. Artikel pertama, terbit pada 26 Maret 2015, berjudul "Anak-anak kita, anak-anak mereka". Adapun artikel kedua, terbit pada 3 April 2015, berjudul "Pemerintah memberikan beasiswa kepada siswa miskin dari kelas 1 sampai 12".
    Dalam keterangan foto di kedua artikel itu, foto tersebut diambil dari Facebook. Foto itu memperlihatkan kondisi sebuah sekolah di pedesaan Kamboja. Adapun artikel pertama merupakan artikel opini tentang sistem pendidikan Kamboja dan artikel kedua berisi berita tentang pemberian beasiswa kepada siswa miskin di sekolah umum dari kelas 1 hingga kelas 12 oleh pemerintah Kamboja.
    Selain situs Postkhmer.com, situs yang paling awal memuat foto tersebut adalah situs Migrant.today, yakni pada 18 Agustus 2015. Selain foto tersebut, situs ini pun memuat foto yang memotret bocah-bocah yang sama namun dengan angle yang berbeda. Ada pula foto ketika bocah-bocah tersebut berkumpul di tengah ruangan kelas untuk berpose bersama.
    Foto-foto itu terdapat dalam artikel yang berjudul "Sekolah Kamboja: kemiskinan bukanlah alasan untuk tidak belajar". Menurut artikel ini, di Kamboja, banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kamboja adalah negara yang sangat muda dengan banyak penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis. Menurut data pada 2004, angka melek huruf penduduk adalah 73,6 persen (84,7 persen laki-laki dan 64,1 persen perempuan).
    Saat ini, di Kamboja, terdapat berbagai organisasi internasional yang membantu anak-anak agar mereka bisa belajar. Banyak keluarga di Kamboja yang memiliki pemikiran bahwa, berkat sekolah, anak-anak mereka akan dapat menghasilkan lebih banyak uang di masa depan dan tidak lagi menunggangi kerbau, tapi Lexus atau Toyota.
    Terkadang, selebriti lokal datang ke sekolah-sekolah untuk memanjakan para murid dengan makan siang. Selain itu, anak-anak sering diberi berbagai perlengkapan sekolah, karena di negara yang miskin, orang tua tidak selalu bisa memiliki uang untuk membeli pulpen, pensil, dan buku.
    Di daerah termiskin di Kamboja, anak-anak belajar dalam kondisi seperti itu (merujuk pada foto tadi). "Tapi saya dapat meyakinkan Anda bahwa situasinya semakin baik setiap tahun. Kenalan saya dari Kazakhstan, ketika datang ke Kamboja, selalu membawa berbagai perlengkapan sekolah untuk anak-anak. Saya berharap situasi pendidikan di Kamboja membaik dan anak-anak yang luar biasa ini akan menerima pendidikan yang layak. Bagaimanapun, kemiskinan tidak bisa menjadi penghalang bagi pengetahuan dan masa depan yang cerah di Kamboja," demikian isi artikel tersebut.
    Foto ini pun telah diverifikasi oleh sejumlah organisasi pemeriksa fakta, salah satunya Mafindo. Di situsnya, Turnbackhoax.id, Mafindo menyatakan bahwa narasi yang menyertai foto itu, bahwa foto tersebut memperlihatkan sebuah sekolah di Indonesia, keliru. Foto itu merupakan foto kegiatan belajar-mengajar di sebuah desa di Kamboja.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto di atas merupakan foto sekolah di Indonesia keliru. Foto tersebut bukanlah foto sekolah di Indonesia, melainkan foto kegiatan belajar-mengajar di sebuah desa di Kamboja. Foto ini beredar di internet sejak 2015 lalu.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8253) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Nama Indonesia Berasal dari Akronim Inisial Wali Songo?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/09/2020

    Berita


    Tulisan panjang yang berisi klaim bahwa nama Indonesia berasal dari akronim inisial para Wali Songo kembali ramai dibagikan di media sosial. Klaim itu diunggah salah satunya oleh akun Facebook Postmaster Gusbud pada 18 Agustus 2019. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah dikomentari lebih dari 4 ribu kali dan dibagikan lebih dari 31 ribu kali.
    Berikut sebagian isi tulisan panjang yang berisi klaim tersebut:
    Benarkah nama negara kita"I N D O N E S I A"diberi nama sesuai dgn.Akronim Para"WALI SONGO "?1. I Ibrahim Malik (Sunan Gresik)2. N Nawai Macdhum (Sunan Bonang)3. D Dorojatun R Khosim (Sunan Drajat)4. O Oesman R Djafar Sodiq (Sunan Kudus)5. N Ngampel R Rahmat (Sunan Ampel)6. E Eka Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)7. S Syaid Umar (Sunan Muria)8. I Isyhaq Ainul Yaqin (Sunan Giri)9. A Aburahman R Syahid (Sunan Kalijaga)Jumlah huruf INDONESIA = 9sesuai dgn. jumlah Wali/Alim Ulama dikala itu = WaliSongo= 9 Wali
    Apa benar nama Indonesia berasal dari akronim inisial para Wali Songo?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait tulisan di atas. Selain itu, Tempo menghubungi sejarawan asal Inggris yang fokus pada sejarah modern Indonesia, Peter Carey, serta sejarawan Indonesia, Didi Kwartanada.
    Dilansir dari Okezone.com, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Agus Sunyoto, nama Indonesia tidak ada kaitannya sama sekali dengan Wali Songo. Menurut dia, nama Indonesia sejatinya berasal dari bahasa Yunani Kuno, "Indo" dan "Nesos", yang berarti "Hindia" dan "Kepulauan".
    "Saya rasa itu hanya akal-akalan sejumlah oknum saja. Sudah jelas kok nama negara kita diambil dari bahasa Yunani Kuno. Jadi akronim-akronim itu tidak ada benarnya," tutur Agus pada 17 Agustus 2018.
    Saat dihubungi, Peter Carey menjelaskan bahwa istilah "Indonesia" ditemukan pada pertengahan abad ke-19, sekitar 1850-an, oleh pengacara Inggris yang berbasis di Pinang, James Richardson Logan (1819-1869), dan koleganya yang ahli geografi, George Windsor Earl (1813-1865).
    Mereka kemudian mempopulerkan nama tersebut dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia yang diterbitkan di Singapura pada 1847-1863. Istilah itu juga dipopulerkan di Asia sebagai istilah akademik oleh etnografer Jerman, Adolf Philipp Wilhelm Bastian (1826-1905).
    Dikutip dari artikel berjudul Earl, Logan, and "Indonesia" karya Russell Jones, kaum nasionalis Indonesia menolak nama resmi "Nederlandsch-Indie" (Hindia Belanda). "Dapat dimengerti jika mereka menolak nama 'Hindia' (Indie atau Indische). 'Indonesia' menjadi sebuah pilihan yang wajar, tidak ambigu dan tidak memiliki asosiasi kolonialis," ujar Jones.
    Pada saat yang sama, terdapat gerakan menuju adopsi kata "Indonesia" untuk menggambarkan penduduk non-Belanda di Hindia Belanda. Mereka tidak ingin disebut "Belanda". Mereka pun tidak ingin dikenal dengan nama etnis mereka, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, dan sebagainya. Kata dalam bahasa Belanda, "inlander" (pribumi), pun dihindari karena memiliki arti yang merendahkan.
    Kemudian, muncul gagasan dari Earl tentang nama "Indus-nesia". "Indus" berarti Hindia, dan "nesia" berarti nusa yang berasal dari kata "nesos", bahasa Yunani, yang berarti kepulauan. Menurut Jones, baik Earl maupun Logan menjadi yang terdepan dalam mempopulerkan penggunaan istilah "Indonesia" ketimbang "Hindia Belanda" atau "Nusantara".
    Menurut Peter, nama Indonesia pertama kali digunakan secara politik pada 1920-an. Pada 23 Mei 1920, Indische Sociaal Democratische Vereeeniging (ISDV) atau Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia mengubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Indonesia Hindia, kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia pada akhir 1920.
    Pada 1922, organisasi pelajar Indonesia di Belanda yang berdiri pada 1908, Indische Vereeniging, juga berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia. Menurut Jones, Mohammad Hatta pernah menulis pada 1929, "Dengan semangat yang tak kenal lelah, sejak 1918, kami telah menjalankan propaganda untuk 'Indonesia' sebagai nama tanah air kami."
    Peter menuturkan, sebelum populernya nama Indonesia, perairan di sekitar kepulauan dan Pulau Jawa dikenal oleh para navigator Cina, India, dan Arab sebagai "Nan-hai", atau pulau-pulau di laut selatan; Dwipantara, atau pulau luar; dan Jazair al-Jawi, atau Pulau Jawa. Sebelum abad ke-15, dikenal istilah Suvarnabhumi, atau pulau emas dalam bahasa Sansekerta, untuk menggambarkan Semenanjung Melayu dan Sumatera.
    Penjelasan serupa dilontarkan oleh Didi Kwartanda. Menurut Didi, nama Indonesia baru digagas baru pada abad ke-19. "Kemudian, founding father kita membaca buku dan jurnal yang memuat tulisan-tulisan Earl dan Bastian. Jadi, di masa Wali Songo, belum ada nama Indonesia," ujar Didi.
    Seperti diketahui, menurut berbagai sumber, Wali Songo hidup pada abad ke-15 hingga ke-16. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) wafat pada 1419. Sunan Ampel (Raden Rahmat) wafat pada 1481. Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim) wafat pada 1525. Sunan Drajat (Raden Qasim) wafat sekitar 1522.
    Kemudian, Sunan Kudus (Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan) wafat pada 1550-an. Sunan Giri (Raden Paku) wafat pada abad ke-16. Sunan Kalijaga (Raden Said) wafat pada abad ke-15. Sunan Muria (Raden Umar Said) wafat pada 1551. Adapun Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) wafat pada 1570-an.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa nama Indonesia berasal dari akronim inisial para Wali Songo keliru. Menurut para sejarawan, istilah Indonesia baru muncul pada abad ke-19. Nama yang berasal dari kata "Indus" (Hindia) dan "nesia" (kepulauan) ini merupakan gagasan pengacara Inggris James Richardson Logan dan koleganya yang ahli geografi, George Windsor Earl. Istilah Indonesia dipopulerkan di Asia sebagai istilah akademik oleh etnografer Jerman, Adolf Philipp Wilhelm Bastian (1826-1905). Nama Indonesia pertama kali digunakan secara politik pada 1920-an. Adapun para Wali Songo hidup pada abad ke-15 hingga ke-16, di mana nama Indonesia belum dikenal.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI | IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8252) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tak Ada Lagi Warga yang Minta Salaman dan Selfie ke Jokowi Karena Muak dan Jijik?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 01/09/2020

    Berita


    Klaim bahwa tidak ada lagi warga yang meminta bersalaman dan selfie dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat berkunjung ke Yogyakarta beredar di Facebook. Menurut klaim itu, hal ini terjadi karena rakyat muak dan jijik dengan Jokowi.
    Klaim itu terdapat dalam gambar tangkapan layar sebuah artikel di situs Tempo.co yang berjudul "Presiden Joko Widodo ke Yogyakarta, Tak Ada Lagi yang Minta Salaman dan Selfie". Dalam gambar tangkapan layar itu, diketahui bahwa artikel tersebut dimuat pada 28 Agustus 2020.
    Akun yang membagikan gambar tangkapan layar itu adalah akun Hasyim Alfatih, yakni pada 30 Agustus 2020. Akun ini pun memberikan narasi, "Ketika Rakyat muak dan jiji dengan Pencitraan Raja kodok yang sok merakyat.."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Hasyim Alfatih.
    Apa benar tidak ada lagi warga yang meminta bersalaman dan selfie dengan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Yogyakarta karena muak dan jijik?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim itu, Tim CekFakta Tempo mula-mula mencari artikel di Tempo.co yang berjudul "Presiden Joko Widodo ke Yogyakarta, Tak Ada Lagi yang Minta Salaman dan Selfie". Hasilnya, ditemukan bahwa Tempo.co memang pernah memuat artikel dengan judul tersebut pada 28 Agustus 2020.
    Menurut artikel itu, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Yogyakarta pada 28 Agustus 2020. Di sana, Jokowi memenuhi sejumlah agenda, di antaranya meresmikan Bandara Yogyakarta International Airport atau YIA serta acara di Istana Gedung Agung Yogyakarta.
    Jokowi meresmikan Bandara YIA di Kulon Progo, Yogyakarta, pada pukul 09.15 WIB. Setelah itu, rombongan bertolak ke Gedung Agung. Di sana, Presiden Jokowi menyerahkan Bantuan Presiden atau Banpres Produktif Usaha Mikro ke perwakilan masyarakat.
    Suasana kunjungan Jokowi di Gedung Agung yang berada di kawasan wisata Malioboro ini terasa berbeda dibanding sebelumnya, terutama sebelum pandemi Covid-19. Jika masyarakat selalu menyemut di seputaran Gedung Agung untuk menyambut, sekadar melihat, atau berusaha mendekat untuk bersalaman hingga selfie bersama Presiden Jokowi, kali ini suasana kawasan itu benar-benar lengang.
    Kunjungan Jokowi ini tak sampai membuat jalan di depan Gedung Agung ditutup. Penjagaan juga tak terlalu ketat. Namun, hampir tidak ada orang yang mendekati Gedung Agung. Belum ada informasi apakah di sela kunjungan kali ini Presiden Jokowi akan berjalan-jalan di seputaran Malioboro seperti sebelumnya.
    Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo kali ini, lalu lintas di Malioboro cukup lengang. Padahal, sepanjang Agustus 2020 ini, wisatawan sudah mulai memadati kawasan Malioboro pada siang maupun malam. Para pedagang di Pasar Beringharjo tetap beraktivitas seperti biasa.
    Obyek wisata, seperti Benteng Vredeburg di seberang Gedung Agung, pun dikunjungi wisatawan, meski jumlahnya masih sedikit. "Museum tetap buka seperti biasa, hanya libur pada Sabtu, Minggu, dan Senin," ujar Anggoro, seorang penjaga Benteng Vredeburg.
    Saat Presiden Jokowi berkunjung hari ini, para jurnalis yang bertugas meliput kegiatan tersebut sempat tak diizinkan masuk Gedung Agung meski sudah mengikuti sejumlah persyaratan protokoler seperti menjalani rapid test Covid-19 dan ketentuan administratif lainnya.
    Pada akhirnya, pihak protokoler kepresidenan membolehkan para jurnalis yang sudah terdaftar masuk ke Gedung Agung dengan catatan hanya sampai ke ruang pers dengan fasilitas layar televisi yang menyiarkan kegiatan Presiden Jokowi secara langsung.
    Dalam artikel ini, sama sekali tidak ditemukan informasi bahwa tidak ada lagi warga yang meminta bersalaman dan selfie dengan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Yogyakarta karena muak dan jijik. Tidak adanya warga yang meminta bersalaman dan selfie dengan Jokowi di depan Gedung Agung lebih kepada suasana pandemi Covid-19.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tidak ada lagi warga yang meminta bersalaman dan selfie dengan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Yogyakarta karena muak dan jijik, menyesatkan. Suasana kunjungan Jokowi di Istana Gedung Agung Yogyakarta yang berada di kawasan wisata Malioboro pada 28 Agustus 2020 lalu memang terasa berbeda dibanding sebelumnya karena pandemi Covid-19.
    ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8251) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Mike Pence Minta Muslim yang Tuntut Hukum Syariah Tinggalkan Amerika?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 31/08/2020

    Berita


    Sebuah tulisan panjang yang berisi klaim bahwa Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence meminta umat Islam yang menuntut hukum syariah meninggalkan Amerika kembali ramai dibagikan di media sosial. Menurut tulisan yang telah beredar sejak 2019 itu, Pence juga menyebut semua muslim di Amerika harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi negaranya.
    Berikut ini sebagian isi dari tulisan sepanjang 11 paragraf tersebut:
    "Pernyataan Wapres Amerika ini benar dan sebagai contoh buat Indonesia jangan pernah paksa kan budaya Arab dan mendirikan kan negara Islam karena kita negara Pancasila dengan beberapa suku dan agama kalau mau dipaksakan silahkan minggat dari Indonesia.
    Pidato Wapres Amerika Mike Pence, semua orang muslim yang bercita-cita menuntut hukum syariah untuk meninggalkan Amerika pada hari Rabu ini!! Amerika tidak butuh muslim fanatik, jika mereka datang ke Amerika mereka harus menghormati budaya kami dan beradaptasi dengan kami, bukan kami beradaptasi dengan mereka!!
    Dia mengatakan:.."Orang muslim yang menuntut hukum Syariah diminta untuk meninggalkan Amerika pada hari Rabu, karena Amerika melihat muslim fanatik sebagai teroris. Di setiap masjid akan dicari (orang-orang fanatik ini) dan muslim akan bekerja sama dengan kami dalam proses ini."
    Tulisan itu diunggah salah satunya oleh grup Facebook Kesaksian Misi pada 21 Mei 2019. Hingga artikel ini dimuat, tulisan sepanjang 11 paragraf ini telah dikomentari lebih dari 6.900 kali dan dibagikan lebih 8.200 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan grup Facebook Kesaksian Misi.
    Apa benar Mike Pence meminta muslim yang menuntut hukum syariah meninggalkan Amerika?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, pidato yang diklaim berasal dari Wapres Amerika Serikat Mike Pence, seperti yang dibagikan oleh grup Facebook Kesaksian Misi, itu palsu alias hoaks. Pence tidak pernah melontarkan pernyataan tersebut dalam pidatonya. Hoaks soal pidato Pence ini pernah beredar di media sosial Indonesia pada 2017.
    Tempo mendapatkan dokumentasi penyebaran pidato palsu itu dari situs Detik.com. Pada 25 Januari 2017, Detik menurunkan artikel berjudul “Pidato Wapres AS Hoax, Jangan Disebarkan!". Artikel tersebut memuat pernyataan analis keamanan siber Alfons Tanujaya bahwa pidato tersebut adalah terjemahan dari hoaks berbahasa Inggris. Sebelumnya, hoaks tersebut menyerang mantan Perdana Menteri Australia Julia Gillard dengan beberapa teks yang telah dimodifikasi.
    Organisasi pemeriksa fakta Amerika, Snopes, mencatat hoaks pidato Gillard tersebut telah beredar sejak 2011. Tiga paragraf pertama pidato palsu yang beredar dalam bahasa Inggris berbunyi:
    "Prime Minister Julia Gillard – Australia
    Muslims who want to live under Islamic Sharia law were told on Wednesday to get out of Australia, as the government targeted radicals in a bid to head off potential terror attacks.
    Separately, Gillard angered some Australian Muslims on Wednesday by saying she supported spy agencies monitoring the nation’s mosques."
    Faktanya, menurut Snopes, Gillard tidak pernah membuat pernyataan sebagaimana yang termuat dalam pidato tersebut. Beberapa paragraf pertama yang mengklaim "muslim yang ingin hidup di bawah hukum Syariah Islam diminta untuk keluar dari Australia" sebenarnya merujuk pada isi debat politik terkait masalah terorisme domestik di Australia setelah pengeboman London Tube, Inggris, pada Juli 2005. Perdebatan itu terjadi ketika yang menjabat sebagai PM Australia adalah John Howard, bukan Julia Gillard.
    Pada 2020, informasi palsu yang mencatut nama Gillard tersebut kembali beredar, seperti yang didokumentasikan oleh Reuters dalam artikel cek faktanya yang berjudul "Fact check: Anti-immigration remarks wrongly attributed to former Australian PM Julia Gillard".
    Setelah Gillard, hoaks serupa juga menimpa Wapres Amerika Mike Pence sejak 2017. Hoaks itu menyebar setelah warganet Amerika membagikan ulang cuitan Pence di Twittwe pada 8 Desember 2015 saat ia masih menjabat sebagai Gubernur Indiana. Cuitan tersebut berisi ketidaksetujuan Pence atas pelarangan warga Muslim ke Amerika.
    "Calls to ban Muslims from entering the U.S. are offensive and unconstitutional. — Governor Mike Pence (@GovPenceIN) December 8, 2015"
    Dilansir dari Snopes, cuitan Pence ini beredar setelah Presiden Amerika Donald Trump menandatangani perintah eksekutif berjudul "Perlindungan Bangsa dari Masuknya Teroris Asing ke Amerika Serikat". Perintah tersebut melarang semua orang dari negara-negara tertentu yang rawan teror memasuki Amerika selama 90 hari dan menangguhkan Program Penerimaan Pengungsi Amerika selama 120 hari sampai program tersebut dipulihkan.
    Negara-negara yang terkena dampak dari kebijakan itu adalah Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Yaman dan Somalia, menurut seorang pejabat Gedung Putih. Saat Trump menandatangani perintah tersebut, Pence berdiri di belakangnya dan bertepuk tangan.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Wapres Amerika Mike Pence meminta muslim yang menuntut hukum syariah meninggalkan Amerika, keliru. Hoaks ini adalah modifikasi dari hoaks serupa yang pernah menimpa mantan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard, pada 2011. Baik Pence dan Gillard tidak pernah melontarkan pernyataan seperti narasi yang beredar tersebut.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan