• (GFD-2020-8301) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Aa Gym Sebut Perjuangan Rakyat Tahan Diri di Rumah Dikhianati Rezim?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/09/2020

    Berita


    Sebuah tulisan panjang yang berjudul “Perjuangan Kita Nahan Diri Di Rumah pun Dikhianati oleh Rezim” beredar di Facebook. Tulisan ini diklaim ditulis oleh pendakwah Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym. Tulisan itu menyebar pasca peristiwa penusukan Syekh Ali Jaber. Menurut polisi, orang tua mengatakan bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa.
    Dalam tulisan itu, disebut bahwa pernyataan dan kebijakan pemerintah selama 10 tahun terakhir selalu menyayat hati umat Islam. Menurut tulisan itu, agama Islam, Al-quran, hingga nabi dihina, tapi pelaku tidak juga dihukum. "Malah sering kali membuat pernyataan palsu, bahwa si penghina tersebut orang yang tidak waras."
    Tulisan itu juga menyinggung soal penutupan masjid di tengah pandemi Covid-19. "Ibadah berjamaah selama bulan Ramadan hampir tidak pernah terisi di masjid-masjid. Setelah Ramadan sudah mau usai, mereka malah mengadakan konser besar-besaran. Ke mana hati dan perasaan mereka?" demikian narasi dalam tulisan itu.
    Di Facebook, tulisan ini dibagikan salah satunya oleh akun Haris Sigutang, yakni pada 25 September 2020. Sebelum tulisan itu, akun tersebut membubuhkan narasi, "Tak menduga Aa Gym yang lembut pun akhirnya berteriak!"
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Haris Sigutang.
    Apa benar tulisan panjang yang berjudul "Perjuangan Kita Nahan Diri di Rumah pun Dikhianati oleh Rezim" tersebut ditulis oleh Aa Gym?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, tulisan berjudul "Perjuangan Kita Nahan Diri di Rumah pun Dikhianati oleh Rezim" yang diklaim sebagai tulisan Abdullah Gymnastiar  alias Aa Gym tersebut telah beredar sejak Mei 2020. Namun, Aa Gym telah memastikan bahwa tulisan itu bukanlah tulisannya.
    Klarifikasi itu disampaikan Aa Gym melalui akun Instagram  miliknya, @aagym, pada 25 Mei 2020. Dalam unggahannya, AA Gym membagikan gambar tangkapan layar pesan WhatsApp yang berisi tulisan panjang tersebut yang telah diberi stempel "Hoax" berwarna merah.
    Aa Gym pun menuliskan keterangan, “KLARIFIKASI - PESAN WHATSAPP KH. ABDULLAH GYMNASTIAR YANG TERSEBAR. Sahabat sekalian, pesan yang tersebar di atas ini bukan tulisan atau materi tausiah yang disampaikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram AA Gym.
    Ketika tulisan ini kembali beredar pada September 2020, Aa Gym kembali memberikan klarifikasi di akun Instagram dan Twitter  miliknya dengan isi yang sama, yakni bahwa tulisan tersebut bukanlah tulisannya atau materi tausiah yang pernah ia sampaikan.
    Pernyataan tentang pengkhianatan terhadap perjuangan bersama melawan virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, memang pernah diutarakan Aa Gym pada 20 Mei 2020. Namun, Aa Gym tidak menyebut pengkhianatan itu dilakukan oleh rezim seperti yang tertulis dalam tulisan yang beredar.
    Dilansir dari Detik.com, Aa Gym, prihatin dengan masyarakat yang masih memenuhi bandara maupun pusat perbelanjaan menjelang Idul Fitri di tengah pandemi Covid-19. Aa Gym menyebut mereka seolah mengkhianati perjuangan bersama melawan virus Corona.
    "Bagi kita yang sudah hampir tiga bulan berada di rumah, melihat kerumunan di airport (bandara), di pasar-pasar, dan di jalan-jalan, seakan-akan perjuangan dan pengorbanan kita terkhianati oleh mereka," kata Aa Gym.
    Terutama, kata Aa Gym, bagi para dokter dan perawat yang mempertaruhkan nyawa, aparat yang siang-malam menjaga, lembaga pendidikan yang tutup, dan masjid maupun tempat ibadah yang menjadi sepi. Ia pun berpesan agar masyarakat lainnya tidak menirunya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tulisan panjang yang berjudul "Perjuangan Kita Nahan Diri di Rumah pun Dikhianati oleh Rezim" ditulis oleh Aa Gym, keliru. Aa Gym telah menyatakan bahwa tulisan itu bukanlah tulisannya atau materi tausiah yang pernah ia sampaikan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8300) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tak Diputarnya Film G30S/PKI Tunjukkan Indonesia Negara Komunis?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/09/2020

    Berita


    Klaim yang menyebut Indonesia sebagai negara komunis karena tidak berani memutar film G30S/PKI beredar di Instagram. Klaim itu terdapat dalam sebuah gambar berisi teks yang diunggah oleh akun Instagram @alif_lam_mim_212 pada 21 September 2020.
    Berikut narasi dalam gambar tersebut: “Untuk mengetahui bahwa Indonesia itu negara komunis atau negara NKRI itu sangatlah mudah! Caranya cukup putar film G30S/PKI secara nasional. Kalau pemerintah enggak berani, berarti ini sudah negara komunis. Simpel kan caranya.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @alif_lam_mim_212.
    Unggahan yang berisi narasi mengenai PKI atau komunisme memang kerap beredar di media sosial pada bulan September. Hal ini berkaitan dengan peristiwa penculikan tujuh jenderal pada 30 September 1965 yang diklaim dilakukan oleh PKI.
    Namun, apa benar tidak diputarnya film G30S/PKI menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara komunis?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, penghentian film G30S/PKI tidak menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara komunis. Film yang wajib diputar selama pemerintahan Orde Baru ini dihentikan karena dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi dan menjadi film propaganda Orde Baru, meski pada 2019 diputar kembali di beberapa stasiun televisi swasta.
    Awalnya, pemutaran film G30S/PKI telah berakhir pada 30 September 1998, ketika rezim Orde Baru berganti menjadi era reformasi. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan berhentinya penyiaran film tersebut atas permintaan Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI).
    Tokoh dari TNI AU saat itu, Marsekal Saleh Basarah, menelepon Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. "Pak Saleh minta supaya film itu tidak diputar lagi," kata Asvi. Alasannya, lanjut Asvi, sejumlah anggota TNI AU menilai film ini mendiskreditkan pangkalan AURI di Bandara Halim Perdanakusuma. "Halim PK dianggap sebagai sarang PKI," katanya.
    Juwono Sudarsono membenarkan adanya hubungan per telepon dengan Saleh Basarah. “Beliau menghubungi saya sekitar Juni-Juli 1998,” katanya. Permintaan tersebut, lanjut dia, disampaikan secara lisan saja.
    Sementara itu, Yunus Yosfiah mengatakan pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi. "Karena itu, pada 30 September mendatang, TVRI dan televisi swasta tidak akan menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI lagi," ujar Yunus seperti dikutip dari Kompas edisi 24 September 1998.
    Pada 2019, sejumlah televisi swasta menayangkan kembali film tersebut. Penayangan ini merupakan instruksi dari Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo. Dia memerintahkan seluruh jajaran TNI, dari tingkat babinsa, koramil, sampai kodim, untuk menonton film itu sekaligus mensosialisasikannya kepada masyarakat luas.
    “Perintah saya, mau apa memangnya?” kata Gatot. Ia menambahkan bahwa dirinya tidak peduli dengan polemik yang muncul terkait pemutaran film G30S/PKI. “Biarin saja (ada polemik),” katanya seperti dikutip dari Tirto.
    Film propaganda
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984. Almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film tersebut setiap tanggal 30 September.
    Pemutaran film G30S/PKI bukan ukuran untuk menjadikan Indonesia negara komunis atau NKRI. Sejarawan Hilmar Farid pada 2012 menyatakan bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. “Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN (Pusat Produksi Film Nasional) dengan restu Soeharto,” ujarnya. Sehingga, isi film pun mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September 1965. “Dan sejumlah fantasinya.”
    Hilmar menguraikan film tersebut berhasil melanggengkan kebencian terhadap PKI. “Sebab, film yang diputar tiap tahun itu menyebarkan cerita bohong tentang kejahatan di Lubang Buaya,” ujarnya. Dengan target generasi muda, menurut dia, Orde Baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. “Yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto,” katanya.
    Sebagai film propaganda, isi film tersebut tidak selalu mencerminkan kenyataan. Dikutip dari Historia, dalam adegan di mana para perwira tinggi TNI Angkatan Darat diculik ke Lubang Buaya, digambarkan mengalami penyiksaan hebat. Tubuh mereka disayat-sayat dan diperlakukan secara biadab, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta.
    Kenyataanya, tidak seperti itu. Dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkap dalam laporan berjudul "How did the General Dies?" di Jurnal Indonesia pada April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah dipenuhi dengan luka tembak.
    Dari hasil visum yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari dokter Lim Joe Thay, dokter Brigadir Jenderal Rubiono Kertopati, dokter Kolonel Frans Pattiasina, dokter Sutomo Tjokronegoro, dan dokter Liau Yan Siang itu, dijelaskan bahwa tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin, atau pencungkilan mata. Semua organ tubuh para perwira tinggi TNI AD itu utuh.
    Salah satu adegan lain yang paling banyak diingat khalayak dari film itu adalah adanya "pesta besar" di Lubang Buaya, lengkap dengan tarian-tarian erotis para aktivis Gerwani. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa berjudul "Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia", meski punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI, Gerwani tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut.
    Pun begitu dengan kesaksian Serma Bungkus, eks anggota Resimen Tjakrabirawa yang menculik para jenderal. Dalam buku "Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah", Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya ketika itu.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "tidak diputarnya film G30S/PKI secara nasional menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara komunis" keliru. Pada 1998, film ini berhenti diputar karena dianggap tidak sesuai dengan semangat reformasi. Sejumlah penelitian dan kesaksian yang telah dipublikasikan pun menyatakan sejumlah adegan dalam film itu tidak sesuai fakta. Pada 2017, Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menonton film ini kembali.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8299) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Nelayan Kodingareng Dimanfaatkan Walhi untuk Tolak Tambang Pasir di Sulsel?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 25/09/2020

    Berita


    Video yang berjudul “Derita Nelayan Kodingareng Korban Dibodohi Walhi Sulsel” beredar di media sosial. Video ini berisi narasi bahwa Wahana Lingkungan Hidup atau  Walhi  Sulawesi Selatan telah memanfaatkan nelayan untuk menolak penambangan pasir di Pulau Kodingareng. Video ini menyebar di tengah konflik penambangan pasir di sekitar Pulau Kodingareng.
    Sebagai informasi, kegiatan penambangan pasir untuk mereklamasi kawasan Makassar New Port itu berlangsung di Blok Spermonde, sisi barat perairan Sulsel, sejak Februari 2020. Kapal berkapasitas 24 ribu meter kubik tiga kali per hari mengangkut pasir. Akibatnya, air laut makin keruh. Deru mesin penyedot pasir juga mengusir ikan ke tengah laut.
    Dalam video berdurasi 1 menit 30 detik yang beredar di media sosial itu, terdapat sejumlah kolase foto serta narasi yang berisi klaim bahwa Walhi telah memutarbalikkan fakta. Video itu juga menyebut Walhi telah memanfaatkan ibu-ibu dan anak-anak serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar untuk ambisi busuknya.
    Di Facebook, video tersebut dibagikan oleh akun Komunitas Tanpa Pamrih pada 21 September 2020. Akun ini menulis narasi, “Walhi!!! Berhentilah memanfaatkan Nelayan, biarkan nelayan tenang mencari rezekinya.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah direspons lebih dari 100 kali, dikomentari 29 kali, dan dibagikan 31 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Komunitas Tanpa Pamrih.
    Apa benar nelayan Kodingareng dan AJI Makassar telah dimanfaatkan oleh Walhi Sulsel untuk menolak penambangan pasir?

    Hasil Cek Fakta


    Pernyataan AJI Makassar dan Nelayan Kodingareng
    Dalam siaran pers bersamanya pada 24 September 2020, AJI Makassar dan Walhi Sulawesi Selatan mengecam penyebaran video yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Komunitas Tanpa Pamrih tersebut. Ketua AJI Makassar Nurdin Amir menegaskan klaim dalam video tersebut palsu.
    “Walhi tidak pernah memanfaatkan AJI Makassar dalam kasus tersebut. Sebaliknya, AJI Makassar mendukung upaya advokasi oleh Walhi terhadap nelayan Kodingareng,” kata Nurdin. Nurdin juga memastikan AJI Makassar tidak pernah membuat poster yang muncul pada detik ke-22 hingga ke-27 dalam video itu.
    Poster ini berisi tulisan "AJI Makassar mengecam Walhi Sulsel yang memanfaatkan AJI untuk ambisi busuknya". Menurut Nurdin, klaim dalam video itu berupaya merusak nama baik Walhi dan AJI yang selama ini pro terhadap isu perjuangan lingkungan dan kelompok marginal.
    Sebelum video tersebut beredar di media sosial, tudingan bahwa Walhi Sulawesi Selatan melakukan provokasi terhadap para nelayan untuk menolak aktivitas penambangan pasir juga pernah disampaikan oleh politikus Sulsel Sarif Sampara pada 17 September 2020.
    Namun, dikutip dari SuaraSulsel.id, kelompok perempuan Kodingareng mengkritik keras tudingan itu. Menurut mereka, pernyataan Sampara keliru. Justru, mereka bersyukur dengan adanya pendampingan dari Walhi Sulsel dan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP).
    Dengan kehadiran Walhi Sulsel dan ASP, apa yang dipersoalkan oleh masyarakat nelayan Kodingareng dapat diketahui banyak orang. Apalagi, pemerintah setempat, mulai dari Ketua RT hingga Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, tidak pernah menanggapi keresahan nelayan.
    "Jika Pak Sampara tidak mau membantu kami di pulau, diam saja, tidak usah banyak bicara. Jangan melumpuhkan semangat kami. Biarkan kami berjuang bersama adik-adik Aliansi Selamatkan Pesisir dan Walhi untuk mempertahankan laut dan pulau kami," kata Siti Ebong yang merupakan salah satu istri nelayan Kodingareng.
    Pernyataan Siti tersebut juga dimuat oleh Fajar.co.id. Dia menuturkan, sampai saat ini, pihaknya tidak merasa Walhi dan ASP memprovokasi, apalagi mengajak melakukan demo anarkis. Justru, Walhi dan ASP selalu melarang agar tidak melakukan demo anarkis. Kalaupun ada tindakan anarkis, menurut Siti, hal itu adalah bentuk kemarahan kepada penambang yang merusak kehidupan.
    “Sudah beberapa kali kami melakukan aksi damai di depan kapal Boskalis (kapal yang mengangkut pasir di Kodingareng) dan kantor gubernur, tapi tidak ada yang peduli dengan keluhan kami. Justru tindakan kriminalisasi, intimidasi, dan teror yang kami dapatkan,” kata Siti.
    Penangkapan Nelayan dan Aktivis di Kodingareng
    Setelah pada 23 Agustus 2020 terjadi penangkapan terhadap tiga nelayan Kodingareng yang memprotes penambangan pasir, peristiwa serupa kembali terjadi pada 12 September 2020. Dilansir dari situs Konsorsium Pembaruan Agraria, sebanyak 11 orang ditangkap setelah ratusan nelayan yang didominasi ibu-ibu serta aktivis menggelar aksi protes terhadap penambangan pasir yang kembali dilakukan di wilayah tangkap nelayan.
    Sebelas orang yang ditangkap ini terdiri dari tujuh nelayan, satu aktivis, dan tiga jurnalis pers mahasiswa. Mereka ditangkap oleh Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulsel. Satu nelayan mengalami kekerasan hingga berdarah di bagian wajah. Aktivis yang sedang merekam penangkapan itu juga ditangkap dan mengalami kekerasan di bagian wajah, leher, serta badan.
    Tambang Pasir di Kodingareng
    Dilansir dari Majalah Tempo edisi 19 September 2020, sejak Februari 2020, kapal penyedot dan pengangkut pasir tiga kali hilir-mudik tiap hari di sekitar Blok Spermonde, kawasan penambangan dekat Pulau Kodingareng. Kapal sepanjang 230 meter itu membawa ratusan ribu meter kubik pasir dari lokasi tambang ke proyek reklamasi Makassar New Port, cikal-bakal pelabuhan termegah di timur Indonesia. Belakangan, penambangan berlangsung hingga malam hari.
    Menurut sejumlah warga Kodingareng yang ditemui Tempo, dalam beberapa bulan terakhir, para nelayan di sekitar pulau dan pesisir Makassar mulai kesulitan memperoleh ikan. Pasalnya, wilayah tangkap nelayan sekarang menjadi perlintasan kapal pengangkut pasir. Pada malam hari, kapal terlihat lebih dekat ke daratan. Menurut perkiraan warga, jaraknya tidak sampai 10 kilometer dari Pulau Kodingareng. Di situlah nelayan biasa mencari ikan.
    Nelayan Kodingareng umumnya menggunakan cara tradisional, seperti memanah, memancing, dan menggunakan bagan. Namun, metode itu kini tidak bisa lagi dilakukan. Kapal menyedot pasir hingga 30 meter ke dasar laut, mengakibatkan terumbu karang rusak. Deru mesin dan air yang keruh pun mengusir ikan. Sebelum penambangan pasir berlangsung, nelayan bisa menjaring 20 kilogram cumi-cumi atau lebih dari 20 ekor ikan tenggiri setiap berlayar. Kini perolehan anjlok hingga hanya 1 kilogram ikan.
    Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amien mengatakan hampir semua nelayan mengalami kesulitan ekonomi sejak penambangan pasir di Blok Spermonde dimulai. Mereka pun sering menghadapi pertengkaran keluarga. Akhirnya, banyak laki-laki merantau ke luar pulau untuk mencari uang. Menurut dia, perairan di sekitar pulau pun tidak lagi aman untuk mencari ikan karena ombak di sekitar tambang bisa mencapai 3 meter. Kabar kapal nelayan tenggelam kerap muncul akhir-akhir ini.
    Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah berjanji mengakomodasi keinginan para nelayan agar tetap sejahtera. Namun, dia mengaku belum menemukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan penambang. "Jika terbukti merugikan kepentingan nelayan, kami akan mencari lokasi lain," ujarnya.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "nelayan Kodingareng dan AJI Makassar telah dimanfaatkan oleh Walhi Sulsel untuk menolak penambangan pasir" keliru. Kelompok perempuan Kodingareng telah membantah tudingan bahwa Walhi Sulsel melakukan provokasi terhadap nelayan untuk menolak aktivitas penambangan pasir. Begitu pula AJI Makassar, yang menyatakan klaim dalam video tersebut palsu. Sebaliknya, AJI Makassar mendukung upaya advokasi oleh Walhi terhadap nelayan Kodingareng.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8298) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pernyataan Sultan HB X Soal Kasus Covid-19 pada 19 September 2020 Hoaks?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 24/09/2020

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah berita yang diklaim berasal dari Tempo beredar di grup-grup percakapan WhatsApp pada 24 September 2020. Dalam berita yang diberi label "hoax" itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X (Sultan HB X) melontarkan sejumlah pernyataan terkait kasus positif Covid-19.
    Dalam gambar tangkapan layar tersebut, berita ini berjudul "Ngerso Dalem (Sultan): Kabeh positif rapopo wong iso sembuh dewe, jangan takut-takuti rakyat". Menurut berita itu, pernyataan Sultan HB X terkait kasus positif Covid-19 ini dilontarkan pada 19 September 2020.
    Ada tiga kutipan dari Sultan HB X yang tertulis dalam berita tersebut. Pertama, "Ora popo, nek positif ya neng omah oporumah sakit (tidak apa-apa, kalau positif Covid-19 ya dirawat di rumah atau rumah sakit).” Kedua, "Tidak bisa (kebijakan baru), kita adaptasi saja, jangan menakut-nakuti (masyarakat).”
    Adapun kutipan ketiga berbunyi, “Rakyat bisa kelaparan,kalosakit cari nafkah pun sudah. Positif negatifpodo wae(positif negatif sama saja), semua orang mengalami sakit dan pasti mati,nek ora tau lara opo mati dudu manungso(kalau tidak pernah sakit atau mati bukan manusia).Sing penting ono upo kanggo urip(yang penting ada makanan untuk hidup).”
    Gambar tangkapan layar berita yang diklaim berasal dari Tempo.
    Apa benar ketiga kutipan soal kasus positif Covid-19 itu dilontarkan oleh Sultan HB X pada 19 September 2020?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, kutipan ketiga dalam berita itu, yang menyebut "positif dan negatif Covid-19 sama saja karena semua orang pasti meninggal", hasil suntingan. Berita asli Tempo tidak memuat pernyataan yang diklaim dilontarkan oleh Sultan HB X tersebut. Namun, dua kutipan lainnya memang berasal dari Sultan HB X.
    Berita asli Tempo yang memuat pernyataan Sultan HB X pada 19 September 2020 berjudul "Soal Lonjakan Kasus Covid-19, Sultan HB X: Jangan Takut-Takuti Rakyat". Pernyataan ini disampaikan Sultan HB X untuk menjawab pertanyaan wartawan soal rekor baru kasus Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
    Potongan berita asli Tempo yang berjudul "Soal Lonjakan Kasus Covid-19, Sultan HB X: Jangan Takut-Takuti Rakyat".
    Pada 19 September 2020, DIY mencatatkan penambahan sebanyak 74 kasus positif Covid-19 baru. Penambahan ini membuat total kasus positif Covid-19 di DIY menjadi 2.111 kasus. Sultan HB X pun mengatakan tambahan kasus dalam sehari itu tidak perlu dipermasalahkan.
    "Ora popo, nak positif ya neng rumah sakit(tidak apa-apa, kalau positif Covid-19 ya dirawat di rumah sakit)," ujar Sultan HB X. Terkait apakah ada kebijakan khusus untuk meredam lonjakan kasus, Sultan HB X menilai tidak ada kebijakan lain, "Tidak bisa (kebijakan baru), kita adaptasi saja, jangan menakut-nakuti (masyarakat)."
    Sultan menilai, jika masyarakat terlalu takut menghadapi wabah Covid-19 ini, dampaknya bisa mempengaruhi sektor ekonomi dan akhirnya masyarakat di Yogyakarta bisa kesulitan mencari nafkah. "Rakyat bisa kelaparan, cari nafkah pun juga sakit," ujar Sultan HB X.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tiga kutipan soal kasus positif Covid-19 tersebut dilontarkan oleh Sultan HB X pada 19 September 2020 sebagian benar. Gambar tangkapan layar berita yang berisi klaim itu merupakan hasil suntingan. Dua kutipan pertama memang dinyatakan oleh Sultan HB X dan dimuat oleh Tempo. Namun, kutipan ketiga adalah hasil penambahan dari pihak lain. Tempo tidak pernah memuat kutipan "positif dan negatif Covid-19 sama saja karena semua orang pasti meninggal". Pernyataan ini pun tidak dilontarkan oleh Sultan HB X dalam wawancara dengan media pada 19 September 2020.
    IKA NINGTYAS
    Catatan redaksi: Artikel ini diubah pada 25 September 2020 pukul 11.10 WIB pada bagian judul dan kesimpulan. Redaksi mohon maaf.
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan