• (GFD-2020-8305) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Otto Iskandar Dinata Tewas oleh Laskar Hitam yang Terkait PKI?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 30/09/2020

    Berita


    Klaim bahwa pahlawan nasional Otto Iskandar Dinata tewas di tangan Laskar Ubel-ubel Hitam yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI beredar di media sosial. Klaim ini disertai dengan foto uang kertas pecahan Rp 20 ribu yang memuat gambar Otto Iskandar Dinata.
    Salah satu akun yang mengunggah klaim tersebut adalah akun Yanne Diana, yakni pada 26 September 2020. Klaim ini terdapat dalam sebuah tulisan panjang yang menceritakan kisah kematian Otto Iskandar Dinata di tepi Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang.
    Menurut tulisan itu, kepala Otto Iskandar Dinata dipancung oleh komplotan Laskar Ubel-ubel Hitam yang bernama Mujitaba. Laskar ini pun diklaim sebagai bagian dari PKI. Cerita ini disebut bersumber dari buku berjudul “Ayat-Ayat Yang Di Sembelih” cetakan kedua, halaman 29-31.
    “Hingga kini, anak cucu Otto, para peziarah dari berbagai penjuru Indonesia, hanya bisa menziarahi pasir dan air Pantai Mauk yang menjadi saksi kebengisan gerombolan PKI Ubel-ubel hitam,” demikian salah satu narasi dalam tulisan tersebut.
    Adapun dalam foto uang kertas pecahan Rp 20 ribu yang bergambar Otto Iskandar Dinata, tertulis teks yang berbunyi, “Taukah kalian gambar pahlawan di uang kertas 20000 lama, ? Dia adalah Otto Iskandar Dinata, bekas menteri pertahanan RI di era bung Karno. Dia dipenggal kepalanya ,lalu jasadnya di Larung kelautan oleh laskar umbul-umbul hitam PKI.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Yanne Diana.
    Apa benar Otto Iskandar Dinata tewas oleh Laskar Ubel-ubel Hitam yang berafiliasi dengan PKI?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, lewat wawancara dengan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam serta penelusuran pemberitaan media, tidak ada bukti yang menunjukkan keterkaitan antara penculik Otto Iskandar Dinata dengan PKI. Buku "Ayat-Ayat Yang Disembelih" juga dianggap menyesatkan karena tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada.
    Dalam artikel sejarah Otto Iskandar Dinata yang ditulis Tirto, kematian Otto yang tragis bermula saat dia menjadi Menteri Negara pada 1945. Salah satu yang menjadi urusan Otto adalah masalah keamanan, termasuk mengkoordinir pembentukan tentara yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
    Isu BKR ini cukup riskan dan sensitif lantaran melibatkan sejumlah pihak dari latar belakang militer yang berbeda, di antaranya mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho bentukan Jepang serta bekas prajurit KNIL bentukan Belanda. Tidak semua pihak setuju dengan penyatuan para mantan tentara itu ke BKR. Mereka yang tidak sepakat kemudian membentuk laskar masing-masing.
    Sejumlah referensi menyebut bahwa Otto diculik oleh salah satu laskar yang bermarkas di Tangerang pada 19 Desember 1945, dan dibawa ke suatu tempat di pesisir Pantai Mauk, Tangerang.
    Versi lain soal penyebab pembunuhan Otto diungkap oleh Iip D. Yahya dalam Buku "Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories". Iip menelusuri catatan sidang pengadilan Mujitaba dan kawan-kawan, tersangka pembunuhan Otto, pada 1957. Anggota Laskar Hitam yang menculik Otto, menurut Iip, termakan desas-desus yang disebarkan oleh agen-agen NICA, bahwa Otto adalah mata-mata Belanda. Tujuan NICA menyebarkan isu ini untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap menghalangi upaya rekolonisasi Belanda.
    Sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan Laskar Hitam tidak memiliki ideologi yang jelas. Mereka menculik orang-orang yang dianggap mata-mata Belanda atau Jepang. “Laskar tersebut yang membawa Otista (Otto Iskandar Dinata) ke Tangerang, lalu dihabisi di Pantai Mauk oleh seorang polisi bernama Mujitaba. Pada 1959, di pengadilan, Mujitaba divonis 15 tahun,” kata Asvi ketika dihubungi Tempo pada 30 September 2020.
    Asvi pun tidak melihat kaitan antara Laskar Hitam dengan PKI. Apalagi, dalam persidangan, hakim hanya mengusut Mujitaba. “Yang membunuh adalah seorang polisi. Itu jelas, jelas nama, Mujitaba. Di pengadilan, dia menyebut beberapa nama. Jaksa penuntut umum, Prijana Abdurrasyid, meminta waktu sidang diperpanjang untuk memeriksa beberapa nama yang disebut. Tapi hakim menolak dan menjatuhkan vonis. Jadi, perkara ini berhenti sampai Mujitaba. Saya tidak melihat hubungan penculik Laskar Hitam dengan PKI."
    Dalam wawancara bersama CNN Indonesia, Asvi Warman Adam juga menyebut buku "Ayat-ayat yang Disembelih" yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon adalah salah satu buku tentang peristiwa 1965 yang menyesatkan karena cerita di dalamnya tidak dapat dipastikan kebenarannya.
    Buku itu menceritakan tentang tragedi yang terjadi di Brebes, Tegal, dan Pemalang dalam revolusi sosial setelah 1945. Tokoh utama dalam cerita itu adalah Kutil alias Sahyani yang digolongkan sebagai anggota PKI. Padahal, dalam disertasi Anton Lucas, peneliti berkewarganegaraan Australia, Kutil disebut sebagai preman yang memiliki padepokan. Dia dipanggil Kutil karena memiliki penyakit kulit berupa kutil di wajahnya. Asvi tidak yakin apakah Kutil benar-benar preman atau kiai.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "Otto Iskandar Dinata tewas di tangan laskar yang berkaitan dengan PKI" tidak terbukti. Hasil persidangan menyimpulkan bahwa Otto Iskandar Dinata dibunuh oleh seorang polisi bernama Mujitaba, yang disebut sebagai anggota Laskar Hitam. Ketika itu, sejumlah pihak yang tidak sepakat dengan penyatuan para mantan tentara PETA, Heiho, dan KNIL ke BKR memang membentuk beberapa laskar. Namun, tidak ditemukan bukti adanya hubungan antara Laskar Hitam dengan PKI.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8304) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Kantor Bupati Jayawijaya Dibakar Warga yang Tolak Otsus Papua Jilid II?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/09/2020

    Berita


    Foto Kantor Bupati Jayawijaya di Wamena, Papua, yang sedang terbakar beredar di media sosial. Foto tersebut dibagikan dengan narasi bahwa Kantor Bupati Jayawijaya tersebut dibakar oleh warga yang menolak Otonomi Khusus atau Otsus Papua Jilid II.
    Sebelumnya, pada 24 September 2020 lalu, digelar demonstrasi penolakan Otsus Papua Jilid II di Kantor Bupati Nabire. Pada 28 September kemarin, berlangsung pula demonstrasi penolakan Otsus Papua Jilid II oleh Front Mahasiswa dan Rakyat Papua dari Universitas Cenderawasih.
    Di Facebook, foto Kantor Bupati Jayawijaya yang terbakar itu diunggah oleh akun West Papua pada 25 September 2020. Akun ini pun menuliskan narasi, "Kantor Bupati Jayawijaya Wamena di bakar habis oleh warga masyarakat penolakan Otsus Jilid II. Papua merdeka."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook West Papua.
    Apa benar Kantor Bupati Jayawijaya di Wamena, Papua, dibakar oleh warga yang menolak Otsus Papua Jilid II?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menghubungi pemimpin redaksi media lokal Papua, Kabarpapua.co, Syamsuddin Levi Lazore. Dia memastikan tidak ada unjuk rasa pada 25 September 2020 di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. “Dua wartawan di Wamena sudah saya hubungi, mereka mengatakan tidak ada aksi tolak Otsus Papua Jilid II pada 25 September 2020,” kata Syamsuddin pada 29 September 2020.
    Terkait foto yang beredar di media sosial, yang memperlihatkan Kantor Bupati Jayawijaya terbakar, Syamsuddin mengatakan bahwa foto tersebut merupakan foto peristiwa pada 2019 lalu. “Itu hoaks. Kantor bupati belum dibangun. PNS masih berkantor di gedung otonom,” ujarnya.
    Tempo pun menelusuri pemberitaan terkait pembakaran Kantor Bupati Jayawijaya pada 2019 dengan mesin pencarian Google. Hasilnya, ditemukan bahwa Kantor Bupati Jayawijaya terbakar dalam peristiwa kerusuhan di Wamena, Papua, pada September 2019.
    Dilansir dari Kompas.com, Kantor Bupati Jayawijaya di Wamena, Papua, hangus dibakar massa dalam peristiwa kerusuhan pada 23 September 2019. Kontributor Kompas.com di Wamena, John Roy Purba, melaporkan bahwa kantor bupati yang berada di Jalan Yos Sudarso tersebut dibakar oleh demonstran yang bertindak anarkis.
    Para demonstran yang terdiri dari siswa sekolah di Jayawijaya itu terpicu oleh pernyataan guru terhadap seorang siswa yang diduga berbau rasis. Namun, menurut Kepolisian Daerah Papua, dugaan terkait ujaran rasial itu tidak benar.
    Dilansir dari Kabarpapua.co, pasca terbakarnya Kantor Bupati Jayawijaya akibat kerusuhan pada 23 September 2019 lalu, seluruh pelayanan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) non teknis Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya akan dipusatkan di Gedung Otonom Wenehule Hubi.
    Selama ini, gedung itu hanya ditempati oleh beberapa OPD, dan kini pemanfaatannya dioptimalkan dengan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Jayawijaya. “Kami semua akan berkantor di Gedung Otonom dan sudah kami tinjau. Jadi, semua OPD bisa di Gedung Otonom, begitu juga bupati dan wakil bupati,” kata Bupati Jayawijaya Jhon Richard Banua pada 14 Oktober 2019.
    Dilansir dari Jubi.co.id, bertepatan dengan HUT Kota Wamena pada 10 Desember 2019, Pemkab Jayawijaya mulai membongkar kantor bupati untuk dibangun kembali. Kantor bupati ini bakal dibangun tiga lantai, dalam dua tahun anggaran, yakni 2020-2021. Pembangunan ini diperkirakan menelan dana Rp 200 miliar. Selain dari APBD, dana bakal bersumber dari bantuan Gubernur Papua.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "Kantor Bupati Jayawijaya di Wamena, Papua, dibakar oleh warga yang menolak Otsus Papua Jilid II" keliru. Foto itu merupakan foto pembakaran Kantor Bupati Jayawijaya saat kerusuhan terjadi di Wamena pada 23 September 2019. Hingga saat ini, Kantor Bupati Jayawijaya belum dibangun kembali. Bupati dan Wakil Bupati Jayawijaya menempati Gedung Otonom Wenehule Hubi sebagai kantor sementara.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8303) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Hewan Ternak Lebih Kebal pada Infeksi Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 29/09/2020

    Berita


    Klaim bahwa tidak ada hewan ternak yang mati karena terkena infeksi virus Corona Covid-19 beredar di Instagram. Klaim ini diunggah oleh akun @indonesian_flatearth_society pada 25 September 2020.
    Akun itu mengunggah foto kawanan domba di sebuah kandang yang dibubuhi dengan teks berbunyi: "Tak adaphysical distancing, tak ada masker, tak ada cuci tangan, APD, dll. Kami tetap sehat walafiat.."
    Selain membagikan foto itu, akun tersebut juga menulis narasi berikut: "Tak satupun ada kabar maupun berita di seluruh dunia.. hewan ternak mati massal akibat covid.. Padahal hewan-hewan tsb tak menjalankan protokol kesehatan. Di lain sisi, pihak-pihak tertentu terus menebar teror ke masyarakat tentang bahaya covid yang saaaaangatt mematikan sekali.."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @indonesian_flatearth_society.
    Apa benar hewan ternak lebih kebal terhadap infeksi Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, sejumlah negara telah melaporkan kasus infeksi Covid-19 pada hewan peliharaan dan hewan di kebun binatang. Ada pula kasus infeksi Covid-19 pada ribuan cerpelai (sejenis musang) di beberapa peternakan di Eropa.
    Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ( CDC ) Amerika Serikat menyatakan informasi mengenai risiko penularan Covid-19 pada hewan ke manusia atau manusia ke hewan sebenarnya masih cukup terbatas. Menurut mereka, lebih banyak penelitian yang diperlukan terkait hal tersebut. Namun, CDC menduga virus Corona baru ini dapat menyebar dari manusia ke hewan dalam beberapa situasi, terutama jika ada kontak dekat dengan orang yang menderita Covid-19.
    CDC mencatat beberapa kasus di mana hewan dinyatakan positif terinfeksi Covid-19, yakni sebagai berikut:
    Kementerian Pertanian Belanda mengkonfirmasi wabah Covid-19 di peternakan cerpelai pada akhir April 2020, tepatnya di dua peternakan yang memiliki ribuan hewan pemasok industri bulu tersebut. Hewan-hewan itu diperiksa karena mengalami berbagai gejala, termasuk kesulitan bernapas, dan karena angka kematian lebih tinggi dari biasanya. Belanda adalah produsen bulu cerpelai terbesar di dunia selain Cina, Denmark, dan Polandia.
    Wageningen Bioveterinary Research Belanda menjelaskan, hingga pertengahan September 2020, setidaknya 40 peternakan cerpelai di Belanda terinfeksi Covid-19. Beberapa ternak yang terinfeksi telah dimusnahkan sejak 5 Juni 2020 karena virus dapat terus beredar dan berisiko terhadap kesehatan masyarakat dan hewan lain. Pemerintah setempat membuat skema penutupan seluruh peternakan cerpelai pada musim semi 2021.
    Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa musang memang rentan terhadap virus Corona baru penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Karena itu, diasumsikan bahwa cerpelai juga mungkin rentan terhadap virus ini. Pneumonia terlihat pada cerpelai dan SARS-CoV-2 terdeteksi di organ dan usap tenggorokan. Berdasarkan variasi kode genetik virus, dapat disimpulkan bahwa peternakan cerpelai telah menularkan virus satu sama lain.
    Dilansir dari Nature, ada sekitar selusin hewan yang diketahui rentan terhadap virus Corona baru ini. Beberapa spesies, termasuk anjing dan kucing peliharaan, singa dan harimau di penangkaran, serta cerpelai yang dibudidayakan, hampir pasti tertular virus tersebut dari manusia.
    Linda Saif, ahli virus di Ohio State University, menjelaskan hasil eksperimen laboratorium menunjukkan hamster, kelinci, dan marmoset juga rentan terhadap Covid-19. Namun, penelitian pada babi, bebek, dan ayam menunjukkan ketiganya lebih kebal terhadap virus Corona  baru tersebut.
    Sejauh ini, belum ada penelitian terhadap hewan ternak lain, seperti sapi, domba, dan kuda. “Jika SARS-CoV-2 ditemukan pada satwa liar atau spesies lain yang memiliki kontak dekat dengan ternak, hal ini akan meningkatkan kemungkinan penularan antar spesies,” kata Saif.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "hewan ternak lebih kebal terhadap infeksi Covid-19" menyesatkan. Meskipun sejumlah lembaga menyatakan risiko penularan Covid-19 pada hewan ke manusia atau manusia ke hewan masih membutuhkan lebih banyak penelitian, beberapa peternakan cerpelai di Belanda, Denmark, dan Spanyol dilaporkan terinfeksi Covid-19. Bahkan, peternakan cerpelai di Belanda mencatat angka kematian cerpelai yang lebih tinggi dari hari biasa. Sejauh ini, belum ada penelitian soal kerentanan infeksi Covid-19 terhadap hewan ternak lain, seperti sapi, domba, dan kuda.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8302) [Fakta atau Hoaks] Benarkah Nasabah BRI Wajib Ganti Kartu ATM GPN ke Mastercard?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/09/2020

    Berita


    Foto sebuah kertas yang berisi pengumuman dari Bank Rakyat Indonesia ( BRI ) beredar di media sosial. Pengumuman itu mengimbau nasabah BRI untuk mengganti kartu ATM yang berwarna biru dan berlogo Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi kartu ATM yang berlogo Mastercard.
    "Dikarenakan akan segera terblokir otomatis oleh sistem. Untuk mengganti kartu ATM, cukup membawa kartu ATM dan KTP saja, bagi yang kartu ATM-nya masih bisa digunakan," demikian narasi dalam pengumuman yang di bagian kiri atasnya tertera logo BRI.
    Di Facebook, foto pengumuman tersebut dibagikan salah satunya oleh akun Rina Mawati Latif, yakni pada 27 September 2020. Akun ini pun menulis, "Betul nda e." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 200 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Rina Mawati Latif.
    Apa benar nasabah BRI wajib mengganti kartu ATM berlogo GPN ke kartu ATM berlogo Mastercard?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi informasi tersebut, Tim CekFakta Tempo menghubungi Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto. Dia membantah informasi terkait kewajiban bagi nasabah BRI untuk mengganti kartu ATM berlogo GPN ke kartu ATM berlogo Mastercard.
    Aestika mengatakan BRI tidak sedang mengeluarkan kebijakan penggantian jenis kartu ATM bagi nasabah. "Hal tersebut tidak benar. Di BRI, tidak ada mekanisme penutupan otomatis seperti yang disampaikan di gambar," kata Aestika pada 28 September 2020.
    Isu tentang pemblokiran kartu ATM secara otomatis memang sempat ramai dibahas warganet ketika Bank Indonesia memberlakukan kebijakan kartu ATM ber-chip pada 2018 lalu. BI mewajibkan kartu ATM atau kartu debit sudah harus 100 persen menggunakan chip pada akhir 2021.
    Dilansir dari Kompas.com, pada akhir Oktober 2018, beredar kabar bahwa nasabah BRI diharuskan mengganti kartu debitnya menjadi kartu yang ber-chip. Kabar ini menyebut, jika nasabah tidak mengganti kartunya sebelum 30 Oktober 2018, kartu ATM lama (kartu ATM non-chip) akan terblokir.
    Menanggapi informasi tersebut, Corporate Secretary BRI ketika itu, Bambang Tribaroto, menegaskan bahwa kabar mengenai pemblokiran kartu ATM non-chip secara otomatis pada akhir Oktober 2018 tidak benar. "Demi mengutamakan kenyamanan nasabah, BRI tidak menetapkan tenggat waktu penggantian kartu debit non-chip menjadi kartu debit ber-chip," katanya.
    Bambang menjelaskan pergantian kartu ATM lama dengan kartu ATM baru ini merupakan perwujudan dari salah satu peraturan bank sentral. "Ini sesuai dengan peraturan BI terkait Standar Nasional Teknologi Chip (SNTC)," ujarnya.
    Meskipun BRI tidak menetapkan tenggat waktu, kata Bambang, nasabah tetap diimbau untuk melakukan penggantian kartu ATM. Nasabah dapat mengunjungi unit kerja BRI terdekat untuk melakukan penggantian kartu ATM ini dengan membawa kartu ATM non-chip dan KTP.
    Dikutip dari Kontan.co.id, Direktur Konsumer BRI Handayani mengatakan migrasi kartu debit BRI ber-chip sudah mencapai sekitar 60 persen pada akhir 2019. Total kartu debit yang telah dikeluarkan BRI hingga akhir 2019 sebanyak 53 juta kartu.
    Pencapaian itu melampaui target BRI di mana, pada akhir 2019, BRI menargetkan implementasi kartu debit ber-chip sudah mencapai 50 persen. Targetnya, pada akhir 2020, migrasi kartu debit BRI ber-chip sudah mencapai 80 persen.
    Dari jumlah keseluruhan kartu debit tersebut, BRI telah mendistribusikan sekitar 23 juta kartu yang berlogo GPN. Handayani menuturkan bahwa BRI terus mendorong nasabah melakukan pergantian kartu dengan menawarkan berbagai manfaat lebih seperti program-program promosi.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa nasabah BRI wajib mengganti kartu ATM berlogo GPN ke kartu ATM berlogo Mastercard, keliru. Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto telah membantah informasi tersebut. Menurut dia, BRI tidak sedang mengeluarkan kebijakan penggantian jenis kartu ATM. Di BRI, tidak ada mekanisme penutupan kartu ATM otomatis seperti yang tertulis dalam foto yang berisi klaim tersebut.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan