• (GFD-2020-8421) Sesat, Klaim Ini Foto Keluarga Ugur Sahin Penemu Vaksin Covid-19 Pfizer

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/12/2020

    Berita


    Sebuah foto yang diklaim sebagai foto Ugur Sahin ketika masih kecil bersama keluarganya yang baru tiba di Jerman dari Turki viral di Twitter dan Facebook dalam sepekan terakhir. Ugur Sahin merupakan pendiri perusahaan bioteknologi BioNTech yang memproduksi vaksin Covid-19 bersama perusahaan farmasi asal Amerika Serikat  Pfizer.
    Salah satu akun Twitter yang mengunggah foto beserta narasi itu adalah akun @hasmi_bakhtiar, yakni pada 8 Desember 2020. Akun ini menulis, "Ugur Sahin (anak berkaos kuning) bersama keluarga tiba di Jerman dalam kondisi yang jauh dari kata berkecukupan. Sekarang kekayaannya sudah di angka 5,2 milyar dollar setelah vaksin Covid19 temuannya di BioNtech diakui Eropa dan dunia. Sebaik-baik bekal adalah bekal ilmu."
    Sementara di Facebook, foto beserta narasi yang sama diunggah oleh akun berbahasa Arab, juga pada 8 Desember 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Twitter @hasmi_bakhtiar telah di-retweet lebih dari 400 kali dan disukai lebih dari 2 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @hasmi_bakhtiar.
    PEMERIKSAAN TEMPO
    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri jejak digital foto di atas denganreverse image toolYandex dan TinEye. Hasilnya, ditemukan bahwa foto tersebut bukanlah foto keluarga Ugur Sahin ketika ia masih kecil dan baru tiba di Jerman dari Turki.
    Foto itu merupakan koleksi fotografer Candida Hofer yang pernah dipublikasikan di situs Art Journal pada 6 Januari 2017. Foto ini diberi judul “Turken in Deutschland 1979”. Sepanjang 1972-1979, Hofer merekam banyak gambar tentang kehidupan jutaan imigran Turki di Jerman setelah Perang Dunia II. Imigran itu didatangkan untuk memenuhi kebutuhan pekerja usai perang.Namun, di situs tersebut, tidak ada penjelasan mengenai nama keluarga dalam foto itu. Hanya tertera keterangan yang berbunyi: “Candida Hofer,Untitled from 'Turken in Deutschland 1979', 1979,color slide projection,80 slides,approx. 7 min.,dimensions variable(artworkCandida Hofer, Koln/VG Bild-Kunst, Bonn 2016).”
    Dikutip dari The New York Times, Ugur Sahin yang lahir di Iskenderun, Turki, juga menjadi imigran di Jerman. Keluarganya pindah ke Cologne, Jerman, untuk bekerja di pabrik Ford saat ia berusia 4 tahun. Sahin kemudian menjadi dokter dari Universitas Cologne dan, pada 1993, ia memperoleh gelar doktor atas karyanya tentang imunoterapi pada sel tumor.
    Namun, dari situs berbahasa Turki Hebugi, ditemukan petunjuk bahwa foto itu adalah foto keluarga Alamanci. Foto ini diambil pada 1975 di Dusseldorf, Jerman. Ayah keluarga ini datang sebagai pekerja di Jerman pada 1965. Lalu, sepuluh tahun kemudian, ia memboyong istri dan keempat anaknya. Dijelaskan bahwa kelak anak laki-laki dalam foto itu menjadi seorang master mesin bubut.
    Informasi tersebut diperkuat dengan penjelasan dari akun Twitter @diaspora_turk. Pada 16 Agustus 2020, akun ini mengunggah dua foto yang salah satunya sama dengan foto yang beredar saat ini. Akun itu pun memberikan keterangan dalam bahasa Turki yang jika diterjemahkan berbunyi:
    “Rumah baru, harapan baru... Ketika cucu dari keluarga itu melihat foto di halaman kami kemarin, kami bisa mendapatkan informasi langsung tentang mereka. Dia bercerita tentang kakek, nenek, bibi, paman, dan ibunya yang tidak ada di foto... Wajah tersenyum dengan mata tersenyum. Keluarga itu dari Aksaray. Sang ayah datang ke Jerman pada tahun 1965 sebagai pekerja...”
    Saat ramai beredar klaim bahwa foto itu adalah foto keluarga Ugur Sahin, akun @diaspora_turk memberikan bantahan. Dalam cuitannya pada 17 November 2020, akun ini menulis, "Saat ini, di banyak tempat, diberitakan bahwa dia adalah Ugur Sahin. Kami telah berbagi cerita keluarga sebelumnya. Anak laki-laki itu tumbuh dan menjadi master mesin bubut. Ini tidak membuatnya menjadi kurang penting dari orang lain. Berharap memori keluarga dihormati...”

    Hasil Cek Fakta

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa foto tersebut adalah foto Ugur Sahin, pendiri BioNTech, ketika masih kecil bersama keluarganya yang baru tiba di Jerman dari Turki, menyesatkan. Foto itu memang merupakan foto keluarga imigran Turki yang datang ke Jerman pada 1965, tapi bukan keluarga Sahin. Keluarga dalam foto itu berasal dari Aksaray, sedangkan Sahin berasal dari Iskenderun. Selain itu, bocah laki-laki berkaos kuning dalam foto itu saat ini menjadi master mesin bubut.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8420) Keliru, Klaim Unggahan Instagram Berisi Gambar Rizieq Shihab Ini Berasal dari Bos JNE

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 17/12/2020

    Berita


    Gambar tangkapan layar sebuah unggahan di Instagram yang berisi gambar pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab beredar di Twitter. Akun Instagram yang mengunggah gambar itu adalah akun @hannykristianto. Akun ini diklaim sebagai akun milik bos PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir atau JNE. Gambar ini beredar di tengah munculnya seruan boikot JNE.
    Salah satu akun yang membagikan gambar tangkapan layar beserta klaim tersebut adalah akun @Lady_Zeebo, tepatnya pada 14 Desember 2020. Akun ini menulis narasi, "Tulisan Boss JNE di akun instagram nya dlm postingan berlatar foto IB menyiratkan pesan bahwa Polri, TNI, dan pemerintah nasibnya akan sama seperti kaum Nuh, kaum Luth, Namrud, Firaun dan pasukan Abrahah ditenggelamkan/dimusnahkan oleh Allah. #BoikotJNE #JNEKadrun."
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @Lady_Zeebo.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri akun Instagram @hannykristianto itu. Hasilnya, ditemukan bahwa akun ini memang pernah mengunggah gambar Rizieq Shihab tersebut beberapa hari yang lalu. Namun, pemilik akun ini, Hanny Kristianto, bukanlah bos JNE.
    Gambar tangkapan layar akun Instagram milik Hanny Kristianto.
    Klaim bahwa Hanny merupakan bos JNE pernah beredar sebelumnya. Klaim itu disertai dengan foto yang memperlihatkan Hanny tengah bersama Rizieq. Namun, berdasarkan penelusuran Tempo di situs resmi JNE, tidak ada nama Hanny dalam jajaran direksi. Pendiri JNE pun bukan Hanny, melainkan Djohari Zein.
    Saat ini, Hanny menjabat sebagai Sekretaris Yayasan Mualaf Center Indonesia (MCI). Informasi itu tercantum dalam situs resmi MCI, mualaf.com. Kisah Hanny sebagai mualaf hingga menjadi Sekretaris MCI pun pernah dimuat oleh situs media Detik.com pada 23 Juni 2015.
    Presiden Direktur JNE, Mohamad Feriadi, juga telah mengklarifikasi bahwa Hanny bukan bagian dari JNE. Dilansir dari Jawapos.com, Feriadi mengatakan Hanny tidak termasuk dalam enam orang yang kini memegang saham JNE. Menurut dia, Hanny merupakan Direktur Ikhlaas Foundation dan Sekretaris MCI.
    Dalam situs resmi JNE, memang tercantum bahwa Mohamad Feriadi merupakan Presiden Direktur JNE. Selain Feriadi, terdapat dua direktur JNE lainnya, yakni Edi Santoso dan Chandra Fireta. Dilansir dari Konta n, Feriadi merupakan anak dari Soeprapto Suparno, pemilik PT Titipan Kilat (TIKI).
    Dikutip dari Bisnis.com, Feriadi menjabat sebagai Presiden Direktur JNE sejak 2015. Sebelumnya, posisi ini ditempati oleh Djohari Zein. Djohari merupakan pendiri JNE pada 26 November 2020. Saat ini, seperti tertulis dalam situs pribadinya, Djohari menjabat sebagai Komisaris Utama JNE.
    Seruan Boikot JNE
    Berdasarkan arsip berita  Tempo, seruan boikot bermula saat akun Twitter JNE mengunggah ucapan selamat ulang tahun ke-30 dari juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Haikal Hassan. JNE pun disebut sebagai salah satu pendukung Haikal, yang juga merupakan Sekretaris Jenderal HRS Center, lembaga bentukan Rizieq Shihab.
    Merespons isu ini, pada 11 Desember 2020, Mohamad Feriadi mengatakan, "JNE sebagai perusahaan pengiriman ekspres dan logistik bersifat netral." Ia menyebut perusahaannya merangkul semua golongan dan tidak memandang latar belakang agama, suku, ras, dan pandangan politik apa pun.
    Akun Twitter  JNE  memang tidak hanya mengunggah ucapan selamat ulang tahun dari Haikal. Akun ini juga membagikan ucapan selamat dari tokoh lain, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 11 Desember 2020. Tahun ini, JNE tepat berumur 30 tahun setelah didirikan pada 1990.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa unggahan di Instagram yang berisi gambar pemimpin FPI Rizieq Shihab tersebut berasal dari bos JNE, keliru. Akun yang mengunggah gambar itu adalah akun milik Hanny Kristianto. Namun, Hanny bukan bos JNE. Saat ini, Hanny menjabat sebagai Direktur Ikhlaas Foundation dan Sekretaris MCI. Sementara itu, Presiden Direktur JNE kini dijabat oleh Mohamad Feriadi. Adapun pendiri JNE adalah Djohari Zein, yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama JNE.
    CHRISSTELLA EFIVANIA ROSALINE | ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8419) Keliru, Media Jepang Beritakan Bansos Covid-19 yang Dikorupsi Pinjaman dari Perdana Menterinya

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/12/2020

    Berita


    Klaim bahwa media Jepang memuat berita yang menyebut bantuan sosial atau bansos Covid-19 yang dikorupsi oleh mantan Menteri Sosial RI Juliari Batubara adalah pinjaman dari Perdana Menteri Jepang beredar di Facebook dan dan WhatsApp. Menurut klaim itu, pinjaman tersebut bernilai Rp 7 miliar.
    Klaim ini terdapat dalam gambar tangkapan layar status WhatsApp yang memperlihatkan sebuah tayangan televisi yang menyorot tumpukan uang pecahan Rp 100 ribu. Dalam status tersebut, terdapat pula narasi yang berbunyi, "Ini uang pinjaman dari PM Jepang untuk bantuan corona di Indonesia sebesar 7m. Eh terus dikorupsi 3.5M Dan beritanya sampe jepang dong."
    Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Korean People & Idol Posting V2, tepatnya pada 11 Desember 2020. Selain gambar itu, akun ini juga membagikan tiga gambar tangkapan layar artikel yang ditulis dalam huruf Jepang. Artikel pertama dan kedua memuat foto Juliari.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Korean People & Idol Posting V2.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri gambar-gambar dalam unggahan akun Korean People & Idol Posting V2 denganreverse image tool Source. Penelusuran juga dilakukan dengan memasukkan kata kunci “Juliari Batubara” dalam huruf Jepang pada mesin pencari Google.
    Hasilnya, ditemukan bahwa artikel dalam gambar tangkapan layar unggahan akun Korean People & Idol Posting V2 ditulis oleh jurnalis Jepang yang bernama Hidefumi Nogami. Artikel terkait korupsi bansos Covid-19 di Indonesia itu dimuat pada 7 Desember 2020 di dua situs, yakni Asahi.com dan Cha-ganju.com.
    Namun, artikel ini sama sekali tidak menyebut bahwa bansos Covid-19 yang diduga dikorupsi oleh mantan Mensos Juliari Batubara adalah pinjaman dari Perdana Menteri Jepang. Berikut isi dari artikel yang berjudul "Menteri Sosial Indonesia ditangkap: bantuan Corona lebih dari 100 juta yen" itu:
    "Pada tanggal 6 (Desember 2020), badan penyelidik korupsi Indonesia menangkap Menteri Sosial Juliari (48) atas dugaan suap karena menerima uang tunai senilai 120 juta yen dari distribusi untuk penanggulangan virus Corona. Pada November lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan baru saja ditangkap atas tuduhan korupsi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
    Badan investigasi independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa kasus Juliari terkait proyek pemerintah yang mendistribusikan kebutuhan pokok, seperti beras, minyak, dan gula, kepada pekerja non-reguler dari Mei hingga Desember, dengan nilai Rp 300 ribu (sekitar 2.200 yen) per kantong, di mana dari setiap kantong, ia diduga menerima Rp 10 ribu (sekitar 74 yen) sebagai suap dari beberapa vendor. Dikatakan bahwa total uang Rp 17 miliar rupiah (sekitar 125 juta yen) diberikan kepada Juliari.
    KPK menggeledah tempat pengiriman uang di Jakarta pada dini hari tanggal 5. Mereka menyita uang tunai sekitar 107 juta yen. Koper yang berisi uang dalam bentuk rupiah dan dolar AS itu dibuka dalam konferensi pers. Dalam urusan distribusi ini, Kementerian Sosial telah menandatangani kontrak dengan kontraktor senilai Rp 5,9 triliun (sekitar 43,7 miliar yen), dan KPK sedang menyelidiki sisa dakwaan.
    Juliari adalah anggota parlemen dari Partai Demokrasi Perjuangan, yang juga merupakan partai Presiden Joko, dan masuk kabinet untuk pertama kalinya dalam pemerintahan Joko periode kedua pada Oktober tahun lalu. Pada 25 November, KPK baru saja menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Eddie karena suap ekspor bayi lobster. Joko mengatakan dalam pertemuan tanggal 6, "Kami akan menghormati prosedur peradilan KPK," dan mengumumkan pengangkatan penggantinya."
    Kasus Juliari Batubara
    Berdasarkan arsip berita Tempo, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus program bansos Covid-19 pada 6 Desember 2020. Juliari diduga menerima hadiah atau janji oleh penyelenggara negara berkaitan dengan penyaluran bansos di Jabodetabek 2020.
    "KPK menetapkan lima tersangka. Pertama, sebagai penerima, yaitu saudara JPB, MJS, dan AW. Sementara sebagai pemberi adalah AIM dan HS," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers virtual pada Minggu dini hari, 6 Desember 2020.
    "Saudara PJB selaku menteri sosial menunjuk MJS dan AW sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan pada Kemensos melalui MJS," ujar Firli.
    Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan pejabat di Kemensos pada Sabtu dini hari, 5 Desember 2020. Firli menyebut penangkapan itu berkaitan dengan program bansos Kemensos. KPK menduga pejabat tersebut menerima hadiah dari vendor penyedia barang dan jasa dalam bansos di Kemensos untuk penanganan Covid-19.
    Masih dari arsip berita Tempo, KPK menduga bahwa Juliari dan dua bawahannya, MJS dan AW, menarik fee sebanyak Rp 10 ribu dari setiap paket bansos yang disalurkan ke masyarakat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
    Pinjaman dari Jepang
    Pada Oktober 2020 lalu, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan ini, Suga tidak hanya membahas kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Jepang Yoshida Tomoyuki, kunjungan tersebut juga untuk menindaklanjuti pinjaman sebesar 50 miliar yen atau sekitar Rp 7 triliun dari Jepang bagi Indonesia.
    Pinjaman Rp 7 triliun tersebut, menurut Tomoyuki, diperuntukkan bagi penanganan bencana. Bencana dalam hal ini tidak terbatas pada bencana alam saja, tapi juga bencana pandemi Covid-19. Indonesia, kata dia, sah-sah saja jika ingin menggunakan pinjaman tersebut untuk memulihkan ekonomi pasca pandemi Covid-19 nantinya.
    "Kita tahu Indonesia dan Jepang sama-sama rentan terkena bencana alam seperti gempa bumi, tsunami. Dana ini untuk meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana di Indonesia, untuk menyiapkan program-program penanggulangan," ujar Tomoyuki dalam sesi jumpa pers virtual pada 21 Oktober 2020.
    Lebih lanjut, Tomoyuki menuturkan bahwa pinjaman ini merupakan pinjaman kedua. Pinjaman pertama dicairkan pada Februari. Nilainya kurang lebih 32 miliar yen atau sekitar Rp 4 triliun. Selain itu, kata Tomoyuki, Jepang juga akan mendorong kerja sama dengan Indonesia melalui pemberian barang dan peralatan medis.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "media Jepang memuat berita yang menyebut bansos Covid-19 yang dikorupsi adalah pinjaman dari Perdana Menteri Jepang" keliru. Artikel yang dibagikan bersama klaim tersebut memang ditulis oleh jurnalis Jepang, Hidefumi Nogami, dan dimuat di dua situs, yakni Asahi.com dan Cha-ganju.com. Namun, artikel ini sama sekali tidak menyebut bahwa bansos Covid-19 yang diduga dikorupsi oleh mantan Mensos Juliari Batubara itu adalah pinjaman dari Perdana Menteri Jepang.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

  • (GFD-2020-8418) Keliru, Klaim Ini Foto Relawan yang Alami Bell's Palsy Akibat Vaksin Covid-19 Pfizer

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 16/12/2020

    Berita


    Foto yang diklaim sebagai foto tiga relawan yang mengalami kelumpuhan otot wajah atau bell’s palsy setelah menerima vaksin Covid-19 Pfizer beredar di media sosial. Foto itu banyak dibagikan baik di Twitter, Instagram, dan Facebook serta grup-grup percakapan WhatsApp dalam sepekan terakhir.
    Di Twitter, foto ini salah satunya dibagikan oleh akun @ Bagindo_Kopi pada 10 Desember 2020. Foto itu terdapat dalam gambar tangkapan layar artikel di situs Gelora News yang berjudul “4 Orang Alami Kelumpuhan Wajah Setelah Disuntik Vaksin Corona”. Akun ini pun menyertakan tautan yang mengarah ke unggahan akun Instagram @geloranews.
    Dalam unggahannya pada 10 Desember 2020 itu, akun @geloranews juga mengunggah gambar tangkapan layar artikel yang sama. Akun ini pun menulis, “Empat sukarelawan uji coba yang menerima vaksin Covid-19 dari Pfizer mengalami kelumpuhan wajah. Kasus ini tengah ditangani oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat.”
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Twitter @Bagindo_Kopi.

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri jejak digital foto di atas denganreverse image toolGoogle dan Bing. Hasilnya, ditemukan bahwa foto yang memperlihatkan tiga penderita bell's palsy tersebut tidak ada kaitannya dengan vaksin Covid-19 Pfizer.
    Foto itu kerap digunakan dalam artikel kesehatan tentang bell's palsy. Beberapa artikel pun terbit sebelum vaksin Pfizer menjalani uji klinis tahap 3. Artikel-artikel ini umumnya tidak menyebut bahwa bell's palsy yang dialami tiga orang itu diakibatkan oleh vaksin Covid-19. Di situs kesehatan BMJ Best Practice misalnya, foto itu digunakan dalam artikel yang membahas diagnosis klinis bell's palsy. Artikel ini terbit pada 20 November 2019.
    Foto tersebut juga pernah digunakan oleh situs kesehatan NCCMED pada Juni 2020 dalam artikelnya berjudul "What are the causes of Bell’s palsy?". Dalam artikel ini, tidak ada penjelasan bahwa bell's palsy disebabkan oleh vaksin Covid-19. Sebaliknya, artikel itu menjelaskan bahwa Bell's paralysis, atau facial palsy, adalah lumpuh atau lemahnya otot wajah yang parah di satu sisi wajah. Hal ini diduga karena peradangan saraf yang mengontrol otot wajah.
    Di Facebook, foto itu juga pernah digunakan pada 30 Juni 2020 sebagai media promosi terapi bell's palsy oleh akun yang berbasis di Manila, Filipina, Golden Ager-Physical Therapy and Caregiver Services. Selain itu, akun terapis Longevita-Centro Clinico e Fisioterapico dari Brasil juga pernah menggunakan foto tersebut pada 19 Juli 2020 untuk menjelaskan bell's palsy.
    Vaksin Covid-19 dan Bell's Palsy
    Dikutip dari jurnal sains Nature edisi 11 Desember 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah memberikan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19 yang dibuat oleh Pfizer bersama BioNTech. Keputusan ini didasarkan pada data lebih dari 43 ribu relawan yang telah menerima suntikan vaksin kedua.
    Analisis terhadap 170 kasus pertama Covid-19 dalam kelompok tersebut menunjukkan bahwa vaksin ini 95 persen efektif mencegah infeksi SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, yang bergejala. Hasil uji coba tersebut telah dipublikasikan pada 10 Desember 2020 di The New England Journal of Medicine.
    Vaksin itu disebut aman, di mana uji coba menemukan efek samping yang umum terjadi, seperti kelelahan, sakit kepala, dan demam. Ditemukan pula empat kasus bell's palsy, suatu kondisi yang secara sementara melemahkan beberapa otot di wajah, di antara mereka yang menerima vaksin. Tapi FDA tidak bisa secara pasti mengaitkan kondisi tersebut dengan vaksin.
    Petugas medis FDA, Susan Wollersheim, mengatakan kepada komite bahwa frekuensi bell's palsy ini tidak biasa terjadi pada populasi umum. Menurut dia, salah satu peserta penelitian yang terkena dampaknya memang memiliki riwayat kondisi tersebut.
    Menurut Jason Hinman, asisten profesor neurologi dari Bell's Palsy David Geffen School of Medicine, University of California Los Angeles, bell's palsy disebabkan oleh kerusakan pada saraf kranial ketujuh, salah satu saraf wajah. "Ini bisa terjadi akibat trauma, tapi lebih sering terjadi karena infeksi virus pada saraf itu sendiri," katanya dikutip dari situs Health.
    Dia menegaskan bahwa bell's palsy bukan disebabkan oleh SARS-CoV-2. Menurut dia, bell's palsy bisa disembuhkan dalam waktu singkat, hitungan minggu. Meskipun, dalam kasus yang parah, bisa menyebabkan kelumpuhan wajah permanen. Satu dari empat relawan penerima vaksin yang mengalami bell's palsy pun telah pulih.
    Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara vaksin Covid-19 dan bell's palsy. Insiden ini bisa menimpa 20 orang dalam 100 ribu populasi. "Saya tidak bisa membuat koneksi langsung dengan vaksin, dan menduga ini adalah kebetulan. Insiden normal bell's palsy kira-kira 20 dari 100 ribu orang. Studi vaksin Pfizer memeriksa 38 ribu pasien. Jadi, empat kasus akan berada dalam insiden normal bell's palsy yang diamati."
    Masalah serupa pernah muncul beberapa dekade lalu, ketika beberapa orang mengalami bell's palsy setelah mendapatkan vaksin influenza. Namun, tidak ada penelitian yang pernah menemukan hubungan antara vaksin flu dan bell's palsy.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan Tempo, klaim bahwa tiga foto di atas adalah foto relawan yang mengalami bell's palsy setelah menerima vaksin Covid-19 Pfizer, keliru. Tiga foto itu kerap dipakai dalam berbagai artikel kesehatan tentang bell's palsy, bahkan sebelum vaksin Pfizer menjalani uji klinis tahap 3. Memang benar ada empat relawan uji klinis vaksin Pfizer di AS yang mengalami bell's palsy. Namun, sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa itu adalah kebetulan. Tidak ada hubungan langsung antara vaksin dengan bell's palsy atau kelumpuhan otot wajah. Di AS, bell's palsy rata-rata dialami 20 orang dalam 100 ribu populasi.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan