• (GFD-2024-19829) Benar, Kasus Demam Berdarah Dengue Tinggi karena Perubahan Iklim

    Sumber:
    Tanggal publish: 14/05/2024

    Berita



    Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa tingginya angka kasus Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim dipandang membebani pelayanan dan sistem kesehatan karena membuat kasus Demam Berdarah semakin naik.

    “Sebagai contoh kekeringan. Ketika desa diterpa kekeringan, orang-orang pun pindah ke kota. Ketika pindah ke kota, maka kota semakin padat dan hal itu dapat membuat kasus semakin naik,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi pada 22 April 2024.

    Benarkah pernyataan Kemenkes bahwa angka kasus Demam Berdarah naik akibat perubahan iklim?

    Hasil Cek Fakta



    Dikutip dari Yale School of Environment, peningkatan suhu global antara tahun 1950-2018 telah meningkatkan kesesuaian iklim untuk penularan virus dengue oleh vektor nyamuk Aedes aegypti. Ketika suhu terus meningkat, lebih banyak daerah akan menjadi tempat yang layak huni bagi nyamuk. “Peningkatan suhu juga memperluas jangkauan geografis penularan demam berdarah,” ujar peneliti kesehatan publik Universitas Airlangga, Ilham Akhsanu Ridlo.

    Studi di Argentina menunjukkan korelasi yang jelas antara tren positif dalam suhu dan keberadaan serta peningkatan kasus demam berdarah, dengan jumlah hari dan bulan dengan suhu optimal untuk penularan demam berdarah yang meningkat dari waktu ke waktu.

    Sementara itu, studi ekologi spasial di Kalimantan, Indonesia menemukan bahwa kejadian demam berdarah di Sumatera dan Kalimantan sangat bersifat musiman dan terkait dengan faktor iklim dan deforestasi. Penelitian ini lebih jauh memerlukan telaah lanjut untuk menggabungkan indikator iklim ke dalam surveilans berbasis risiko mungkin diperlukan untuk demam berdarah di Indonesia.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa pemanasan global yang ditandai dengan suhu rata-rata yang lebih tinggi, curah hujan, dan periode kekeringan yang lebih lama dapat memicu rekor jumlah infeksi demam berdarah di seluruh dunia. 

    Menurut Dr Raman Velayudhan, Kepala Program Global WHO untuk Pengendalian Penyakit Tropis yang Terabaikan, perubahan iklim menyebabkan peningkatan curah hujan, kejadian banjir, dan perubahan pola musim, termasuk dapat meningkatkan populasi nyamuk dan penularan demam berdarah. Ada banyak faktor selain perubahan iklim yang mendorong penyebaran demam berdarah, seperti peningkatan pergerakan orang dan barang, urbanisasi dan tekanan terhadap air dan sanitasi.

    “Namun, perubahan iklim dianggap sebagai faktor utama yang mendorong peningkatan dramatis kasus demam berdarah secara global dalam beberapa dekade terakhir,” kata Ilham. 

    Sehingga beberapa bukti ilmiah menunjukkan dengan kuat bahwa perubahan iklim, melalui dampaknya terhadap suhu, curah hujan, dan faktor lingkungan lainnya, merupakan pendorong utama di balik meningkatnya insiden dan penyebaran geografis demam berdarah di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

    Kesimpulan



    Klaim Kemenkes bahwa perubahan iklim menjadi penyebab utama di balik meningkatnya insiden dan penyebaran demam berdarah, adalah benar.

    Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan penyebab utama di balik meningkatnya insiden dan penyebaran demam berdarah .

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

    Rujukan

  • (GFD-2024-19828) Menyesatkan, Klaim bahwa Jokowi Tak Terlibat atau Tak Ikut Kampanye Kandidat Manapun saat Pilpres 2024

    Sumber:
    Tanggal publish: 14/05/2024

    Berita



    Jubir tim pemenangan Prabowo-Gibran, Faldo Maldini mengklaim bahwa Presiden Jokowi tidak ikut berkampanye atau berpihak ke kandidat manapun selama Pilpres 2024.

    "Bicara soal cawe-cawe, kayaknya udah 2 tahun ya ngejawab soal cawe-cawe ini kan. Kita lihat Pak Jokowi selama proses pemilu tidak hadir di kampanye manapun atau ke kandidat manapun. Dan tidak meng-endorse siapapun bahkan,” ujarnya dalam acara Panggung Demokrasi yang ditayangkan Metro TV, tayang 4 Maret 2024.

    Benarkah pernyataan Faldo Maldini itu?

    Hasil Cek Fakta



    Menurut Peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, apa yang disampaikan Faldo adalah keliru. Meskipun Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa dia tidak ikut berkampanye dalam Pemilu 2024, keterlibatan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden dapat menimbulkan pertanyaan tentang netralitas Jokowi. 

    Wawan menilai dari sudut pandang psikologi politik, keterlibatan Gibran dapat diinterpretasikan sebagai representasi simbolik dari kelanjutan pengaruh politik keluarga Jokowi. Ini dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap netralitas Jokowi. 

    Walau Jokowi secara resmi menyatakan tidak berkampanye, keterlibatan keluarganya dalam pemilu dapat dilihat sebagai bentuk dukungan tidak langsung. “Keterlibatan keluarganya ini menunjukkan bahwa dia mungkin tidak sepenuhnya netral terhadap kandidat manapun selama Pemilu 2024,” kata Wawan. 

    Wawan menyebut representasi simbolik itu dapat menciptakan efek halo, yakni persepsi positif atau negatif terhadap satu aspek tokoh politik. Misalnya, keberhasilan Jokowi sebagai presiden dapat mempengaruhi penilaian terhadap aspek lain (baca: kualifikasi Gibran sebagai calon wakil presiden). 

    Maka, hal itu dapat mempengaruhi cara individu memahami dan menilai tokoh atau kelompok politik tertentu, yang pada gilirannya dapat membentuk sikap dan preferensi politik mereka. “Jika Gibran Rakabuming Raka dianggap sebagai simbol kelanjutan kepemimpinan yang baik dari Presiden Jokowi, hal ini dapat meningkatkan dukungan masyarakat terhadapnya,” jelasnya. 

    Keterlibatan Gibran dalam pemilu dapat dianggap sebagai dukungan tidak langsung dari Jokowi, terutama jika publik memandang Gibran sebagai perpanjangan dari pengaruh politik Jokowi. Meskipun Jokowi secara resmi menyatakan netralitas, hal tersebut tidak sepenuhnya tepat. Persepsi publik dapat dipengaruhi oleh tindakan dan interaksi politik yang melibatkan keluarganya, yang dapat diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan. 

    Di samping itu, netral bukan berarti buta terhadap konflik kepentingan yang terjadi di masa pemilu. Dosen Departemen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Satria Aji Imawan menilai bahwa Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden terpilih harusnya sepenuhnya sudah menjadi representasi rakyat secara keseluruhan, bukan beberapa kelompok kepentingan.

    “Justru dalam beberapa hal, sosok yang netral sangat paham akan benturan kepentingan dan mampu menjadi jawaban jalan tengah atas konflik kepentingan. Dalam hal ini, semestinya presiden mampu menjadi sosok pemimpin yang paham akan kepentingan-kepentingan yang ada, mengingat semua pasangan calon (paslon) adalah mantan mitra kerjanya,” tegasnya.

    Efek Jokowi ini belakangan diakui oleh presiden terpilih yang menjadi pasangan Gibran, Prabowo Subianto. Dikutip dari Tempo.co, Prabowo menyebut efek Jokowi sebagai salah satu faktor yang membuat dia menang dalam Pilpres 2024. “Tentu saja rakyat pun merasakan komitmennya untuk membawa perbaikan pada kondisi masyarakat khususnya masyarakat miskin. Jadi ya, menurut saya efek Jokowi sangat membantu saya,” ucap Prabowo dikutip dari keterangan tertulis.

    Selain efek halo atau efek Jokowi, proses demokrasi dalam Pilpres 2024 meninggalkan fenomena dinasti politik. Dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Universitas Diponegoro, Aniello Iannone, menyoroti fenomena ini sejak penunjukan Gibran sebagai cawapres dan upaya intervensi Jokowi ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui adik iparnya, Hakim MK Anwar Usman, demi memutus perkara batas usia capres dalam UU Pemilu guna membuka ruang bagi Gibran untuk maju.

    Tak hanya Gibran, adiknya, Kaesang Pangarep diberikan kursi ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya dalam hitungan hari sejak ia terjun ke dunia politik, tanpa melewati proses kaderisasi partai. Menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang juga pendatang baru di politik, pun berhasil terpilih menjadi Walikota Medan pada Pilkada 2020, bahkan ia menang dengan mudah.

    Menurut Aniello, fenomena dinasti politik ini menciptakan ketidaksetaraan dalam proses demokrasi dan meningkatkan risiko lahirnya kebijakan yang tidak etis, dan pada akhirnya mengikis kepercayaan publik terhadap integritas sistem politik Indonesia.

    Kesimpulan



    Klaim Faldo Maldini bahwa Presiden Jokowi cawe-cawe, tidak ikut berkampanye atau berpihak ke kandidat manapun selama Pemilu 2024 adalah menyesatkan.

    Meskipun Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa dia tidak akan ikut berkampanye dalam Pemilu 2024, keterlibatan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden dapat menimbulkan pertanyaan tentang netralitas Jokowi. Persepsi publik dapat dipengaruhi oleh tindakan dan interaksi politik yang melibatkan keluarganya, yang dapat diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan. 

    Efek Jokowi juga belakangan diakui oleh presiden terpilih yang menjadi pasangan Gibran, Prabowo Subianto. 

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conve

    Rujukan

  • (GFD-2024-19827) Keliru, Video Berisi Klaim Rakyat Palestina Sambut Pasukan Rusia di Gaza

    Sumber:
    Tanggal publish: 14/05/2024

    Berita



    Sebuah video yang bersumber dari Snack Video berisi klaim bahwa rakyat Palestina menyambut pasukan Rusia di tengah genosida yang dilakukan Israel. 

    Video berjudul “Kehadiran pasukan Rusia di Gaza disambut hangat dan sujud syukur oleh rakyat Palestina” tersebut diedarkan ulang di media sosial X, sebelumnya bernama Twitter. Di dalam konten itu terlihat beberapa kendaraan tempur berbendera Rusia, seperti tank melintas di tengah hamparan padang rumput.



    Sejak dibagikan pada 9 Mei 2024, video berdurasi 1 menit 6 detik itu mendapat 202 komentar, 249 Retweet, disukai 824 pengguna X dan 16 kali disimpan. Namun, benarkah dalam video itu rakyat Palestina menyambut pasukan Rusia?

    Hasil Cek Fakta



    Penelusuran Tempo menemukan, isi video tersebut bukanlah kehadiran pasukan Rusia di Gaza yang disambut hangat dan sujud syukur oleh rakyat Palestina. Peristiwa sebenarnya bukan di Gaza, melainkan di pedesaan Kota Tarbasiya, perbatasan Suriah-Turki. 

    Untuk memverifikasi kebenaran klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo memfragmentasi video tersebut menggunakan InVid WeVerify dan menelusurinya menggunakan Google Reverse Image Search.

    Potongan video itu sebelumnya ditayangkan di channel YouTube kantor berita berbahasa Arab, yaitu A24 News Agency, yang berjudul "Kendaraan militer Amerika memblokir jalan di depan patroli Rusia" yang ditayangkan pada 3 Mei 2020.

    Potongan video yang berisi sejumlah remaja laki-laki melambaikan tangan di dekat sebuah tank militer, sama dengan video pada menit ke-01:09. 



    Kanal A24 News Agency memberikan keterangan, bahwa 5 kendaraan militer milik Amerika Serikat yang sedang berpatroli memotong jalan antara kota Qamishli dan Tarbasiya/Al-Qahtaniya di kegubernuran Al-Hasakah. Patroli tersebut melintas di depan kendaraan militer Rusia yang sedang melakukan tur di perbatasan Suriah-Turki di pedesaan kota Tarbasiya. 

    Pasukan Amerika kemudian memaksa kendaraan Rusia untuk kembali ke pangkalan mereka di bandara Qamishli setelah Rusia membawa kendaraan militer lainnya untuk tujuan servis dan jumlahnya mencapai 6 kendaraan militer di Desa Khazna, dekat perbatasan Suriah-Turki. Kendaraan militer Rusia akhirnya kembali ke bandara Al-Qamishli, setelah gagal melakukan tur perbatasan di pedesaan Tarbasiya di mana ladang minyak dan gas berada.

    Kesimpulan



    Berdasarkan pemeriksaan fakta, video berisi klaim rakyat Palestina sambut pasukan Rusia adalah keliru.

    Pasalnya, narasi pada unggahan itu berbeda dengan isi video atau tidak berkaitan. Peristiwa sebenarnya menunjukkan patroli pasukan militer Amerika Serikat yang terdiri dari 5 kendaraan memotong jalan antara kota Qamishli dan Tarbasiya/Al-Qahtaniya di provinsi Al-Hasakah, di depan kendaraan militer Rusia yang sedang melakukan tur di perbatasan Suriah-Turki di pedesaan kota Tarbasiya.

    Rujukan

  • (GFD-2024-19826) Keliru, Klaim Pernyataan WHO tentang Vaksin Covid-19 Covishield

    Sumber:
    Tanggal publish: 14/05/2024

    Berita



    Sebuah postingan di Facebook [ arsip ] berisi klaim bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengkonfirmasi vaksin Covishield menimbulkan efek samping yang mengancam jiwa berupa sindrom trombosis dengan trombositopenia.

    Postingan yang diunggah pada 6 Mei 2024 itu berisi narasi lengkap: 

    “ ...viral seluruh dunia,, efek samping vaksin virus nggleleng 19 bernama ( astrazeneca ) memiliki efek samping yg langkah,, yaitu pembekuan darah serta trombosit yg rendah… sementara itu,, organisasi kesehatan dunia (who) mengonfirmasi,.,,covishield dapat menimbulkan efek samping yg bisa mengancam jiwa.... "efek samping sangat langka yang disebut sindrom trombosis dengan trombositopenia,,, melibatkan kejadian pembekuan darah yg tidak biasa dan parah terkait dengan jumlah trombosit rendah,,,telah dilaporkan setelah vaksinasi dengan vaksin ini," ungkap who..”



    Hingga artikel ini tulis, postingan itu sudah dibagikan 132 kali dan 581 dikomentari. Lantas benarkah WHO menyatakan vaksin Covishield memiliki efek samping yang membahayakan?

    Hasil Cek Fakta



    Juru Bicara dan Hubungan Media WHO Tarik Jasarevic, yang dihubungi TEMPO melalui pesan tertulis, mengatakan klaim yang mengatakan WHO telah menemukan bukti vaksin Covishield memiliki efek samping yang membahayakan adalah klaim yang tidak benar. 

    “Semua vaksin Covid-19 telah melalui berbagai uji klinis dan aman untuk dikonsumsi,” tulis Tarik. Daftar lengkap vaksin bisa dilihat pada situs resmi WHO.

    Covishield adalah nama merek vaksin kerja  sama Oxford dan AstraZeneca, yang diproduksi oleh Serum Institute of India. Temuan bahwa vaksin produksi Astrazeneca memiliki efek samping berupa pembekuan darah sebenarnya beredar dalam surat tanggapan astrazeneca ke Pengadilan Tinggi di Inggris yang untuk pertama kalinya mengakui bahwa vaksin Covid-19 dapat menyebabkan efek samping berupa pembekuan darah. Akan tetapi kasus tersebut jarang terjadi.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bila semua vaksin Covid-19, sesungguhnya sangat aman diberikan. Seperti halnya obat apa pun, vaksin juga dapat menimbulkan efek samping dengan efek samping yang lebih serius mungkin terjadi tetapi sangat jarang terjadi. Saat ini lebih dari 13 miliar dosis vaksin Covid-19 telah diberikan dengan aman secara global sejak tahun 2021, sehingga mencegah jutaan kasus penyakit parah dan kematian.

    Menurut WHO, sebelum vaksin apa pun diperkenalkan di suatu negara, vaksin harus melalui pengujian yang ketat dan ketat melalui berbagai fase uji klinis. Otoritas kesehatan mengevaluasi dengan cermat hasil uji coba ini untuk membantu memastikan bahwa vaksin tersebut memenuhi standar keamanan dan kemanjuran tertinggi sebelum dianggap layak untuk digunakan.

    Setelah vaksin diperkenalkan dan digunakan di suatu negara, otoritas kesehatan nasional terus memantau keamanan vaksin untuk mendeteksi dan segera merespons potensi kekhawatiran. Jika terjadi kejadian buruk, sekelompok ahli independen akan menilai apakah kejadian tersebut ada hubungannya dengan vaksin.

    Badan Kesehatan Canada, juga menyatakan hal yang sama, bila vaksin Covid-19 termasuk AstraZeneca/Covishield tetap aman dan efektif dalam melindungi warga dari Covid-19 dan mendorong masyarakat untuk mendapatkan imunisasi dengan vaksin Covid-19 apa pun yang diizinkan. Jarang ada laporan mengenai penggumpalan darah (Vaccine Induksi Thrombotic Thrombocytopenia atau VITT) setelah vaksinasi dengan AstraZeneca di Kanada dan negara lain di dunia. Berdasarkan uji klinis, kedua vaksin Covishield ini menunjukkan perlindungan 60–80 persen terhadap infeksi Covid-19 mulai dua minggu setelah dosis kedua.

    Di Indonesia sendiri, berdasarkan catatan Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca. Survei yang dilakukan di 14 rumah sakit di 7 provinsi tidak mencatat kejadian tersebut.

    BBC Indonesia mencatat, Covishield banyak digunakan di negara-negara miskin, melalui program vaksin Covax. Di Eropa, vaksin tersebut dijual dengan merek Vaxzevria. Singkatnya, kedua vaksin tersebut memiliki formulasi yang identik tetapi diproduksi dan didistribusikan di wilayah geografis yang berbeda. 

    Vaksin AstraZeneca dikategorikan dalam vaksin vektor adenovirus. Vaksin ini mengandung eksipien seperti L-Histidin, L-Histidine hidroklorida monohidrat, Magnesium klorida heksahidrat, Polisorbat 80, Etanol, Sukrosa, Natrium klorida dan Dinatrium edetat dihidrat (EDTA)

    Dalam jurnal Kesehatan yang berjudul “COVID-19 Vaccine-Induced Immune Thrombotic Thrombocytopenia (VITT) and Cerebral Venous Sinus Thrombosis (CVST)- Lessons for India” yang dipublikasikan National Library of Medicine -Perpustakaan Kedokteran Nasional yang berbasis di Amerika Serikat, vaksin Covishield merupakan vaksin yang paling banyak diberikan di India. Vaksin ini berbasis vektor adenovirus simpan seberkode Spike SARS-CoV-2 (S ) glikoprotein.  

    Kesimpulan



    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim WHO menemukan bukti Covishield dapat menimbulkan efek samping dan mengancam jiwa adalah keliru. 

    Tarik Jasarevic, Juru Bicara dan Hubungan Media WHO yang dihubungi TEMPO melalui pesan tertulis mengatakan klaim yang mengatakan WHO telah menemukan bukti vaksin covishield memiliki efek samping yang membahayakan adalah klaim yang tidak benar.

    WHO justru mengungkapkan bila semua vaksin COVID-19, sesungguhnya sangat aman diberikan. Seperti halnya obat apa pun, vaksin juga dapat menimbulkan efek samping. Namun, gejala ini biasanya sangat kecil dan berlangsung singkat.

    Di Indonesia sendiri tidak ada laporan kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca.

    Rujukan