• (GFD-2024-20804) [KLARIFIKASI] Komedian Adul Bantah Alami Kebutaan

    Sumber:
    Tanggal publish: 27/06/2024

    Berita

    KOMPAS.com - Beredar kabar komedian Abdul Latief atau Adul mengalami kebutaan. Beberapa akun Facebook membagikan tautan artikel yang mengabarkan Adul mengidap glaukoma.

    Namun, setelah ditelusuri, narasi tersebut keliru. 

    Kabar Adul mengalami kebutaan dibagikan oleh akun Facebook ini, ini dan ini.

    Akun tersebut membagikan gambar Adul dan diberikan keterangan demikian:

    Kini Dikabarkan Buta, Pelawak Adul Sempat Jual Pecel Lele, Dulu Pinjami Andre Taulany Rp 11 Juta. 

    Kemudian terdapat tautan ke laman leslarr.my.id. 

    Akun Facebook Tangkapan layar Facebook narasi yang menyebut Adul mengalami kebutaan

    Hasil Cek Fakta

    Tautan tersebut berisi artikel mengenai pernyataan komika Pandji Pragiwaksono yang menyebut Adul mengalami gangguan mata dan tidak bisa melihat.

    Artikel tersebut identik dengan berita di laman Tribun Jatim.

    Dikutip dari Kompas.com, Adul menjelaskan bahwa gangguan pada matanya tidak serius. Ia mengaku masih bisa melihat dengan jelas.

    Adul juga membantah kabar bahwa dirinya mengalami kebutaan. 

    "Kalau dibilang kebutaan, fitnah," kata Adul, dalam acara Rumpi Trans TV. "Sempat mau operasi di rumah sakit, barengan Covid-19, akhirnya enggak jadi," ujar dia.

    Sebelum kabar itu beredar, sebenarnya Adul berniat menjalani operasi. Hanya saja, dokter menunggu jadwal komedian berusia 40 tahun itu kosong.

    Menurut Adul, gangguan pada mata yang ia alami disebabkan karena sering mengendarai motor dan terkena debu.

    "Karena saya dulu senang banget naik motor, ini salah satu karena kena debu. Lemak, sih, kalau kata dokter," tutur Adul.

    Ia mengaku hanya mengalami mata merah ketika kurang tidur dan tidak halangan berarti.

    Kesimpulan

    Adul membantah kabar bahwa dirinya mengalami kebutaan. Ia menjelaskan, gangguan pada matanya tidak serius, karena masih bisa melihat dengan jelas.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20803) Menyesatkan, Klaim Pandemic Treaty adalah Agenda Digitalisasi untuk Mengontrol Manusia

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita



    Akun k0nsp1r4s1.gl0b4l di Instagram, mengunggah konten berisi klaim bahwa perjanjian kesehatan global atau pandemic treaty adalah agenda digitalisasi untuk mengontrol dunia sepenuhnya. “Pandemic treaty digitalisasi for total control,” demikian narasi yang diunggah pemilik konten pada 21 Juni 2024. 

    Konten itu terdiri dari potongan video podcast yang membahas tentang perjanjian kesehatan global atau pandemic treaty. Di bagian akhir video itu, muncul tangkapan layar isi cuitan Elon Musk: “In the future, there will be no phones, just neuralinks” dan teks yang menghubungkan bahwa neuralink dan starlink sebagai upaya mengontrol pikiran. “Neuralink+Starlink=mind control bukan omong kosong belaka”. 



    Artikel ini akan memverifikasi dua klaim. Pertama, benarkah bahwa pandemic treaty adalah digitalisasi untuk mengontrol dunia? Kedua, benarkah neuralink dan starlink bagian dari agenda pandemic treaty tersebut untuk mengendalikan pikiran manusia?

    Hasil Cek Fakta



    Klaim 1: Pandemic Treaty adalah agenda digitalisasi untuk mengontrol dunia

    Fakta: WHO Pandemic treaty merupakan sebutan lain untuk WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) atau konvensi WHO, terkait perjanjian atau instrumen internasional tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi.

    WHO CA+ on PPPR merupakan evaluasi dan pengakuan atas kegagalan komunitas internasional untuk menunjukkan solidaritas dan kesetaraan menanggapi pandemi penyakit virus corona (COVID-19).

    Siradj Okta (2021) dalam artikelnya di The Conversation, mengatakan dampak pandemi Covid-19 yang meluas, tidak terbatas pada negara tertentu saja, sehingga dunia membutuhkan solidaritas global, strategi global, dan juga kehadiran suatu otoritas agar perjanjian pandemi internasional dapat dipatuhi setiap anggota.

    Pengalaman dari pandemi Covid-19, menunjukkan setiap negara merespons pandemi ini dengan cara yang berbeda-beda, sesuai kapasitas, pengetahuan, dana, dan kemauan politik pemimpinnya, walau ada panduan umum dari Organisasi Kesehatan Dunia.

    Tujuan awal dari Pandemic Treaty tersebut adalah membahas masalah bagaimana memastikan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi dan perusahaan swasta berperilaku adil, tidak menimbun jutaan dosis vaksin berlebih atau menolak untuk berbagi pengetahuan dan produk yang dapat menyelamatkan jiwa, dan bahwa terdapat mekanisme untuk melakukan hal tersebut. 

    Meski ada kritik terhadap pandemic treaty namun perjanjian tersebut tidak berisi agenda untuk mengontrol dunia melalui digitalisasi. Isi perjanjian tersebut secara umum terkait dengan produksi dan distribusi berkelanjutan dan transfer teknologi vaksin; peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan; mekanisme pembagian data dan informasi patogen; penguatan dan perlindungan pekerja kesehatan; serta pembiayaan.

    Klaim 2: neuralink dan starlink bagian dari agenda pandemic treaty tersebut untuk mengendalikan pikiran manusia

    Fakta: Starlink adalah nama jaringan satelit yang dikembangkan oleh perusahaan penerbangan luar angkasa swasta milik Elon Musk, SpaceX,  untuk menyediakan akses internet murah di daerah remote atau terpencil. Menurut situs Space, hingga Mei 2024 terdapat 6,078 satelit Starlink di dalam orbit, di mana sebanyak 6,006 aktif. 

    Sedangkan Neuralink adalah perusahaan yang juga didirikan Elon Musk pada 2016 untuk menciptakan antarmuka komputer dan otak: perangkat yang terhubung dengan otak yang memungkinkan manusia mengendalikan komputer dengan pikiran. 

    Pada 28 Januari 2024, Elon Musk mengumumkan menguji chip neuralink pertama kali pada manusia. Namun tidak ada informasi yang bisa diverifikasi atas keberhasilan uji coba itu, meski Elon Musk mengklaim bahwa kondisi penerima pulih dengan baik.

    Lalu apakah Neuralink akan berhasil untuk mengendalikan seluruh pikiran manusia? Tidak ada yang bisa memastikan Neuralink berhasil dan digunakan untuk seluruh manusia. Dalam artikel di New Scientist, percobaan hewan yang dilakukan Neuralink sebelumnya tidak semuanya berhasil.

    Pada tahun 2022, Physicians Committee for Responsible Medicine, sebuah organisasi advokasi, mengirimkan surat kepada Departemen Pertanian AS untuk meminta penyelidikan atas apa yang disebutnya sebagai pelanggaran yang sangat mengerikan terhadap Undang-Undang Kesejahteraan Hewan dengan memperlakuan monyet dalam eksperimen otak invasif.

    Laporan Reuters pada tahun yang sama mengutip dokumen dan sumber yang mengindikasikan bahwa tes Neuralink telah membunuh 1.500 hewan, dalam beberapa kasus menyebabkan "penderitaan dan kematian yang tidak perlu".

    Perangkat apa pun yang ditujukan untuk implantasi pada manusia harus melewati sejumlah rintangan peraturan untuk memastikan bahwa perangkat itu sendiri, proses pemasangan, dan penggunaannya secara berkelanjutan relatif aman dan bahwa setiap potensi risiko dipahami dengan baik.

    Berdasarkan penjelasan di atas, Neuralink dan Starlink adalah dua proyek yang berbeda milik Elon Musk. Keduanya tidak terkait dengan isi pandemic treaty.

    Dokumen perjanjian atau Pandemic Treaty versi 13 Maret 2024 dapat diunduh melalui tautan ini.

    Kesimpulan



    Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan bahwa konten berisi klaim pandemic treaty merupakan agenda digitalisasi untuk mengontrol manusia dan Neuralink-Starlink bagian dari agenda pandemic treaty adalah menyesatkan.

    Rujukan

  • (GFD-2024-20802) Menyesatkan, Klaim bahwa Tapera Bakal Mempermudah Cicilan KPR

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita



    Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho menyatakan bahwa cicilan KPR akan lebih mudah jika pakai Tapera. Menurutnya, Tapera akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menjangkau harga rumah melalui skema penurunan suku bunga angsuran.

    “Tapera meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menjangkau harga rumah tersebut, melalui apa? Melalui penurunan suku bunga, yang pada akhirnya menurunkan besaran angsuran bulanan peserta. Jadi, perhitungan kami terdapat selisih angsuran sebesar sekitar Rp1 juta per bulan, jika mengambil satuan rumah susun dengan asumsi Rp300 jutaan. Peserta akan mendapatkan benefit pengembalian tabungan, beserta hasil pemupukannya hanya dengan Rp2,1 juta. Kalau Rp3,1 juta angsuran bank konvensional itu angsuran doang, enggak pakai tabungan, ini Rp2,1 juta plus tabungan dikembalikan pada masa KPR-nya selesai,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta, 31 Mei 2024.

    Benarkah pernyataan Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho itu?

    Hasil Cek Fakta



    Dosen Ilmu Ekonomi dari Universitas Islam Indonesia, Faaza Fakhrunnas, menilai sebagian pernyataan Heru tersebut tidak menggunakan logika ekonomi yang tepat.

    Misalnya dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pasal 3. UU itu menjelaskan bahwa tujuan Tapera adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang kemudian dijelaskan sebagai suku bunga terjangkau, yang bertujuan untuk menanggulangi ketidaksesuaian antara jangka waktu sumber biaya dan jangka waktu pengembalian atau tenor kredit pemilikan rumah.

    Menurut Faaza, dalam prinsip ekonomi keuangan, penggunaan suku bunga yang lebih rendah dimungkinkan untuk dapat dilakukan ketika BP Tapera menerapkan skema penjaminan kepada peserta Tapera atas pembiayaan yang dilakukan oleh bank atau lembaga pembiayaan yang telah ditunjuk.

    Meski begitu, suku bunga yang rendah tidak selamanya menghasilkan jumlah angsuran yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan kenaikan harga hunian yang naik jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah gaji, iuran, dan bagi hasil yang diperoleh peserta Tapera. 

    “Apalagi dalam Pasal 27 UU tersebut menyatakan bahwa pembiayaan/ pembangunan/perbaikan perumahaan hanya diperuntukkan kepada masyarakat berpenghasilan rendah,” ujarnya.

    Selain itu Faaza merujuk pada data triwulan I 2024, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa terdapat kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) di pasar primer sebesar 1,89% year-on-year (yoy). Survei tersebut dilakukan di 18 kota yang telah ditentukan oleh BI. Namun, di beberapa kota, kenaikan tersebut lebih besar, misalkan saja di Pontianak (4,68%), Batam (4,58%) dan Jabodetabek-Banten (2,97%). “Kenaikan harga properti di pasar sekunder tentu lebih besar, terutama pada hunian residensial kecil hingga menengah,” kata dia.

    Tapera mungkin dapat menurunkan tingkat suku bunga pembiayaan perumahan. Namun, kata Faaza, pembayaran angsuran akan tetap sulit mempertimbangkan harga hunian yang terus naik setiap tahun bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

    “Tapera hanya berfokus pada penyelesaian pembiayaan pada aspek permintaan (demand), tetapi tidak pada aspek penawaran (supply) yang menyangkut tingkat ketersediaan perumahan yang masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

    Jika perbaikan pada aspek permintaan tidak diimbangi dengan ketersediaan hunian yang sesuai, maka kenaikan harga hunian pun akan mengalami kenaikan. “Ini membuat harga hunian semakin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” pungkasnya.

    Kesimpulan



    Pernyataan Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, bahwa cicilan KPR akan lebih mudah jika pakai Tapera adalah menyesatkan.

    Dalam prinsip ekonomi keuangan, penggunaan suku bunga yang lebih rendah dapat dilakukan ketika BP Tapera menerapkan skema penjaminan kepada peserta Tapera atas pembiayaan yang dilakukan oleh bank atau lembaga pembiayaan yang telah ditunjuk.

    Meski begitu, suku bunga yang rendah tidak selamanya menghasilkan jumlah angsuran yang lebih rendah. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pembayaran angsuran akan tetap sulit mempertimbangkan harga hunian yang terus naik setiap tahun.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo

    Rujukan

  • (GFD-2024-20801) Belum Ada Bukti, Klaim Tapera Jadi Solusi Atasi Backlog Perumahan

    Sumber:
    Tanggal publish: 28/06/2024

    Berita



    Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR), Herry Trisaputra Zuna, mengklaim bahwa iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog. Backlog perumahan (angka ketimpangan pemilikan rumah) masih menjadi tantangan klasik, karena angkanya tak kunjung menurun. 

    Ia mengatakan bahwa penyebab terbesarnya adalah kecilnya porsi anggaran pemerintah untuk sektor perumahan. Maka, Tapera bisa mengatasi masalah backlog itu.

    “Bahkan BP Tapera punya tenor 35 tahun. Bisa ngga menyelesaikan backlog? Justru dengan makin banyaknya peserta Tapera makin besar kemungkinan kita untuk menyelesaikan backlog,” ujarnya, sebagaimana dilansir Bisnis.com.

    Benarkah iuran Tapera dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog perumahan?

    Hasil Cek Fakta



    Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai klaim pemerintah soal Tapera bisa atasi backlog kepemilikan rumah tidak bisa diverifikasi. “Pasalnya, belum tentu Tapera akan efektif mengatasi masalah tersebut dengan masih besarnya angka ketimpangan pemilikan rumah,” ujarnya.

    Meski begitu, terlihat tren penurunan secara umum dalam backlog perumahan selama periode 2010 hingga 2023. Pada tahun 2010, backlog tercatat sebesar 13,5 juta unit, dan meskipun ada fluktuasi kecil, tren keseluruhan menunjukkan penurunan yang berkelanjutan. Pada 2023, backlog mencapai titik terendah, yaitu 9,9 juta unit.

    Walau terjadi penurunan, angka backlog masih cukup besar. Salah satunya karena kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat.

    Nailul merujuk data rata-rata kenaikan gaji masyarakat di tahun 2023 adalah 1,8%. Sedangkan dalam laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96%. Bahkan untuk kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11% dan menengah 2,44%. “Artinya, kesempatan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah untuk bisa memiliki rumah semakin kecil,” ungkapnya.

    Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 11% masyarakat dengan pendapatan 20% terbawah mendapatkan rumah dari warisan ataupun hibah. Angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. Masyarakat miskin memiliki ketergantungan akan hibah atau warisan rumah untuk memiliki hunian, itupun masuk kategori rumah kurang atau tidak layak.

    Lagipula, telah terjadi perubahan preferensi tempat tinggal oleh kaum muda (Gen Milenial dan Gen Z), terutama yang hidup di perkotaan. Mereka cenderung memilih hunian dekat tempat kerja, seperti menyewa kost atau unit apartemen. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menurunkan angka permintaan rumah.

    Nailul merekomendasikan, pemerintah sebaiknya lebih dulu memecahkan masalah spekulasi lahan yang membuat harga rumah tidak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah. “Jika tidak mampu menyediakan rumah yang terjangkau, bukan berarti pemerintah bisa memaksa masyarakat menabung untuk rumah,” tegasnya.

    Kesimpulan



    Pernyataan Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR), Herry Trisaputra Zuna bahwa iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog adalah belum ada bukti.

    Besarnya angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog salah satunya karena kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat. Pemerintah sebaiknya lebih dulu memecahkan masalah spekulasi lahan yang membuat harga rumah tidak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah.

    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

    Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Inde

    Rujukan