• (GFD-2021-8790) Keliru, Narasi Tentang Kenaikan Prevalensi Merokok Anak Tidak Terkait dengan Iklan Rokok

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 22/10/2021

    Berita


    Sebuah poster berisi klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak tidak terkait dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun, beredar di Twitter, 16 Oktober 2021. Salah satu akun mengunggah klaim itu setelah Pemprov DKI Jakarta menutup display penjualan rokok di minimarket.
    “Nah lo. Kalo emang datanya udah turun, terus kemarin pada nutupin warung rokok pake tirai berarti bukan karena alasan biar anak2 gak merokok kali, ya. Tapi buat laporan sama ndoro funding kali, ya,” tulis akun itu menyertai poster yang diunggah. 
    Poster itu berisi dua teks: “Kenaikan prevalensi perokok anak tidak disebabkan oleh iklan rokok, namun minimnya edukasi pemerintah.”
    Teks kedua memuat data tentang jumlah perokok anak mencapai 9,76 persen tahun 2018. Tahun 2019 menurun menjadi 3,87 persen dan jumlah 2020 menurun lagi menjadi 3,81 persen.  
    Tangkapan layar unggahan poster berisi klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak dikaitkan dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun

    Hasil Cek Fakta


    Hasil verifikasi Tempo menunjukkan, ada kaitan yang erat antara kenaikan iklan rokok dengan prevalensi merokok anak. Gencarnya iklan, promosi, dan sponsor rokok berdampak pada semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak dan remaja. Dua penelitian berikut menunjukkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menimbulkan keinginan anak dan remaja untuk merokok.  
    Pertama, penelitian Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI), menunjukkan ada kaitan erat antara iklan rokok dan prevalensi perokok anak. Penelitian berjudul Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018), tersebut menemukan hubungan yang signifikan antara paparan iklan rokok di TV, radio, billboard, poster, dan internet dengan status merokok pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun. 
    Anak dan remaja usia dibawah 18 tahun lebih banyak terpapar iklan rokok melalui TV (85%), banner (76,3%), billboard (70,9%), poster (67,7%), tembok publik (57,4%), kendaraan umum (47,3%), internet (45,7%), koran/majalah (23,6%), radio (17,4%), dan bioskop (12,4%). 
    Sumber: Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI) dalam studi Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018).
    Sumber: Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI) dalam studi Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018).
    Selain itu, didapatkan pula hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian sampel rokok gratis, sponsor rokok di acara olahraga, logo pada merchandise, sponsor rokok di acara musik, dan harga diskon dengan status merokok pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun.
    Selain dari iklan, anak dan remaja usia dibawah 18 tahun pun lebih banyak terpapar promosi dan sponsor rokok di toko yang menjual rokok (74,2%), acara olahraga (46,6%), logo pada merchandise (39,1%), acara musik (39%), pembagian sampel rokok gratis (14,7%), harga diskon (12,3%), hadiah gratis atau diskon spesial (8,7%), kupon/voucher rokok (5,4%), dan surat (6,5%).
    Penelitian tersebut menggunakan desain potong lintang dengan metode pengambilan sampel dilakukan dengan Multistage Cluster Sampling. Studi dilakukan terhadap 5.234 responden atau 97,8% dari total sample yang berasal dari 16 kota/kabupaten, 139 kecamatan dan 279 desa/kelurahan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner.
    Kedua, penelitian oleh Yayasan Lentera Anak, Ruandu Foundation, Gagas, dan Komunitas Peduli Udara Bersih tahun 2021, juga memperkuat temuan dari TSCC-IAKMI. 
    Penelitian berjudul Survei Keterpaparan Iklan Rokok Elektrik pada Perokok Anak dan Hubungan Iklan Rokok Konvensional terhadap Preferensi Rokok yang Disukai Anak, itu melibatkan 180 anak yang merokok (laki-laki dan perempuan) di rentang usia 10-18 tahun di Jakarta, Solo, Jember, Padang dan Mataram.
    Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, mengatakan, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 99,4 persen anak mengaku pernah melihat iklan rokok dan 76,7 persen anak mengaku banyak terpapar iklan rokok.  Disebut banyak karena diasumsikan anak terpapar oleh iklan rokok lebih dari satu kali dalam sehari.  
    Selain itu 60,6 persen anak mengaku bahwa mereka terpapar oleh iklan rokok elektrik. Anak-anak paling banyak melihat iklan rokok elektrik di media sosial sebesar 88,1%. Sedangkan untuk yang lainnya melihat di berita online  sebesar 3,7%.
    Paparan iklan rokok tersebut juga mempengaruhi perilaku merokok anak. Menurut Lisda, setelah dilakukan analisis hubungan antara iklan rokok yang diingat anak dengan merek rokok yang paling disukai, nilai signifikansinya sebesar 0,003. Artinya terdapat hubungan yang besar antara iklan rokok dengan merek rokok yang paling disukai anak
     
    Klaim 2: jumlah perokok anak turun
    Sumber data yang tertulis dalam poster digital tersebut merujuk data Persentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 Tahun, Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2018-2020 oleh Badan Pusat Statistik. Menurut data tersebut, jumlah persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 secara nasional, mencapai 9,65 persen. Sedangkan pada 2019 mencapai 3,87 persen dan 3,81 persen pada 2020. 
    Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik, Ahmad Avenzora, menjelaskan data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 dan 2019-2020, menggunakan sumber data yang berbeda. Tahun 2018 menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Sementara tahun 2019 dan 2020 dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). 
    “Ada perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas. Sebenarnya tidak apple to apple untuk membandingkan yang 2018 dengan 2019 dan 2020,” kata Ahmad kepada Tempo, 19 Oktober 2021. 
    Salah satu perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas, kata Ahmad Avenzora, terkait jenis rokok. Di Riskesdas, mencakup jenis rokok elektrik. Sedangkan pada Susenas, tidak memasukkan rokok elektrik.
    Menurut Ahmad, dengan perbedaan sumber data tersebut, tidak bisa disimpulkan bahwa jumlah perokok anak menurun signifikan dari tahun 2018 ke tahun 2019-2020.

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas,  klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak tidak terkait dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun, adalah keliru. Berdasarkan sejumlah penelitian, iklan rokok mempengaruhi prevalensi perokok anak, baik yang mengkonsumsi rokok konvensional maupun rokok elektrik. Kedua, terkait klaim jumlah perokok anak turun dari tahun 2018 ke tahun 2019 dan 2020 juga keliru. BPS telah menyatakan bahwa sumber data yang digunakan pada 2018 berbeda dengan 2019 dan 2020 sehingga tidak dapat digunakan sebagai perbandingan.
    Tim Cek Fakta Tempo

    Rujukan

  • (GFD-2021-8789) Sebagian Benar, Prevalensi Perokok Turun Sesuai Bps tapi Bukan Jumlah Perokok Anak

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 20/10/2021

    Berita


    Sebuah akun membuat thread di Twitter berisi klaim bahwa angka prevalensi  perokok anak turun dari 9,65 persen di tahun 2018 menjadi 3,81 persen di tahun 2020. 
    Sedangkan prevalensi perokok dewasa turun dari 32,2 persen di 2018 menjadi 28,69 persen di 2020. Data itu disebutnya berasal dari Badan Pusat Statistik.
    Cuitan tentang penurunan prevalensi perokok ramai di linimasa twitter di tengah rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan 2022. 
    “Kenapa kelompok anti-rokok ini selalu memakai data Riskesdas yg lebih lama? Kalau pakai data terbaru dari BPS jelas terlihat sdh ada penurunan prevalensi merokok. Sudah tidak relevan lagi pakai data Riskesdas 2018 utk menyuarakan cukai hrs naik demi menurunkan prevalensi merokok,” tulis akun tersebut dalam narasinya, 13 Oktober 2021. 
    Tangkapan layar thread di twitter tentang penurunan prevalensi perokok ramai di linimasa twitter di tengah rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan 2022.

    Hasil Cek Fakta


    Tempo melakukan verifikasi terhadap informasi yang disebut berasal dari BPS ihwal penurunan prevalensi perokok anak dan dewasa. Hasilnya, data yang disajikan oleh BPS tersebut tidak menunjukkan penurunan prevalensi perokok di Indonesia, karena data yang metode pengumpulan data yang disajikan pada 2018 berbeda dengan 2019 dan 2020. 
    Sumber BPS yang dirujuk oleh warganet tersebut bisa diakses di data Persentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 Tahun, Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2018-2020. Menurut data tersebut, jumlah persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 secara nasional, mencapai 9,65 persen. Sedangkan pada 2019 mencapai 3,87 persen dan 3,81 persen pada 2020. 
    Namun BPS memberikan keterangan tambahan. Data pada 2018 hasil dari Data Integrasi Susenas dan Riskesdas 2018. Sedangkan data 2019 dan 2020 adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. 
    Sedangkan, data BPS terkait prevalensi perokok dewasa merujuk pada Persentase Merokok Pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun Menurut Provinsi (Persen), 2018-2020. Dalam data ini, persentase merokok pada kelompok usia di atas 15 tahun secara nasional sebesar 32,20 persen. Sedangkan data 2019 sebesar 29,03 persen dan 28,69 persen pada 2020. Sumber data tersebut adalah hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional. 
    Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik, Ahmad Avenzora, menjelaskan data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 dan 2019-2020, menggunakan sumber data yang berbeda. Tahun 2018 menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Sementara tahun 2019 dan 2020 dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). 
    “Ada perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas. Sebenarnya tidak apple to apple untuk membandingkan yang 2018 dengan 2019 dan 2020,” kata Ahmad kepada Tempo, 19 Oktober 2021. 
    Salah satu perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas, kata Ahmad Avenzora, terkait jenis rokok. Di Riskesdas, mencakup jenis rokok elektrik. Sedangkan pada Susenas, tidak memasukkan rokok elektrik.
    Menurut Ahmad, dengan perbedaan sumber data tersebut, tidak bisa disimpulkan bahwa jumlah perokok anak menurun signifikan dari tahun 2018 ke tahun 2019-2020. 
    Manajer Komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi, mengatakan, data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun yang disajikan BPS tahun 2018-2020, tidak setara karena menggunakan sumber yang berbeda. 
    Penyajian data tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman dari masyarakat awam, karena tidak tahu bahwa dua data tersebut tidak bisa dibandingkan. Publik akan menyangka Indonesia relatif aman dari perokok dan pemerintah sudah berhasil menurunkan prevalensi perokok anak. 
    “Kenyataannya bisa sebaliknya. Ini bisa merugikan pemerintah yang sedang mendorong penurunan prevalensi perokok. Ini bisa menggagalkan program pemerintah sendiri,” kata dia kepada Tempo, Senin 18 Oktober 2021. 
    Perbedaan Riskesdas dan Susenas
    Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) adalah survei lima tahunan oleh Kementerian Kesehatan RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, yang hasilnya dapat digunakan menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan.
    Riskesdas dilaksanakan pada 2018 dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dengan kerangka sampel blok sensus dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2018 dari Badan Pusat Statistik ( BPS ). 
    Populasi adalah rumah tangga di Indonesia di seluruh provinsi dan kabupaten/kota (34 Provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota). Adapun jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 300.000 rumah tangga yang diperoleh dari 30.000 blok survei (masing-masing blok survei terdiri dari 10 rumah tangga). 
    Pelaksanaan Riskesdas Kemenkes 2018 dianggap memiliki kemajuan karena terintegrasi dengan Susenas BPS. 
    Sedangkan Susenas pertama kali dilaksanakan pada tahun 1963. Dalam dua dekade terakhir, sampai dengan tahun 2010, Susenas dilaksanakan setiap tahun. Susenas di desain memiliki 3 modul (Modul Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga, Modul Sosial, Budaya dan Pendidikan, serta Modul Perumahan dan Kesehatan) dan setiap modul dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.
    Cara pengumpulan data Susenas 2019 melalui survei dengan jenis rancangan sampel multistage/phase. Jumlah sampel Susenas untuk estimasi kab/kota adalah 320.000 rumah tangga (32.000 Blok Sensus). Untuk Susenas estimasi provinsi, jumlah sampel adalah 75.000 rumah tangga (7.500 Blok Sensus).

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan, unggahan tentang prevalensi perokok anak dan dewasa turun menurut Badan Pusat Statistik, sebagian benar. Untuk klaim prevalensi perokok penduduk usia di atas 15 tahun turun sesuai data BPS tahun 2018 dan 2020 benar. Data tersebut berdasarkan hasil Susenas 2018, 2019 dan 2020. 
    Sedangkan klaim penurunan jumlah perokok anak, keliru. Sebab data tersebut menggunakan sumber yang berbeda. Data tahun 2018, menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan serta memasukkan jenis rokok elektrik. Sementara tahun 2019 dan 2020 berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang tidak mencakup jenis rokok elektrik.
    Tim Cek Fakta Tempo

    Rujukan

  • (GFD-2021-8788) Keliru, Suhu Udara Panas di Indonesia pada Oktober 2021 akibat Badai Matahari

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 18/10/2021

    Berita


    Sebuah unggahan yang memperlihatkan lapisan atmosfer Matahari yang mendekati Bumi beredar di media sosial. Gambar tersebut dibagikan dengan narasi bahwa gerah yang terasa beberapa hari di Oktober 2021 disebabkan badai matahari.
    Di Facebook, gambar tersebut dibagikan akun ini pada 15 Oktober 2021. Berikut narasinya:
    “Gerah banget? Beberapa hari terakhir ini sampai seminggu ke depan mungkin, sebenarnya sedang terjadi badai matahari. Gas H di permukaan matahari memercik sampai ke planet2 yang mengelilinginya termasuk bumi…”
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapat 82 komentar dan dibagikan lebih dari 21 ribu kali. Apa benar suhu udara panas di Indonesia pada Oktober 2021 akibat Badai Matahari?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula menelusuri pemberitaan terkait melalui sejumlah media kredibel. Hasilnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geoisika (BMKG) menegaskan bahwa suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
    Berdasarkan pantauan BMKG terhadap suhu maksimum di wilayah Indonesia, memang suhu tertinggi siang hari ini mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir. Tercatat suhu lebih dari 36 derajat celsius terjadi di Medan, Deli Serdang, Jatiwangi dan Semarang pada catatan meteorologis tanggal 14 Oktober 2021.
    Suhu tertinggi pada hari itu tercatat di Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah I, Medan yaitu 37,0 °C. Namun catatan suhu ini bukan merupakan penyimpangan besar dari rata-rata iklim suhu maksimum pada wilayah ini, masih berada dalam rentang variabilitasnya di Bulan Oktober.
    Dilansir dari  Kompas.com, Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi, Urip Haryoko mengatakan, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
    Saat ini, berdasarkan pantauan BMKG terhadap suhu udara maksimum di wilayah Indonesia, memang suhu tertinggi siang hari ini mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir, tak heran jika suhu udara terasa panas.
    Setidaknya penyebab suhu udara panas atau suhu mencapai maksimum yang meningkat dalam beberapa hari ini dapat disebabkan oleh beberapa hal:
    1. Kedudukan semu Matahari terhadap suhu udara Pada bulan Oktober, kedudukan semu gerak matahari adalah tepat di atas Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dalam perjalannya menuju posisi 23 lintang selatan setelah meninggalkan ekuator.  Posisi semu Matahari di atas Pulau Jawa akan terjadi 2 kali yaitu di bulan September atau Oktober dan Februari atau Maret.
    2. Suhu udara dan kondisi cuaca cerah Faktor penyebab suhu tinggi di Indonesia berikutnya adalah kondisi cuaca yang cerah. "Cuaca cerah juga menyebabkan penyinaran langsung sinar matahari ke permukaan lebih optimal sehingga terjadi pemanasan suhu permukaan," jelasnya.
    Badai Matahari
    Peneliti Cuaca Antariksa di Pusat Riset Antariksa Lapan-BRIN Tiar Dani menjelaskan, badai Geomagnetik atau yang dikenal dengan Badai Matahari adalah terjadinya peristiwa ledakan di Matahari yang berasal dari sunspot (bintik yang muncul di piringan Matahari).
    “Ledakan tersebut biasanya disebut Flare dan kadang disertai dengan lontaran massa korona atau Coronal Mass Ejection (CME),” ujar Tiar, saat dihubungi Kompas.com, Kamis, 14 Oktober 2021.
    Menurut Tiar, dampak ledakan (flare) akan terasa di Bumi 9 menit kemudian, terutama di sisi Bumi yang sedang menghadap Matahari (atau sisi siang). Sementara, dampak CME akan terasa sekitar 1-3 hari tergantung kecepatan partikel CME yang dilontarkan.
    Tiar memaparkan, ketika partikel tersebut telah mencapai Bumi, maka biasanya ditandai dengan munculnya aurora di kutub-kutub Bumi. Selain itu, akan timbul badai geomagnet yakni terganggunya lapisan magnetosfer Bumi dan beberapa satelit. Muncul pula badai ionosfer yakni terganggunya komunikasi radio dan satelit.
    Tiar mengatakan, badai pada 12 Oktober 2021 disebabkan flare kelas M1,6 yang terjadi pada 9 Oktober 2021. Ledakan tersebut disertai dengan HALO CME yakni lontaran partikel berbentuk lingkaran.
    Tiar menjelaskan, dampak Badai Matahari di antaranya adanya gangguan terhadap satelit yang ada di orbit Bumi, komunikasi radio HF, radiasi untuk penerbangan di lintang tinggi. Selain itu, terjadi gangguan navigasi berbasis satelit, serta jaringan pipa minyak dan listrik di lintang tinggi. Di Indonesia, pada 12  Oktober 2021 lalu terjadi badai geomagnet akibat dampak dari badai Matahari yang terjadi 9 Oktober 2021.
    “Badai geomagnet tanggal 12 Oktober kemarin telah diprediksikan oleh kami dan terpantau oleh kami. Untuk wilayah Indonesia, terjadi badai geomagnet hingga skala Moderat (Menengah),” ujar Tiar. Menurut dia, dampak yang timbul untuk manusia, di Indonesia cenderung aman.
    “Dampaknya terhadap manusia relatif aman karena partikel-partikel dari CME tadi akan dibelokkan menuju kutub-kutub bumi,” kata Tiar.
    BMKG pernah mencatat, adanya aktivitas badai matahari (badai geomagnet) pada September 2021 terjadi pada tanggal 23 September 2021 dengan index 2,25 di wilayah  Jawa Barat.
    Dilansir dari  pikiranrakyat.com, laporan BMKG mencatat, adanya badai geomagnet skala lemah dengan index 31,875. Angka tersebut tercatat menjadi yang tertinggi sepanjang bulan September 2021, bahkan dalam beberapa bulan terahir. Selama ini, index badai magnetik Jawa Barat pada skala tenang atau di bawah 30.
    "Berdasarkan hasil pengolahan nilai indeks K dan Indeks A pada data medan magnet bumi di Stasiun Magnet Bumi Pelabuhan Ratu, nilai indeks K tertinggi pada bulan September 2021 adalah skala 5 dan nilai Indeks A tertinggi adalah 31.9 pada 27 September 2021," kata kepala BMKG Stasiun Bandung Teguh Rahayu, Minggu, 10 Oktober 2021.
    Kendati pada 27 September tercatat terjadi peningkatan index gangguan magnetik, namun BMKG tidak mengkonfirmasi penyebab listrik padam di pantura akibat peristiwa badai matahari yang telah diperkirakan banyak pihak bakal terjadi pada periode itu.
    "Pada tanggal 27 September tidak ada aktivitas solar flare yang tercatat, sehingga kemungkinan aktivitas magnetik yang tercatat di Stasiun Pelabuhan Ratu pada waktu tersebut akibat noise pada data proton magnetometer," ujarnya.
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Badai Matahari juga pernah terjadi pada Maret 2019. Saat itu, Kepala Bagian Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko mengatakan efek badai matahari di Indonesia kecil karena negara kita berada di wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa.
    "Indonesia yang berada di wilayah ekuator memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk mengalami gangguan akibat badai geomagnetik ini," kata Hary melalui keterangan tertulis, Jumat, 15 Maret 2019.
    Hary menuturkan badai matahari adalah gangguan sementara pada lapisan magnetosfer bumi yang diakibatkan oleh interaksi antara angin matahari dengan medan magnet bumi. Fenomena ini, kata dia, rutin terjadi sebagai akibat dari aktivitas pelontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME) di matahari.
    Menurut humas BMKG ini, badai matahari ini juga tidak berpengaruh pada cuaca di Indonesia. Adapun wilayah yang merasakan badai matahari bakal berdampak pada gangguan minor pada sistem satelit dan gangguan lemah pada jaringan listrik, terutama pada wilayah lintang tinggi. "Kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi di Indonesia."
    Peneliti Pusat Ilmu Antariksa LAPAN Rhorom Priyatikanto menyatakan bahwa panasnya cuaca di Jakarta dan sekitarnya pada Jumat siang, 15 Maret 2019, bukan disebabkan oleh adanya fenomena  bada

    Rujukan

  • (GFD-2021-8787) Keliru, KPK Berhasil Temukan Duit Suap Rp 5 Miliar di Kediaman Novel Baswedan

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 15/10/2021

    Berita


    Video berdurasi 8 menit dengan judulNovel keringat dingin, KPK berhasil temukan dana suap 5 miliar dari kediamannyadibagikan di grup "Dukung NKRI Harga Mati" di Facebook pada 12 Oktober 2021. 
    Video ini berisi gabungan video lainnya yang terkait dengan kasus korupsi eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin yang ditangani KPK. 
    Sejak dibagikan, video ini telah ditonton empat ribu kali. 
     Tangkapan layar unggahan video dengan klaim KPK berhasil temukan duit suap Rp 5 miliar dari kediaman Novel Baswedan

    Hasil Cek Fakta


    Setelah Tempo menonton video tersebut, tidak ada keterangan bahwa KPK menemukan duit suap Rp 5 miliar di kediaman rumah mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, dalam kasus Azis Syamsudin. Novel dan timnya justru melaporkan delapan pegawai KPK lainnya yang diduga dekat dengan bekas Wakil Ketua DPR itu.
    Video tersebut memuat potongan rekaman dari banyak peristiwa, namun narasi di dalamnya menyebutkan tentang informasi delapan penyidik KPK yang menjadi orang dalam bagi Azis Syamsudin. Salah satu dari delapan penyidik KPK itu adalah AKP Stepanus Robin Pattuju.
    Informasi itu berdasarkan keterangan Sekretaris Daerah Kota Tanjungbalai Yusmada saat menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Stepanus Robin Pattuju, pada Senin, 4 Oktober 2021. Yusmada adalah tersangka pemberi suap untuk Wali Kota Tanjungbalai nonaktif, M. Syahrial. 
    Dalam berbagai pemberitaan juga tidak ada peristiwa KPK menemukan duit suap Rp 5 miliar dari kediaman Novel Baswedan. Dalam kasus itu, suap diberikan oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin  kepada Stepanus Robin Pattuju senilai Rp 3.099.887.000 dan US$ 36 ribu .
    KPK telah menetapkan Azis sebagai tersangka pemberi suap kepada Robin Pattuju. Suap diduga diberikan agar Robin mengurus perkara korupsi dana alokasi khusus Lampung Tengah yang menyeret nama Azis.
    Novel tidak terkait dengan kasus ini. Dia dan timnya malah melaporkan ihwal delapan penyidik tersebut ke Dewan Pengawas KPK. 
    Novel pernah menjelaskan melalui akun T witternya : “Yang ungkap kasus ini adalah tim saya bersama dengan tim lain yang semuanya disingkirkan dengan tes wawasan kebangsaan (TWK). Saya juga sudah laporkan masalah tersebut ke Dewas tapi tidak jalan. Justru KPK seperti takut itu diungkap dan melarang tim kami untuk sidik kasus tersebut dengan menunjuk tim lain untuk penyidikannya.”

    Kesimpulan


    Dari pemeriksaan fakta tersebut, Tempo menyimpulkan judul video "Novel keringat dingin, KPK berhasil temukan dana suap 5 miliar dari kediamannya" adalah keliru. Dugaan suap dari Azis Syamsudin bukanlah untuk Novel Baswedan, melainkan Stepanus Robin Pattuju. 
    Tim Cek Fakta Tempo

    Rujukan